Ini kesekian kalinya Mas Aldi mengulangi kesalahan. Dulu kami juga pernah bertengkar hebat dan terjadi perang dingin. Pertama di tiga bulan usia pernikahan kami, yang kedua saat kehamilanku menginjak usia tujuh minggu. Bahkan, saat itu aku sempat drop.
Mas Aldi diam-diam sering mengirimkan pesan di messenger pada sang mantan. Wanita itu memang tidak merespon bahkan malah memblokir akun Mas Aldi. Akan tetapi, suamiku itu selalu membuat akun baru dan mengirimkannya pesan, juga status tentang ungkapan perasaannya.
Ketika kelakuannya itu terbongkar, dia meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulangi. Mas Aldi juga menghapus semua akun beserta aplikasinya. Aku percaya begitu saja dan memberi dia kesempatan. Kenyataannya, kali ini dia mengulangi perbuatan itu lagi. Bahkan, Mas Aldi sengaja membuka aplikasinya melalui browser dengan akun baru yang ternyata sudah dibuatnya dari sebulan yang lalu.
Mungkin, dia berpikir aku tidak akan mengetahuinya lagi. Akan tetapi, yang namanya bangkai pasti lama-lama akan tercium juga, bukan? Seminggu yang lalu saat Mas Aldi tertidur dan lupa mematikan ponsel, tanpa sengaja aku melihat akun facebooknya di browser dengan nama dan foto samaran. Dari situlah semuanya terbongkar.
Aku sengaja memilih diam. Kukirimkan permintaan pertemanan dengan akun baru juga. Setiap hari kupantau semua status galaunya dengan harapan dia akan berhenti dan sadar, tapi ternyata tidak.
Terkadang, aku bingung kenapa sifatnya justru melebihi perempuan? Aku saja jarang mengunggah status-status galau seperti itu, tapi Mas Aldi? Entahlah. Mungkin jiwanya memang melow.
"Kenapa diam? Ini apa, Mas?" tanyaku lagi dingin.
"Itu ... itu apa maksudnya? Mas enggak ngerti." Dia tertawa hambar. Tawa yang terlihat jelas sangat dipaksakan.
"Berhenti berpura-pura, Mas! Tolong jujur."
"Jujur apa? Memangnya mas pernah bohong apa?" Dia masih mencoba berkelit.
"Ini akun Mas, kan? Akun kloningan yang sengaja Mas buat sebulan yang lalu."
"Enggak!" tukasnya cepat. "Bukan, Dek. Itu bukan akun mas. Foto sama namanya aja aneh begitu. Masa iya itu foto mas." Lagi-lagi dia tertawa. "Akun sama aplikasinya 'kan udah mas hapus. Kamu jangan nuduh mas begitu, dong, Dek," bantahnya dengan kening berkerut dalam.
"Oh ...." Aku melirik ponselnya di atas meja. "Pinjam hapemu, Mas."
"Buat apa?" Mas Aldi dengan cepat mengambil ponsel miliknya dari meja.
"Kenapa? Selama ini aku juga bebas pinjam hape Mas, kan? Kenapa sekarang enggak boleh?"
"Bukan enggak boleh. Buat apa dulu? Kan, kamu juga lagi pegang hape sendiri." Dia berkata dengan lembut lagi.
"Apa Mas pikir aku ini bodoh? Sini pinjam!" Aku menengadahkan tangan dengan tatapan dingin.
"Apa, sih, Dek? Enggak ada apa-apa di hape mas. Kamu, kok, curigaan begitu?" Mas Aldi masih bersikeras, tapi raut wajah dan gestur tubuhnya tak bisa menutupi dia tengah menyembunyikan sesuatu.
"Berikan hapenya kalau mau melihatku dan calon anak kita ini selamat."
"Dek!" sentaknya. "Ngomongnya, kok, sembarangan banget, sih?" tegurnya dengan mata melotot tajam.
"Ya udah pinjam!" Tanpa sadar suaraku meninggi. Hampir berteriak dengan tatapan tak kalah tajam.
Mas Aldi menelan ludah, terdiam mematung melihatku menatapnya dengan napas memburu.
"Ya udah, iya. Tapi jangan teriak begitu. Jangan marah-marah juga. Enggak baik buat calon bayi kita," komentarnya lembut.
Tanpa menanggapi ucapannya, langsung kurebut ponsel yang dia sodorkan dengan kasar. Aku masuk ke riwayat akun facebooknya di browser dan ternyata sudah di-logout.
"Masukin passwordnya," perintahku.
"Mas lupa, Dek," kilahnya.
"Masukin atau aku pergi dari sini sekarang juga!" gertakku lagi.
"Iya, iya. Kamu itu sukanya main ngancam begitu. Mas enggak suka!" gerutunya sambil mengambil kembali ponsel dari tanganku.
