"Kamu sakit, Dek? Wajahmu pucat," komentar Mas Aldi ketika kami tengah sarapan.
"Hanya pusing sedikit," jawabku tanpa menatapnya, lalu kembali menyuapkan makanan dan mengunyah pelan.
"Ayo! Biar mas antar ke dokter dulu sebelum berangkat kerja."
"Enggak usah. Nanti dibawa tidur juga sembuh. Hanya kurang tidur saja, kok." Aku tersenyum tipis.
"Dek."
"Hm?"
"Maaf tentang semuanya. Kamu mau kasih mas satu kesempatan lagi, kan?"
Aku menghela napas pelan, lalu kembali menatapnya. "Kita bicarakan ini nanti sepulang Mas kerja, ya. Sekarang, beri aku waktu dulu untuk berpikir dengan tenang."
Mas Aldi terdiam sejenak, tapi tak lama dia mengangguk. "Baiklah. Kita bicarakan ini lagi nanti. Mas juga enggak mau kamu tambah sakit. Bisa habis nanti mas diomelin Papa dan Mama kalau kamu kenapa-napa."
Aku hanya tersenyum, lalu kembali menunduk menatap piring.
Usai sarapan, seperti biasa kuantar Mas Aldi ke depan rumah di mana motornya sudah terparkir setelah sempat dipanaskan mesinnya tadi. Aku mencium punggung tangannya takzim yang dibalas Mas Aldi dengan kecupan di kening. Dulu, aku selalu membalas kembali dengan sebuah pelukan, tapi sekarang tidak.
"Mas berangkat dulu, ya. Kamu istirahat. Kabari mas langsung kalau ada apa-apa," pesannya seraya mengusap kepalaku lembut.
Aku mengangguk.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam. Hati-hati," sahutku pelan.
Usai kepergian Mas Aldi, aku kembali ke kamar. Mengambil koper besar disamping lemari dan mulai menata barang pribadi ke dalamnya. Akan tetapi, kepala yang berdenyut sakit memaksa kegiatan ini terhenti, dan memilih berbaring sebentar walau akhirnya tanpa terasa malah terlelap.
🌺🌺🌺
Dering ponsel di atas nakas memaksa mata ini terbuka. Aku mengucek mata dan terkejut melihat jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas siang. Itu artinya, aku sudah terlelap beberapa jam.
"Assalamu'alaikum, Bu," sapaku setelah sambungan telepon terhubung.
"Wa'alaikumsalam. Ini ibu sama Bapak sudah di depan gerbang, Nak. Ibu pencet belnya berkali-kali, tapi kamu enggak keluar juga. Kamu lagi pergi, ya?"
"Ya Allah ... maaf, Bu. Aku ada di rumah, kok. Tunggu sebentar, ya, Bu. Aku ke sana sekarang."
"Ya sudah. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Aku bergegas pergi keluar kamar tanpa membawa ponselnya. Sesampainya di luar, benar saja Ibu dan Bapak sudah terlihat melongokkan kepalanya dari atas gerbang hitam ini.
"Ya Allah, Bu, Pak. Maafin aku. Tadi aku ketiduran," sesalku seraya membukakan kunci gerbang.
"Enggak apa-apa, Nak," ucap Ibu seraya mengusap kepalaku. Membiarkan aku mencium punggung tangannya dan Bapak bergantian.
"Sehat?" Bapak tersenyum.
"Alhamdulillah, Pak. Cuma sedikit pusing aja tadi, makanya dibawa tidur. Eh, malah kebablasan." Aku tertawa kecil.
"Sekarang masih pusing?" Ibu menatapku khawatir.
Aku menggeleng. "Udah enggak. Cuma kurang tidur aja, Bu. Ayo, Pak, Bu, masuk!"
Bapak tersenyum, lalu berjalan mendahului kami. Sementara, Ibu masih belum beranjak sedikit pun dari tempatnya. Membuatku merasa kikuk dipandangi Ibu dalam diam tanpa senyum.
"Kenapa ngeliatin aku begitu, Bu?" Aku terkekeh.
"Kamu habis nangis, ya?"
"Ng-nggak, Bu. Ini bengkak karena kebanyakan tidur." Aku tertawa hambar. "Udah, ah, Bu. Ibu pasti capek. Ayo masuk!" Aku langsung menggandeng lengannya dan membawa Ibu masuk agar tak bertanya lebih banyak lagi.
