"Ada apa, Nur? Apa kalian sedang ada masalah?" tanya Mama saat aku sudah sampai di ruang keluarga bersama Bapak.
Aku mengangguk."Apa ini alasan kamu meminta kami kumpul di sini?" Papa mertua ikut menimpali."Benar, Pah." Aku kembali mengangguk."Masalah apa, Nur? Aldi main kasar?" Mama terlihat khawatir."Nanti, ya, Ma, Pa. Tunggu Mas Aldi ke sini dulu," ujarku, lalu menoleh ke arah kamar. Belum ada tanda-tanda Mas Aldi keluar. Entah apa yang sedang dilakukannya sampai butuh waktu lama untuk kembali ke sini."Kenapa lama sekali Aldi di kamar? Coba panggil, Ma."Mama beranjak bangun dan hendak pergi memanggilnya, tapi batal."Itu dia," ujar Mama.Kami serempak menoleh. Mas Aldi berjalan lesu walau penampilannya sudah terlihat segar. Ternyata, Mas Aldi mandi dan mengganti pakaiannya dulu."Lama banget kamu, Di. Sudah ditungguin dari tadi juga," cicit Mama."Mandi dulu, Ma. Panas." Mas Aldi melirik ke sini, tapi aku langsung membuang muka."Duduk!" titah Papa seraya menunjuk sofa single di samping kanan dengan dagunya.Mas Aldi duduk seraya menautkan kedua tangannya, melirik padaku lagi, tapi aku tak acuh."Sekarang, kita langsung saja pada intinya. Awalnya, Papa dan Mama enggak tahu kalau kami dipanggil ke sini karena ada masalah. Tapi Nurma sudah bilang kalau ternyata ada masalah serius di antara kalian.""Bukan masalah serius sebenarnya, Pah. Hanya masalah sepele. Nurma saja yang terlalu membesar-besarkan," kilah Mas Aldi.Aku melongo tak percaya. Membuka mulut untuk membantah perkataannya, tapi urung karena Bapak sudah lebih dulu membalas ucapan Mas Aldi."Bukan masalah serius gundulmu! Kamu sudah buat anak bapak nangis dan tertekan begini masih dibilang sepele?" hardik Bapak seraya menegakkan posisi duduknya. Menatap tajam pada Mas Aldi yang langsung menunduk."Bapak." Ibu menepuk paha Bapak. "Sabar. Kendalikan diri dulu," tegur Ibu.Aku melirik Papa dan Mama mertua. Mereka terlihat kaget dengan sikap Bapak barusan. Selama ini, Bapak memang selalu bersikap ramah dan hangat. Belum pernah sekali pun menunjukkan kemarahan di depan mereka."Lah, itu, Bu. Seenaknya saja dia bilang ini masalah sepele. Segala nyalahin balik Nurma lagi! Suami macam apa itu? Sudah salah, masih saja berkilah!""Sudah, Pak. Tenang dulu," ujar Ibu lagi pelan."Jadi, Bapak dan Ibu sudah tahu masalah mereka?" tanya Mama dan menatap bingung pada kami bergantian."Iya, Bu. Kami sudah tahu masalahnya. Tadi Nurma sudah menceritakan semua pada kami," jawab Ibu tenang.Mama menatapku dengan lembut. Membuatku merasa tak tega harus menceritakan kesalahan anaknya, tapi tidak ada cara lain. Mas Aldi harus diberi pelajaran."Ada apa, Nur?" tanya Mama."Iya, Nur. Ceritakan pada kami. Kalian ada masalah apa?" Papa menatapku penuh tanya.Aku menghela napas panjang, mempersiapkan diri untuk mengatakan masalah kami sejujur-jujurnya. Aku menoleh pada Ibu yang sedari tadi mengusap lembut punggung ini. Ibu tersenyum dan mengangguk. Mengisyaratkan agar aku jangan ragu dan takut."Ma, Pah ... maaf kalau keputusanku ini akan mengecewakan kalian." Aku menjeda ucapan. Melirik Mas Aldi sekilas, lalu kembali menatap kedua mertuaku. "Aku ingin bercerai dari Mas Aldi."Sontak keduanya membulatkan mata. Saling mlempar pandang, lalu kembali menatapku masih dengan raut wajah kagetnya."Bercerai? Kamu lagi bergurau 'kan, Nur?" Mama bertanya lembut dengan keningnya yang sedikit berkerut.Aku menggeleng. "Aku serius, Ma. Nurma ingin berpisah dari ....""Jangan dengarkan dia, Ma!" Mas Aldi menyela perkataanku. "Nurma itu cuma lagi emosi. Kami enggak akan