"Mas pikir aku suka dengan sikap Mas itu?" balasku dingin, tapi dia tak menanggapinya.
Usai berhasil login, langsung kurebut lagi ponsel itu dan membuka inbox. Benar. Meskipun sebagian sudah dihapus, tapi masih ada beberapa pesan yang begitu puitis untuk mantannya itu.
Tanpa terasa, air mataku menetes begitu saja ketika mengambil foto dari pesan-pesan yang dikirimkannya.
"Dek ...."
Kutepis tangannya kasar saat hendak merangkul lagi.
"Maafin mas, Dek. Iya. Mas ngaku mas salah. Maaf, ya. Jangan nangis lagi."
"Jangan sentuh!" desisku seraya menepis tangannya lagi yang hendak menyeka air mata ini.
"Mas khilaf, Dek. Maaf. Mas janji enggak akan begitu lagi. Sumpah!"
"Jangang gampang mengumbar sumpah, Mas!" Aku mendelik tajam. "Sumpah ke berapa yang Mas ucapin ini, hm? Mas enggak takut apa? Mudah banget ngomong sumpah, tapi dilanggar terus!"
"Iya, maaf. Mas janji enggak akan begitu lagi. Serius."
"Jangan peluk-peluk!" Lagi-lagi aku menepis tangannya dengan kasar, lalu pindah ke sofa single.
"Dek ...." Mas Aldi menyusul, berlutut seraya menggenggam kedua tangan ini.
Aku berusaha melepaskan, tapi genggamannya malah semakin erat.
"Jangan nangis, Dek! Maaf," lirihnya.
Aku yang berusaha terlihat tegar, nyatanya tetap meneteskan air mata. Rasa sakitnya semakin berlipat-lipat setelah membaca pesan-pesan ini. Satu kali pun, belum pernah dia memberikan puisi romantis atau kata-kata indah seperti itu selama dua tahun kami menikah.
"Mau Mas sekarang apa? Terus terang, aku udah capek! Keberadaanku enggak pernah dianggap dan dihargai. Mas pikir aku ini patung tanpa perasaan?"
"Maaf, Dek. Ini terakhir kalinya mas berbuat begitu. Beneran, deh! Mas janji! Jangan marah, ya. Mas mohon ...."
Kutarik paksa satu tanganku, lalu menghapus kasar air mata dengan punggung tangan.
"Aku capek, Mas. Mas enggak pernah ngehargain perasaan aku. Sakit, Mas!" geramku seraya memukuli dada ini dengan kepalan tangan. "Coba Mas yang ada di posisi aku, apa yang akan Mas lakukan, hm? Apa Mas enggak akan marah?"
Mas Aldi bungkam.
"Pulangkan saja aku, Mas." Aku menatap sinis Mas Aldi yang menunduk.
Mas Aldi kembali menatapku dengan alis tebalnya yang hampir saling bertemu. Terlihat ingin marah, tapi pada akhirnya hanya menghela napas berat dengan tatapannya yang beralih sendu lagi.
"Pulang gimana maksud kamu, Dek? Kamu kangen Ibu sama Bapak? Biar mas yang minta mereka ke sini, ya?" ujarnya dengan lembut. Ada getar di suaranya. Sedikit.
"Jangan pura-pura enggak ngerti, Mas! Mas sudah tahu maksudku apa. Pulangkan aku sekarang juga!"
"Enggak boleh gitu, Dek. Kamu itu cuma lagi emosi. Mas ...."
"Buat apa aku di sini, Mas? Buat apa?" Aku menyela perkataannya. Pelan, tapi penuh penekanan. "Keberadaanku di sini enggak pernah Mas anggap! Statusku sebagai istri enggak pernah Mas hargai! Mas enggak menginginkanku di sini! Mas enggak ikhlas aku jadi istri Mas!"
"Maksudmu apa, sih? Mas ikhlas, kok. Mas juga sadar sepenuhnya waktu melamar kamu jadi istri!" Mas Aldi mulai terpancing amarah. Ucapannya begitu penuh penekanan. Seolah tengah berusaha meredam emosinya sendiri.
"Apa kata-kataku kurang jelas? Aku mau pulang, Mas! Aku mau kembali ke rumah orangtuaku! Aku enggak bisa hidup dan tinggal bersama laki-laki yang masih terikat dengan cinta masa lalu! Aku enggak mau!"