Aku hendak membuatkan minum, tapi Ibu melarang. Pada akhirnya, aku dan Bapak mengobrol di depan, sedangkan Ibu pergi ke dapur untuk mengambil minum. Kami berbincang hangat dan sesekali tertawa bersama. Baru sebulanan yang lalu kami bertemu, tapi rasanya sudah sangat rindu.
Kumanfaatkan waktu ini untuk bermanja-manja. Berbaring di pangkuan Ibu dengan tangannya yang mengusap-usap lembut rambutku.
"Katanya ada yang mau dibicarakan, Nur?" tanya Bapak yang tengah memakan buah jeruk.
"Iya, Pak. Tapi nanti, ya. Tunggu Mas Aldi pulang kerja dulu. Sekalian tunggu Mama papanya datang.
"Lho, memangnya mereka mau datang juga?" tanya Bapak lagi.
"Iya, Pak. Nurma yang minta mereka untuk datang." Aku tersenyum pahit.
"Wah, kebetulan sudah lama enggak ketemu besan. Bapak bisa main catur bareng sama Pak Ari." Bapak berujar riang
"Ada apa sebenarnya, Nak? Ibu yakin ini bukan masalah kecil kalau sampai kamu minta kami datang. Iya, kan?"
"Nanti Ibu akan tahu. Sabar, ya, Bu. Kita makan siang saja dulu. Ibu sama Bapak mau makan apa? Biar aku pesankan."
"Enggak usah, Nak. Biar ibu yang masak saja. Kamu ada bahan-bahannya enggak?"
"Ada, sih. Tapi enggak boleh! Kita pesan makan dari luar aja. Ibu 'kan capek," larangku.
"Ibu enggak capek, kok. Masak hanya sebentar."
"Pokoknya enggak boleh. Titik." Aku bersikeras seraya berpura-pura memasang wajah cemberut.
"Ya sudah, ya sudah. Terserah kamu saja." Ibu tersenyum dengan tangannya yang kembali bergerak mengusap rambut ini.
🌺🌺🌺
Bapak tengah beristirahat di kamar lain. Rumah Mas Aldi ini memiliki dua kamar tidur, ruang tamu, dapur, ruang keluarga dan ruang makan yang menjadi satu, juga dua kamar mandi. Satu kamar mandi untuk bersama, satu lagi di kamarku.
Ketika aku tengah melipat sajadah dan mukena setelah menunaikan salat zuhur, Ibu memanggil dari ambang pintu kamar yang sudah rusak.
"Masuk, Bu." Aku tersenyum.
"Pintunya kenapa jadi rusak miring begini, Nak? Awas nanti jatuh nimpa kamu atau Aldi."
"Iya, Bu. Memang rusak."
"Rusak apa dirusakin?" Ibu menatapku penuh selidik.
Aku hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Ibu itu.
"Sini, Bu. Duduk!" Aku menepuk-nepuk tepi ranjang.
Ibu berjalan mendekat, lalu duduk di samping seraya meraih satu tangan ini dan mengusap punggung tanganku lembut.
"Jujur sama Ibu, Nak. Kamu dan Aldi lagi ada masalah, kan? Enggak mungkin kamu sampai minta dua keluarga bertemu kalau ini bukan masalah serius."
Aku menunduk, lalu mengangguk pelan.
"Cerita sama ibu, Nak. Jangan dipendam sendiri. Enggak baik untuk kesehatan mental dan fisik kamu."
Aku menatap Ibu dengan pandangan yang mulai buram karena terhalang air mata. Mengigit bibir bawah yang gemetar, lalu menghambur memeluknya.
"Ibu ...." Aku terisak di pelukannya. "Aku capek, Bu. Aku capek dengan Mas Aldi yang enggak pernah menghargai perasaanku sebagai istrinya."
"Enggak menghargai gimana maksudmu, Nak?" tanya Ibu seraya mengusap-usap punggungku dengan lembut.
"Mas Aldi, Bu. Mas Aldi masih sering mengingat tentang mantannya."
"Maksud kamu?" Ibu mengurai pelukan. Menatap cemas dengan tangannya yang bergerak menghapus air mataku.
"Bukan hanya mengingat, Bu. Memang Mas Aldi sengaja ngejar-ngejar dia. Bukan hanya sering mengirim pesan, tapi selalu buat status tentang perasaannya untuk Lidya di sosial media, Bu. Mas Aldi enggak pernah cinta sama aku. Selama ini, aku hanya jadi pelariannya saja. Bahkan, Mas Aldi masih berdoa dan berharap bisa kembali dipersatukan dengan mantannya. Lalu, aku ini apa, Bu? Aku istrinya, tapi dianggap patung. Sakit, Bu. Sakit."
