Sudah lama mata ini terpejam, tapi bukan berarti sudah tidur. Kesadaranku masih full. Aku benar-benar tidak bisa tenang. Berkali-kali mengganti posisi tidur, miring kanan-kiri, terlentang, tapi tetap saja gelisah. Dugaan Mas Aldi membayangkan wajah mantannya ketika kami menyatu, membuat kepala ini rasanya mau meledak.
Semakin berusaha dienyahkan, malah semakin kuat mengganggu pikiran. Hingga membuatku kembali ke posisi duduk dan terisak. Kulempar figura foto kami dan gelas di atas nakas sampai pecah untuk meluapkan emosi ini. Aku menunduk, mengusap perutku di mana ada buah cinta kami di sana.
Tidak! Ini bukan buah cinta kami. Hanya aku yang mencinta dan mendamba, tapi dia tidak. Raganya di sini, tapi hatinya untuk wanita lain. Bisa saja saat melakukannya, Mas Aldi membayangkan wajah Lidya.
Aku menangis sesenggukan dan berteriak kesal tanpa peduli Mas Aldi akan terbangun dan mendengarnya. Ini terlalu sakit. Andai waktu bisa diputar ulang. Jangankan menikah, aku juga tak ingin mengenalnya sama sekali.
Hampir saja kupukuli perut sendiri saking kesalnya, tapi urung ketika tersadar anak yang sedang dikandung ini tidak berdosa. Mas Aldi memang tidak cinta dan mungkin membayangkan wanita lain setiap melakukannya, tapi aku tulus dan ikhlas saat menyerahkan diri ini sepenuhnya.
"Dek! Buka pintunya, Dek! Kamu kenapa?"
"Pergi!" teriakku penuh emosi.
"Buka pintunya dulu, Dek. Mas khawatir!"
"Enggak usah berlagak Mas khawatir dan peduli! Aku muak!"
"Buka atau mas dobrak!" ancamnya dengan suara keras, tapi aku tidak peduli.
Tak berselang lama, pintu kamar ini benar-benar dijebolnya dengan paksa. Mas Aldi masuk dengan tergesa. Menatap kaget pecahan gelas dan figura foto yang berserakan di lantai. Tak lama, pandangan matanya beralih padaku yang kubalas dengan tatapan datar.
"Boleh marah dan kecewa, tapi enggak usah sampai begini. Pecahan kacanya bisa melukai diri kamu sendiri." Dia berkata dingin, kemudian pergi keluar kamar.
Tak memakan waktu lama, Mas Aldi kembali dengan membawa kantong plastik dan peralatan rumah tangga untuk membersihkan pecahan kacanya.
"Jangan seperti anak kecil, Dek. Kamu itu sebentar lagi akan menjadi seorang Ibu. Coba belajar kendalikan emosi semarah apa pun kamu pada mas," komentarnya sembari membereskan kekacauan yang kubuat.
"Apa pernah aku marah sefatal ini? Enggak pernah! Bahkan meski berkali-kali Mas nyakitin, aku selalu berusaha untuk sabar. Terus, kenapa sekarang aku bisa sampai begini? Itu karena rasa sakit yang Mas berikan sudah mencapai batas! Mas sudah buat aku merasa enggak berharga dan enggak berguna!" kataku penuh penekanan.
Mas Aldi hanya melirik sekilas, lalu kembali fokus memunguti pecahan beling.
"Selama ini, Mas anggap aku apa?"
Mas Aldi masih diam.
"Oh, ya, aku tahu. Pasti selama ini Mas cuma anggap aku ini pembantu plus-plus, kan? Mas hanya butuh aku untuk beresin rumah dan layanin semua kebutuhan Mas termasuk di ranjang!" Aku tertawa hambar, lalu dengan cepat menyeka bulir bening di sudut mata.
"Kita bicarakan masalah ini lain kali. Jangan dibahas lagi!"
"Apa jangan-jangan, Mas juga enggak pernah berharap sama sekali dengan kehamilanku ini? Iya 'kan, Mas?"
