Aku menangis tanpa suara sampai dada terasa sesak. Tak pernah aku secengeng ini apalagi menunjukkannya di hadapan orang lain."Kamu enggak tahu, gimana sakit dan terlukanya hati seorang ayah melihat putri kesayangan terus menerus disakiti pria yang dicintainya. Kamu enggak tahu, gimana memilukannya tangisan Pak Dedi di depanku. Aku bahkan ikut merasakan sakit hatinya saat melihat beliau menangis sesenggukan.""Mungkin beliau terlihat garang dan kuat di hadapanmu atau orang lain. Tapi di belakang ... beliau rapuh. Rapuh saat melihat putri satu-satunya selalu bersedih karena ulah suaminya. Nurmalah kelemahan Pak Dedi. Kamu enggak hanya menghancurkan hati Nurma, tapi hati satu keluarga. Kepercayaan yang sudah mereka berikan malah kamu anggap lelucon."
Sepulangnya dari desa, aku tak keluar kamar sama sekali walau Papa Mama berganti-gantian memanggil. Aku belum siap menjelaskan pokok utama masalah ini yang menyebabkan Nurma dan orangtuanya pergi entah ke mana.Jika Papa tahu, sudah pasti aku akan habis dimarahinya. Dulu mungkin Papa masih bisa sabar dan tenang. Akan tetapi, masalah kali ini berbeda karena kebodohanku menyebabkan nyawa anak dan istri dalam bahaya.Nomor baru Bapak yang diberikan Dokter Widi pun malah ikut tidak aktif ketika kembali coba kuhubungi.Kenapa jadi serumit ini? Apa yang harus kukatakan? Haruskah aku memberikan alasan lain pada Mama Papa?Kuhabiskan waktu siang dengan duduk termenung memandangi fotoku bersama Nurma dan bayi kami. Membuat air mata tak terasa kembali menetes dan jatuh di atas foto yang sedang kupegang. Rasanya ternyata seperih dan sesakit ini.Ketika hati mulai terpatri namanya, Nurma malah pergi mencampakkanku. Ketika cinta ini mulai tumbuh subur, pun hati selalu berbunga-bunga hanya dengan m
"Dua-duanya," sahutnya masih dengen kekehan kecil. "Gimana istrimu? Ada?"Kuhela napas panjang, lalu menggeleng. "Dia enggak ada di sana. Aku juga bingung harus cari ke mana lagi. Enggak ada petunjuk. Tetangga di sana itu, tahunya bapak mertua pergi main ke sini.""Memangnya kalian lagi ada masalah apa? Perasaan aku lihat kamu senang-senang aja.Malahan kayak orang gila kalau di kerjaan senyum-senyum sendiri sambil lihatin fotonya. Berantem?"Aku membisu."Eum, udah pasti ada sesuatu kalau diam begini. Enggak mungkin Nurma sampai dibawa pergi orangtuanya kalau enggak ada masalah serius. Cerita aja, Di! Siapa tahu aku bisa bantu.""Thanks, Ran. Tapi biar aku selesaikan masalah ini sendiri.""Okelah, enggak masalah. Aku bantu doa aja sem
Aku terlonjak kaget ketika meja digebrak dengan kencang."Papa ... jangan ngagetin gitu, dong." Mama yang tak kalah terkejutnya denganku menatap Papa sambil mengusap dada."Kamu jangan menguji kesabaran Papa! Dari tadi mamamu sudah tanya berkali-kali, tapi kamu cuma diam! Kenapa? Mendadak bisu?" sergah Papa."Pah, tenang dulu, Pah. Jangan marah-marah begitu, ah." Mama menarik lengan Papa yang berdiri agar kembali duduk."Anakmu ini kayak bukan laki-laki saja! Kalau memang kamu punya salah, bilang terus terang! Biar kita cari jalan keluarnya sama-sama! Jangan cuma diam dan jadi pengecut!""Iya, Pah. Aku salah. Akulah yang bertanggung jawab atas kepergian Nurma dan orangtuanya," jawabku dengan menatap sendu Papa, lalu menunduk lagi karena tak tahan dengan tatapan tajamnya."Nurma ...." Aku menjeda ucapan. Mengepalkan tangan kuat saat hati ini kembali terasa seperti diremas-remas seiring mata yang mulai terasa menghangat. "Nurma pergi karena marah dan kecewa padaku, Pah.""Memangnya kamu