Ibu kembali membawaku yang menangis tersedu-sedu ini ke dalam pelukannya, lalu mengusap kepala ini dengan lembut.
"Apa sudah coba dibicarakan baik-baik, Nak? Tegur langsung suamimu kalau dia salah karena pria itu memang seringnya enggak peka."
"Sudah, Bu. Ibu tahu? Ini bukan yang pertama kalinya Mas Aldi menyakitiku."
"Maksud kamu?"
Aku kembali mengurai pelukan. Menceritakan semua masalah yang terjadi dengan jelas. Tentang Mas Aldi yang selalu mencoba mencari cara agar bisa berkomunikasi dengan mantannya. Ibu mendengarkan dengan baik tanpa menyela sedikit pun pernjelasanku.
"Ibu bisa lihat ini, Bu. Bacalah! Ini semua foto dari pesan-pesan puitis Mas Aldi untuk Lidya." Aku menggeser satu per satu foto di galeri ponsel. "Dan ini ... ini status terbaru Mas Aldi kemarin pagi, Bu. Ibu baca baik-baik. Bukankah kata-kata terakhir Mas Aldi itu sama aja doa agar kami bercerai dan dia kembali dengan mantannya?"
Ibu terdiam memandangi layar ponsel.
"Aku sudah lelah menegur Mas Aldi, Bu, karena selalu terulang lagi. Semua kata-kataku hanya dianggap angin lalu. Aku enggak dihargai, Bu. Aku enggak dianggap. Bahkan ...." Aku menjeda ucapanku ketika tak kuasa menahan sakit di dada. Hingga rasanya, napasku jadi sedikit tersengal.
"Tenang, Nak. Istighfar. Tarik napas dalam, terus buang pelan-pelan," ujar Ibu seraya mengusap-usap punggungku.
Aku mengikuti apa yang disarankan Ibu beberapa kali. Hingga akhirnya, aku bisa sedikit lebih tenang.
"Bu ... bahkan Mas Aldi mengaku dia membayangkan wajah mantannya kalau sedang bersamaku, Bu. Aku merasa terhina! Aku enggak kuat. Aku mau bercerai saja, Bu."
"Nurma ... istighfar, Nak. Enggak boleh sembarangan bicara. Memangnya kamu sudah memikirkan semua ini dengan kepala dingin, hm? Jangan mengambil keputusan dalam keadaan emosi karena setan akan berperan besar menghasut kita!"
"Aku sudah yakin, Bu. Sudah dua kali aku maafin dan kasih Mas Aldi kesempatan, tapi buktinya apa? Mas Aldi tetap mengulangi kesalahannya itu, Bu. Mas Aldi enggak pernah berubah! Aku menyerah, Bu. Aku mau pisah saja. Aku enggak kuat terus tertekan seperti ini."
"Apa benar yang kamu katakan barusan, Nurma?"
Aku dan Ibu serempak menoleh kaget ketika mendengar suara tegas Bapak.
"Bapak ...."
