Kulangkahkan kaki dengan malas keluar dari gedung rektorat, hampir satu jam adu mulut dengan petugas administrasi membuat otakku ingin meledakkan lahar seketika itu juga. Kenapa orang borjuis selalu merasa diatas segalanya? Apa iya kuliahku hanya samapai titik ini? Masuk semester tiga aja belum, udah harus seribet ini berurusan dengan pembiayaan. Seandainya aku bisa seperti kakakku yang mendapat beasiswa untuk kuliah, tapi sayang aku tidak sepintar dia dan aku juga tidak pernah bisa mengurus beasiswa dibawah status kurang mampu, untuk sekedar meringankan biaya kuliahku yang nggak sedikit. Tapi rasanya percumah mengatakan andai, toh pada kenyataannya takdir lebih jujur dari keinginan ku. Aku tidak mengatakan aku bodoh, tapi aku juga nggak pinter-pinter amat.
Aku berhenti di depan Warung Makan bercat hijau, warung andalan anak kost dan mahasiswa di kampusku. Mungkin ngutang di sana bisa mengurangi rasa laparku selama dua hari belum makan apapun, hanya minum dari air galon yang sisa seperempat di kamar kost. Masuk warung sederhana itu dengan wajah yang ku buat seceria mungkin, mencari Mak Dayah yang hampir setahun ini menjadi teman ngobrolku saar ruwet.
"Mak..." panggilku menngabaikan berpasang mata yang duduk di bangku panjang dalam warung, Aku melengos saja ke dapur.
"Hei! Mau makan ambil sendiri Ra!" Teriak Mak Dayah yang ternyata sedang mencuci piring di wastafel belakang dapur. Aku mendekat, menatap lekat wanita seumuran ibuku itu. "Ada apa?" Tanya Mak Dayah yang melihatku hanya mematung di ambang pintu.
"Aku ngutang lagi ya mak..." sahutku tanpa malu, lebih tepatnya pura-pura tidak malu. Perutku lebih butuh asupan daripada menuruti gengsi dan nggak makan, cukup dua hari ini aku menyiksa diri tidak memberi sesajen untuk cacing-cacing kesayangan ku di perut.
"Udah sana nggak usah di pikir, makan tinggal makan! Nanti catet sendiri di buku ya..." kata Mak Dayah dengan wajah maklum, aku mengangguk dan memamerkan senyum senangku. Aku berlalu begitu saja dari hadapannya, berharap ia tak menyadari bendungan yang menggantung di pelupuk mataku yang sudah beberapa hari ini tidak ku hiasi eyeliner karena terlalu sibuk menndebat dosen, dekan, bahkan administrator rektorat. Aku kadang protes pada Tuhan, kenapa aku nggak secerdas kakak ku? Kenapa aku nggak bisa semandiri adikku? Kalau banyak orang menganggap jadi satu-satunya anak perempuan itu enak, nyatanya aku enggak. Aku justru malu pada Kak Farhan dan Vian, mereka berdua bisa untuk menghidupi kesehariannya yang jauh dari orang tua kami tanpa membebani dalam arti biaya, karena mereka pinter dan mandiri, buktinya kakakku itu dari SMP sampai kuliah sekarang selalu dapat beasiswa prestasi, bahkan hampir lulus pun sudah dapat tawaran bergabung di perusahaan properti, dia bahkan mengambil jurusan Teknik sipil yang terkenal rumit dengan rumus-rumus bangunan, bukankah itu keren? Sedangkan adikku Vian, lulus SMK ini dia langsung kerja di dealer tempat nya magang PKL tahun lalu.
