Kutinggalkan Mas Aldi yang melanjutkan makan sendirian. Sementara, aku memilih menemui Ibu di kamarnya."Masuk, Nur!" sahut Ibu saat aku memanggil seraya mengetuk pintu."Ibu belum tidur?" tanyaku setelah masuk dan menutup pintunya kembali."Belum. Sini." Ibu menepuk-nepuk pahanya.Aku tersenyum, lalu mempercepat langkah. Naik ke ranjang dan berbaring dengan kepalaku yang berada di pangkuannya."Kalian berantem lagi? Suara Aldi yang manggilin kamu sampai kedengeran ke sini, lho," kata Ibu seraya mengusap-usap rambutku."Enggak, Bu. Tapi barusan Mas Aldi udah bikin aku kesel.""Memangnya Aldi ngapain kamu?""Tadi 'kan Bapak telepon, Bu. Tapi pakai hapenya Dokter Widi. Kata Bapak, hape jadulnya itu lagi diservis dulu. Terus, aku disuruh kabarin ke nomornya Dokter Widi aja kalau ada apa-apa untuk sementara w
Sudah satu hari Bapak tinggal bersama kami. Rencananya akan datang seminggu lagi, tapi nyatanya dipercepat karena khawatir tak bisa ikut menjadi saksi proses kelahiran cucunya."Wah, lihat masakan Ibu aku jadi tambah lapar," pujiku seraya mendekati Ibu dan Bapak yang sudah lebih dulu duduk di meja makan."Memang ibu sengaja masakin ini buat kamu. Ayo makan." Ibu tersenyum.Aku mengangguk, lalu menarik satu kursi dan duduk."Aldi pulang malam lagi, Nur?" tanya Ibu saat aku sedang menyendokkan lauk ke piring."Iya, Bu. Tadi sore udah ngabarin dulu. Kayak biasa. Paling jam delapan atau jam sembilanan pulangnya.""Akhir-akhir ini Aldi sering sekali lembur, Nur," ujar Ibu lagi.Aku hanya tersenyum, lalu mulai menikmati makan malam tanpa memberikan tanggapan atas perkataannya barusan.Hampir seminggu ini, Mas Aldi selalu sibuk dengan pekerjaannya. Hampir setiap hari juga pulang telat karena lembur yang dibebankan perusahaan. Dia memang tak pernah lupa memberikan perhatian melalui pesan yang
"Mas sendiri kenapa belum tidur?" Aku balik bertanya tanpa mengalihkan pandangan dari langit-langit kamar.Mas Aldi tak menjawab. Hanya semakin mengeratkan pelukan seraya menenggelamkan wajahnya di ceruk leherku."Mas kenapa?" Aku memberanikan diri bertanya lagi."Kenapa apanya?" Dia balik bertanya pelan."Mas lagi ada masalah apa? Kalau ada masalah itu cerita sama aku, Mas. Jangan dipendam sendiri. Siapa tahu dengan cerita, bisa buat hati Mas sedikit lega." Aku mengubah posisi tidur menghadapnya."Enggak ada. Cuma masalah kerjaan di kantor, Dek. Laporan banyak yang salah," jawabnya seraya mengusap kepalaku."Tapi ...." Aku diam, ragu untuk melanjutkan ucapan.Aku tersenyum menatap wajah lelah itu. Walau dia tak mengatakannya, tapi sorot mata itu menyiratkan ada beban dan rasa sakit. Senyuman manis tak berhasil menyembunyikan
~POV Author~"Bapak! Itu Aldi, Pak! Itu Aldi!""Mana?" tanyanya seraya spontan melihat ke luar jendela. "Anak kurang ajar!" Ayah Nurma hendak keluar dari mobil, tapi sepeda motor Aldi sudah lebih dulu melaju karena kemacetan mulai terurai."Sudah, Pak. Biarkan saja. Kita bisa urus anak itu belakangan. Sekarang kita harus secepatnya sampai di rumah sakit. Keselamatan Nurma dan bayinya lebih penting," ujar istrinya.Dengan amarah yang masih menyelimuti, ayahnya Nurma kembali menutup pintu, dan mobil pun melaju dengan cepat membelah jalanan. Menyalip setiap kendaraan yang menghalangi jalan. Bahkan tak jarang klakson dibunyikan berulang-ulang untuk memberikan peringatan bagi kendaraan yang menghambat."Ya Allah, Aldi," lirih ibunya Nurma seraya terus menenangkan anaknya yang menangis tergugu. "Tenang, Nur. Enggak usah pikirin apa-apa dulu, ya. Nanti tensi kamu bisa naik drastis.""Ibu, sih, dari dulu belain si Aldi terus! Sudah bapak bilang kalau anak itu enggak bener! Dari awal bapak eng