Mas Aldi bungkam.
Aku tertawa miris. "Diam Mas itu sudah cukup sebagai jawaban." Bergetar aku saat mengatakan itu. "Benar dugaanku. Mas pasti bayangin wajah wanita lain kalau lagi bermesraan denganku. Iya, kan?"
"Bisa diam enggak?" tukasnya penuh penekanan. "Sudah cukup dari tadi kamu ngoceh enggak karuan! Berhenti bicarain hal-hal yang bisa buat kamu tambah marah dan kesal, Dek! Pikirkan kesehatanmu! Kalau ada apa sama kamu dan calon anak kita, mas juga yang akan disalahkan!"
"Tapi memang bener 'kan, Mas bayangin wajah Lidya kalau kita ngelakuin itu?"
"Kalau iya, kenapa?" bentaknya seraya menggebrak lemari dengan keras sampai membuat mataku spontan terpejam karena kaget. "Sudah puas kamu dengan jawaban itu, huh?"
Kedua tanganku meremas kuat selimut di pangkuan. Mengigit bibir bawah yang bergetar dengan mata yang terasa memanas.
"Harusnya kamu paham! Menghapus cinta yang lama bersemayam itu enggak gampang, Dek! Sepuluh tahun lamanya kami menjalin hubungan! Selama itu juga Lidya selalu setia menemaniku dalam keadaan apa pun! Kami merangkai mimpi indah bersama yang terpaksa hancur cuma karena terhalang restu orangtua! Bisa kamu bayangkan sakitnya seperti apa, huh?" hardiknya dengan masih setengah membentak.
"Jangan minta aku membayangkannya. Itu masa lalu kalian. Kenapa aku harus menanggungnya juga?" lirihku dengan napas tersendat-sendat karena isakan yang tertahan.
"Seenggaknya, kamu itu harus bisa bersabar sedikit, Nurma! Kamu tahu, apa yang dikatakan Lidya waktu dikabari kalau aku akan menikahimu? Lidya mendukung dan menyuruhku melupakan dirinya walau aku tahu hati dia juga sakit! Dia bahkan minta aku berusaha lebih keras lagi untuk mencintaimu, dan melupakan semua kenangan juga impian kami! Apa kamu bisa seperti dia? Sanggup kamu melakukan itu semua kalau jadi dia, huh?!"
Cukup!
Aku menggeleng lemah dengan bahu bergerak naik turun karena isakan. Ini sangat sakit dan akan membekas selamanya. Perkataan Mas Aldi akan terngiang-ngiang sampai kapan pun. Perlahan, kuangkat wajah ini, lalu menatapnya dengan derai air mata tak terbendung.
"Keluar," titahku dengan tatapan dingin.
Ketegangan yang terlihat di wajah Mas Aldi perlahan berkurang. Dia menyentak napas kasar seraya mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Tak berselang lama, tatapan tajamnya kembali beralih sendu.
"Dek, Mas tadi ...."
"Cepat keluar!" ulangku memotong ucapannya.
"Dek ...."
"Ke-lu-ar!" desisku. Pelan, tapi penuh penekanan.
"Aarrgh!" Mas Aldi kembali memukul lemari. Menyambar kantong plastik di lantai, lalu melangkah cepat keluar dari kamar ini.
🌺🌺🌺
Pertengkaran kami semalam dan kata-kata yang dilontarkan Mas Aldi membuatku tidak bisa tidur nyenyak. Alhasil, aku terbangun dengan kepala berdenyut sakit. Sambil menunggu azan subuh, kuputuskan pergi ke dapur untuk membuat susu hangat.
Sempat aku bertatap muka dengan Mas Aldi yang baru saja bangun. Mulutnya sedikit terbuka seperti ingin mengatakan sesuatu. Namun sebelum itu terjadi, aku sudah lebih dulu meninggalkannya ke dapur.
Meskipun kepala sakit, tapi aku tetap memaksakan diri membuat sarapan dan menyiapkan pakaian kerja Mas Aldi.
