Kami sampai di terminal kota tempat kelahiranku ketika jam sudah lewat tengah malam. Kami duduk di halte terminal karena tak ada kendaraan umum menuju desa di jam segini."Benar kata papanya Aldi, Pak. Harusnya kita bisa tunda kepulangan ini sampai pagi. Bapak, sih, apa-apa pakai emosi dulu," gerutu Ibu."Sabar. Ini Bapak lagi coba telepok Entis buat minta tolong jemput. Tapi, kok, belum diangkat juga.""Ya sudah Bapak coba terus. Ibu mau beli minum dulu di warung sana." Ibu menunjuk kedai yang ada di seberang kami. Cukup berjarak dari sini."Ya sudah sana," sahut Bapak sembari terus mencoba menelepon kerabat dari keluarga Bapak."Kamu mau dibelikan apa, Nur?""Air putih saja, Bu.""Roti mau?"Aku menggeleng."Ya sudah." Ibu berlalu pergi ke sana sendirian.Aku duduk dengan menjulurkan kedua kaki ke depan seraya mengusap-usap perut. Rasa lelah membuatku tak sabar ingin membaringkan badan. Kurogoh ikatan dari saku jaket, lalu mengikat rambut yang sedari tadi dibiarkan terurai."Pak, ak
Sepanjang perjalanan, Bapak yang duduk di jok samping kemudi terus berbincang hangat dengan Dokter Widi. Meskipun, dia terlihat dari kalangan orang yang berada, sifatnya sangat ramah. Tidak canggung mengobrol bersama kami."Nur." Ibu menyentuh punggung tangan. Membuatku yang sedari tadi menatap keluar jendela jadi menoleh. "Itu diangkat dulu teleponnya. Dari tadi pas kamu di toilet juga bunyi terus.""Biarin, Bu. Enggak usah. Palingan juga Mas Aldi.""Angkat dulu atau kirim pesan. Enggak enak sama orangtuanya. Pasti mereka khawatir dengan kita."Aku menghela napas pelan, lalu mengangguk. Merogoh ponsel dari tas dan menggeser ikon hijau di layar."Ibu saja yang bicara," bisikku seraya menyerahkan ponsel ke tangannya.Ibu hanya menggeleng, lalu mendekatkan ponsel itu ke telinganya."Assalamu'alaikum, Di.""
Perkiraanku yang akan tenang menikmati hari-hari di desa bersama Bapak dan Ibu, nyatanya tidak sepenuhnya terwujud. Nomorku memang tidak pernah aktif, tapi nomor Bapak selalu menjadi sasaran Mas Aldi. Meskipun tidak pernah diangkat, tetap saja sangat mengganggu.Bapak sampai kesal dan akhirnya menjawab panggilan Mas Aldi. Memarahinya agar tidak mengganggu masa tenangku di sini. Konyolnya, dia pernah mengirimkan pesan hanya untuk menanyakan di mana pakaian dalam. Antara merasa lucu dan gemas sampai aku dan Bapak sama-sama tertawa karena hal itu.Seminggu di sini, tak jarang aku mendengar gosip miring tentang rumah tanggaku. Ibu selalu menjawab kalau aku ini hanya berlibur, tapi tetap saja mulut mereka tidak bisa dikendalikan."Bu, mau ke mana?" tanyaku melihat Ibu bersiap keluar rumah."Mau beli sayuran, Nur.""Aku saja yang beli, Bu. Seperti yang dibilang Dokter Widi. Aku juga 'kan harus sering-sering jalan kaki. Apalagi di sini udaranya enak banget. Adem, sejuk.""Ya sudah. Tapi kala
Eni sudah pulang lebih dulu setelah mendapatkan bahan masakan yang dicarinya. Bermaksud ingin lebih lama menikmati segarnya udara di pagi hari, aku pun memutuskan pulang dengan melewati jalan yang berbeda. Menyusuri jalanan kecil kampung dengan kanan-kirinya diapit persawahan.Aku merapatkan cardigan yang melekat di tubuh. Pun balas melambai ketika melihat tetangga dekat rumah yang sedang mencangkul di sawah melambaikan tangannya ke sini. Memang tak semua warga kampung ini julid. Masih lebih banyak warga yang sangat baik dan ramah, juga peduli.Aku tersenyum melihat anak-anak kecil yang sedang bermain di kali di mana airnya masih sangat jernih. Dengan riangnya, mereka menangkap ikan-ikan kecil dari sana. Membuat pakaian dan celananya jadi basah terciprat air. Dulu, aku juga sering melakukan hal itu saat masih kecil dulu.Tiin, tiin, tiin!Langkah ini terhenti saat mendengar bunyi klakson motor beberapa kali dari arah belakang. Aku tersenyum pada Dokter Widi yang kini sudah berada tep
