"Bapak ...."
Bapak melanglah lebar mendekati kami, lalu berdiri tepat di hadapanku yang menunduk takut.
"Benar semua yang bapak dengar tadi, Nurma? Benar Aldi sering menyakitimu?"
Aku mengangguk pelan.
"Mana foto bukti-buktinya? Bapak mau lihat."
Kuletakkan ponselku di telapak tangan Bapak yang menengadah. Aku dan Ibu saling melempar pandang melihat Bapak yang begitu serius melihat satu per satu foto di ponsel.
"Benar Aldi melakukan ini? Dia sudah ngaku?"
"Sudah, Pak," jawabku pelan.
Bapak menghela napas berat, lalu mengembalikan ponsel itu padaku.
"Kenapa kamu enggak cerita dari dulu sama Bapak dan Ibu? Kenapa baru sekarang kamu terbuka?"
"Dulu aku berharap Mas Aldi akan berubah, Pak. Aku tulus cinta, tapi Mas Aldi enggak. Kepercayaan dan cinta dariku enggak bisa mengubahnya kalau Mas Aldi sendiri enggak ada niat ke sana. Dia sengaja mengejar-ngejar mantannya terus, Pak."
"Sekarang, mau kamu apa?" Bapak berjongkok di hadapanku dan berkata lembut.
Aku menunduk dan terisak dengan Ibu yang terus mengusap lembut punggungku.
"Aku mau pisah saja, Pak. Aku enggak kuat," lirihku, menatap penuh harap pada Bapak.
"Apa enggak bisa dibicarakan baik-baik lagi, Nur? Kasihan bayi kamu pas lahir kalau enggak ada papanya." Ibu masih berusaha membujukku agar mengubah keputusan.
"Bercerai bukan berarti musuhan, Bu. Aku enggak akan halangin Mas Aldi menemui anak kami. Itu juga kalau memang Mas Aldi mau ketemu."
"Ya sudah pasti mau. Kenapa bicara begitu? Enggak baik," tegur Ibu.
"Kamu sudah yakin?" tanya Bapak memastikan.
Aku mengangguk seraya menyeka air mata.
"Pak, jangan gegabah ambil keputusan. Nurma itu sedang emosi dan sakit hati. Kita sebagai orangtuanya jangan gampang setuju gitu aja. Kasihan juga dengan bayinya kalau mereka bercerai."
"Bu, bapak bukannya mendukung perceraian ini. Bapak juga enggak mau mereka pisah. Tapi coba Ibu pikir, Nurma bahagia enggak kalau kita paksa bertahan? Gimana kalau dia tertekan dan malah depresi? Apalagi dalam keadaan hamil besar begini," debat Bapak seraya menggenggam satu tanganku. "Ibu, kan, perempuan juga. Perempuan yang melahirkan putri kita satu-satunya ini. Jadi, bapak yakin Ibu lebih mengerti perasaan Nurma dibanding bapak."
"Iya, sih, Pak. Ibu ngerti. Tapi ...."
"Apa Ibu enggak sayang dengan Nurma? Bukan cuma kesehatan fisik, tapi kesehatan mental Nurma juga penting. Bapak enggak mau anak kita tertekan terus sampai depresi. Ibu mau, berita ngeri di TV kejadian sama anak kita?"
"Ya enggaklah, Pak! Kok, Bapak ngomongnya gitu, sih?" Ibu tak terima.
Bapak menghela napas berat, lalu berpindah duduk di sebelah kiriku.
"Nur, bapak memang enggak suka dengan perceraian. Semua orangtua juga pasti berharap rumah tangga anaknya baik-baik saja dan langgeng. Tapi kalau pernikahan itu enggak buat kamu bahagia dan malah buat kamu menderita, bapak ikhlas. Bapak akan dukung kamu karena bapak sayang kamu. Kamu anak bapak satu-satunya," terang Bapak seraya mengusap kepalaku dengan lembut.