"Dek." Mas Aldi yang baru pulang dari masjid berjalan menghampiriku.
Aku sempat menoleh sekilas, lalu kembali menunduk dan menuangkan nasi goreng kesukaan Mas Aldi ke piring.
"Mas minta maaf soal semalam, Dek."
Aku mengangguk. Tak bersuara, juga tak menatapnya.
"Mas enggak ada maksud muji-muji Lidya dan bandingin kalian. Mas cuma ingin kamu mengerti sedikit dengan perasaan dan posisi mas. Mas harap kamu bersabar sedikit lagi."
Aku menoleh dan tersenyum tipis, lalu berbalik membelakanginya untuk meletakkan kembali wajan di kompor.
"Dek ...."
"Ganti baju dulu, terus sarapan," kataku seraya mencuci tangan.
"Tapi kamu sudah maafin mas, kan?"
Aku menghela napas berat dengan mata terpejam, lalu mengangguk.
"Bicara, dong, Dek! Biar mas yakin," desaknya seraya mendekat dan berdiri di sampingku.
Aku menoleh, tersenyum. "Aku sudah maafin kamu, Mas. Sekarang, Mas cepat ganti baju dulu dan kita sarapan. Aku sudah lapar."
Mas Aldi tersenyum lega. "Kalau gini 'kan mas jadi tenang," ujarnya, lalu beranjak pergi sembari menyugar rambut tebalnya.
Kupandangi sosoknya yang menjauh seiring helaan napasku yang terasa berat. Sesak. Seolah ada bongkahan batu besar yang menghimpit dada.
"Kita bertemu dengan cara baik-baik, Mas. Maka dari itu, berpisah pun harus dengan cara baik pula. Aku enggak mau kita jadi musuh," gumamku seraya mengusap-usap perut.
🌺🌺🌺
"Kamu sakit, Dek? Wajahmu pucat," komentar Mas Aldi ketika kami tengah sarapan."Hanya pusing sedikit," jawabku tanpa menatapnya, lalu kembali menyuapkan makanan dan mengunyah pelan."Ayo! Biar mas antar ke dokter dulu sebelum berangkat kerja.""Enggak usah. Nanti dibawa tidur juga sembuh. Hanya kurang tidur saja, kok." Aku tersenyum tipis."Dek.""Hm?""Maaf tentang semuanya. Kamu mau kasih mas satu kesempatan lagi, kan?"Aku menghela napas pelan, lalu kembali menatapnya. "Kita bicarakan ini nanti sepulang Mas kerja, ya. Sekarang, beri aku waktu dulu untuk berpikir dengan tenang."Mas Aldi terdiam sejenak, tapi tak lama dia mengangguk. "Baiklah. Kita bicarakan ini lagi nanti. Mas juga enggak mau kamu tambah sakit. Bisa habis nanti mas diomelin Papa dan Mama kalau kamu kenapa-napa."Aku hanya tersenyum, lalu kembali menunduk menatap piring.Usai sarapan, seperti biasa kuantar Mas Aldi ke depan rumah di mana motornya sudah terparkir setelah sempat dipanaskan mesinnya tadi. Aku mencium