Papa malah tertawa mendengar penuturanku tersebut."Kamu dengar apa kata anakmu barusan, Ma? Karena ada Bapak dan ibunya, dia jadi bisa santai dan tenang." Papa kembali tertawa. Tawa yang jelas-jelas terdengar dipaksakan."Harusnya kamu pakai nalarmu, Di." Kali ini Mama ikut menceramahiku. "Biarpun Nurma ada orangtuanya, tapi kamu suaminya. Kamu yang wajib bertanggung jawab penuh atas dia! Kalau kamu niat bantuin si Lidya itu, kamu enggak perlu repot-repot antar dia ke rumah sakit. Cukup panggilin taksi. Di rumah sakit pasti banyak yang mau nolongin, kok. Pendek sekali jalan pikiranmu itu! Emangnya si Lidya itu enggak punya hape? Dia 'kan bisa telepon keluarga atau orangtuanya," cecar Mama panjang lebar."Aku enggak kepikira
Waktu demi waktu kulalui dengan kehampaan. Sudah lebih satu bulan aku memeluk sepi di rumah ini. Tak ada obrolan, canda tawa apalagi tangisan bayi. Sunyi. Hidupku bagai tak berarti lagi. Tak ada semangat. Semua seolah ikut terenggut sejak kepergian Nurma dengan membawa serta bayi kami.Kepergiannya benar-benar berpengaruh besar. Aku sampai tidak bisa fokus dengan pekerjaan hingga seringkali dipanggil atasan karena salah membuat laporan. Bahkan aku sempat dituduh menggelapkan uang karena jumlah laporan yang jauh berbeda. Syukurlah, itu hanya karena keteledoran saja dalam bekerja hingga bisa terbukti dengan jelas diri ini tak bersalah.Mengenai tebakan Papa saat memarahiku dulu, hal itu benar-benar terjadi. Surat panggilan persidangan cerai benar-benar datang ke rumah. Seminggu yang lalu, dengan semangatnya aku hadir di sana. Berharap bisa bertemu Nurma dan bayi kami. Membujuknya untuk ikut pulang dan membatalkan gugatan.Sayangnya, semua tak sesuai harapan. Ternyata Nurma diwakilkan pe
Kuhela napas panjang seraya mengusap wajah. Mama memang sering kali menginap di rumah untuk menemaniku. Berbeda dengan Papa yang satu kali pun belum pernah menunjukkan batang hidungnya lagi. Papa benar-benar marah. Sampai-sampai saat aku datang menemuinya untuk minta maaf lagi pun, dia tak acuh."Ya kenapa enggak langsung pulang aja? Kenapa juga malah ke sini?""Aku butuh teman ngobrol, Mas. Ada yang mau aku omongin juga sama kamu.""Udah cukup dua minggu yang lalu aku dipukul suamimu karena kita ketemuan, Lid. Dia mikirnya kita ada hubungan spesial. Mendingan kamu curhat ke teman cewek atau orangtuamu aja, deh. Aku enggak mau suamimu salah paham lagi. Kalian baru aja baikkan bukannya?""Itulah masalahnya, Mas. Mas Adrian enggak jadi narik surat gugatan cerai itu.""Ya kamu bicarain lagi aja sama dia dan orangtuamu, Lid. Jangan sama aku terus. Kamu mau aku dipukuli l
Bapak menoleh kaget, tapi langsung kembali memasang raut wajah dinginnya. Dia hendak pergi, tapi aku dengan cepat menghalangi langkah."Di mana Nurma, Pak? Di mana anak dan istriku?" tanyaku tanpa basa-basi. Menatap penuh harap pada Bapak agar dia buka mulut.Sayangnya, yang kudapatkan dari Bapak malah seringaian sinis."Bukan urusanmu. Minggir!""Jelas itu urusanku, Pak. Aku suaminya!" Aku kembali menghalangi Bapak yang hendak memaksa pergi."Suami? Kamu sebut dirimu suami? Nggak pantas!" desisnya dengan tatapan tajam."Bapak ...." Aku memegangi lengannya dengan tatapan memelas. "Kumohon ... beritahu di mana Nurma dan Alan. Aku merindukan mereka, Pak." Tak terasa air mataku menetes begitu saja."Lepasin!" Tanganku ditepis kasar. "Bapak enggak akan kasih tahu di mana mereka berada sampai kapan pun! Apa kamu sadar apa yang sudah kamu lakukan pada anak bapak, huh?" Telunjuknya yang gemetar mengarah tepat kepadaku. Rahangnya mengeras dengan wajah agak memerah, terlihat jelas ada amarah b