Menyadari ada kemarahan di sana, Aldi tak lagi bertanya apa pun. Dia memilih diam dengan maksud tak ingin membuat mertuanya semakin marah.Beberapa menit setelah kedatangan Aldi, kedua orangtuanya juga menyusul ke rumah sakit. Mereka tak kalah kaget dan khawatir, juga bertanya tentang penyebab Nurma harus di-caesar. Hanya saja, hasilnya tetap sama. Tak ada yang memberikan jawaban. Sikap kedua orangtua Nurma sangat dingin dan terus diam seribu bahasa.Kabar baik tentang selamatnya sang bayi membuat mereka semua serempak mengucap syukur. Hanya saja, kabar lain yang diberitahukan dokter justru membuat mereka syok. Tak ayal, raung tangis dari ibunya Nurma dan mama mertuanya pun tak bisa ditahan lagi mendengar kabar tersebut.Sementara, Aldi merasa kedua tungkai kakinya mendadak terasa lemas. Dia mundur perlahan seraya berpegangan ke dinding agar tidak jatuh. Dia senang atas kelahiran bayinya, tapi juga sedih dan
Mendengar suaraku, Dokter Widi yang sedang mengobrol dengan dokter yang menangani Nurma pun menoleh. Dia tersenyum ramah. Sementara, Dokter yang menangani Nurma pergi setelah berpamitan padanya."Suaminya Nurma?" tanyanya dengan senyum.Sok asik! Benar-benar menyebalkan!"Iya," jawabku dingin."Saya Widi." Pria itu mengulurkan tangan. "Saya sudah cukup kenal dekat dengan keluarga Nurma."Siapa juga yang tanya? Sok akrab!"Saya ....""Enggak perlu dijelasin lagi. Aku sudah tahu itu semua!" tukasku ketus seraya menutup pintu ruangan Nurma."Oh, ya?" Dokter Widi masih tersenyum ramah. "Saya sudah mendengar tentangmu juga. Tapi kita belum pernah bertemu langsung." Tangan Dokter Widi masih tetap terulur, tapi aku tak berniat menyambutnya sama sekali.Dengan senyuman canggung, pria bermata coklat itu kembali menarik tangan saat menyadari aku tak menyambut baik, dan malah melipat kedua tangan di dada seraya bersandar di pintu."Mau apa Anda ke sini?" tanyaku menatapnya curiga. Sengaja kuteka
Bukan kebahagiaan sempurna yang kuberikan, justru beberapa waktu lalu hati ini sempat kembali goyah setelah pertemuanku dengan Lidya. Aku terpaksa kembali berbohong pada Nurma tentang kami yang sering membuat janji dan bertemu diam-diam. Bukan untuk mengenang masa lalu, tapi untuk mendengarkan curhatannya yang sedang sedih karena tengah bermasalah dengan Adrian.Saat itu, kuakui perasaan ini kembali terbagi karena seringnya kami menghabiskan waktu berdua. Hanya saja, aku kembali tertampar pada kenyataan setelah melihat Nurma menangis diam-diam.Suatu malam, mata ini terbuka karena rasa haus yang mendera. Tanpa sengaja, aku melihat Nurma sedang menangis di atas sajadahnya. Kuputuskan untuk tetap berpura-pura tidur. Hingga akhirnya, hati ini seperti diremas-remas saat mendengar dia mendoakan segala kebaikan untukku, bukan untuk dirinya.Barulah aku tahu bahwa sebenarnya Nurma sudah sadar tentang hati ini yang
