Adzan subuh berkumandang dengan perkasa. Kubuka mata perlahan. Mas Eros sudah tak ada di sampingku. Aku yakin dia sudah berangkat ke masjid seperti biasanya. Mas Eros memang rajin shalat berjamaah ke masjid. Gegas mandi lalu menjalankan kewajiban untuk shalat subuh. Setelahnya aku beranjak dari kamar untuk membantu ibu memasak seperti biasanya. Keluar dari kamar, ibu sudah duduk santai di kursi makan sembari memotong-motong kentang. "Ibu sudah bangun? Memangnya nggak capek kemarin sibuk seharian?" Aku ikut duduk di samping ibu. Wanita yang sudah melahirkanku 26 tahun lalu itu pun tersenyum tipis lalu menatap wajahku beberapa saat. "Kenapa sih, Bu? Ada yang aneh?" tanyaku sembari meneliti pakaian yang kupakai. "Kenapa rambutnya masih kering?" Ibu kembali tersenyum sedikit menggoda. "Ih ibu ...." Ibu tertawa geli melihat wajahku yang mungkin sudah memerah. "Ibu pengin cucu. Jangan ditunda ya, Nin. Sekarang kan suami pilihan sendiri. Jadi, nggak ada yang perlu khawatir atau takut
"Sial! Eros memang sengaja membuatku cemburu. Bisa-bisanya mengirimiku foto seperti itu!" Eris melempar handphonenya begitu saja di atas kasur. Wajahnya memerah menahan amarah bercampur kesal saat melihat foto Hanin sedang mencium Eros di layar handphonenya. "Bisa-bisanya dia sebahagia itu, sementara aku masih saja cekcok dengan Fika. Perempuan itu benar-benar keterlaluan. Sudah kuberi kesempatan kedua, tapi tak jua dimanfaatkan dengan baik. Sejak dulu tak jua berubah, masih seenaknya seolah tak memiliki keluarga!" Lagi-lagi Eris mengomel sembari menatap foto istri dan anaknya di dinding kamar. "Sejak ngantor lagi sebulan lalu, sikapnya makin keterlaluan. Didiamkan bukannya sadar malah kebablasan!" Eris keluar kamar lalu menutup pintu rapat. "Fika! Weekend begini mau kemana lagi? Aku izinkan kamu kerja karena kamu selalu merasa nggak cukup dengan gajiku gara-gara cicilan mobil dan rumah, tapi bukan berarti kamu bisa seenaknya pulang dan pergi. Semalam aku masih bisa memaklumi kalau
"Jaga marwahmu sebagai seorang istri. Jika kamu lembur di hari biasa, seharusnya kamu nggak mengambil lembur saat weekend. Gunakan waktumu bersama Edo agar dia tak selalu kesepian. Dia sangat membutuhkan sosok seorang ibu di usianya saat ini. Jangan sampai kamu menyesal di kemudian hari karena egomu sendiri!" "Kamu menyumpahi aku, Mas? Kamu menuduhku berbuat macam-macam di luar sana dengan alasan lembur, begitu maksudmu kan?" tanya Fika sembari mendorong bahu suaminya dengan keras. "Aku nggak menuduh. Apa jangan-jangan justru kamu yang merasa tertuduh?" balas Eris dengan menghela napas kasar. Fika semakin meradang mendapatkan ceceran suaminya. Namun, dia tak menyahut. Buru-buru ke kamar untuk mengambil tas kerjanya lalu kembali menutup pintu dengan rapat. "Aku pergi naik taksi. Jadi, tak perlu kamu antar, Mas," ucap Fika cepat.Perempuan itu menghentikan langkah sejenak di samping ruang makan karena Eris masih duduk di sana. Tanpa menunggu jawaban sang suami, Fika pergi begitu saj
Eros sedang sibuk menyusun kejutan untuk Hanin, istrinya. Di hari ketujuh pernikahan mereka, Eros masih santai menikmati hari-hari bahagianya bersama Hanin yang masih saja malu-malu meski mereka sudah sah menikah. Hanin bahkan belum memberikan nafkah batin untuk suaminya. Entah mengapa rasanya selalu canggung dan takut. Eros pun mengerti dan tak memaksa Hanin untuk melakukan sesuatu yang belum bisa dilakukannya. Eros ingin mereka menikmati malam pertama dengan penuh cinta dan sama-sama ikhlas meski entah kapan. Eros akan tetap menunggu keikhlasan Hanin untuk itu. "Wah Pak Eros mau kasih kejutan buat Mbak Hanin ya?" tanya Mala saat melihat atasannya itu menghias ruang kerjanya secantik mungkin. Tak lupa menyiapkan buket bunga mawar merah dan kado kecil di sampingnya. Di tengah ruangan, Eros menyiapkan meja dan dua kursi untuknya dan Hanin. Ada beberapa makanan kesukaan Hanin di meja dengan beberapa lilin kecil sebagai pelitanya. Meja yang sengaja diletakkan berhadapan dengan jendela