"Mas Aldi ....""Pantas aja kamu dengan gampangnya minta cerai. Udah ada cadangan rupanya." Dia tersenyum mengejek seraya menggeleng."Cadangan, cadangan. Memangnya onderdil motor!" tukasku ketus, kemudian berlalu pergi dari hadapannya."Terus, itu tadi siapa? Mantan kamu? Jangan-jangan ... selama ini kamu juga berhubungan sama mantan, ya? Kamu pura-pura marah buat menutupi kesalahan sendiri. Ngaku, Dek!" tudingnya seraya menyejajari langkahku.Aku menoleh. Menatap tajam seraya menggertakkan gigi menahan kesal."Apa? Memang kenyataannya begitu, kan? Ngaku aja biar kita impas!""Kalau iya, kenapa? Mantan aku atau bukan, itu bukan urusan Mas Aldi!""Jelas itu urusanku!" Mas Aldi mencekal lengan atasku saat hendak melangkah pergi meninggalkannya. "Aku ini suamimu, Dek. Kamu istriku!""Sakit!" Aku melepas paksa cekalannya di lengan. "Sejak kapan Mas mengakui aku sebagai istri? Bukannya selama ini hanya dianggap pembantu dan pelacur?" Aku tersenyum sinis."Dek!" Mas Aldi melotot tajam. "Ng
Aku dan Ibu mengobrol santai soal acara sunatan masal yang akan diselenggarakan di desa ini. Tentu saja dengan Dokter Widi yang menjadi penanggung semua biayanya. Ibu dan Bu Ikah diberi tugas sebagai penanggungjawab konsumsi untuk warga dan panitia nanti."Nur ... apa kamu enggak kasihan sama Aldi?" tanya Ibu lembut."Kenapa harus kasihan? Memangnya Mas Aldi kenapa?" tanyaku santai."Kelihatan enggak keurusnya sejak kamu pergi, Nur. Perhatikan saja sama kamu. Kemeja yang dipakainya saja kusut begitu," jelas Ibu dengan tenang. "Katanya, Aldi pas pulang kerja langsung ngebujuk temannya biar dikasih pinjam mobil. Itu juga baru dikasih pas tengah malam lewat karena dipakai temannya dulu."Aku diam."Nur ....""Yang harus dikasihani itu aku, Bu. Bukan Mas Aldi. Selama pernikahan, aku cuma dianggap pembantu dan teman tidurnya doang. Gimana kalau Bapak
Aku menunduk sebentar demi menyembunyikan senyum geli."Bapak," tegur Ibu."Anu, Pak .... Itu ... aku ....""Anu, anu. Anunya apa?" sahut Bapak cepat seraya berjalan mendekati kami."Anunya aku, Pak. Eh? Apa, sih, ini mulut?" Mas Aldi memukul mulutnya sendiri.Ketiganya serempak menoleh saat mendengar gelak tawaku yang tak bisa ditahan lagi. Baru kali ini aku melihat Mas Aldi terlihat sangat konyol. Selain kelembutan dan perhatian yang ternyata ditunjukkan untuk menutupi perasaaannya pada sang mantan, dia juga biasanya keras kepala."Nur," tegur Ibu dengan raut wajah tak enak.Aku melirik Mas Aldi yang menunduk, tapi itu tak berhasil menyembunyikan wajahnya yang memerah."Aduh, aduh. Aku harus ke kamar mandi dulu, Bu," keluhku seraya berusaha meredam tawa. "Jadi kebelet gara-gara ketawa," ujarku seraya berusaha berdiri dengan dibantu Bapak."Hati-hati lantainya licin, Nur," kata Ibu."Iya," jawabku sesaat sebelum pintu kamar mandi ditutup.Aku menghela napas lega setelah menuntaskan d
Aku menyentak napas kasar. Hendak bergeser menjauh, tapi Mas Aldi menahanku. Membuat tatapan kami saling bertemu."Mau bicara apa lagi?" tanyaku seraya memutus kontak mata dengan memalingkan wajah."Ayo kita pulang, Dek," ajaknya seraya meraih satu tangan ini dan menggenggamnya.Aku menoleh dan berusaha menarik kembali tangan ini, tapi Mas Aldi menahannya."Mas udah dengar jawabanku tadi, kan? Aku enggak mau pulang. Aku nyaman di sini, Mas. Pikiranku bebas dan tenang," jawabku santai."Rumah sepi, Dek. Mas baru sadar, kehadiranmu di hidup m