Kuhela napas panjang seraya mengusap wajah. Mama memang sering kali menginap di rumah untuk menemaniku. Berbeda dengan Papa yang satu kali pun belum pernah menunjukkan batang hidungnya lagi. Papa benar-benar marah. Sampai-sampai saat aku datang menemuinya untuk minta maaf lagi pun, dia tak acuh."Ya kenapa enggak langsung pulang aja? Kenapa juga malah ke sini?""Aku butuh teman ngobrol, Mas. Ada yang mau aku omongin juga sama kamu.""Udah cukup dua minggu yang lalu aku dipukul suamimu karena kita ketemuan, Lid. Dia mikirnya kita ada hubungan spesial. Mendingan kamu curhat ke teman cewek atau orangtuamu aja, deh. Aku enggak mau suamimu salah paham lagi. Kalian baru aja baikkan bukannya?""Itulah masalahnya, Mas. Mas Adrian enggak jadi narik surat gugatan cerai itu.""Ya kamu bicarain lagi aja sama dia dan orangtuamu, Lid. Jangan sama aku terus. Kamu mau aku dipukuli l
Bapak menoleh kaget, tapi langsung kembali memasang raut wajah dinginnya. Dia hendak pergi, tapi aku dengan cepat menghalangi langkah."Di mana Nurma, Pak? Di mana anak dan istriku?" tanyaku tanpa basa-basi. Menatap penuh harap pada Bapak agar dia buka mulut.Sayangnya, yang kudapatkan dari Bapak malah seringaian sinis."Bukan urusanmu. Minggir!""Jelas itu urusanku, Pak. Aku suaminya!" Aku kembali menghalangi Bapak yang hendak memaksa pergi."Suami? Kamu sebut dirimu suami? Nggak pantas!" desisnya dengan tatapan tajam."Bapak ...." Aku memegangi lengannya dengan tatapan memelas. "Kumohon ... beritahu di mana Nurma dan Alan. Aku merindukan mereka, Pak." Tak terasa air mataku menetes begitu saja."Lepasin!" Tanganku ditepis kasar. "Bapak enggak akan kasih tahu di mana mereka berada sampai kapan pun! Apa kamu sadar apa yang sudah kamu lakukan pada anak bapak, huh?" Telunjuknya yang gemetar mengarah tepat kepadaku. Rahangnya mengeras dengan wajah agak memerah, terlihat jelas ada amarah b
Waktu terasa berjalan cepat. Persidangan kedua telah dilewati. Masih sama, tanpa kehadiran Nurma di pengadilan. Aku masih bersikeras ingin mempertahankan pernikahan, sedangkan dari pihak Nurma bersikeras menolak.Hari-hari kulewati dengan hati yang gelisah. Lidya tak pernah lagi menghubungi ataupun datang menemui setelah pertengkaran hebat kami.Waktu itu sempat terucap perkataan yang sangat menyakitinya dari mulut ini. Itu karena aku sudah muak dengan dia yang selalu menggunakan air mata sebagai senjata agar diriku iba.Menjauhlah selamanya dari kehidupanku! Mati pun aku enggak peduli! Mengejar-ngejar cintamu adalah hal terbodoh yang pernah kulakukan dalam hidup! Kalau waktu bisa diputar ulang dan boleh meminta, aku berharap tidak pernah mengenalmu apalagi jatuh cinta!Kuhela napas panjang dengan wajah menengadah menatap langit sore di taman. Mendekati sidang terakhir, tiga har