Sambil mengisi piring dengan nasi dan kawan-kawannya, pikiranku melayang pada kejadian sebulan lalu sebelum aku harus berdebat dengan pihak kampus. Harusnya bulan lalu aku menyelesaikan pembayaran administrasi kuliahku yang membengkak sampai 21 juta, nggak ada yang murah memang di fakultas kesehatan, apalagi selama dua semester ini kami mahasiswa angkatan pertama prodi keperawatan-ners di kampus ini sudah melalui tahun-tahun awal yang diwarnai dengan praktek di laboratorium Rumah Sakit yang bahkan beda kota, sudah jelas itu semua biaya nggak sedikit. Tapi sekali lagi, kadang apa yang kita rencanakan tidak seperti apa yang Tuhan takdirkan, bapakku harus gulung tikar, usaha pabrik tahu yang baru dirintis setahun ini gagal total, padahal modal yang beliau keluarkan tidak sedikit. Itu sebabnya aku harus terlambat melunasi biaya administrasi, bapakku sampai harus pinjam sana-sini untuk membayar administrasi kuliahku, tapi Tuhan sangat sayang padanya sampai hanya bisa mendapatkan uang 4 juta sampai jatuh tempo hari ini. Apalagi jumlah kerugian dari gagalnya pabrik tahu itu mencapai 70-an juta, uang dari mana itu untuk mengembalikannya dalam waktu sebulan?
Berbagai argumen sudah ku sampaikan ke pihak rektorat dan karena aku bukan termasuk mahasiswa yang punya IPK 4,0 sudah bisa di simpulkan, administrasi fakultas kesehatan memang tidak bisa di goyahkan apalagi hanya dengan janji seorang mahasiswa keperawatab yang gagal seperti aku. Mataku panas, ingin menangis saat ini, tapi di depanku banyak penikmat masakan mak Dayah yang dalam diam memperhatikanku. Aku terkekeh sendiri mengingat tadi dengan nekatnya menemui dekanku dan mengatakan keluh kesah yang ku alami, lucunya lagi beliau hanya senyum dan mempersilahkan aku pergi setelah aku ngomong dari A sampai Z, aku di usir? Indah sekali hidupku.
"Mbaknya PNS ya?" Tanya seorang lelaki paruh baya di depanku memperhatikan seragamku yang memang mirip seragam PNS di sini, aku pernah memprotes Kaprodi ku tentang warna coklat nya yang membuat angkatan kami terlihat tua.
"Nggak kok pak... saya mahasiswa..." jawabku dengan memamerkan senyuman termanis yang kupunya hari ini, meskipun detik berikutnya senyum itu lepas begitu saja tergantikan wajah datar.
"Oh... prodi baru itu ya? Ners?" Tanya si bapak nggak mau menyerah saat aku memasang wajah datar. Aku hanya mengangguk sambil mengunyah makananku.
"Seragamnya mirip PNS ya? Semoga mbak nya nanti kalau sudah lulus jadi PNS beneran..." kata si bapak menimpali lagi, aku memaksakan senyum dan menatapnya sedikit tajam.
"Maaf bapak... saya nggak mau jadi PNS! apapaun alasannya, kalau bapak mau mendoakan saya, tolong doakan saja kuliah saya lancar dan di beri kemudahan untuk mencapai cita-cita saya..." tukas ku teguh menatap tepat di mata tua si bapak. Aku melihat ada keterkejutan di mata itu, tapi aku serius, bagiku jadi PNS nggak penting. Yang menjadi fokus ku sekarang adalah tidak putus di tengah jalan. Apalagi di usia ku yang hampir 24 tahun, aku cukup telat dalam ranah pendidikan. Sudah ku bilang kan? Cita-citaku tinggi tapi otakku tidak semulus kak Farhan atau Vian, aku seprti anak yang terbuang, bapakku orang yang cerdas dimasanya kuliah tidak pernah mendapat IPK di bawah 3,8 dengan rata-rata nilai A, ibuku juga sering memenangkan olimpiade semasa masih sekolah bahkan saat kuliah beliau termasuk mahasiswi yang di perhitungkan dosen, kakakku yang selalu rangking satu sejak SD --Ku akui dia memiliki otak se encer ibuku--, adikku Vian? Dia orang yang penuh totalitas watak mandiri dan kreatifnya mengubah barang menjadi uang turunan dari bapakku. Aku? Selain sifat keras kepala yang menurun dari bapakku hanyalah hobi ku yang selalu berhubungan dengan seni, hanya itu! Tapi cita-citaku adalah Dokter, bukankah itu kekanak-kanakan?