pernah bercerai!""Diam, Aldi!" tukas Papa dengan tatapan tajam. "Kamu baru boleh bicara kalau kami bertanya. Biarkan Nurma menyelesaikan kata-katanya dulu!"Mas Aldi berdecak kesal seraya mengacak-acak rambutnya."Kenapa? Apa yang sudah dilakukan Aldi sampai kamu mau bercerai darinya, Nur?" Mama bertanya dengan lembut."Aldi sudah buat anak saya tertekan! Dia enggak pernah menghargai Nurma sebagai istrinya! Saya dari kecil merawat Nurma sebaik mungkin dengan penuh kasih sayang. Tapi sekarang? Seenaknya saja dia buat anak saya nangis dan sakit hati! Saya enggak terima!""Bapak," tegur Ibu lagi. "Tahan diri. Jangan ikut bicara dulu! Biarkan Nurma saja yang menjelaskan semuanya.""Bapak kesal, Bu. Anak kita lagi hamil besar begini bukannya dibuat nyaman dan tenang, malah dibebani terus. Kalau kamu enggak cinta sama anak bapak, ngapain dulu kamu melamar dia? Kalau tahu begini, bapak enggak akan rela melepas Nurma buat kamu!" ujar Bapak berapi-api seraya menunjuk Mas Aldi yang semakin menunduk dalam."Bapak! Sabar dulu, ah. Istighfar," kata Ibu tegas.Bapak menghela napas berat, menatap besannya, lalu duduk bersandar lagi."Nurma." Mama memanggil lembut. Menatapku penuh tanya, begitu juga Papa. Terlihat jelas ada kekhawatiran di wajah keduanya. Apalagi setelah melihat Bapak emosi seperti tadi."Mas Aldi enggak pernah cinta sama aku, Ma, Pah. Aku hanya dijadikan pelarian saja. Mas Aldi masih belum bisa melupakan mantannya. Bahkan, Mas Aldi masih berharap bisa kembali pada Lidya." Aku berusaha menahan getar di suara. Mengerjapkan mata beberapa kali dengan cepat agar air mata ini tidak tumpah.Papa dan Mama terlihat terkejut, lalu serempak menoleh pada Mas Aldi yang duduk dengan gelisah."Benar itu, Di?" tanya Papa. Pelan, tapi ada penekanan di setiap katanya."Enggak benar, Pah. Itu cuma salah paham. Nurma itu jadi terlalu baper dan sensitif karena hormon kehamilannya." Mas Aldi masih berusaha membela diri."Jadi, Mas nuduh aku yang bohong gitu?" Aku menatap tajam padanya. "Mas berani sumpah di atas Al-Quran enggak?" Suaraku tanpa sadar meninggi. Berdiri dengan dada bergemuruh hebat dan tetesan air mata yang gagal ditahan. "Selama ini, aku sudah coba bersabar dengan sikap Mas yang enggak pernah menghargaiku sebagai istri! Tapi apa balasan Mas, huh? Apa?! Mas Aldi masih saja mengulangi kesalahan yang sama!" hardikku setengah menjerit."Nur, tenang, Nur. Duduk dulu, Istighfar." Ibu berkata lembut dan memintaku duduk kembali, tapi aku menolak."Sudah cukup selama ini aku bersabar dan memendam rasa sakit sendirian! Aku capek! Aku juga enggak mau membeberkan keburukan Mas di hadapan orangtua kita! Tapi dengan aku diam saja, Mas seolah menyepelekanku! Dengan mengejar-negejar Lidya, Mas sudah menjatuhkan harga diriku sebagai seorang istri!""Nur ... Duduk, Nak. Tenang." Kali ini Ibu berhasil membawaku duduk kembali. "Sabar. Kendalikan emosimu. Istighfar ...." Ibu mengusap-usap lembut punggungku."Benar yang dikatakan Nurma barusan, Aldi?" geram Papa dengan rahangnya yang mengatup keras. "Benar kamu masih mengejar-ngejar Lidya?""Enggak, Pah. Itu cuma status biasa saja. Aku enggak ada niatan ke sana, kok! Itu cuma biar rame like dan komen saja, Pah."Brak!Kami semua serempak menoleh kaget ketika Bapak menggebrak meja dengan kencang."Sudah cukup kamu berkilah terus dari tadi! Kamu pikir anak saya bodoh?" hardik Bapak dengan telunjuk mengarah pada Mas Aldi yang terlihat mematung di tempat. "Laki-laki sejati itu harus berani mengakui kesalahan dan minta maaf! Bukannya terus membela diri seperti