"Bicara soal apa?" tanyaku penasaran."Tolong panggilin," pintanya lagi."Ya udah. Mas panggil Bapak dan Ibu dulu kalau gitu," kataku seraya mengusap pipi bayi yang masih meminum ASI itu dengan punggung telunjuk."Makasih, ya, Mas. Maaf nyuruh-nyuruh.""Apa, sih, Dek? Orang cuma panggilin Bapak doang. Kenapa harus minta maaf segala?" Aku tertawa kecil seraya bangkit berdiri. "Bentar, ya. Kayaknya Bapak tadi pergi ke kantin sama Ibu."Nurma mengangguk dan tersenyum tipis.Aku pun sama. Senyum ini mengembang melihat wajahnya semakin hari semakin terlihat lebih cerah. Tak seperti saat dia masih berada di antara hidup dan mati. Pucat, dan itu membuatku takut. Takut mata itu tertutup selamanya.Aku berjalan cepat menuju kantin untuk mencari keberadaan Ibu dan Bapak. Namun, belum terlalu jauh kaki ini melangkah, sosok keduanya sudah lebih dulu muncul. Bapak dan Ibu mendekat padaku dengan membawa satu kantong plastik putih."Baru aja aku mau cari Bapak sama Ibu," kataku saat melihat keduanya
Aku dan Mas Widi sontak terdiam. Saling melempar pandang, lalu cekikikan bersama saat mendengar Mama berseru dari luar kamar. Memang selama tiga hari ke depan, Mama Papa akan menginap di sini. Baru siang tadi keduanya datang."Mas, sih!" Aku melepaskan diri, lalu mencubit pinggangnya dengan gemas hingga gantian dia yang menggeliat geli."Kamu duluan yang mulai," balasnya tak mau kalah. "Pokoknya kamu masih utang ciuman plus bonusnya. Ayo sini!" Dia menarikku menuju ranjang."Aduh-aduh ... aku kebelet, Mas. Mau ke kamar mandi dulu.""Kamu pikir mas percaya?" Dia malah tertawa dan terus menarikku. Hingga akhirnya, tubuh ini sudah berada dalam kendalinya tanpa bisa aku melawan.🌺🌺🌺Hari yang ditunggu pun tiba. Sebenarnya meminta jalan-jalan hanyalah alasan semata. Ada kejutan yang ingin kuberikan biarpun ini lebih cepat satu minggu dari hari ulan
"Eungh." Aku bergumam pelan, menggeliat malas saat merasakan sentuhan lembut beberapa kali di pipi.Tanpa mengindahkan sentuhan itu, aku malah semakin merapatkan selimut dan memeluk guling erat. Cukup lama menghabiskan waktu bersama Mas Widi tadi, membuat mata ini enggan untuk terbuka.Namun, lagi-lagi tidurku terganggu dan bergidik geli ketika merasakan tiupan di dekat telinga."Bangun, Sayang," bisiknya lembut.Aku berbalik, mengucek mata yang masih terasa lengket dan mendapati Mas Widi sedang duduk di tepi ranjang sambil tersenyum. Senyum manis dengan kedua tangannya memegang kue ulang tahun berukuran kecil tanpa lilin."Mas ...." Aku beranjak bangun, lalu duduk bersandar kepala ranjang."Memilikimu adalah hal terbaik yang enggak akan rela mas tukar dengan apa pun. Terima kasih sudah menjadi duniaku, Istriku Sayang. Selamat ulang tahun."
"Rumah ini 'kan kosong. Kok, rapi dan bersih, Mas?" tanyaku seraya duduk di tepi ranjang. Sementara, Mas Widi tengah berbaring miring sembari menepuk-nepuk pantat Alan yang sempat terbangun dari tidurnya."Kan, seminggu sekali ada yang bersihin, Sayang. Aku udah bayar orang untuk merawat rumah ini. Kalau enggak begitu, nanti lama-lama rumahnya bisa hancur dan rusak.""Ooh." Aku mengangguk paham."Kamu kalau mau buat sesuatu bisa langsung ke dapur, Sayang. Mas udah minta tolong sama yang merawat rumah ini supaya siapin kebutuhan dari dua hari yang lalu.""Iyakah?"