"Padahal gaji PNS besar mbak..." ujar si bapak dengan tenang nya menutupi keterkejutan menerima balasanku tadi.
"Gaji PNS satu tahun dengan biaya semesteran saya masih besar biaya semesteran saya. Apa yang mau di banggakan menjadi PNS? nggak ada pak di otak saya untuk mengambil jalan PNS, mungkin banyak orang yang akan mengatakan kuliah di fakultas kesehatan itu investasi yang menjanjikan.. bahkan dengan mudahnya bisa jadi PNS, tapi sayangnya bukan itu tujuan saya masuk ke dunia medis..." kataku dengan senyum dan tatapan yang kubuat setajam mungkin. "Saya tau anda pak... saya juga tau anak anda yang kuliah di sini juga, dia Sekar dari D3 kebidanan kan? Satu angkatan dengan saya, dia optimis tentang masa depan cerah sebagai tenaga medis, tapi dia menilainya hanya dari sisi investasi... ternyata semua itu gambaran dari bapaknya..." kataku dengan senyum setengah yang kupasang sejahat mungkin di wajahku, membuat beberapa pasang mata yang melihat kami jadi antusias, mereka seperti menyaksikan acara adu panco di TV sebelah. "Satu lagi pak! Berhasil atau tidaknya anda mengambil keuntungan dari investasi yang ditanam disini, itu tergantung persepsi kalian yang mengedepankan kemanusiaan atau keuangan? Atau bahkan dua-duanya? Itu terserah kalian! Tapi anda tidak akan bisa mempengaruhi saya tentang PNS dan kawan-kawannya... saya nggak minat..." jawabku lalu menuju dapur Mak Dayah, entah kenapa aku jadi kesal sendiri setia orang yang membahas tentang PNS, apalagi nada sombong bapaknya tadi, pengen ku cabik-cabik itu. Eh, tapi kok aku emosinan? Padahal cuma pembahasan PNS?
Aku selalu anti dengan kata PNS, trauma ku menjadi-jadi setiap membahas tentang PNS. Gara-gara kata "PNS" yang melekat di otak kebanyakan orang sebagai sesuatu yang mewah membuat orang tuaku tidak punya harga di depan kakek nenekku, apalagi segenap budhe dan pakdhe yang merupakan kakak dari bapakku semuanya punya titel PNS, hanya orang tuaku yang tidak. Mengingat anaknya 3, uang 3,5 juta perbulan tidak akan cukup untuk membiayai kehidupan kami berlima pada saat itu. Itulah salah satu alasan kenapa bapakku tidak mau menjadi PNS, apalagi terikat kontrak dalam pekerjaan? Bapakku bukan orang yang bisa di kekang masalah pekerjaan.
"Berantem sama siapa lagi Ra?" Tanya Mak Dayah saat aku menikmati makan ku dengan duduk di kursi pendek dalam dapur yang penuh perkakas itu.
"Sama bapak-bapak yang anaknya rivalku di BEM Fikes..." jawabku santai, mak Dayah sudah seperti ibuku, yang paham dengan perangaiku. Meledak-ledak dan kadang tidak terkontrol. Untung aku udah nggak se-hiperaktif jaman masih SMK, yang mana aku menghabiskan banyak waktuku untuk mengurus komunitas Theater, dan jelas hampir setiap hari aku meledak-ledak dengan emosi membara. Mak Dayah hanya menggeleng lalu ke depan lagi, menjaga warung sebatas menunggu ada yang mau memmbayar atau mencatat bon.
Kembali aku menghela nafas panjang, apa yang harus aku lakukan setelah ini? Resign? Atau cuti?
###
Setelah mencuci pakaian yang teronggok di ujung kamar selama tiga hari, aku menjatuhkan diriku dalam kantuk yang luar biasa di kasur empuk kamar kost kesayangan yang menemaniku hampir setahun ini. Baru saja adzan isya' berkumandang, aku lelah. Seharian menguras tenaga dan emosi yang kupunya. Dalam telungkupku dan mata yang terpejam damai aku menemukan ingatan yang timbul tenggelam, aku merindukan sosoknya, tapi melihat ponselku masih menggantung di stopkontak aku malas mengambilnya. Mungkin tidur lebih baik.