itu!""Maafkan anak kami, Pak. Tenang dulu. Kita bisa selesaikan ini secara baik-baik." Papa berusaha menenangkan Bapak yang sangat emosi."Pah, Ma ... silakan lihat ini." Aku meletakkan ponselku di meja. "Semua bukti pesan-pesan romantis dan puitis Mas Aldi untuk Lidya sudah kufoto, termasuk status terakhirnya yang sangat menyakitiku. Secara enggak langsung, Mas Aldi itu berharap kami bercerai dan dia bisa kembali ke mantannya." Aku mendelik tajam pada Mas Aldi yang menunduk seraya menopang kepalanya dengan kedua tangan."Asal Mama Papa tahu. Ini bukan pertama kalinya Mas Aldi bertingkah. Sudah beberapa kali kami terlibat cekcok karena masalah ini. Berulang kali juga aku sudah memaafkan dan percaya dengan janji-janjinya. Tapi ternyata ... Mas Aldi enggak pernah mau berubah. Mas Aldi bahkan dengan sengaja membuat akun kloningan itu untuk mendekati Lidya. Kali ini batas kesabaranku sudah habis, Ma, Pah. Untuk apa aku bertahan kalau suami sendiri enggak menginginkan?"Aku menunduk. Menitikkan air mata hingga dada terasa sesak dan tenggorokan sakit karena isakan yang tertahan."Keluarin aja, Nak. Jangan ditahan nangisnya," anjur Ibu dengan suara sedikit bergetar."Benar-benar bikin malu kamu, Aldi! Buat apa kamu masih mengejar-ngejar wanita kaya itu, huh? Dia juga sudah menikah dengan pria kaya pilihan orangtuanya! Apa kamu lupa bagaimana dulu orangtuanya mencaci maki kita? Kamu lupa bagaimana Mama papamu ini dipermalukan, huh?!" hardik Papa dengan wajah memerah.Mas Aldi masih terdiam menunduk seraya saling meremas jemarinya sendiri."Jawab papa, Aldi!" Suara Papa mertua begitu lantang menghardiknya."Iya, Pah. Aku mengaku salah. Aku memang keterlaluan," jawab Mas Aldi pelan tanpa berani menatap kedua orangtuanya."Kamu sudah membuat mama kecewa, Aldi. Kamu buat mama dan Papa malu di hadapan orangtuanya Nurma." Mama menitikkan air mata. Terlihat jelas ada kekecewaan di sorot matanya."Ma ...." Mas Aldi menatap sendu mamanya. "Maaf. Aku mengaku salah. Aku memang jahat, tapi aku sudah minta maaf pada Nurma. Aku juga janji enggak akan mengulangi itu lagi, Ma." Mas Aldi menatap memelas padaku, tapi aku langsung membuang muka."Omongan Mas itu enggak pernah bisa dipegang. Bukan hal mustahil kalau Lidya bercerai dari suaminya, Mas akan mencampakkanku dan kembali padanya. Sebelum itu terjadi, lebih baik aku yang mundur dan pergi." Aku kembali menatapnya dengan berani walau air mata masih berjatuhan."Dek ....""Jangan dekati anak saya!" Bapak menahan tubuh Mas Aldi yang hendak mendekat padaku dengan tangannya.🌺🌺🌺
"Jangan dekati anak saya!" Bapak menahan tubuh Mas Aldi yang hendak mendekat padaku dengan tangannya."Pak ...." Mas Aldi berlutut di hadapan Bapak seraya memegangi satu tangannya. "Aku minta maaf. Aku mengaku salah dan menyesal. Beri aku kesempatan memperbaiki semuanya. Aku janji enggak akan menyakiti Nurma lagi," mohonnya dengan tatapan memelas. Ada air mata menetes di pipinya.Entah itu air mata buaya atau sungguhan. Aku tidak peduli."Memaafkanmu itu mudah. Tapi keputusan akhir, bapak serahkan pada Nurma. Apa pun keputusan Nurma, bapak dan Ibu akan mendukungnya asal dia tenang dan bahagia," tegas Bapak.Mas Aldi beralih menatapku. Dia bergeser mendekat karena Bapak tak lagi menahannya."Dek ... maafin mas. Tolong jangan minta cerai. Beri mas satu kali lagi kesempatan untuk memperbaiki semuanya." Mas Aldi memaksa menggenggam kedua tanganku."Enggak bisa. Aku udah telanjur sakit hati, Mas. Apa jadinya kalau suatu hari aku ketemu dengan mantanmu itu? Mau ditaruh di mana mukaku, Mas?