"Papa, janais.""Apa katanya, Nur?" tanya Mama."Papa jangan nangis katanya, Ma," jelasku."Enggak. Papa ... papa enggak nangis, kok." Mas Aldi tersenyum, tapi air matanya masih belum bisa berhenti menetes di pipi."Alan sayang Papa?" tanya Mama seraya mengusap kepalanya."Cayang," jawabnya dengan riang. "Papa uwa," imbuhnya sembari mengangkat jari-jari mungilnya, lalu menatap Mas Widi yang berdiri di samping Mas Aldi."Iya, papa Alan ada dua," kataku seraya
"Masuklah," ucap Mama pelan.Aku mengangguk, lalu membuka pintu kamar Mas Aldi dengan hati-hati. Melihatnya duduk termenung di dekat jendela membuat tubuh ini meremang. Aku sungguh tak tega hingga harus berhenti melangkah lagi saat air mata ini tak mampu ditahan."Ma," panggil Mas Aldi. "Aku lupa simpan foto Alan di mana. Bisa Mama bantu aku cariin fotonya?"Ya Allah ....Aku membekap mulut, lalu kembali melangkah dengan Mas Widi yang merangkul bahu ini. Seolah paham, Alan pun hanya diam saja ketika kuisyaratkan agar tidak bersuara."Ma," panggilnya lagi.Aku mengangguk. Memberi isyarat pada Mas Widi agar mendekatkan Alan padanya."Ma, foto Al ...." Mas Aldi seketika membeku saat tangan mungil Alan menyentuh pipinya yang sudah ditumbuhi jambang. Begitu pun ketika Alan sudah didudukkan di pangkuan. Mas Aldi masih terpaku, tapi matanya berembun."Papa?" panggil Alan dengan suara khas anak kecil.Air mata Mas Aldi seketika bercucuran dengan tangannya yang bergerak perlahan menyusuri tubu
Aku kembali terisak di pelukan Mas Widi ketika pintu kamar itu sudah tertutup rapat."Aku ... aku berdosa, Mas," lirihku dengan hati yang berdenyut nyeri. "Aku berdosa karena sudah berburuk sangka sama Mas Aldi. Aku ... aku ....""Ssstt." Mas Widi mengusap kepalaku dan mengeratkan dekapannya. "Kamu enggak sepenuhnya salah. Kalau saja Aldi jujur, kamu atau siapa pun juga pasti enggak akan berpikir negatif.""Aku harus tanya Mama. Aku mau tahu kenapa Mas Aldi bisa seperti itu," lirihku seraya mengurai pelukan.Mas Widi mengusap lembut air mataku dengan kedua ibu jarinya. "Kita akan tanyakan
Mama sehat, kan?" tanyaku seraya mengurai pelukan."Alhamdulillah mama sehat," jawabnya seraya menyeka air mata. "Maaf mama sama Papa enggak bisa datang ke pernikahan kalian," sesalnya seraya menatapku dan Mas Widi bergantian."Enggak apa-apa, Ma. Doa Mama dan Papa juga udah cukup."Mama tersenyum, lalu beralih menatap Alan di pangkuan Mas Widi."Alan ... cucu Nenek." Air matanya kembali menetes."Aaah." Alan merengek dan langsung melingkarkan kedua tangannya di leher Mas Widi ketika Mama hendak menggendong
"Cari siapa?" tanyanya sedikit ketus."Maaf, kami mencari Aldi. Dia tinggal di sini," jawab Mas Widi."Aldi? Aldi siapa?" Wanita itu malah terlihat bingung mendengar nama itu disebutkan.Kami saling melempar pandang, lalu kembali menatap wanita berkulit sawo matang itu."Mas Aldi yang punya rumah ini, Mbak," kataku."Pemilik rumah ini? Enak saja kalau bicara. Rumah ini punya suamiku!" sergahnya tidak terima."Boleh kami bicara dengan suaminya, Mbak?" tanya Mas Widi tenang."Sebentar," sahutnya ketus. "Mas! Mas Fikri!" Wanita itu berteriak kencang dan tak lama kemudian, muncul pria paruh baya dengan perutnya yang sedikit buncit."Ada apa, sih, Ma, teriak-teriak segala?""Nih, ada yang mau ketemu. Katanya mereka ini nyariin Aldi pemilik rumah ini. Lha, kan ini rumah milik Mas Fikri.""Aldi?" Pria bernama Fikri itu terlihat berpikir sejenak, lalu kembali menatap kami. "Oh, Aldi pemilik rumah ini sebelum kami, ya?"Pemilik sebelumnya?"Maksudnya?" tanyaku bingung."Iya. Rumah ini sudah sa
"Hari ini ke klinik atau masih gantiin teman Mas di rumah sakit?" tanyaku seraya menyendokkan nasi ke piringnya."Enggak dua-duanya," sahutnya, lalu meneguk sedikit air putih."Kok?""Iya, hari ini mas libur. Mas ambil cuti tiga hari ke depan.""Terus, yang tugas di klinik?" tanyaku seraya menarik satu kursi di sampingnya, lalu duduk."Ada teman yang gantiin jaga.""Ooh." Aku mengangguk paham, lalu menyendokkan nasi ke piring