🌺🌺🌺
"Bapak ...."Bapak melanglah lebar mendekati kami, lalu berdiri tepat di hadapanku yang menunduk takut."Benar semua yang bapak dengar tadi, Nurma? Benar Aldi sering menyakitimu?"Aku mengangguk pelan."Mana foto bukti-buktinya? Bapak mau lihat."Kuletakkan ponselku di telapak tangan Bapak yang menengadah. Aku dan Ibu saling melempar pandang melihat Bapak yang begitu serius melihat satu per satu foto di ponsel."Benar Aldi melakukan ini? Dia sudah ngaku?""Sudah, Pak," jawabku pelan.Bapak menghela napas berat, lalu mengembalikan ponsel itu padaku."Kenapa kamu enggak cerita dari dulu sama Bapak dan Ibu? Kenapa baru sekarang kamu terbuka?""Dulu aku berharap Mas Aldi akan berubah, Pak. Aku tulus cinta, tapi Mas Aldi enggak. Kepercayaan dan cinta dariku enggak bisa mengubahnya kalau Mas Aldi sendiri enggak ada niat ke sana. Dia sengaja mengejar-ngejar mantannya terus, Pak.""Sekarang, mau kamu apa?" Bapak berjongkok di hadapanku dan berkata lembut.Aku menunduk dan terisak dengan Ibu y
"Ada apa, Nur? Apa kalian sedang ada masalah?" tanya Mama saat aku sudah sampai di ruang keluarga bersama Bapak.Aku mengangguk."Apa ini alasan kamu meminta kami kumpul di sini?" Papa mertua ikut menimpali."Benar, Pah." Aku kembali mengangguk."Masalah apa, Nur? Aldi main kasar?" Mama terlihat khawatir."Nanti, ya, Ma, Pa. Tunggu Mas Aldi ke sini dulu," ujarku, lalu menoleh ke arah kamar. Belum ada tanda-tanda Mas Aldi keluar. Entah apa yang sedang dilakukannya sampai butuh waktu lama untuk kembali ke sini."Kenapa lama sekali Aldi di kamar? Coba panggil, Ma."Mama beranjak bangun dan hendak pergi memanggilnya, tapi batal."Itu dia," ujar Mama.Kami serempak menoleh. Mas Aldi berjalan lesu walau penampilannya sudah terlihat segar. Ternyata, Mas Aldi mandi dan mengganti pakaiannya dulu."Lama banget kamu, Di. Sudah ditungguin dari tadi juga," cicit Mama."Mandi dulu, Ma. Panas." Mas Aldi melirik ke sini, tapi aku langsung membuang muka."Duduk!" titah Papa seraya menunjuk sofa single
"Jangan dekati anak saya!" Bapak menahan tubuh Mas Aldi yang hendak mendekat padaku dengan tangannya."Pak ...." Mas Aldi berlutut di hadapan Bapak seraya memegangi satu tangannya. "Aku minta maaf. Aku mengaku salah dan menyesal. Beri aku kesempatan memperbaiki semuanya. Aku janji enggak akan menyakiti Nurma lagi," mohonnya dengan tatapan memelas. Ada air mata menetes di pipinya.Entah itu air mata buaya atau sungguhan. Aku tidak peduli."Memaafkanmu itu mudah. Tapi keputusan akhir, bapak serahkan pada Nurma. Apa pun keputusan Nurma, bapak dan Ibu akan mendukungnya asal dia tenang dan bahagia," tegas Bapak.Mas Aldi beralih menatapku. Dia bergeser mendekat karena Bapak tak lagi menahannya."Dek ... maafin mas. Tolong jangan minta cerai. Beri mas satu kali lagi kesempatan untuk memperbaiki semuanya." Mas Aldi memaksa menggenggam kedua tanganku."Enggak bisa. Aku udah telanjur sakit hati, Mas. Apa jadinya kalau suatu hari aku ketemu dengan mantanmu itu? Mau ditaruh di mana mukaku, Mas?
Kami sampai di terminal kota tempat kelahiranku ketika jam sudah lewat tengah malam. Kami duduk di halte terminal karena tak ada kendaraan umum menuju desa di jam segini."Benar kata papanya Aldi, Pak. Harusnya kita bisa tunda kepulangan ini sampai pagi. Bapak, sih, apa-apa pakai emosi dulu," gerutu Ibu."Sabar. Ini Bapak lagi coba telepok Entis buat minta tolong jemput. Tapi, kok, belum diangkat juga.""Ya sudah Bapak coba terus. Ibu mau beli minum dulu di warung sana." Ibu menunjuk kedai yang ada di seberang kami. Cukup berjarak dari sini."Ya sudah sana," sahut Bapak sembari terus mencoba menelepon kerabat dari keluarga Bapak."Kamu mau dibelikan apa, Nur?""Air putih saja, Bu.""Roti mau?"Aku menggeleng."Ya sudah." Ibu berlalu pergi ke sana sendirian.Aku duduk dengan menjulurkan kedua kaki ke depan seraya mengusap-usap perut. Rasa lelah membuatku tak sabar ingin membaringkan badan. Kurogoh ikatan dari saku jaket, lalu mengikat rambut yang sedari tadi dibiarkan terurai."Pak, ak
Sepanjang perjalanan, Bapak yang duduk di jok samping kemudi terus berbincang hangat dengan Dokter Widi. Meskipun, dia terlihat dari kalangan orang yang berada, sifatnya sangat ramah. Tidak canggung mengobrol bersama kami."Nur." Ibu menyentuh punggung tangan. Membuatku yang sedari tadi menatap keluar jendela jadi menoleh. "Itu diangkat dulu teleponnya. Dari tadi pas kamu di toilet juga bunyi terus.""Biarin, Bu. Enggak usah. Palingan juga Mas Aldi.""Angkat dulu atau kirim pesan. Enggak enak sama orangtuanya. Pasti mereka khawatir dengan kita."Aku menghela napas pelan, lalu mengangguk. Merogoh ponsel dari tas dan menggeser ikon hijau di layar."Ibu saja yang bicara," bisikku seraya menyerahkan ponsel ke tangannya.Ibu hanya menggeleng, lalu mendekatkan ponsel itu ke telinganya."Assalamu'alaikum, Di.""