Lengkingan Chazzy dan ketukan tecnofuturistic yang memang ku potong untuk ringtone tiba-tiba menggema seisi kamarku, menggeram kesal lalu bangkit ke arah ponsel.
"Iya Vi..." sahutku pelan, mengatur suara agar terdengar seprti orang bangun tidur. Jangan ragukan kemampuan ku akting, itu bakat sejak lahir.
"Bangun tidur kamu?" Tanya Silvi diujung sana membuatku memutar bola mata sekaligus nyengir kuda, dia nggak akan tau.
"He'em... kenapa?"
"Tidur dari jam kapan kau?"
"Baru juga selesai nyuci terus merem sebentar..."
"Nyuci? Maghrib-maghrib?"
"Iya... kenapa?"
"Sakit kamu nanti nyuci malem-malem..."
"Cie... perhatian..."
"Perhatian salah... nggak perhatian marah..."
"Hehe...kenapa nih telpon?"
"Huh... keluar yuk?"
"Kemana?"
"Club..."
"Emang berani?" Tanyaku terkekeh mengejek, jangankan club? Pacaran aja nggak pernah. Baik aku maupun Silvi sudah menentukan standar cowok ideal, jadi selama itu belum terpenuhi mungkin kami sama-sama memilih untuk berdiam diri tana ada niat menyatukan hati.
"Nggak lah! Emang di sini da club? Enggak kan?" Sahutnya membuatku ngakak seketika. Club terdekat disini ada di kota sebelah, bisa di bilang kota tempatku tinggal ini bersih dari bangunan berujung dosa berselimut nikmat, tapi untuk penjajanan prostitusi di sini masih banyak yang tawar beli meskipun tidak sejelas gang dolly di kota sebelah.
"Gaya gaya'an mau ke club, pegang tangan cowok aja takut... haha..." godaku membuat kami sama-sama terbahak. Akhirnya untuk mengurangi penat dalam benakku, aku memutuskan untuk mengikuti Silvi ke alun-alun malam ini.
###
Sepulang dari alun-alun kami berdua di kagetkan dengan kehadiran Manda dan Fatira yang sudah menunggu dengan sok manisnya di ruang depan kost ku, aku melotot ke arah mereka berdua. "Ngapain kalian kesini ih?" Sergahku yang sedang tidak ingin pusing dengan kelakuan sahabat-sahabatku, cukup Silvi yang kadang masih terhitung waras diantara kami berempat.
"Tuh... Ara kalau udah fokus sama dunianya lupa sama kita!" Ujar Fatira dengan mata memicing, aku mendengus kasar. Dia teman sekomunitas pecinta alam, kami berempat tepatnya. Jurusan kami saja beda, hanya Silvi dan Fatira yang satu jurusan di prodi Akuntansi, sedangkan Manda prodi hukum keluarga, dan aku? Satu-satunya mahasiswa fikes di kampus kami yang bergabung di Mapala. Jangan salahkan aku yang tidak pernah terlihat akrab dengan anak seprodi, aku lebih akrab dengan anak prodi lain.
Aku pun masuk kamarku setelah membuka kunci, mengabaikan apapun yang di bicaran trio cumi-cumi di belakangku, mereka berhambur merebutkan kasurku yang besarnya hanya cukup untuk tidur dua orang.
"Tenang Ra... kita nggak lama kok... nggak akan nginep juga..." kata Manda menangkap tatapanku yang tajam menusuk ulu hati.
"Suka-suka kalian aja... aku stress... itu tadi aku sama silvi beli martabak manis... dimakan gih..." kataku akhirnya lalu tersenyum.
"Nggak baik memendam perasaan terlalu lama Ra! apalagi marah dan kecewa harusnya langsung disampaikan biar semua orang nggak salah paham..." kata Fatira sambil memenuhi mulutnya dengan martabak coklat keju kesukaan kami berempat.