"Hanin kemana kalau di apotek nggak ada?" tanya Ibu mulai tak tenang. Wanita itu benar-benar cemas dan takut terjadi sesuatu yang tak diinginkan pada anak perempuannya."Ibu jangan khawatir. Eros akan cari Hanin dulu. Boleh jadi dia sudah sampai di cafe sekarang kan? Nanti kalau sudah ketemu Hanin, Eros telepon ibu lagi ya?" Ibu mengiyakan lalu keduanya sama-sama mengucap salam dan menutup obrolan. Ibu bergeming di tempat setelah panggilan dimatikan. Bapak yang memperhatikannya sejak tadi pun mulai mendekat dan duduk di samping istrinya. "Kenapa cemas begitu, Bu?" Bapak mengusap punggung ibu perlahan. Wanita paruh baya itu pun menoleh dengan mata berkaca. "Hanin nggak ada, Pak. Entah kemana dia. Eros bilang handphonenya mati dan dia belum sampai cafe sejak tadi, padahal bilang sama ibu cuma mau mampir ke toko kue sama ke apotek. Seharusnya kan sudah sampai sejak tadi." Ibu mulai terisak. Wanita itu benar-benar takut jika terjadi sesuatu tak menyenangkan pada menantunya. "Tenang, B
[Hanin. Cantik juga istrimu, Ros. Bagaimana jika aku mengambilnya? Sepertinya dia istri yang shalihah dan idaman banyak pria. Rasanya ingin ikut mencicipi perempuan secantik dan semulus dia] Pesan dari nomor tak dikenal itu membuat Eros meradang. Dia semakin khawatir dan takut jika terjadi sesuatu yang tak diinginkan pada istrinya. Pesan yang dibacanya detik ini benar-benar mengkhawatirkan dan menakutkan. Eros semakin tak tenang. Dia terus berpikir kemana istrinya pergi."Mungkinkah Hanin dibawa ke rumah sakit Elisabeth? Bagaimana jika dia diculik atau dibawa ke tempat lain yang tak kutahu? Apa kecelakaan Hanin kali ini berkaitan dengan pesan ancaman itu? Siapa sebenarnya yang mengirimkannya? Mengapa harus Hanin yang dia jadikan sasaran? Kenapa nggak aku saja jika memang dia dendam padaku?" Eros bergumam lirih. Berbagai pertanyaan menyesaki benaknya. Dia benar-benar takut terjadi sesuatu tak diinginkan pada istrinya.Beberapa kali Eros mengepalkan jari-jari tangan kanannya dengan seg
Kini Eris mulai menyesal kenapa dulu begitu mengabaikan Hanin dan memilih Fika sebagai pendamping hidupnya. Fika yang tak pernah berubah hingga kembali membuatnya kecewa untuk ke sekian kalinya. Kesempatan kedua yang diberikan Eris pada Fika nyatanya tak dimanfaatkan dengan baik. Perempuan itu kembali melakukan kesalahan yang sama bahkan lebih fatal dibandingkan sebelumnya. [Dia mantan istriku, Ros. Jikalaupun aku mencintainya wajar bukan? Delapan bulan bersama dalam satu ranjang, nggak mungkin jika aku terus membencinya. Jadi, kamu tak perlu cemburu dan berpikir aneh-aneh] Eris kembali membalas pesan Eris. Setidaknya dia sudah mengungkapkan apa yang dirasakannya meski tak akan mungkin terbalaskan. Eris tahu jika Hanin terlalu setia dan patuh pada suami, nggak mungkin berpaling pada Eros apalagi demi dia yang dulu selalu mengecewakan dan menyakiti hatinya. [Bukan aku yang cemburu, tapi kamu yang terlalu ketara dengan perasaanmu. Kenapa baru sekarang kamu memiliki rasa itu pada is
Hening. Laki-laki bernama Mamat itu masih fokus memeriksa rekaman cctv yang menyorot ke teras dan jalan utama di depan bengkel. "Mas, coba mendekat. Itu mobil yang menabrak motor istri Mas Eros," ucap Pak Mamat sembari menunjuk layar laptopnya. Eros pun buru-buru mendekat lalu ikut fokus menatap layar persegi panjang di depannya. "Itu memang motor istri saya, Pak. Motor yang di depan tadi, cuma yang makai bukan istri saya." Eros berpikir sejenak, mengapa motor itu dipakai orang lain yang bahkan tak dikenalnya. Itupun bukan Hana, karena Eros tahu bagaimana sosok sahabat istrinya itu meski hanya bertemu sekali saat pernikahannya kemarin. "Mas Eros kenal siapa dia?" Laki-laki itu menggeleng. "Pantas saja istri Mas Eros nggak ada di rumah sakit Elisabeth karena yang tertabrak memang gadis itu, bukan istri Mas Eros." "Jadi, kemungkinan besar istri saya memang benar-benar diculik, Pak?" Eros mendadak kalut dan takut. Ekspresinya berubah seketika. Beragam pertanyaan dan pernyataan lalu