"Terima kasih, Pak. Terima kasih," ucapku dengan bergetar dan deraian air mata.
"Sudah, jangan nangis!" Bapak merangkul bahu, menyandarkan kepalaku di bahunya seraya mengusap lembut. "Bapak ikut sakit hati lihat kamu nangis begitu. Takutnya nanti bapak malah enggak bisa nahan emosi sama Aldi. Bapak enggak rela anak yang sudah bapak jaga baik-baik dari kecil malah disakitin begini."
"Bapak ...." Aku memeluk erat Bapak. Terharu dengan ucapannya.
"Nur ...." Ibu menyentuh punggungku.
Aku mengurai pelukan, menoleh kembali pada Ibu.
"Ibu minta maaf, ya," ucapnya seraya mengusap air mataku dengan lembut. Ada embun menggenang di kedua pelupuk matanya. "Ibu enggak bermaksud buat maksa kamu. Ibu memang enggak mau kalian bercerai, tapi bukan berarti ibu juga mau putri ibu menderita. Ibu juga sayang kamu, Nur. Sama seperti Bapak, ibu akan mendukung apa pun keputusannya kalau itu bisa buat kamu bahagia."
"Makasih, Bu. Makasih."
Ibu memeluk erat dan mengusap-usap punggung ini sambil menangis. Aku tahu, dalam kegagalan pernikahan ini bukan hanya hatiku yang terluka, tapi juga orangtua.
"Maafin aku, Bu. Aku gagal. Aku enggak bisa seperti Ibu dan Bapak yang langgeng sampai tua."
"Ssshh." Ibu mengusap lembut rambutku. "Bukan salah kamu, Nak. Lagipula, perceraian bukan akhir segalanya. Bukan berarti juga kamu gagal. Siapa tahu, justru kebahagian datang padamu setelah ini," ujar Ibu seraya mengurai pelukan, kembali mengusap air mataku.
"Sudah, ya. Jangan nangis lagi! Kalau kamu memang yakin mau berpisah, kamu harus kuat. Jangan cengeng! Kalau cengeng, nanti Aldi malah ngiranya kamu enggak sungguh-sungguh. Lagian, tuh, lihat muka Bapak kamu yang sudah tegang begitu. Nanti tahu-tahu ngamuk ke Aldi karena sudah buat kamu nangis terus, kan, repot." Ibu menunjuk Bapak dengan bibirnya.
Aku tertawa kecil seraya mengucek mata.
"Bapak tanya sekali lagi. Kamu yakin mau pisah, Nur?"
Aku menoleh pada Bapak, lalu mengangguk yakin.
"Ya sudah. Nanti kita bicarakan ini dengan orangtuanya Aldi. Kalian menikah baik-baik, pisah pun harus baik-baik juga. Enggak usah ada musuh-musuhan apalagi sampai rebutan anak."
"Iya, Pak."
🌺🌺🌺
Pukul setengah tiga sore, kedua orangtua Mas Aldi datang. Bapak dan Ibu tetap menyambut mereka dengan hangat dan ramah. Mereka sempat kaget juga, tidak menyangka jika ternyata besannya ada di rumah ini. Meskipun begitu, rasa kaget itu tak lama berganti dengan tawa senang.
"Assalamu'alaikum."
Kami yang tengah berbincang santai di ruang TV pun serempak menoleh dan menjawab salam. Mas Aldi berjalan mendekat dengan raut wajah bingungnya. Dia pasti tidak menyangka kedua orangtua dan mertuanya bisa ada di sini.
Mengabaikan tatapan penuh tanyanya, aku meraih dan mencium tangan Mas Aldi.
"Kapan datang, Ma?" Mas Aldi mencium tangan kedua orangtuanya, lalu orangtuaku.
"Tadi siang, Di," jawab Mama.
"Aku buatkan Mas Aldi kopi dulu, ya, Bu."
Ibu tersenyum dan mengangguk.
