"Dua-duanya," sahutnya masih dengen kekehan kecil. "Gimana istrimu? Ada?"
Kuhela napas panjang, lalu menggeleng. "Dia enggak ada di sana. Aku juga bingung harus cari ke mana lagi. Enggak ada petunjuk. Tetangga di sana itu, tahunya bapak mertua pergi main ke sini."
"Memangnya kalian lagi ada masalah apa? Perasaan aku lihat kamu senang-senang aja. Malahan kayak orang gila kalau di kerjaan senyum-senyum sendiri sambil lihatin fotonya. Berantem?"
Aku membisu.
"Okelah, enggak masalah. Aku bantu doa aja sem
Aku terlonjak kaget ketika meja digebrak dengan kencang."Papa ... jangan ngagetin gitu, dong." Mama yang tak kalah terkejutnya denganku menatap Papa sambil mengusap dada."Kamu jangan menguji kesabaran Papa! Dari tadi mamamu sudah tanya berkali-kali, tapi kamu cuma diam! Kenapa? Mendadak bisu?" sergah Papa."Pah, tenang dulu, Pah. Jangan marah-marah begitu, ah." Mama menarik lengan Papa yang berdiri agar kembali duduk."Anakmu ini kayak bukan laki-laki saja! Kalau memang kamu punya salah, bilang terus terang! Biar kita cari jalan keluarnya sama-sama! Jangan cuma diam dan jadi pengecut!""Iya, Pah. Aku salah. Akulah yang bertanggung jawab atas kepergian Nurma dan orangtuanya," jawabku dengan menatap sendu Papa, lalu menunduk lagi karena tak tahan dengan tatapan tajamnya."Nurma ...." Aku menjeda ucapan. Mengepalkan tangan kuat saat hati ini kembali terasa seperti diremas-remas seiring mata yang mulai terasa menghangat. "Nurma pergi karena marah dan kecewa padaku, Pah.""Memangnya kamu
Papa malah tertawa mendengar penuturanku tersebut."Kamu dengar apa kata anakmu barusan, Ma? Karena ada Bapak dan ibunya, dia jadi bisa santai dan tenang." Papa kembali tertawa. Tawa yang jelas-jelas terdengar dipaksakan."Harusnya kamu pakai nalarmu, Di." Kali ini Mama ikut menceramahiku. "Biarpun Nurma ada orangtuanya, tapi kamu suaminya. Kamu yang wajib bertanggung jawab penuh atas dia! Kalau kamu niat bantuin si Lidya itu, kamu enggak perlu repot-repot antar dia ke rumah sakit. Cukup panggilin taksi. Di rumah sakit pasti banyak yang mau nolongin, kok. Pendek sekali jalan pikiranmu itu! Emangnya si Lidya itu enggak punya hape? Dia 'kan bisa telepon keluarga atau orangtuanya," cecar Mama panjang lebar."Aku enggak kepikira
Waktu demi waktu kulalui dengan kehampaan. Sudah lebih satu bulan aku memeluk sepi di rumah ini. Tak ada obrolan, canda tawa apalagi tangisan bayi. Sunyi. Hidupku bagai tak berarti lagi. Tak ada semangat. Semua seolah ikut terenggut sejak kepergian Nurma dengan membawa serta bayi kami.Kepergiannya benar-benar berpengaruh besar. Aku sampai tidak bisa fokus dengan pekerjaan hingga seringkali dipanggil atasan karena salah membuat laporan. Bahkan aku sempat dituduh menggelapkan uang karena jumlah laporan yang jauh berbeda. Syukurlah, itu hanya karena keteledoran saja dalam bekerja hingga bisa terbukti dengan jelas diri ini tak bersalah.Mengenai tebakan Papa saat memarahiku dulu, hal itu benar-benar terjadi. Surat panggilan persidangan cerai benar-benar datang ke rumah. Seminggu yang lalu, dengan semangatnya aku hadir di sana. Berharap bisa bertemu Nurma dan bayi kami. Membujuknya untuk ikut pulang dan membatalkan gugatan.Sayangnya, semua tak sesuai harapan. Ternyata Nurma diwakilkan pe
Kuhela napas panjang seraya mengusap wajah. Mama memang sering kali menginap di rumah untuk menemaniku. Berbeda dengan Papa yang satu kali pun belum pernah menunjukkan batang hidungnya lagi. Papa benar-benar marah. Sampai-sampai saat aku datang menemuinya untuk minta maaf lagi pun, dia tak acuh."Ya kenapa enggak langsung pulang aja? Kenapa juga malah ke sini?""Aku butuh teman ngobrol, Mas. Ada yang mau aku omongin juga sama kamu.""Udah cukup dua minggu yang lalu aku dipukul suamimu karena kita ketemuan, Lid. Dia mikirnya kita ada hubungan spesial. Mendingan kamu curhat ke teman cewek atau orangtuamu aja, deh. Aku enggak mau suamimu salah paham lagi. Kalian baru aja baikkan bukannya?""Itulah masalahnya, Mas. Mas Adrian enggak jadi narik surat gugatan cerai itu.""Ya kamu bicarain lagi aja sama dia dan orangtuamu, Lid. Jangan sama aku terus. Kamu mau aku dipukuli l