"Biarin aku mikir dulu Fat... nanti aku bakal cerita..." kataku lalu berkutan dengan buku dan bolpoint biruku. Tak lagi memperdulikan wajah mereka yang menampilkan banyak ekspresi saat saling bertukar cerita. Dan tiba-tiba hujan turun membuat ketiga kawannya saling bersorak entah dalam artian apa.
"Ara... nggak capek dari tadi nulis terus kamu?" Tanya Fatira penasaran lalu mendekat ke arah ku.
"Untuk kali ini sepertinya tidak Fat... terlalu manis untuk ditinggalkan...." jawab ku menopang daguku dan menatap intens kawanku itu.
"Huh! Dasar sok puitis..." sergah Fatira memanyunkan bibirnya.
"Andai Ara itu cowok... banyak deh temen kita yang kecanduan madu dari mulutnya..." ujar Manda disertai tawa renyah dari bibir mungilnya. Manda yang sedari tadi memperhatikan keributanku dengan fatira.
"Tapi sayangnya Ara udah terobsesi sama si rapper itu... siapa namanya Vi? Rounen? Nggak ada tuh ceritanya dia berpindah kelain hati! umpama nya Ara cowok... pasti tetap menunggu si rapper itu... ish... rapper tapi nggak tindikan, nggak tattoan juga... nggak manly!" sulut Fatira dengan mengibaskan tangannya.
"Ngomong apa si fat? Heh! Kamu suka sama Dimas aja aku nggak protes, ngapain kamu protes aku suka Ronin?" Tegasku nggak terima Fatira menjelek-jelekkan orang yang ku kagumi, mana salah nyebut nama panggung Ronin jadi Rounen lagi, tidak bisa di biarkan! Aku menutup bukuku dan mendelik ke arah Fatira yang malah terbahak, seprtinya dia puas membuat nyawaku yang beberapa waktu lalu hilang karena stres mikir rektorat. Kulihat sekilas Manda mengerutkan keningnya.
"Kenapa udahan nulisnya Ra?" Tanya Manda skeptis. Menatap heran ke arahku.
"Sesekali berhenti bermimpi... jalani apa yang ada didepan mata... berkhayal tu cukup melelahkan..." jawabku sok puitis menaik turunkan alisku sebelum akhirnya kudengar suara Fatira memekik hasil cubitanku.
"Salah siapa berkhayal...? Hahaha... kadang aku penasaran... halu mu sejauh mana sih sampai sembisius itu?" ujar Manda di setujui Fatira, padahal kami sama-sama tau. Lebih jauh dari apa yang bisa di bayangkan orang lain.
"Udah lah... semua orang juga punya privasi masing masing... punya pilihan dan keputusan yang berbeda... kita temennya cukup nemenin dia... dan liat... apa yang akan dia lakukan nanti..." tukas Silvi yang selalu jadi sosok terbijak diantara kita ber empat. Aku pun melangkah menuju magiccom, mengisi nya dengan air dan menyalakan di stopkontak.
"Iya juga sih..." sahut Manda tersenyum damai.
"Tapi aku gemes sama Ara... omongannya itu lho... manis banget... kaya orang pengalaman masalah cinta... padahal..." protes Fatira masih nyolot.
"Ssssttttt.... udah ndak usah dibahas... capek kamunya nanti Fat..." kataku dengan tawa yang tak ada habisnya. Kulihat satu persatu wajah teman-teman yang hampir setahun ini mewarnai hari-hariku yang melelahkan dengan sikap konyol mereka bahkan sering menghabiskan waktu dengan pembahasan yang cukup rumit dijabarkan dalam kata kata.
"Noh... liat hujan aja nggak mau berenti dari tadi... tau nggak kenapa coba?" Tanyaku menghentikan tawa mereka yang awalnya meledak.
"Takdir..." jawab Manda yang memang suka sekenanya kalau ngomong membuat Fatira tertawa dan memukul pelan lengan Anin.
"Jawab yang bener napa?" Sahut Silvi merasa nggak sabar juga dengan wajah datar Manda sedangkan yg lainnya tertawa.