🌺🌺🌺
Mas Aldi terdiam. Tatapannya masih tak beranjak dariku, tapi genggamannya mulai mengendur."Aku juga sudah berusaha, Dek. Aku sudah berusaha. Tapi enggak semudah itu melupakan cintaku sama dia. Susah," lirihnya dengan kening berkerut dalam.Aku tertawa miris sambil menggeleng. Dengan tidak tahu malunya dia mengakui perasaan untuk sang mantan."Gimana bisa lupa, kalau Mas sendiri masih aja terus mengingat-ngingat dia? Bahkan Mas sampai berkali-kali ganti akun hanya supaya bisa mantau mantan Mas itu! Mas juga enggak malu kirim pesan-pesan puitis. Itu namanya apa, Mas? Apa?""Itu bukan Mas yang enggak bisa lupa, tapi emang Mas yang enggak niat buat lupain!" geramku, tapi masih berusaha menekan suara agar tak lagi membentaknya. Meskipun, dada ini bergemuruh hebat sampai tangan gemetar menahan emosi."Kenapa Mas mau nikahin aku kalau masih enggak bisa move on, hm? Pernikahan bukan untuk main-main, Mas. Jawab jujur! Kenapa dulu Mas datang melamarku, hm? Kenapa?"Mas Aldi terdiam menunduk. K
Sudah lama mata ini terpejam, tapi bukan berarti sudah tidur. Kesadaranku masih full. Aku benar-benar tidak bisa tenang. Berkali-kali mengganti posisi tidur, miring kanan-kiri, terlentang, tapi tetap saja gelisah. Dugaan Mas Aldi membayangkan wajah mantannya ketika kami menyatu, membuat kepala ini rasanya mau meledak.Semakin berusaha dienyahkan, malah semakin kuat mengganggu pikiran. Hingga membuatku kembali ke posisi duduk dan terisak. Kulempar figura foto kami dan gelas di atas nakas sampai pecah untuk meluapkan emosi ini. Aku menunduk, mengusap perutku di mana ada buah cinta kami di sana.Tidak! Ini bukan buah cinta kami. Hanya aku yang mencinta dan mendamba, tapi dia tidak. Raganya di sini, tapi hatinya untuk wanita lain. Bisa saja saat melakukannya, Mas Aldi membayangkan wajah Lidya.Aku menangis sesenggukan dan berteriak kesal tanpa peduli Mas Aldi akan terbangun dan mendengarnya. Ini terlalu sakit. Andai waktu bisa diputar ulang. Jangankan menikah, aku juga tak ingin mengenaln
"Kamu sakit, Dek? Wajahmu pucat," komentar Mas Aldi ketika kami tengah sarapan."Hanya pusing sedikit," jawabku tanpa menatapnya, lalu kembali menyuapkan makanan dan mengunyah pelan."Ayo! Biar mas antar ke dokter dulu sebelum berangkat kerja.""Enggak usah. Nanti dibawa tidur juga sembuh. Hanya kurang tidur saja, kok." Aku tersenyum tipis."Dek.""Hm?""Maaf tentang semuanya. Kamu mau kasih mas satu kesempatan lagi, kan?"Aku menghela napas pelan, lalu kembali menatapnya. "Kita bicarakan ini nanti sepulang Mas kerja, ya. Sekarang, beri aku waktu dulu untuk berpikir dengan tenang."Mas Aldi terdiam sejenak, tapi tak lama dia mengangguk. "Baiklah. Kita bicarakan ini lagi nanti. Mas juga enggak mau kamu tambah sakit. Bisa habis nanti mas diomelin Papa dan Mama kalau kamu kenapa-napa."Aku hanya tersenyum, lalu kembali menunduk menatap piring.Usai sarapan, seperti biasa kuantar Mas Aldi ke depan rumah di mana motornya sudah terparkir setelah sempat dipanaskan mesinnya tadi. Aku mencium
"Bapak ...."Bapak melanglah lebar mendekati kami, lalu berdiri tepat di hadapanku yang menunduk takut."Benar semua yang bapak dengar tadi, Nurma? Benar Aldi sering menyakitimu?"Aku mengangguk pelan."Mana foto bukti-buktinya? Bapak mau lihat."Kuletakkan ponselku di telapak tangan Bapak yang menengadah. Aku dan Ibu saling melempar pandang melihat Bapak yang begitu serius melihat satu per satu foto di ponsel."Benar Aldi melakukan ini? Dia sudah ngaku?""Sudah, Pak," jawabku pelan.Bapak menghela napas berat, lalu mengembalikan ponsel itu padaku."Kenapa kamu enggak cerita dari dulu sama Bapak dan Ibu? Kenapa baru sekarang kamu terbuka?""Dulu aku berharap Mas Aldi akan berubah, Pak. Aku tulus cinta, tapi Mas Aldi enggak. Kepercayaan dan cinta dariku enggak bisa mengubahnya kalau Mas Aldi sendiri enggak ada niat ke sana. Dia sengaja mengejar-ngejar mantannya terus, Pak.""Sekarang, mau kamu apa?" Bapak berjongkok di hadapanku dan berkata lembut.Aku menunduk dan terisak dengan Ibu y