"Bapak ...."Bapak melanglah lebar mendekati kami, lalu berdiri tepat di hadapanku yang menunduk takut."Benar semua yang bapak dengar tadi, Nurma? Benar Aldi sering menyakitimu?"Aku mengangguk pelan."Mana foto bukti-buktinya? Bapak mau lihat."Kuletakkan ponselku di telapak tangan Bapak yang menengadah. Aku dan Ibu saling melempar pandang melihat Bapak yang begitu serius melihat satu per satu foto di ponsel."Benar Aldi melakukan ini? Dia sudah ngaku?""Sudah, Pak," jawabku pelan.Bapak menghela napas berat, lalu mengembalikan ponsel itu padaku."Kenapa kamu enggak cerita dari dulu sama Bapak dan Ibu? Kenapa baru sekarang kamu terbuka?""Dulu aku berharap Mas Aldi akan berubah, Pak. Aku tulus cinta, tapi Mas Aldi enggak. Kepercayaan dan cinta dariku enggak bisa mengubahnya kalau Mas Aldi sendiri enggak ada niat ke sana. Dia sengaja mengejar-ngejar mantannya terus, Pak.""Sekarang, mau kamu apa?" Bapak berjongkok di hadapanku dan berkata lembut.Aku menunduk dan terisak dengan Ibu y
"Ada apa, Nur? Apa kalian sedang ada masalah?" tanya Mama saat aku sudah sampai di ruang keluarga bersama Bapak.Aku mengangguk."Apa ini alasan kamu meminta kami kumpul di sini?" Papa mertua ikut menimpali."Benar, Pah." Aku kembali mengangguk."Masalah apa, Nur? Aldi main kasar?" Mama terlihat khawatir."Nanti, ya, Ma, Pa. Tunggu Mas Aldi ke sini dulu," ujarku, lalu menoleh ke arah kamar. Belum ada tanda-tanda Mas Aldi keluar. Entah apa yang sedang dilakukannya sampai butuh waktu lama untuk kembali ke sini."Kenapa lama sekali Aldi di kamar? Coba panggil, Ma."Mama beranjak bangun dan hendak pergi memanggilnya, tapi batal."Itu dia," ujar Mama.Kami serempak menoleh. Mas Aldi berjalan lesu walau penampilannya sudah terlihat segar. Ternyata, Mas Aldi mandi dan mengganti pakaiannya dulu."Lama banget kamu, Di. Sudah ditungguin dari tadi juga," cicit Mama."Mandi dulu, Ma. Panas." Mas Aldi melirik ke sini, tapi aku langsung membuang muka."Duduk!" titah Papa seraya menunjuk sofa single
"Jangan dekati anak saya!" Bapak menahan tubuh Mas Aldi yang hendak mendekat padaku dengan tangannya."Pak ...." Mas Aldi berlutut di hadapan Bapak seraya memegangi satu tangannya. "Aku minta maaf. Aku mengaku salah dan menyesal. Beri aku kesempatan memperbaiki semuanya. Aku janji enggak akan menyakiti Nurma lagi," mohonnya dengan tatapan memelas. Ada air mata menetes di pipinya.Entah itu air mata buaya atau sungguhan. Aku tidak peduli."Memaafkanmu itu mudah. Tapi keputusan akhir, bapak serahkan pada Nurma. Apa pun keputusan Nurma, bapak dan Ibu akan mendukungnya asal dia tenang dan bahagia," tegas Bapak.Mas Aldi beralih menatapku. Dia bergeser mendekat karena Bapak tak lagi menahannya."Dek ... maafin mas. Tolong jangan minta cerai. Beri mas satu kali lagi kesempatan untuk memperbaiki semuanya." Mas Aldi memaksa menggenggam kedua tanganku."Enggak bisa. Aku udah telanjur sakit hati, Mas. Apa jadinya kalau suatu hari aku ketemu dengan mantanmu itu? Mau ditaruh di mana mukaku, Mas?