Tanpa menatap Mas Aldi, aku berlalu menuju dapur. Masih terdengar mereka berbicara perihal kedatangannya yang mendadak. Hingga tak lama kemudian, aku terkesiap ketika Mas Aldi menarik tanganku yang sedang mengaduk kopi.
"Mas, sakit," keluhku sedikit meringis.
"Maaf, maaf." Dia segera melepaskan cekalannya. "Benar kamu yang undang orangtua kita?"
"Iya," jawabku santai.
Mas Aldi terdiam dengan rahangnya yang terlihat mengatup keras.
"Ikut Mas! Kita harus bicara." Tanpa menunggu respon, Mas Aldi langsung menarikku menuju kamar.
Kedua orangtua kami menoleh serempak melihatku dan Mas Aldi melewati mereka. Mama dan Papa tersenyum, tapi tidak dengan kedua orangtuaku.
"Sebentar, ya. Ada yang mau aku bicarain dulu sama Nurma," pamit Mas Aldi.
"Lama juga enggak apa-apa, Di," kelakar Papa sambil tertawa yang langsung mendapat cubitan dari Mama.
Mas Aldi mendorongku pelan dan langsung mengunci pintu kamar yang sudah sempat dibetulkan Bapak dan Papa mertua tadi. Menuntun kembali dan mendudukkanku di tepi ranjang.
"Kamu serius yang ngundang mereka?" Dia mengulang pertanyaan yang sama.
"Iya," jawabku lagi dengan santai.
"Buat apa?" Kening Mas Aldi berkerut dalam.
"Buat bantu menyelesaikan masalah kita, Mas. Buat jadi saksi saat jatuh kata talak dari Mas."
"Talak?" Kedua alis tebalnya saling bertautan. "Apaan, sih, Dek? Kok, kamu sampai mikir jauh ke situ? Mas 'kan sudah bilang kalau mas enggak akan ceraikan kamu!"
"Tapi aku mau kita tetap bercerai," tegasku.
"Cerai, cerai, cerai! Gampang banget kamu ngomong cerai! Masalah kecil gini saja kamu besar-besarin!"
"Masalah kecil?" Aku tertawa miris. "Buat Mas mungkin ini masalah kecil, tapi buat aku enggak! Sadar enggak, sih, Mas? Mas sudah zina hati dan pikiran karena membayangkan wanita lain saat menggauliku!" ujarku, pelan tapi penuh penekanan.
Mas Aldi menghela napas berat, lalu berjongkok seraya meraih kedua tangan ini. Menggenggam erat walau aku berusaha melepaskannya.
"Dek ... yang semalam Mas ucapin itu enggak serius. Mas hanya kesal saja karena kamu nuduh begitu. Mana mungkin mas bayangin wanita lain saat kita berhubungan?"
"Mas pikir aku percaya?" Aku tersenyum sinis.
Mas Aldi menunduk dengan helaan napas beratnya, lalu kembali menatapku sendu.
"Iya, mas akui emang pernah. Tapi itu sudah lama, Dek. Demi Allah! Mas hanya pernah beberapa kali doang, tapi habis itu enggak pernah lagi!"
"Aku tetap dengan keputusanku, Mas. Aku enggak bisa melanjutkan pernikahan kita!"
"Dek, please ...." Dia memasang raut wajah memelas. "Jangan kayak anak kecil gini! Ini bukan pacaran yang segampang itu tinggal putus dan pergi kalau ada masalah atau ribut. Coba pikirin lagi! Mas 'kan sudah minta maaf, Dek. Apa mas harus sujud dulu di kaki kamu. Iya?"
"Aku bisa maafin, tapi aku enggak mau kembali sama kamu, Mas. Aku ingin menjalani masa-masa kehamilan ini dengan tenang. Apalagi sebentar lagi aku akan melahirkan!" tegasku dengan menatap berani. "Sudah, Mas. Apa pun yang Mas lakukan dan katakan, keputusanku enggak akan berubah!"