"Nur?""Masuk, Bu!" sahutku yang tengah menyusui Alan di kamar.Ibu tersenyum seraya berjalan mendekat, lalu duduk di tepian ranjang."Bapak barusan telepon katanya sebentar lagi sampai. Kita diminta siap-siap.""Iya, Bu. Habis kasih Asi Alan aku langsung siap-siap.""Ya sudah. Ibu mau bereskan yang lainnya dulu kalau gitu," ujarnya, kemudian pergi lagi keluar kamar.Sudah waktunya untukku kembali setelah cukup lama tinggal dalam pengasingan. Aku suka tinggal di sini walau hanya mengontrak rumah kecil. Apalagi tempatnya dekat dengan pantai. Hanya saja, sebagus apa pun pemandangan di sini, aku tetap lebih betah tinggal di desa sendiri. Begitu juga dengan Ibu dan Bapak. Mereka pun pasti rindu tinggal di rumah sederhana kami.Setengah tahun sudah berlalu dari sejak akta perceraian berhasil dikantongi. Selama itu pula aku ingkar janji terhadap Mas Aldi. Aku pernah berkata akan langsung mempertemukannya dengan Alan jika dia setuju bercerai, dan Mas Aldi pun menuruti permintaan itu.Hanya s
Usai kepergiannya, Bapak pun melanjutkan obrolan bersama beberapa tetangga, sedangkan aku memilih diam dan menyimak saja."Dokter Widi baik sekali, ya, Pak Dedi. Dia enggak segan bantuin siapa saja," puji Pak Chandra."Iya. Dokter Widi memang cocok jadi pria idaman para wanita single di kampung kita ini," timpal Bu Tini."Betul. Tapi sayangnya satu pun dari mereka enggak ada yang direspon. Mungkin Dokter Widi sudah punya wanita yang ditaksir." Pak Tatan ikut bersuara."Dokter Widi 'kan dekat banget sama keluarga Pak Dedi. Apa jangan-jangan ... dia teh diam-diam naksir Nurma, ya?"Aku yang tengah minum pun sontak tersedak karena mendengar perkataan Pak Aji tersebut."Pelan-pelan, Nur." Ibu dengan cepat menyodorkan tisu padaku."Ah, Pak Aji mah ada-ada saja. Dokter Widi mah memang baik pada semua orang, bukan hanya pada keluarg
Mendengar panggilanku, Mas Aldi mengubah posisi duduknya menghadap ke sini. Saat itu juga matanya membulat sempurna dengan mulut sedikit terbuka. Setelah beberapa detik diam mematung, perlahan dia bangkit dan berjalan mendekat dengan tatapannya yang tak beralih sedikit pun dariku.Kami saling bersitatap dalam diam. Matanya yang berkaca-kaca menghadirkan desiran perih di dalam hati. Kuremas kuat-kuat gamis di samping badan demi menahan diri agar tak ikut menitikkan air mata sepertinya.Mas Aldi tertawa lirih, lalu menunduk dengan bahunya yang bergerak naik turun."Mas ...." Sebisa mungkin aku menahan getar di suara.Mas Aldi kembali menatapku dan Alan bergantian dengan wajahnya yang sudah basah oleh air mata. Tanpa berkata apa-apa, dia langsung mengambil alih Alan. Menciumi wajahnya sambil terus terisak lirih yang membuat hati ini ikut sakit.Aku tak tahan lagi. Kuputar tubuh membelakanginya sambil menyeka air mata yang meluncur bebas di pipi tanpa mampu diajak kompromi. Di dapur, Ibu
Lagi. Aku mengangguk pelan."Pantas Mama Papa santai-santai aja biarpun enggak pernah ketemu cucunya. Mereka sudah tahu ternyata. Apa jangan-jangan ... mereka juga sering menemui kamu dan Alan?""Hanya beberapa kali. Katanya takut Mas Aldi curiga," jawabku pelan."Ya Allah ... kalian semua benar-benar tega," lirihnya."Jangan marah sama Papa Mama, ya, Mas. Selama ini, memang aku sendiri yang minta mereka enggak buka mulut."Tak ada jawaban selain helaan napas panjangnya."Mas?"Mas Aldi menoleh. "Iya, aku enggak akan marah sama mereka.""Alhamdulillah." Aku tersenyum lega."Nurma!"Kami serempak menoleh dan mendapati Bapak sudah berdiri di ambang pintu."Ayo makan dulu!""Iya, Pak." Aku mengangguk, lalu segera berdiri. "Ayo, Mas! Kita makan siang sama-sama."Mas Aldi tersenyum dan mengangguk."Dek?" Panggilan Mas Aldi kembali menghentikanku yang baru menjauh darinya beberapa langkah.