"Ya apa coba kalo nggak takdir..." pembelaan Manda cukup membuatku merenggangkan tangannya seakan melerai pertengkaran.
"Hujan itu mewakili perasaan kita..." jawab ku akhirnya.
"Kok bisa?" Tanya Manda.
"Ah... ketebak ni habis ini pasti ngomongin Pujaam hatinya..." cibir Fatira membuat Silvi memasang wajah innocent.
"Belum tentu..." sahut Silvi tersenyum penuh arti.
"Ya mewakili perasaan kita lah, biasanya kita sibuk sama kuliah... cuma bisa kumpul kalau diantara kita ada yang ngalah buat ketemu gin... kapan lagi coba bisa nyeduh kopi ginian? Kita tu terlalu fokus dengan hari hari yang memberatkan... hujan ngajarin kita buat relaks walau sehari ini... dan ngumpulin kita setelah seminggu nggak ketemu... kalau toh hujan sampe sore... atau bahkan malam... ya... kita tidur disini aja... desak-desakkan nggak masalah... toh kita masih bisa barengan... iya nggak?" Jawabku sambil melihat dari jendela kamar. Hujan masih cukup deras untuk membiarkan teman-temanku kembali ke kediaman masing-masing.
"Tumben bijak amat Ra..." sahut Manda mengikuti arah pandangku.
"Helleh... tadi aja kita di usir..." protes Fatira membuatku terbahak untuk kesekian kalinya.
"Ini yang selalu membuat aku kangen sama Ara... nyebelin kalo udah pacaran sama buku... tapi asik... kalo udah bikin kopi buat kita..." ujar Silvi lalu menyeruput kopi digelasnya dan memejamkan mata seakan sangat nikmat rasa kopi yang bahkan masih mengepul, secara baru saja kuseduh.
"Kapan lagi kita ngrasain kopi yang diseduh pake megicCom?" Goda Manda membuat kamj tergelak hebat.
"Yang penting magicCom nya bersih... dan lagi... rasa nya jangan di lupain..." elakku tak mau kalah melakukan pembelaan.
Biarkan aku melupakan sejenak rasa tidak nyaman sehariam ini berurusan dengan orang borjuis, mungkin besok aku akan mencari pekerjaan paruh waktu, meskipun aku nggak ada pengalaman untuk itu, setidaknya aku akan berusaha sekuat tenagaku.
Indahnya jalan kehidupan
Kita sendiri yang akan menentukanPahitnya perjalanan Kita sendiri yang akan membuahkannya menjadi manisTidak ada gunanya meratapi kekecewaanBerikan saja senyum yang manisMaka dunia pun akan menetralkan pahit asinnya yang kita rasakan**Asmara Sukma Hadi**
Aku hanya bisa menunggu di depan ruang kaprodi, sesaat setelah aku mendapat panggilan tadi. Pikiranku berputar-putar entah kemana, apa ini waktunya aku di tendang dari kampus ini? Otakku tak bisa berhenti berpikir logis. Wahai otak berhargaku, tolong bisalah berkompromi! Berpikirlah yang baik-baik saja! Kau harus bertahan, jadi tolong jangan berpikir yang aneh-aneh!. Ah, dasar otakku selalu overthinking. Dengan memainkan ponselku yang bisa di bilang sudah tidak normal lagi, tombol powernya sudah tidak berfungsi dan bentuknya sudah pecah sana-sini, ditambah lagi cara menghidupkannya harus buka tutup baterai. Berharap dengan bermain gawai dapat meredakan gelisah dalam benakku sendiri. Tak lupa juga aku memasang headset ke telinga kiriku, mencoba menikmati salah satu lagu kesukaanku, eye blues milik Gidae --Rapper dari Gwangju--. I wanna put you in my blue dreamEven if not, in my eyesI wanna hug you in my blue dreamsEven if