Aku bangun dan hendak beranjak pergi, tapi Mas Aldi memaksaku duduk kembali.
"Apa lagi, sih, Mas?"
"Mas bisa marah juga kalau kamu pancing terus begini, Dek. Jangan keras kepala! Jangan buat harga diri mas jatuh di hadapan orangtua kita!" geramnya dengan tatapan tajam. Pelan, tapi ada penekanan di setiap kata. Seolah ingin mengintimidasiku sekaligus berusaha keras meredam emosinya.
"Nurma!"
Bapak! Alhamdulillah.
"Iya, Pak!" sahutku seraya berupaya menarik paksa tanganku dari genggamannya. "Lepas, Mas!"
"Ayo sini, Nur! Bapak dan Ibu mau bicara!" Bapak berbicara lantang seraya mengetuk pintu dengan lebih keras dari sebelumnya.
"Iya!" sahutku lagi.
Pada akhirnya, Mas Aldi mau melepas genggaman. Bergegas aku bangun dan menjauh, lalu berhenti dan memutar balik badan kembali sebelum mencapai pintu.
Mas Aldi tengah duduk di lantai bersandar nakas seraya menopang kepalanya dengan kedua tangan.
"Ayo, Mas! Kita selesaikan semuanya sekarang secara baik-baik," ajakku, lalu membuka pintu dan mendapati Bapak tengah menatapku khawatir.
"Kamu enggak apa-apa, Nur?" tanyanya pelan.
Aku tersenyum. "Enggak apa-apa, Pak."
"Ayo!" ajak Bapak yang langsung kujawab dengan anggukan.
Sebelum menyusul Bapak, sempat aku menoleh kembali dan mendapati Mas Aldi sudah berdiri sejajar dengan pintu dan tengah menatap ke sini.
Bukan aku yang menjatuhkan harga dirimu, Mas. Tapi justru kamulah yang sudah menjatuhkan harga diriku sebagai istri di hadapan mantanmu itu!
🌺🌺🌺
"Ada apa, Nur? Apa kalian sedang ada masalah?" tanya Mama saat aku sudah sampai di ruang keluarga bersama Bapak.Aku mengangguk."Apa ini alasan kamu meminta kami kumpul di sini?" Papa mertua ikut menimpali."Benar, Pah." Aku kembali mengangguk."Masalah apa, Nur? Aldi main kasar?" Mama terlihat khawatir."Nanti, ya, Ma, Pa. Tunggu Mas Aldi ke sini dulu," ujarku, lalu menoleh ke arah kamar. Belum ada tanda-tanda Mas Aldi keluar. Entah apa yang sedang dilakukannya sampai butuh waktu lama untuk kembali ke sini."Kenapa lama sekali Aldi di kamar? Coba panggil, Ma."Mama beranjak bangun dan hendak pergi memanggilnya, tapi batal."Itu dia," ujar Mama.Kami serempak menoleh. Mas Aldi berjalan lesu walau penampilannya sudah terlihat segar. Ternyata, Mas Aldi mandi dan mengganti pakaiannya dulu."Lama banget kamu, Di. Sudah ditungguin dari tadi juga," cicit Mama."Mandi dulu, Ma. Panas." Mas Aldi melirik ke sini, tapi aku langsung membuang muka."Duduk!" titah Papa seraya menunjuk sofa single
"Jangan dekati anak saya!" Bapak menahan tubuh Mas Aldi yang hendak mendekat padaku dengan tangannya."Pak ...." Mas Aldi berlutut di hadapan Bapak seraya memegangi satu tangannya. "Aku minta maaf. Aku mengaku salah dan menyesal. Beri aku kesempatan memperbaiki semuanya. Aku janji enggak akan menyakiti Nurma lagi," mohonnya dengan tatapan memelas. Ada air mata menetes di pipinya.Entah itu air mata buaya atau sungguhan. Aku tidak peduli."Memaafkanmu itu mudah. Tapi keputusan akhir, bapak serahkan pada Nurma. Apa pun keputusan Nurma, bapak dan Ibu akan mendukungnya asal dia tenang dan bahagia," tegas Bapak.Mas Aldi beralih menatapku. Dia bergeser mendekat karena Bapak tak lagi menahannya."Dek ... maafin mas. Tolong jangan minta cerai. Beri mas satu kali lagi kesempatan untuk memperbaiki semuanya." Mas Aldi memaksa menggenggam kedua tanganku."Enggak bisa. Aku udah telanjur sakit hati, Mas. Apa jadinya kalau suatu hari aku ketemu dengan mantanmu itu? Mau ditaruh di mana mukaku, Mas?