Kami sampai di terminal kota tempat kelahiranku ketika jam sudah lewat tengah malam. Kami duduk di halte terminal karena tak ada kendaraan umum menuju desa di jam segini."Benar kata papanya Aldi, Pak. Harusnya kita bisa tunda kepulangan ini sampai pagi. Bapak, sih, apa-apa pakai emosi dulu," gerutu Ibu."Sabar. Ini Bapak lagi coba telepok Entis buat minta tolong jemput. Tapi, kok, belum diangkat juga.""Ya sudah Bapak coba terus. Ibu mau beli minum dulu di warung sana." Ibu menunjuk kedai yang ada di seberang kami. Cukup berjarak dari sini."Ya sudah sana," sahut Bapak sembari terus mencoba menelepon kerabat dari keluarga Bapak."Kamu mau dibelikan apa, Nur?""Air putih saja, Bu.""Roti mau?"Aku menggeleng."Ya sudah." Ibu berlalu pergi ke sana sendirian.Aku duduk dengan menjulurkan kedua kaki ke depan seraya mengusap-usap perut. Rasa lelah membuatku tak sabar ingin membaringkan badan. Kurogoh ikatan dari saku jaket, lalu mengikat rambut yang sedari tadi dibiarkan terurai."Pak, ak
Sepanjang perjalanan, Bapak yang duduk di jok samping kemudi terus berbincang hangat dengan Dokter Widi. Meskipun, dia terlihat dari kalangan orang yang berada, sifatnya sangat ramah. Tidak canggung mengobrol bersama kami."Nur." Ibu menyentuh punggung tangan. Membuatku yang sedari tadi menatap keluar jendela jadi menoleh. "Itu diangkat dulu teleponnya. Dari tadi pas kamu di toilet juga bunyi terus.""Biarin, Bu. Enggak usah. Palingan juga Mas Aldi.""Angkat dulu atau kirim pesan. Enggak enak sama orangtuanya. Pasti mereka khawatir dengan kita."Aku menghela napas pelan, lalu mengangguk. Merogoh ponsel dari tas dan menggeser ikon hijau di layar."Ibu saja yang bicara," bisikku seraya menyerahkan ponsel ke tangannya.Ibu hanya menggeleng, lalu mendekatkan ponsel itu ke telinganya."Assalamu'alaikum, Di.""
Perkiraanku yang akan tenang menikmati hari-hari di desa bersama Bapak dan Ibu, nyatanya tidak sepenuhnya terwujud. Nomorku memang tidak pernah aktif, tapi nomor Bapak selalu menjadi sasaran Mas Aldi. Meskipun tidak pernah diangkat, tetap saja sangat mengganggu.Bapak sampai kesal dan akhirnya menjawab panggilan Mas Aldi. Memarahinya agar tidak mengganggu masa tenangku di sini. Konyolnya, dia pernah mengirimkan pesan hanya untuk menanyakan di mana pakaian dalam. Antara merasa lucu dan gemas sampai aku dan Bapak sama-sama tertawa karena hal itu.Seminggu di sini, tak jarang aku mendengar gosip miring tentang rumah tanggaku. Ibu selalu menjawab kalau aku ini hanya berlibur, tapi tetap saja mulut mereka tidak bisa dikendalikan."Bu, mau ke mana?" tanyaku melihat Ibu bersiap keluar rumah."Mau beli sayuran, Nur.""Aku saja yang beli, Bu. Seperti yang dibilang Dokter Widi. Aku juga 'kan harus sering-sering jalan kaki. Apalagi di sini udaranya enak banget. Adem, sejuk.""Ya sudah. Tapi kala
Eni sudah pulang lebih dulu setelah mendapatkan bahan masakan yang dicarinya. Bermaksud ingin lebih lama menikmati segarnya udara di pagi hari, aku pun memutuskan pulang dengan melewati jalan yang berbeda. Menyusuri jalanan kecil kampung dengan kanan-kirinya diapit persawahan.Aku merapatkan cardigan yang melekat di tubuh. Pun balas melambai ketika melihat tetangga dekat rumah yang sedang mencangkul di sawah melambaikan tangannya ke sini. Memang tak semua warga kampung ini julid. Masih lebih banyak warga yang sangat baik dan ramah, juga peduli.Aku tersenyum melihat anak-anak kecil yang sedang bermain di kali di mana airnya masih sangat jernih. Dengan riangnya, mereka menangkap ikan-ikan kecil dari sana. Membuat pakaian dan celananya jadi basah terciprat air. Dulu, aku juga sering melakukan hal itu saat masih kecil dulu.Tiin, tiin, tiin!Langkah ini terhenti saat mendengar bunyi klakson motor beberapa kali dari arah belakang. Aku tersenyum pada Dokter Widi yang kini sudah berada tep