"Jadi langkah kamu setelah ini apa Asmara?" Tanya Bu Andin setelah bicara panjang panjang lebar tentang IPK ku semester lalu, buku rekam kegiatan selama menjadi mahasiswi di fakultas kesehatan, sampai kemungkinan-kemungkinan buruk yang sejak seminggu lalu hanya datang dan pergi tanpa permisi ke otakku semua bu Andin bahas. "Jujur bu... saya nggak ada pandangan apa-apa... pikiran saya udah buntu... kalau menurut bu Andin dilihat dari mata prodi, apa yang harus saya lakukan?" Ujarku akhirnya menyuarakan kegalauan hatiku tanpa meperlihatkan kehancuranku, apa yang harus dipertahankan? Untuk mengejar uang 21 juta sampai besok tanggal 15 jelas nggak bisa! Sekarang aja udah tanggal 1? Mau nyongkel bank mana nih? Otakku ruwet seketika. Bahkan Bu Andin pun tadi mengatakan, posisiku saat ini sulit untuk mendapatkan beasiswa, sebodoh itukah aku? Bukan masalah bodoh sih sebenernya. Tapi karena aku yang selalu bilang untuk beasiswa kurang mampu alias keluarga miskin bukan kriteria yang p
Entah apa maksud pak Thoif mengatakan kuliahku tidak perlu di cuti kan, aku masih bertanya-tanya dan sedikitpun beliau tidak memberitahuku di telphone alasannya apa, pak Thoif hanya ingin bertemu dengan ku untuk membicarakan ini. Dosen bahasa Indonesia ku itu sangat ku hormati, disatu sisi beliau adalah salah satu dosen yang memiliki sikap bersahabat di hadapan mahasiswanya, sedang disisi yang lain pak Thoif adalah guruku sejak aku SD. Ceritanya sangat panjang, yang ku ingat dulu saat aku masih SD pak Thoif adalah guru kewarganegaraan, setelah aku lulus SD tidak pernah lagi mendengar kabarnya, dan saat aku ospek pertama kalinya bertemu dengan guru yang sangat ku kagumi, terlebih guruku ini sekarang jadi dosen bahasa Indonesia di seluruh fakultas kampus tempatku kuliah kecuali di fakultas ekonomi, disana beliau menjadi dosen akuntansi sekaligus wakil dekan. Nggak main-main pak Thoif ini, wakil dekan termuda di kampus ini, usianya baru 34 tahun padahal kebanyakan dekan d
"Kok bisa?!" Pekik Silvi di seberang nun jauh disana, aku menelponnya dengan sisa keberanianku. Tubuhku bergetar menahan gejolak di dadaku. "Aku bisa jelasin nanti, sekarang kamu bisa kesini?" Tanyaku dengan suara datar, pandanganku kosong menatap langit sore yang mulai menggelap. Sejam yang lalu aku sampai kosan dengan di hadapakan wajah panik Alana, semakin kalut karena melihat barang-barangku sudah di luar kosan semua, sempet ngeri bayangin apa barang-barangku di lempar? Kan kasihan laptop ku kalauy kebanting. Tapi syukurlah nggak di lempar-lempar, tapi sumpah teriakan ibu kos membuatku bergidik ngeri. "Aku bikin kos-kosan kaya gini bukan untuk di utangi ya mbak! Jadi tolong kalau nggak bisa bayar pergi sekarang! Ingat! Kamu masih hutang bayar kos 3 bulan! Bayar itu akhir bulan nanti! Sekarang kamu pergi!" teriak bu Lis tadi membuat jantung ku seperti berhenti, udah di usir, masih di anggap hutang pula? Tapi ya emang aku salah sih, ya giman
Dia memegang tanganku kencang seperti orang takut kehilangan, aku terbahak mendapati sikapnya yang kelewat protektif. “kamu tau kalau pegang tangan gadis kaya gini nggak boleh? Kamu bukan mukhrimku ya pak!” kataku masih dengan sisa-sisa kekehanku.“kamu?” tanyanya menatapku intens, ya aku reflex aja bilang kaya gitu. Habis dia juga yang memulai dengan bahasa tidak formal setiap bersama ku kan?“kamu yang mulai untuk bicara nggak formal sama aku, salahku dimana? Lagian aku tetep kasih embel-embel pak kan?” ujarku menyangkal kemungkinan dia akan menyalahkanku.“aku nggak bilang kalau kamu salah, tapi aku seneng percakapan kita nggak secanggung itu.” Ujarnya dengan senyum manis, kulitnya yang sawo matang dengan mata tajam dan senyum yang selalu mengundang lesung pipit di kanan pipinya membuatku berpikir sebenarnya dia ganteng, ya kalau di bandingin sama Kai EXO nggak kalah lah. “jangan panggil pak ya…” pintanya membuatku menoleh.“ya gak bisa gitu dong, pak Candra
