"Ammmeata.. tha... ta..." gumaman yang ku tau itu hanya bahasa bayi, aku sama sekali tidak paham apa yang dibicarakannya, hanya bisa menduga-duga. Entah kenapa bayiku yang satu ini agaknya punya sifat lebih mirip ayahnya, di usianya yang baru 5 bulan udah pinter ngoceh aja, kalau udah gini bikin aku gemes, ini jelas duplikatnya suamiku, cuma kata banyak orang wajah nya aku banget.
"Kamu ngomong apa ya? Kamu nyanyi apa ngerap? Kamu ikut-ikutan bapak ya?" ujarku menggapainya dan melayangkannya ke udara sesaat cukup membuat ia terkekeh dan gumaman kecil itu lolos dari bibir mungilnya, gemas ku ciumi pipi gembulnya.
"Assalamu'alaikum, Bapak pulang..." sapa sengau suamiku, wajah orientalnya yang teduh dengan senyum lebar selalu dan selalu menggetarkan perasaanku, sudah lama tapi kok masih aja deg-deg an kalau liat dia senyum kaya gitu.
"Wa'alaikumsalam! itu bapak pulang..." sahutku menatap mereka satu persatu, kulihat si sulung yang bermain dengan tengkurap menegak negakkan kepalanya seakan ingin menggapai sang ayah, sedangkan si bungsu masih tenang menikmati sebotol susu di mulutnya, posisinya berbaring, bahkan sesekali kaki pendeknya itu menendang udara, anak yang cukup tenang, jangan tanyakan apa kabar yang ada dalam pelukanku, haha, dia dari melihat ayahnya masuk tadi jadi lebih cerewet.
"Mandi dulu..." tukasku pendek membuat suamiku urung menggendong si bungsu dan terkekeh lalu mencium dahi ketiga anakku bergantian.
"Mandi dulu ni ya..." sahutnya dengan senyum itu lagi, singkat padat dan jelas mengecup lembut dahiku, membuatku terkesiap.
"Udah sana..." ujarku sebiasa mungkin, lebih tepatnya sok nggak peduli, kudapati dia terkekeh sambil masuk kamar. Taukah sayang? Dadaku ambyar kau perlakukan selembut itu, padahal udah biasanya gitu, tapi rasanya, debarannya, gregetnya nggak banyak berubah.
Satu hal yang aku syukuri, di usiaku yang ke 32 kehadiran 3 malaikat kecil kami memberikanku banyak kekuatan untuk selalu bersyukur atas semua yang Tuhan berikan pada keluarga kecil kami, suamiku yang luar biasa, teringat 2 tahun yang lalu dia menyanggupi menjadi pendampingku padahal pada saat itu keyakinan kami masih berbeda. Seseorang yang cukup kuat menghadapi keegoisan dan kerasnya sikapku, kadang masih senyum sendiri kalau ingat gimana cara dia meyakinkan Ayah ku untuk menjadi pendampingku, ingat caranya yang selalu ingin tetap menjagaku meskipun dia sibuk dengan studio dan bisnisnya, apalagi saat tau dalam rahimku tumbuh 3 malaikat kecil kami, sifat protektifnya semakin menjadi.
Jangan tanyakan bagaimana aku bisa menikah dengannya, dalam pendidikan ku waktu itu, aku butuh seseorang yang harus menemaniku, apalagi Ayahku cukup tegas, jika memang aku harus belajar di perantauan maka wajib memiliki suami sebelum berlayar kesana. Suamiku saat itu hanya salah satu kenalan saat aku melangsungkan study tour di kota yang sama, aku hanya menceritakan kesiapan ku untuk belajar di tempat itu lagi, melanjutkan pendidikan yang sempat tertunda, tapi Ayahku mengharuskan aku menikah dulu sebelum menetap, sekali lagi pemikiran nya tak mampu kutebak hingga dengan penuh percaya diri mengajukan sebagai calon suamiku, aku bahkan hanya bisa terbahak menganggap dia bercanda, mana mungkin? Cara kita menjalani kehidupan saja tak sama, sulit diterima nalar. Perlu di perjelas bahwa cerita kami begitu panjang kalau hanya di jelaskan dalam berlembar-lembar kisah dalam novel, bahkan mungkin banyak bagian-bagian yang kurang bisa dipahami, satu yang ingin ku lakukan, aku hanya mau menjaga ruangan ini bersama suamiku dan ketiga jagoan kecilku.Jagoan kecilku, yang tidak memiliki kemiripan sama sekali di wajah mereka sekalipun lahir di hari bulan dan tahun yang sama hanya selisih sekian menit. Si sulung "Eka" memiliki wajah bapaknya, hidungnya yang mancung, pipinya yang gembul, bibirnya yang tipis, matanya yang sipit, hanya satu kemiripannya dengan ku, bola matanya yang berwarna coklat. Anakku yang ke dua "Dwi" kalau ini punya wajah bulat seperti kakeknya dengan hidung duplikat bapaknya, aku bahkan baru sadar kemarin dipipi kanannya ada lesung ketika dia tertawa, tapi bibirnya kata ibuku mirip milikku, kulitnya lumayan putih di banding adiknya. Sedangkan si sulung "Tri" wajahnya duplikat aku banget, kulitnya juga kuning langsat sama seperti punyaku. Aku suka nama-nama jawa, itu yang membuatku menyelipkan angka jawa di antara nama mereka. aku masih selalu takjub dengan keajaiban ini, kembar yang tidak identik tapi nggak nolak mirip bapak-emaknya. Lucunya lagi mereka bertiga lengket banget sama bapaknya, mungkin karena selama aku hamil suamiku juga nempel terus kali ya.