Bapak menoleh kaget, tapi langsung kembali memasang raut wajah dinginnya. Dia hendak pergi, tapi aku dengan cepat menghalangi langkah."Di mana Nurma, Pak? Di mana anak dan istriku?" tanyaku tanpa basa-basi. Menatap penuh harap pada Bapak agar dia buka mulut.Sayangnya, yang kudapatkan dari Bapak malah seringaian sinis."Bukan urusanmu. Minggir!""Jelas itu urusanku, Pak. Aku suaminya!" Aku kembali menghalangi Bapak yang hendak memaksa pergi."Suami? Kamu sebut dirimu suami? Nggak pantas!" desisnya dengan tatapan tajam."Bapak ...." Aku memegangi lengannya dengan tatapan memelas. "Kumohon ... beritahu di mana Nurma dan Alan. Aku merindukan mereka, Pak." Tak terasa air mataku menetes begitu saja."Lepasin!" Tanganku ditepis kasar. "Bapak enggak akan kasih tahu di mana mereka berada sampai kapan pun! Apa kamu sadar apa yang sudah kamu lakukan pada anak bapak, huh?" Telunjuknya yang gemetar mengarah tepat kepadaku. Rahangnya mengeras dengan wajah agak memerah, terlihat jelas ada amarah b
Waktu terasa berjalan cepat. Persidangan kedua telah dilewati. Masih sama, tanpa kehadiran Nurma di pengadilan. Aku masih bersikeras ingin mempertahankan pernikahan, sedangkan dari pihak Nurma bersikeras menolak.Hari-hari kulewati dengan hati yang gelisah. Lidya tak pernah lagi menghubungi ataupun datang menemui setelah pertengkaran hebat kami.Waktu itu sempat terucap perkataan yang sangat menyakitinya dari mulut ini. Itu karena aku sudah muak dengan dia yang selalu menggunakan air mata sebagai senjata agar diriku iba.Menjauhlah selamanya dari kehidupanku! Mati pun aku enggak peduli! Mengejar-ngejar cintamu adalah hal terbodoh yang pernah kulakukan dalam hidup! Kalau waktu bisa diputar ulang dan boleh meminta, aku berharap tidak pernah mengenalmu apalagi jatuh cinta!Kuhela napas panjang dengan wajah menengadah menatap langit sore di taman. Mendekati sidang terakhir, tiga har
"Nur?""Masuk, Bu!" sahutku yang tengah menyusui Alan di kamar.Ibu tersenyum seraya berjalan mendekat, lalu duduk di tepian ranjang."Bapak barusan telepon katanya sebentar lagi sampai. Kita diminta siap-siap.""Iya, Bu. Habis kasih Asi Alan aku langsung siap-siap.""Ya sudah. Ibu mau bereskan yang lainnya dulu kalau gitu," ujarnya, kemudian pergi lagi keluar kamar.Sudah waktunya untukku kembali setelah cukup lama tinggal dalam pengasingan. Aku suka tinggal di sini walau hanya mengontrak rumah kecil. Apalagi tempatnya dekat dengan pantai. Hanya saja, sebagus apa pun pemandangan di sini, aku tetap lebih betah tinggal di desa sendiri. Begitu juga dengan Ibu dan Bapak. Mereka pun pasti rindu tinggal di rumah sederhana kami.Setengah tahun sudah berlalu dari sejak akta perceraian berhasil dikantongi. Selama itu pula aku ingkar janji terhadap Mas Aldi. Aku pernah berkata akan langsung mempertemukannya dengan Alan jika dia setuju bercerai, dan Mas Aldi pun menuruti permintaan itu.Hanya s
Usai kepergiannya, Bapak pun melanjutkan obrolan bersama beberapa tetangga, sedangkan aku memilih diam dan menyimak saja."Dokter Widi baik sekali, ya, Pak Dedi. Dia enggak segan bantuin siapa saja," puji Pak Chandra."Iya. Dokter Widi memang cocok jadi pria idaman para wanita single di kampung kita ini," timpal Bu Tini."Betul. Tapi sayangnya satu pun dari mereka enggak ada yang direspon. Mungkin Dokter Widi sudah punya wanita yang ditaksir." Pak Tatan ikut bersuara."Dokter Widi 'kan dekat banget sama keluarga Pak Dedi. Apa jangan-jangan ... dia teh diam-diam naksir Nurma, ya?"Aku yang tengah minum pun sontak tersedak karena mendengar perkataan Pak Aji tersebut."Pelan-pelan, Nur." Ibu dengan cepat menyodorkan tisu padaku."Ah, Pak Aji mah ada-ada saja. Dokter Widi mah memang baik pada semua orang, bukan hanya pada keluarg