Kami serempak menoleh. Mas Aldi berjalan mendekat dengan tatapannya yang sempat membidik Dokter Widi, lalu kembali beralih padaku."Alan kayaknya haus, Dek. Udah mulai rewel.""Anak mama haus, hm?" kataku sembari mengambil alih Alan dari gendongannya. Membuat Alan langsung tersenyum seraya menepuk-nepuk dada ini."Aku ... masuk dulu," pamitku pada keduanya yang sedari tadi sama-sama diam dan tak saling menatap."Iya," jawab mereka kompak hingga spontan saling melempar pandang.Aku menahan senyum. "Hati-hati pulangnya, Dok."Dokter Widi mengangguk. Setelah itu, aku berbalik dan pergi meninggalkan keduanya."Bisa kita bicara?"Masih terdengar jelas suara Mas Aldi yang bertanya pada Dokter Widi setelah aku maju beberapa langkah."Tentu. Mari bicara di pos ronda."Langkahku terhenti saat mencapai ambang pintu, lalu kembali menoleh ke belakang. Mas Aldi pergi bersama Dokter Widi yang menuntun motornya."Apa yang mau mereka bicarakan?" gumamku pelan."Nur?""Ya, Pak?" kataku seraya berjalan
Aku dan Mas Widi sontak terdiam. Saling melempar pandang, lalu cekikikan bersama saat mendengar Mama berseru dari luar kamar. Memang selama tiga hari ke depan, Mama Papa akan menginap di sini. Baru siang tadi keduanya datang."Mas, sih!" Aku melepaskan diri, lalu mencubit pinggangnya dengan gemas hingga gantian dia yang menggeliat geli."Kamu duluan yang mulai," balasnya tak mau kalah. "Pokoknya kamu masih utang ciuman plus bonusnya. Ayo sini!" Dia menarikku menuju ranjang."Aduh-aduh ... aku kebelet, Mas. Mau ke kamar mandi dulu.""Kamu pikir mas percaya?" Dia malah tertawa dan terus menarikku. Hingga akhirnya, tubuh ini sudah berada dalam kendalinya tanpa bisa aku melawan.🌺🌺🌺Hari yang ditunggu pun tiba. Sebenarnya meminta jalan-jalan hanyalah alasan semata. Ada kejutan yang ingin kuberikan biarpun ini lebih cepat satu minggu dari hari ulan
"Eungh." Aku bergumam pelan, menggeliat malas saat merasakan sentuhan lembut beberapa kali di pipi.Tanpa mengindahkan sentuhan itu, aku malah semakin merapatkan selimut dan memeluk guling erat. Cukup lama menghabiskan waktu bersama Mas Widi tadi, membuat mata ini enggan untuk terbuka.Namun, lagi-lagi tidurku terganggu dan bergidik geli ketika merasakan tiupan di dekat telinga."Bangun, Sayang," bisiknya lembut.Aku berbalik, mengucek mata yang masih terasa lengket dan mendapati Mas Widi sedang duduk di tepi ranjang sambil tersenyum. Senyum manis dengan kedua tangannya memegang kue ulang tahun berukuran kecil tanpa lilin."Mas ...." Aku beranjak bangun, lalu duduk bersandar kepala ranjang."Memilikimu adalah hal terbaik yang enggak akan rela mas tukar dengan apa pun. Terima kasih sudah menjadi duniaku, Istriku Sayang. Selamat ulang tahun."
"Rumah ini 'kan kosong. Kok, rapi dan bersih, Mas?" tanyaku seraya duduk di tepi ranjang. Sementara, Mas Widi tengah berbaring miring sembari menepuk-nepuk pantat Alan yang sempat terbangun dari tidurnya."Kan, seminggu sekali ada yang bersihin, Sayang. Aku udah bayar orang untuk merawat rumah ini. Kalau enggak begitu, nanti lama-lama rumahnya bisa hancur dan rusak.""Ooh." Aku mengangguk paham."Kamu kalau mau buat sesuatu bisa langsung ke dapur, Sayang. Mas udah minta tolong sama yang merawat rumah ini supaya siapin kebutuhan dari dua hari yang lalu.""Iyakah?"