"Udah wangi aku bu..." gumam suamiku tiba-tiba sudah disampingku dengan senyum cerahnya yang tak berubah. Manis.
"Coba mana? Beneran udah mandi apa cuma ganti?" Ujarku mengendus pipinya, aku terkekeh pelan. "Pake sabun berapa kilo bang?" Godaku lagi menoel pipinya.
"Sepabrik kayanya..." sahut nya sambil memandang langit langit ruangan.
"Ada-ada aja...haha..." tawaku merebak lagi, dia cahayaku. "Makan gih... belum makan kan?" Ujarku lagi sambil melihat jam dinding, pukul 8 malam.
"Nunggu mereka tidur aja... nanti makannya ditemenin kamu..." sahutnya lagi, kali ini menggaet Eka yang terantuk-antuk mainannya dengan mata yang dari tadi menatap bapaknya. Tri yang tak kusadari sudah lelap, suamiku mengambil botolnya yang berserak, membenahi tidurnya yang asal. Dipangkuannya Eka mengajak bicara, aku suka suasana ini. Dwi melihat kakaknya ada di pelukan bapaknya mulai ngoceh lagi.
"Nih... anak mu pak... dari tadi nembang aja... entah dia mau ngerap apa nyanyi nggak paham aku..." kekehku meletakkan Dwi di samping pangkuan suamiku.
"Dwi pidato ya nak...?" Ujar suamiku dengan lembut membuatku terhenyak sesaat, doa yang tersirat kan? "Tuh bu... katanya dia pidato..." sambungnya lagi menatapku jenaka, bisakah jantung jangan jumpalitan kaya marsupilami? Entah kenapa ya, nggak ada bosen bosennya gitu aku selalu suka dengan apa yang ada pada dirinya, meskipun tidak menutup kemungkinan adanya selisih paham.
"Iya iya... anak ibu kan pinter-pinter semua ya..." ujarku mengusap kepala Dwi dan Eka bergantian.
"Amin..." sahut suamiku lembut.
"Aku siapin makan ya...?" Ujarku menatap matanya, keteduhan yang menghanyutkanku.
"Nggak nanti aja?" Tanya nya menggerakkan alis tipisnya itu.
"Nanti kemaleman yang..." sahutku membuat dia terkekeh, selalu begitu setiap kali menemukan sesuatu di akhir kalimatku.
"Siap komandan!" Ujarnya membuatku gemas, kucuri satu kecupan di pipinya lalu melesat pergi, kudengar sekilas ia memanggil namaku dan berteriak khas dia setiap aku menciumnya di depan anak-anak. Apa yang salah?
Kulihat dari arah dapur, kasur yang cukup besar di depan TV itu menampung 4 panglima perang ku, kenapa aku jadi hiperbola gini? Sekilas nampak suamiku merebahkan Eka di samping Dwi, berjajar lurus dengan posisi Tri. Diberikannya botol susu yang ada di nakas kepada dua bayi mungilku.
###Saking banyaknya melamun sekaligus mensyukuri nikmat yang Tuhan berikan melalui suamiku, lelaki berwajah oriental yang memiliki darah mancanegara. Terlalu hanyut dalam pesonanya aku sampai gak sadar dia udah disampingku merangkul pundakku, kaget? Iya memang, tapi bukan aku namanya kalau nggak bisa menyembunyikan kekagetanku."Melamunkan aku?" Tanya nya dengan seringai lucu di bibir tipis kesukaan ku itu.
"Itu tau... kenapa nanya?" Jawabku spontan membuatnya terkekeh.
"Ini lho yang aku suka, nggak ketebak mau ngomong apa..." sahut bapaknya Trio kiyowo ku meraba gemas bibirku, aku hanya menggeleng dengan kekehan yang hampir sama.
"Anak-anak udah tidur semua...?" Tanyaku melongok ke depan TV, senyum sendiri melihat posisi tidur yang tak teratur. Kulihat sekilas senyum merekah dibibir suamiku ikut menatap mereka lalu menatapku dengan binar mata yang selalu dan selalu membuatku jatuh cinta lagi.