"Ada apa, Nur? Apa kalian sedang ada masalah?" tanya Mama saat aku sudah sampai di ruang keluarga bersama Bapak.Aku mengangguk."Apa ini alasan kamu meminta kami kumpul di sini?" Papa mertua ikut menimpali."Benar, Pah." Aku kembali mengangguk."Masalah apa, Nur? Aldi main kasar?" Mama terlihat khawatir."Nanti, ya, Ma, Pa. Tunggu Mas Aldi ke sini dulu," ujarku, lalu menoleh ke arah kamar. Belum ada tanda-tanda Mas Aldi keluar. Entah apa yang sedang dilakukannya sampai butuh waktu lama untuk kembali ke sini."Kenapa lama sekali Aldi di kamar? Coba panggil, Ma."Mama beranjak bangun dan hendak pergi memanggilnya, tapi batal."Itu dia," ujar Mama.Kami serempak menoleh. Mas Aldi berjalan lesu walau penampilannya sudah terlihat segar. Ternyata, Mas Aldi mandi dan mengganti pakaiannya dulu."Lama banget kamu, Di. Sudah ditungguin dari tadi juga," cicit Mama."Mandi dulu, Ma. Panas." Mas Aldi melirik ke sini, tapi aku langsung membuang muka."Duduk!" titah Papa seraya menunjuk sofa single
"Jangan dekati anak saya!" Bapak menahan tubuh Mas Aldi yang hendak mendekat padaku dengan tangannya."Pak ...." Mas Aldi berlutut di hadapan Bapak seraya memegangi satu tangannya. "Aku minta maaf. Aku mengaku salah dan menyesal. Beri aku kesempatan memperbaiki semuanya. Aku janji enggak akan menyakiti Nurma lagi," mohonnya dengan tatapan memelas. Ada air mata menetes di pipinya.Entah itu air mata buaya atau sungguhan. Aku tidak peduli."Memaafkanmu itu mudah. Tapi keputusan akhir, bapak serahkan pada Nurma. Apa pun keputusan Nurma, bapak dan Ibu akan mendukungnya asal dia tenang dan bahagia," tegas Bapak.Mas Aldi beralih menatapku. Dia bergeser mendekat karena Bapak tak lagi menahannya."Dek ... maafin mas. Tolong jangan minta cerai. Beri mas satu kali lagi kesempatan untuk memperbaiki semuanya." Mas Aldi memaksa menggenggam kedua tanganku."Enggak bisa. Aku udah telanjur sakit hati, Mas. Apa jadinya kalau suatu hari aku ketemu dengan mantanmu itu? Mau ditaruh di mana mukaku, Mas?
Kami sampai di terminal kota tempat kelahiranku ketika jam sudah lewat tengah malam. Kami duduk di halte terminal karena tak ada kendaraan umum menuju desa di jam segini."Benar kata papanya Aldi, Pak. Harusnya kita bisa tunda kepulangan ini sampai pagi. Bapak, sih, apa-apa pakai emosi dulu," gerutu Ibu."Sabar. Ini Bapak lagi coba telepok Entis buat minta tolong jemput. Tapi, kok, belum diangkat juga.""Ya sudah Bapak coba terus. Ibu mau beli minum dulu di warung sana." Ibu menunjuk kedai yang ada di seberang kami. Cukup berjarak dari sini."Ya sudah sana," sahut Bapak sembari terus mencoba menelepon kerabat dari keluarga Bapak."Kamu mau dibelikan apa, Nur?""Air putih saja, Bu.""Roti mau?"Aku menggeleng."Ya sudah." Ibu berlalu pergi ke sana sendirian.Aku duduk dengan menjulurkan kedua kaki ke depan seraya mengusap-usap perut. Rasa lelah membuatku tak sabar ingin membaringkan badan. Kurogoh ikatan dari saku jaket, lalu mengikat rambut yang sedari tadi dibiarkan terurai."Pak, ak
Sepanjang perjalanan, Bapak yang duduk di jok samping kemudi terus berbincang hangat dengan Dokter Widi. Meskipun, dia terlihat dari kalangan orang yang berada, sifatnya sangat ramah. Tidak canggung mengobrol bersama kami."Nur." Ibu menyentuh punggung tangan. Membuatku yang sedari tadi menatap keluar jendela jadi menoleh. "Itu diangkat dulu teleponnya. Dari tadi pas kamu di toilet juga bunyi terus.""Biarin, Bu. Enggak usah. Palingan juga Mas Aldi.""Angkat dulu atau kirim pesan. Enggak enak sama orangtuanya. Pasti mereka khawatir dengan kita."Aku menghela napas pelan, lalu mengangguk. Merogoh ponsel dari tas dan menggeser ikon hijau di layar."Ibu saja yang bicara," bisikku seraya menyerahkan ponsel ke tangannya.Ibu hanya menggeleng, lalu mendekatkan ponsel itu ke telinganya."Assalamu'alaikum, Di.""