Kami sampai di terminal kota tempat kelahiranku ketika jam sudah lewat tengah malam. Kami duduk di halte terminal karena tak ada kendaraan umum menuju desa di jam segini."Benar kata papanya Aldi, Pak. Harusnya kita bisa tunda kepulangan ini sampai pagi. Bapak, sih, apa-apa pakai emosi dulu," gerutu Ibu."Sabar. Ini Bapak lagi coba telepok Entis buat minta tolong jemput. Tapi, kok, belum diangkat juga.""Ya sudah Bapak coba terus. Ibu mau beli minum dulu di warung sana." Ibu menunjuk kedai yang ada di seberang kami. Cukup berjarak dari sini."Ya sudah sana," sahut Bapak sembari terus mencoba menelepon kerabat dari keluarga Bapak."Kamu mau dibelikan apa, Nur?""Air putih saja, Bu.""Roti mau?"Aku menggeleng."Ya sudah." Ibu berlalu pergi ke sana sendirian.Aku duduk dengan menjulurkan kedua kaki ke depan seraya mengusap-usap perut. Rasa lelah membuatku tak sabar ingin membaringkan badan. Kurogoh ikatan dari saku jaket, lalu mengikat rambut yang sedari tadi dibiarkan terurai."Pak, ak
Sepanjang perjalanan, Bapak yang duduk di jok samping kemudi terus berbincang hangat dengan Dokter Widi. Meskipun, dia terlihat dari kalangan orang yang berada, sifatnya sangat ramah. Tidak canggung mengobrol bersama kami."Nur." Ibu menyentuh punggung tangan. Membuatku yang sedari tadi menatap keluar jendela jadi menoleh. "Itu diangkat dulu teleponnya. Dari tadi pas kamu di toilet juga bunyi terus.""Biarin, Bu. Enggak usah. Palingan juga Mas Aldi.""Angkat dulu atau kirim pesan. Enggak enak sama orangtuanya. Pasti mereka khawatir dengan kita."Aku menghela napas pelan, lalu mengangguk. Merogoh ponsel dari tas dan menggeser ikon hijau di layar."Ibu saja yang bicara," bisikku seraya menyerahkan ponsel ke tangannya.Ibu hanya menggeleng, lalu mendekatkan ponsel itu ke telinganya."Assalamu'alaikum, Di.""