"Mas Aldi ....""Pantas aja kamu dengan gampangnya minta cerai. Udah ada cadangan rupanya." Dia tersenyum mengejek seraya menggeleng."Cadangan, cadangan. Memangnya onderdil motor!" tukasku ketus, kemudian berlalu pergi dari hadapannya."Terus, itu tadi siapa? Mantan kamu? Jangan-jangan ... selama ini kamu juga berhubungan sama mantan, ya? Kamu pura-pura marah buat menutupi kesalahan sendiri. Ngaku, Dek!" tudingnya seraya menyejajari langkahku.Aku menoleh. Menatap tajam seraya menggertakkan gigi menahan kesal."Apa? Memang kenyataannya begitu, kan? Ngaku aja biar kita impas!""Kalau iya, kenapa? Mantan aku atau bukan, itu bukan urusan Mas Aldi!""Jelas itu urusanku!" Mas Aldi mencekal lengan atasku saat hendak melangkah pergi meninggalkannya. "Aku ini suamimu, Dek. Kamu istriku!""Sakit!" Aku melepas paksa cekalannya di lengan. "Sejak kapan Mas mengakui aku sebagai istri? Bukannya selama ini hanya dianggap pembantu dan pelacur?" Aku tersenyum sinis."Dek!" Mas Aldi melotot tajam. "Ng
Aku dan Ibu mengobrol santai soal acara sunatan masal yang akan diselenggarakan di desa ini. Tentu saja dengan Dokter Widi yang menjadi penanggung semua biayanya. Ibu dan Bu Ikah diberi tugas sebagai penanggungjawab konsumsi untuk warga dan panitia nanti."Nur ... apa kamu enggak kasihan sama Aldi?" tanya Ibu lembut."Kenapa harus kasihan? Memangnya Mas Aldi kenapa?" tanyaku santai."Kelihatan enggak keurusnya sejak kamu pergi, Nur. Perhatikan saja sama kamu. Kemeja yang dipakainya saja kusut begitu," jelas Ibu dengan tenang. "Katanya, Aldi pas pulang kerja langsung ngebujuk temannya biar dikasih pinjam mobil. Itu juga baru dikasih pas tengah malam lewat karena dipakai temannya dulu."Aku diam."Nur ....""Yang harus dikasihani itu aku, Bu. Bukan Mas Aldi. Selama pernikahan, aku cuma dianggap pembantu dan teman tidurnya doang. Gimana kalau Bapak
Aku menunduk sebentar demi menyembunyikan senyum geli."Bapak," tegur Ibu."Anu, Pak .... Itu ... aku ....""Anu, anu. Anunya apa?" sahut Bapak cepat seraya berjalan mendekati kami."Anunya aku, Pak. Eh? Apa, sih, ini mulut?" Mas Aldi memukul mulutnya sendiri.Ketiganya serempak menoleh saat mendengar gelak tawaku yang tak bisa ditahan lagi. Baru kali ini aku melihat Mas Aldi terlihat sangat konyol. Selain kelembutan dan perhatian yang ternyata ditunjukkan untuk menutupi perasaaannya pada sang mantan, dia juga biasanya keras kepala."Nur," tegur Ibu dengan raut wajah tak enak.Aku melirik Mas Aldi yang menunduk, tapi itu tak berhasil menyembunyikan wajahnya yang memerah."Aduh, aduh. Aku harus ke kamar mandi dulu, Bu," keluhku seraya berusaha meredam tawa. "Jadi kebelet gara-gara ketawa," ujarku seraya berusaha berdiri dengan dibantu Bapak."Hati-hati lantainya licin, Nur," kata Ibu."Iya," jawabku sesaat sebelum pintu kamar mandi ditutup.Aku menghela napas lega setelah menuntaskan d