"bang, siapa mereka ini?" Tanya Ara setelah selesai memakan bubur nya sembari menunjukkan gambar dari laptopnya.
"Ini ibu, ini bapak, ini Farhan, ini Vian, dan ini kamu..." Jawab Gidae sambil menunjuk foto keluarga Ara, gadis itu mengernyit, dari mana Gidae tau tentang keluarganya. "Apa ini foto keluarga?" "Iya...""Banyak foto seperti ini, tapi Abang nggak ada... Mwonde noui uri orabeoni jinja yo?" "Aku benar-benar kakak mu, aku Abang mu... Cukup hanya aku yang kamu punya saat ini... Aku tidak ingin mengorbankan kebahagiaan mu lagi... Maaf... Aku egois..." Kata Gidae menggenggam tangan Ara erat, ini bahkan lebih cepat dari yang bisa gadis itu duga. "Apa sebelum kecelakaan ini aku tidak bahagia?" Tanya Ara yang sedikit mengimprovisasi perannya, mengingat tadi Gidae mengatakan kalau ia kecelakaan makanya sampai koma. "Bahkan mereka menghalangi mimpimu, mereka mengabaikan perasaanmu, mereka memilih mendahuluk"Bangun, waktu subuh hampir habis. Kita juga harus take off jam 7." Ujar Gidae lembut sebelum mengecup dahi Ara perlahan. "Abang...!" Protes Ara akhirnya memaksakan matanya terbuka, tanpa sadar dirinya tersenyum saat lelaki itu menatapnya intens. Akan selalu ada hal-hal yang tak terduga dalam hidup, seperti halnya kehadiran seseorang yang semula rasanya tidak mungkin. Mengharapkan dan di harapkan seringkali sangat berbeda. Ara menghela nafas panjang. Setelah hari ini ia yakin kehidupannya pasti berubah drastis. Hidup bersama orang yang dia kagumi tapi mungkin hatinya bukan untuk Ara. Semua ingatan tentang bagaimana mereka bisa bertemu sampai dirinya harus bersikap layaknya orang yang lupa ingatan. Ara tidak ingin melampui batas yang sudah Tuhan ciptakan. Tidak sekalipun. Ia tidak akan memaksakan sesuatu yang memang bukan untuknya. Tapi juga akan selalu mengejar apa yang Ara rasa memang sudah seharusnya. Hidup tidak selalu menyulitkan. Tapi juga tidak selalu menyenangkan. Di satu
"Ammmeata.. tha... ta..." gumaman yang ku tau itu hanya bahasa bayi, aku sama sekali tidak paham apa yang dibicarakannya, hanya bisa menduga-duga. Entah kenapa bayiku yang satu ini agaknya punya sifat lebih mirip ayahnya, di usianya yang baru 5 bulan udah pinter ngoceh aja, kalau udah gini bikin aku gemes, ini jelas duplikatnya suamiku, cuma kata banyak orang wajah nya aku banget."Kamu ngomong apa ya? Kamu nyanyi apa ngerap? Kamu ikut-ikutan bapak ya?" ujarku menggapainya dan melayangkannya ke udara sesaat cukup membuat ia terkekeh dan gumaman kecil itu lolos dari bibir mungilnya, gemas ku ciumi pipi gembulnya."Assalamu'alaikum, Bapak pulang..." sapa sengau suamiku, wajah orientalnya yang teduh dengan senyum lebar selalu dan selalu menggetarkan perasaanku, sudah lama tapi kok masih aja deg-deg an kalau liat dia senyum kaya gitu."Wa'alaikumsalam! itu bapak pulang..." sahutku menatap mereka satu persatu, kulihat si sulung yang bermain dengan tengkurap men
Kulangkahkan kaki dengan malas keluar dari gedung rektorat, hampir satu jam adu mulut dengan petugas administrasi membuat otakku ingin meledakkan lahar seketika itu juga. Kenapa orang borjuis selalu merasa diatas segalanya? Apa iya kuliahku hanya samapai titik ini? Masuk semester tiga aja belum, udah harus seribet ini berurusan dengan pembiayaan. Seandainya aku bisa seperti kakakku yang mendapat beasiswa untuk kuliah, tapi sayang aku tidak sepintar dia dan aku juga tidak pernah bisa mengurus beasiswa dibawah status kurang mampu, untuk sekedar meringankan biaya kuliahku yang nggak sedikit. Tapi rasanya percumah mengatakan andai, toh pada kenyataannya takdir lebih jujur dari keinginan ku. Aku tidak mengatakan aku bodoh, tapi aku juga nggak pinter-pinter amat. Aku berhenti di depan Warung Makan bercat hijau, warung andalan anak kost dan mahasiswa di kampusku. Mungkin ngutang di sana bisa mengurangi rasa laparku selama dua hari belum makan apapun, hanya minum dari air galo
Aku hanya bisa menunggu di depan ruang kaprodi, sesaat setelah aku mendapat panggilan tadi. Pikiranku berputar-putar entah kemana, apa ini waktunya aku di tendang dari kampus ini? Otakku tak bisa berhenti berpikir logis. Wahai otak berhargaku, tolong bisalah berkompromi! Berpikirlah yang baik-baik saja! Kau harus bertahan, jadi tolong jangan berpikir yang aneh-aneh!. Ah, dasar otakku selalu overthinking. Dengan memainkan ponselku yang bisa di bilang sudah tidak normal lagi, tombol powernya sudah tidak berfungsi dan bentuknya sudah pecah sana-sini, ditambah lagi cara menghidupkannya harus buka tutup baterai. Berharap dengan bermain gawai dapat meredakan gelisah dalam benakku sendiri. Tak lupa juga aku memasang headset ke telinga kiriku, mencoba menikmati salah satu lagu kesukaanku, eye blues milik Gidae --Rapper dari Gwangju--. I wanna put you in my blue dreamEven if not, in my eyesI wanna hug you in my blue dreamsEven if