"Papa, janais.""Apa katanya, Nur?" tanya Mama."Papa jangan nangis katanya, Ma," jelasku."Enggak. Papa ... papa enggak nangis, kok." Mas Aldi tersenyum, tapi air matanya masih belum bisa berhenti menetes di pipi."Alan sayang Papa?" tanya Mama seraya mengusap kepalanya."Cayang," jawabnya dengan riang. "Papa uwa," imbuhnya sembari mengangkat jari-jari mungilnya, lalu menatap Mas Widi yang berdiri di samping Mas Aldi."Iya, papa Alan ada dua," kataku seraya
"Masuklah," ucap Mama pelan.Aku mengangguk, lalu membuka pintu kamar Mas Aldi dengan hati-hati. Melihatnya duduk termenung di dekat jendela membuat tubuh ini meremang. Aku sungguh tak tega hingga harus berhenti melangkah lagi saat air mata ini tak mampu ditahan."Ma," panggil Mas Aldi. "Aku lupa simpan foto Alan di mana. Bisa Mama bantu aku cariin fotonya?"Ya Allah ....Aku membekap mulut, lalu kembali melangkah dengan Mas Widi yang merangkul bahu ini. Seolah paham, Alan pun hanya diam saja ketika kuisyaratkan agar tidak bersuara."Ma," panggilnya lagi.Aku mengangguk. Memberi isyarat pada Mas Widi agar mendekatkan Alan padanya."Ma, foto Al ...." Mas Aldi seketika membeku saat tangan mungil Alan menyentuh pipinya yang sudah ditumbuhi jambang. Begitu pun ketika Alan sudah didudukkan di pangkuan. Mas Aldi masih terpaku, tapi matanya berembun."Papa?" panggil Alan dengan suara khas anak kecil.Air mata Mas Aldi seketika bercucuran dengan tangannya yang bergerak perlahan menyusuri tubu
Aku kembali terisak di pelukan Mas Widi ketika pintu kamar itu sudah tertutup rapat."Aku ... aku berdosa, Mas," lirihku dengan hati yang berdenyut nyeri. "Aku berdosa karena sudah berburuk sangka sama Mas Aldi. Aku ... aku ....""Ssstt." Mas Widi mengusap kepalaku dan mengeratkan dekapannya. "Kamu enggak sepenuhnya salah. Kalau saja Aldi jujur, kamu atau siapa pun juga pasti enggak akan berpikir negatif.""Aku harus tanya Mama. Aku mau tahu kenapa Mas Aldi bisa seperti itu," lirihku seraya mengurai pelukan.Mas Widi mengusap lembut air mataku dengan kedua ibu jarinya. "Kita akan tanyakan
Mama sehat, kan?" tanyaku seraya mengurai pelukan."Alhamdulillah mama sehat," jawabnya seraya menyeka air mata. "Maaf mama sama Papa enggak bisa datang ke pernikahan kalian," sesalnya seraya menatapku dan Mas Widi bergantian."Enggak apa-apa, Ma. Doa Mama dan Papa juga udah cukup."Mama tersenyum, lalu beralih menatap Alan di pangkuan Mas Widi."Alan ... cucu Nenek." Air matanya kembali menetes."Aaah." Alan merengek dan langsung melingkarkan kedua tangannya di leher Mas Widi ketika Mama hendak menggendong
"Cari siapa?" tanyanya sedikit ketus."Maaf, kami mencari Aldi. Dia tinggal di sini," jawab Mas Widi."Aldi? Aldi siapa?" Wanita itu malah terlihat bingung mendengar nama itu disebutkan.Kami saling melempar pandang, lalu kembali menatap wanita berkulit sawo matang itu."Mas Aldi yang punya rumah ini, Mbak," kataku."Pemilik rumah ini? Enak saja kalau bicara. Rumah ini punya suamiku!" sergahnya tidak terima."Boleh kami bicara dengan suaminya, Mbak?" tanya Mas Widi tenang."Sebentar," sahutnya ketus. "Mas! Mas Fikri!" Wanita itu berteriak kencang dan tak lama kemudian, muncul pria paruh baya dengan perutnya yang sedikit buncit."Ada apa, sih, Ma, teriak-teriak segala?""Nih, ada yang mau ketemu. Katanya mereka ini nyariin Aldi pemilik rumah ini. Lha, kan ini rumah milik Mas Fikri.""Aldi?" Pria bernama Fikri itu terlihat berpikir sejenak, lalu kembali menatap kami. "Oh, Aldi pemilik rumah ini sebelum kami, ya?"Pemilik sebelumnya?"Maksudnya?" tanyaku bingung."Iya. Rumah ini sudah sa
"Hari ini ke klinik atau masih gantiin teman Mas di rumah sakit?" tanyaku seraya menyendokkan nasi ke piringnya."Enggak dua-duanya," sahutnya, lalu meneguk sedikit air putih."Kok?""Iya, hari ini mas libur. Mas ambil cuti tiga hari ke depan.""Terus, yang tugas di klinik?" tanyaku seraya menarik satu kursi di sampingnya, lalu duduk."Ada teman yang gantiin jaga.""Ooh." Aku mengangguk paham, lalu menyendokkan nasi ke piring