Kami sampai di terminal kota tempat kelahiranku ketika jam sudah lewat tengah malam. Kami duduk di halte terminal karena tak ada kendaraan umum menuju desa di jam segini."Benar kata papanya Aldi, Pak. Harusnya kita bisa tunda kepulangan ini sampai pagi. Bapak, sih, apa-apa pakai emosi dulu," gerutu Ibu."Sabar. Ini Bapak lagi coba telepok Entis buat minta tolong jemput. Tapi, kok, belum diangkat juga.""Ya sudah Bapak coba terus. Ibu mau beli minum dulu di warung sana." Ibu menunjuk kedai yang ada di seberang kami. Cukup berjarak dari sini."Ya sudah sana," sahut Bapak sembari terus mencoba menelepon kerabat dari keluarga Bapak."Kamu mau dibelikan apa, Nur?""Air putih saja, Bu.""Roti mau?"Aku menggeleng."Ya sudah." Ibu berlalu pergi ke sana sendirian.Aku duduk dengan menjulurkan kedua kaki ke depan seraya mengusap-usap perut. Rasa lelah membuatku tak sabar ingin membaringkan badan. Kurogoh ikatan dari saku jaket, lalu mengikat rambut yang sedari tadi dibiarkan terurai."Pak, ak
Sepanjang perjalanan, Bapak yang duduk di jok samping kemudi terus berbincang hangat dengan Dokter Widi. Meskipun, dia terlihat dari kalangan orang yang berada, sifatnya sangat ramah. Tidak canggung mengobrol bersama kami."Nur." Ibu menyentuh punggung tangan. Membuatku yang sedari tadi menatap keluar jendela jadi menoleh. "Itu diangkat dulu teleponnya. Dari tadi pas kamu di toilet juga bunyi terus.""Biarin, Bu. Enggak usah. Palingan juga Mas Aldi.""Angkat dulu atau kirim pesan. Enggak enak sama orangtuanya. Pasti mereka khawatir dengan kita."Aku menghela napas pelan, lalu mengangguk. Merogoh ponsel dari tas dan menggeser ikon hijau di layar."Ibu saja yang bicara," bisikku seraya menyerahkan ponsel ke tangannya.Ibu hanya menggeleng, lalu mendekatkan ponsel itu ke telinganya."Assalamu'alaikum, Di.""
Perkiraanku yang akan tenang menikmati hari-hari di desa bersama Bapak dan Ibu, nyatanya tidak sepenuhnya terwujud. Nomorku memang tidak pernah aktif, tapi nomor Bapak selalu menjadi sasaran Mas Aldi. Meskipun tidak pernah diangkat, tetap saja sangat mengganggu.Bapak sampai kesal dan akhirnya menjawab panggilan Mas Aldi. Memarahinya agar tidak mengganggu masa tenangku di sini. Konyolnya, dia pernah mengirimkan pesan hanya untuk menanyakan di mana pakaian dalam. Antara merasa lucu dan gemas sampai aku dan Bapak sama-sama tertawa karena hal itu.Seminggu di sini, tak jarang aku mendengar gosip miring tentang rumah tanggaku. Ibu selalu menjawab kalau aku ini hanya berlibur, tapi tetap saja mulut mereka tidak bisa dikendalikan."Bu, mau ke mana?" tanyaku melihat Ibu bersiap keluar rumah."Mau beli sayuran, Nur.""Aku saja yang beli, Bu. Seperti yang dibilang Dokter Widi. Aku juga 'kan harus sering-sering jalan kaki. Apalagi di sini udaranya enak banget. Adem, sejuk.""Ya sudah. Tapi kala
Eni sudah pulang lebih dulu setelah mendapatkan bahan masakan yang dicarinya. Bermaksud ingin lebih lama menikmati segarnya udara di pagi hari, aku pun memutuskan pulang dengan melewati jalan yang berbeda. Menyusuri jalanan kecil kampung dengan kanan-kirinya diapit persawahan.Aku merapatkan cardigan yang melekat di tubuh. Pun balas melambai ketika melihat tetangga dekat rumah yang sedang mencangkul di sawah melambaikan tangannya ke sini. Memang tak semua warga kampung ini julid. Masih lebih banyak warga yang sangat baik dan ramah, juga peduli.Aku tersenyum melihat anak-anak kecil yang sedang bermain di kali di mana airnya masih sangat jernih. Dengan riangnya, mereka menangkap ikan-ikan kecil dari sana. Membuat pakaian dan celananya jadi basah terciprat air. Dulu, aku juga sering melakukan hal itu saat masih kecil dulu.Tiin, tiin, tiin!Langkah ini terhenti saat mendengar bunyi klakson motor beberapa kali dari arah belakang. Aku tersenyum pada Dokter Widi yang kini sudah berada tep