"Jadi langkah kamu setelah ini apa Asmara?" Tanya Bu Andin setelah bicara panjang panjang lebar tentang IPK ku semester lalu, buku rekam kegiatan selama menjadi mahasiswi di fakultas kesehatan, sampai kemungkinan-kemungkinan buruk yang sejak seminggu lalu hanya datang dan pergi tanpa permisi ke otakku semua bu Andin bahas. "Jujur bu... saya nggak ada pandangan apa-apa... pikiran saya udah buntu... kalau menurut bu Andin dilihat dari mata prodi, apa yang harus saya lakukan?" Ujarku akhirnya menyuarakan kegalauan hatiku tanpa meperlihatkan kehancuranku, apa yang harus dipertahankan? Untuk mengejar uang 21 juta sampai besok tanggal 15 jelas nggak bisa! Sekarang aja udah tanggal 1? Mau nyongkel bank mana nih? Otakku ruwet seketika. Bahkan Bu Andin pun tadi mengatakan, posisiku saat ini sulit untuk mendapatkan beasiswa, sebodoh itukah aku? Bukan masalah bodoh sih sebenernya. Tapi karena aku yang selalu bilang untuk beasiswa kurang mampu alias keluarga miskin bukan kriteria yang p
Entah apa maksud pak Thoif mengatakan kuliahku tidak perlu di cuti kan, aku masih bertanya-tanya dan sedikitpun beliau tidak memberitahuku di telphone alasannya apa, pak Thoif hanya ingin bertemu dengan ku untuk membicarakan ini. Dosen bahasa Indonesia ku itu sangat ku hormati, disatu sisi beliau adalah salah satu dosen yang memiliki sikap bersahabat di hadapan mahasiswanya, sedang disisi yang lain pak Thoif adalah guruku sejak aku SD. Ceritanya sangat panjang, yang ku ingat dulu saat aku masih SD pak Thoif adalah guru kewarganegaraan, setelah aku lulus SD tidak pernah lagi mendengar kabarnya, dan saat aku ospek pertama kalinya bertemu dengan guru yang sangat ku kagumi, terlebih guruku ini sekarang jadi dosen bahasa Indonesia di seluruh fakultas kampus tempatku kuliah kecuali di fakultas ekonomi, disana beliau menjadi dosen akuntansi sekaligus wakil dekan. Nggak main-main pak Thoif ini, wakil dekan termuda di kampus ini, usianya baru 34 tahun padahal kebanyakan dekan d
"Kok bisa?!" Pekik Silvi di seberang nun jauh disana, aku menelponnya dengan sisa keberanianku. Tubuhku bergetar menahan gejolak di dadaku. "Aku bisa jelasin nanti, sekarang kamu bisa kesini?" Tanyaku dengan suara datar, pandanganku kosong menatap langit sore yang mulai menggelap. Sejam yang lalu aku sampai kosan dengan di hadapakan wajah panik Alana, semakin kalut karena melihat barang-barangku sudah di luar kosan semua, sempet ngeri bayangin apa barang-barangku di lempar? Kan kasihan laptop ku kalauy kebanting. Tapi syukurlah nggak di lempar-lempar, tapi sumpah teriakan ibu kos membuatku bergidik ngeri. "Aku bikin kos-kosan kaya gini bukan untuk di utangi ya mbak! Jadi tolong kalau nggak bisa bayar pergi sekarang! Ingat! Kamu masih hutang bayar kos 3 bulan! Bayar itu akhir bulan nanti! Sekarang kamu pergi!" teriak bu Lis tadi membuat jantung ku seperti berhenti, udah di usir, masih di anggap hutang pula? Tapi ya emang aku salah sih, ya giman
Dia memegang tanganku kencang seperti orang takut kehilangan, aku terbahak mendapati sikapnya yang kelewat protektif. “kamu tau kalau pegang tangan gadis kaya gini nggak boleh? Kamu bukan mukhrimku ya pak!” kataku masih dengan sisa-sisa kekehanku.“kamu?” tanyanya menatapku intens, ya aku reflex aja bilang kaya gitu. Habis dia juga yang memulai dengan bahasa tidak formal setiap bersama ku kan?“kamu yang mulai untuk bicara nggak formal sama aku, salahku dimana? Lagian aku tetep kasih embel-embel pak kan?” ujarku menyangkal kemungkinan dia akan menyalahkanku.“aku nggak bilang kalau kamu salah, tapi aku seneng percakapan kita nggak secanggung itu.” Ujarnya dengan senyum manis, kulitnya yang sawo matang dengan mata tajam dan senyum yang selalu mengundang lesung pipit di kanan pipinya membuatku berpikir sebenarnya dia ganteng, ya kalau di bandingin sama Kai EXO nggak kalah lah. “jangan panggil pak ya…” pintanya membuatku menoleh.“ya gak bisa gitu dong, pak Candra