Perkiraanku yang akan tenang menikmati hari-hari di desa bersama Bapak dan Ibu, nyatanya tidak sepenuhnya terwujud. Nomorku memang tidak pernah aktif, tapi nomor Bapak selalu menjadi sasaran Mas Aldi. Meskipun tidak pernah diangkat, tetap saja sangat mengganggu.Bapak sampai kesal dan akhirnya menjawab panggilan Mas Aldi. Memarahinya agar tidak mengganggu masa tenangku di sini. Konyolnya, dia pernah mengirimkan pesan hanya untuk menanyakan di mana pakaian dalam. Antara merasa lucu dan gemas sampai aku dan Bapak sama-sama tertawa karena hal itu.Seminggu di sini, tak jarang aku mendengar gosip miring tentang rumah tanggaku. Ibu selalu menjawab kalau aku ini hanya berlibur, tapi tetap saja mulut mereka tidak bisa dikendalikan."Bu, mau ke mana?" tanyaku melihat Ibu bersiap keluar rumah."Mau beli sayuran, Nur.""Aku saja yang beli, Bu. Seperti yang dibilang Dokter Widi. Aku juga 'kan harus sering-sering jalan kaki. Apalagi di sini udaranya enak banget. Adem, sejuk.""Ya sudah. Tapi kala
Eni sudah pulang lebih dulu setelah mendapatkan bahan masakan yang dicarinya. Bermaksud ingin lebih lama menikmati segarnya udara di pagi hari, aku pun memutuskan pulang dengan melewati jalan yang berbeda. Menyusuri jalanan kecil kampung dengan kanan-kirinya diapit persawahan.Aku merapatkan cardigan yang melekat di tubuh. Pun balas melambai ketika melihat tetangga dekat rumah yang sedang mencangkul di sawah melambaikan tangannya ke sini. Memang tak semua warga kampung ini julid. Masih lebih banyak warga yang sangat baik dan ramah, juga peduli.Aku tersenyum melihat anak-anak kecil yang sedang bermain di kali di mana airnya masih sangat jernih. Dengan riangnya, mereka menangkap ikan-ikan kecil dari sana. Membuat pakaian dan celananya jadi basah terciprat air. Dulu, aku juga sering melakukan hal itu saat masih kecil dulu.Tiin, tiin, tiin!Langkah ini terhenti saat mendengar bunyi klakson motor beberapa kali dari arah belakang. Aku tersenyum pada Dokter Widi yang kini sudah berada tep
"Mas Aldi ....""Pantas aja kamu dengan gampangnya minta cerai. Udah ada cadangan rupanya." Dia tersenyum mengejek seraya menggeleng."Cadangan, cadangan. Memangnya onderdil motor!" tukasku ketus, kemudian berlalu pergi dari hadapannya."Terus, itu tadi siapa? Mantan kamu? Jangan-jangan ... selama ini kamu juga berhubungan sama mantan, ya? Kamu pura-pura marah buat menutupi kesalahan sendiri. Ngaku, Dek!" tudingnya seraya menyejajari langkahku.Aku menoleh. Menatap tajam seraya menggertakkan gigi menahan kesal."Apa? Memang kenyataannya begitu, kan? Ngaku aja biar kita impas!""Kalau iya, kenapa? Mantan aku atau bukan, itu bukan urusan Mas Aldi!""Jelas itu urusanku!" Mas Aldi mencekal lengan atasku saat hendak melangkah pergi meninggalkannya. "Aku ini suamimu, Dek. Kamu istriku!""Sakit!" Aku melepas paksa cekalannya di lengan. "Sejak kapan Mas mengakui aku sebagai istri? Bukannya selama ini hanya dianggap pembantu dan pelacur?" Aku tersenyum sinis."Dek!" Mas Aldi melotot tajam. "Ng
Aku dan Ibu mengobrol santai soal acara sunatan masal yang akan diselenggarakan di desa ini. Tentu saja dengan Dokter Widi yang menjadi penanggung semua biayanya. Ibu dan Bu Ikah diberi tugas sebagai penanggungjawab konsumsi untuk warga dan panitia nanti."Nur ... apa kamu enggak kasihan sama Aldi?" tanya Ibu lembut."Kenapa harus kasihan? Memangnya Mas Aldi kenapa?" tanyaku santai."Kelihatan enggak keurusnya sejak kamu pergi, Nur. Perhatikan saja sama kamu. Kemeja yang dipakainya saja kusut begitu," jelas Ibu dengan tenang. "Katanya, Aldi pas pulang kerja langsung ngebujuk temannya biar dikasih pinjam mobil. Itu juga baru dikasih pas tengah malam lewat karena dipakai temannya dulu."Aku diam."Nur ....""Yang harus dikasihani itu aku, Bu. Bukan Mas Aldi. Selama pernikahan, aku cuma dianggap pembantu dan teman tidurnya doang. Gimana kalau Bapak