Perkiraanku yang akan tenang menikmati hari-hari di desa bersama Bapak dan Ibu, nyatanya tidak sepenuhnya terwujud. Nomorku memang tidak pernah aktif, tapi nomor Bapak selalu menjadi sasaran Mas Aldi. Meskipun tidak pernah diangkat, tetap saja sangat mengganggu.Bapak sampai kesal dan akhirnya menjawab panggilan Mas Aldi. Memarahinya agar tidak mengganggu masa tenangku di sini. Konyolnya, dia pernah mengirimkan pesan hanya untuk menanyakan di mana pakaian dalam. Antara merasa lucu dan gemas sampai aku dan Bapak sama-sama tertawa karena hal itu.Seminggu di sini, tak jarang aku mendengar gosip miring tentang rumah tanggaku. Ibu selalu menjawab kalau aku ini hanya berlibur, tapi tetap saja mulut mereka tidak bisa dikendalikan."Bu, mau ke mana?" tanyaku melihat Ibu bersiap keluar rumah."Mau beli sayuran, Nur.""Aku saja yang beli, Bu. Seperti yang dibilang Dokter Widi. Aku juga 'kan harus sering-sering jalan kaki. Apalagi di sini udaranya enak banget. Adem, sejuk.""Ya sudah. Tapi kala
Eni sudah pulang lebih dulu setelah mendapatkan bahan masakan yang dicarinya. Bermaksud ingin lebih lama menikmati segarnya udara di pagi hari, aku pun memutuskan pulang dengan melewati jalan yang berbeda. Menyusuri jalanan kecil kampung dengan kanan-kirinya diapit persawahan.Aku merapatkan cardigan yang melekat di tubuh. Pun balas melambai ketika melihat tetangga dekat rumah yang sedang mencangkul di sawah melambaikan tangannya ke sini. Memang tak semua warga kampung ini julid. Masih lebih banyak warga yang sangat baik dan ramah, juga peduli.Aku tersenyum melihat anak-anak kecil yang sedang bermain di kali di mana airnya masih sangat jernih. Dengan riangnya, mereka menangkap ikan-ikan kecil dari sana. Membuat pakaian dan celananya jadi basah terciprat air. Dulu, aku juga sering melakukan hal itu saat masih kecil dulu.Tiin, tiin, tiin!Langkah ini terhenti saat mendengar bunyi klakson motor beberapa kali dari arah belakang. Aku tersenyum pada Dokter Widi yang kini sudah berada tep
"Mas Aldi ....""Pantas aja kamu dengan gampangnya minta cerai. Udah ada cadangan rupanya." Dia tersenyum mengejek seraya menggeleng."Cadangan, cadangan. Memangnya onderdil motor!" tukasku ketus, kemudian berlalu pergi dari hadapannya."Terus, itu tadi siapa? Mantan kamu? Jangan-jangan ... selama ini kamu juga berhubungan sama mantan, ya? Kamu pura-pura marah buat menutupi kesalahan sendiri. Ngaku, Dek!" tudingnya seraya menyejajari langkahku.Aku menoleh. Menatap tajam seraya menggertakkan gigi menahan kesal."Apa? Memang kenyataannya begitu, kan? Ngaku aja biar kita impas!""Kalau iya, kenapa? Mantan aku atau bukan, itu bukan urusan Mas Aldi!""Jelas itu urusanku!" Mas Aldi mencekal lengan atasku saat hendak melangkah pergi meninggalkannya. "Aku ini suamimu, Dek. Kamu istriku!""Sakit!" Aku melepas paksa cekalannya di lengan. "Sejak kapan Mas mengakui aku sebagai istri? Bukannya selama ini hanya dianggap pembantu dan pelacur?" Aku tersenyum sinis."Dek!" Mas Aldi melotot tajam. "Ng