Suara gaduh dari samping rumah membangunkanku, entah apa yang terjadi di sana, kulihat Silvi masih terlelap di dalam selimutnya. Aku meraba sekeliling tempat ku, mencari ponsel yang entah di mana. "I got you," desisku setelah mendapatkan ponselku. Jam 02:45, aku menguap sesaat sebelum turun dari ranjang menuju kamar mandi. Biasanya aku suka membicarakan tentang idola dari Jepang, Thailand, Korea, dan China setiap bersama dengan Silvi sebelum kami berangkat tidur saat bersama seperti ini. Selera kami dalam musik dan seni hampir sama, bahkan serial drama dari berbagai negara sering kami cicipi bersama dan kita akan mereviewnya selesai itu. Aku suka dengan musik hip-hop, klasik, pop, R n B, semua jenis suka sih, kecuali dangdut koplo, serius kalau aliran musik yang satu ini aku alergi. Begitu juga Silvi, Manda, dan Fatira. Apa ya bahasanya? Se frekuensi? Semacam itu lah, padahal aku yang tertua diantara kami berempat, baiklah usia memang tidak bisa 100% menjadi tolak ukur penilaian ses
"Udah deh cemberutnya, kamu tau kan aku bisa sewaktu-waktu mesum lho..." ujar Fauzi dengan wajah jenaka dan senyum jahilnya yang membuatku geram, beberapa waktu lalu dia yang udah bikin aku panik luar biasa, sekarang dia yang nggak berhenti menggoda ku sesuka hati."Ya habisnya kamu bikin aku panik! Jantungku rasanya mau copot uzi!" Teriakku masih tak mau menatapnya, setelah aksinya menyusup di ambang pintu yang ingin kututup tadi ia bisa sesantai itu, padahal wajahnya tadi sangat kesakitan saat aku serius mendorong pintu dan dia juga serius terhimpit sekaligus tak mau mengalah. Yang ada di pikiranku, kalau Fauzi mati disini akulah tersangka yang akan masuk bui. Jangan lah! Aku belum bisa mencapai cita-citaku jadi Dokter aku nggak mau punya catatan kriminal."Uzi?" Tanyanya mencondongkan tubuhnya dari duduk yang menghadap padaku, dulu saat hubungan kami masih baik-baik saja aku suka memanggilnya Uzi, tapi sejak aku mendeklarasikan kata putus aku memanggilnya seperti itu
Tanganku sedikit bergetar dengan otakku yang menduga-duga kenapa bapak menelponku bahkan saat aku hampir menelponnya, apa benar perasaanku yang merasa di awasi ini berkaitan dengan bapak yang menelponku di jam sepagi ini? Ya nggak pagi-pagi amat sih, masih jam 8 nan."Hallo, Assalamu'alaikum pak..." sapaku dengan suara yang ku usahakan se ceria mungkin."Wa'alaikumsalam nduk, maaf bapak telpon jam segini, darurat soalnya..." sahut bapak membuatku membeo sesaat.Darurat? Apa yang darurat? Benarkah aku sedang di awasi makanya bapak bilang darurat, aku ingat dengan jelas beberapa tahun lalu bapak juga begini tiba-tiba nelpon dengan kalimat darurat, jarang-jarang bapak nelpon diluar urusan pendidikanku, itupun seringnya aku yang menghubungi bapak duluan."Ada apa pak?" tanyaku berusaha terdengar tenang."Rumah yang kita tempati di sita bank..." jawaban bapak membuatku membola seketika, diluar ekspekstasiku."Ha???""Iya, rumahnya