"Aku senang dengan kehidupanku sekarang... benar kata mereka punya keluarga kecil, istri, anak adalah hal yang menyenangkan..." sambungnya membuatku menatapnya geli, sembari tanganku masih sibuk menata makanan untuk suamiku, sayur bobor kesukaannya, sambal tomat, dan jangan lupa nasi merah.
"Bisa semenyenangkan itu yang?" Tanyaku menggodanya lalu duduk di karpet tempat kami biasa makan, kami lebih suka makan lesehan, meja memanjang cukup ada ditengah ruang makan, dan kami akan duduk berdampingan selama makan, bahkan suamiku lebih suka lagi kalau kami makan satu piring, hal kecil yang menyenangkan bukan?
"Iya... gak perlu dijelasin kamu juga paham kan?" Ujarnya mengerutkan hidungnya, tanganku refleks menarik hidungnya dan tertawa saat tangannya menggapai tanganku.
"Udah gih... makan..." kataku melerai keadaan ini.
"Kamu nggak makan?" Tanya nya menatapku melihat dipiring hanya ada satu porsi.
"Aku udah kenyang..." sahutku tersenyum ke arahnya.
"Kapan makan?" Tanya nya kali ini dengan suara dingin, boleh aku sembunyi kemana gitu? Sebenarnya aku paling bingung kalau suamiku sudah mengintimidasi kaya gini, meskipun aku suka.
"Tadi sore..." jawabku berusaha tenang dengan tetap menatap matanya yang mulai menyipit, tanda dia enggan dengan penolakanku.
"Hmm... ada masalah?" Tanya nya justru membuatku terheran-heran, tak menduga pertanyaan ini yang keluar.
"Enggak..." jawabku menetralisir keterkejutanku sendiri.
"Aku udah pernah bilang kan... kalau ada apa-apa cerita... aku bukan orang lain... aku suamimu..." ungkapnya merangkul pundakku, kudengar helaan nafasnya yang berat. "Aku tau kamu suka makan... bahkan gampang lapar apalagi sekarang menyusui tiga anak... tiba-tiba kamu bilang udah kenyang makan tadi sore aku jadi mikir... apa kamu ada masalah?" Sambungnya seprti menjawab keherananku.
"Nggak ada ya..." jawabku tetap pada pendirianku.
"Aku nggak percaya..." elaknya tak mau mengalah, kini kedua matanya mengunci pandangan ku.
"Terserah nggak percaya! Aku beneran..." ujarku masih berusaha meyakinkan suamiku yang kadang terlalu protektif, dengan beberapa perdebatan kecil akhirnya dia mengalah untuk makan sendiri, asal aku tetap menemaninya.
"Kamu kangen sama klinik?" Tanya nya lagi saat aku mencuci piring, dia berdiri di sampingku. Aku hanya tersenyum enggan menjawab.
"Apa kita cari baby sitter buat jaga anak-anak biar kamu bisa melanjutkan tugas di klinik?" Tanyanya refleks membuatku menoleh.
"Aku masih bisa jaga anak-anak..." sahutku dengan wajah datar. Apa itu? Aku nggak akan percaya dengan baby sitter, anakku harus tumbuh dengan tanganku bukan tangan baby sitter.
"Yakin nggak apa? Bukannya itu impian kamu... cita-cita kamu bisa jadi dokter?" Tanya nya membuatku senyum akhirnya, mencoba menggapai dada bidangnya, karena memang dia 33 cm lebih tinggi dariku, bisa bayangkan?
"Aku gak apa... nanti kalau trio udah agak gede aku bisa menjalankan tugas lagi... sekarang yang terpenting kalian... bapaknya anak-anak dan juga ketiga malaikat kecilku... apa yang lebih memuaskan hati daripada membesarkan anak dengan tangan sendiri? aku nggak mau anak-anak salah asuhan..." ujarku membuatnya merengkuh ku dalam pelukan.
"Hmmm..." gumamnya merebahkan kepalaku tepat di tulang rusuknya. Mencium puncak kepalaku. Entah aku juga tidak tau apa yang dipikirkannya, tapi aku bahagia meskipun kami sering berselisih paham, dia selalu tau apa yang aku inginkan, paham apa yang membuat ku resah.
"Apa kita bikin tempat praktek sendiri aja ya... biar tetep bisa ngawasin anak-anak sekaligus tetep menjalankan misi impianmu?" Tanya nya membuat ku mendongak membulatkan mata terkesima.
"Serius yang?" Tanyaku masih tak percaya.
"Serius..." jawabnya memamerkan senyuman mautnya. Ambyar.
"Tapi sensasinya lebih seru di klinik..." ujarku menyanggah teringat bagaimana rasanya bertugas dengan keramaian sesama petugas medis dari profesi yang berbeda juga.
"Kita bikin disini lebih seru dengan adanya mereka..." sahutnya dengan menunjuk depan TV menggunakan dagunya.
"Hehe... tapi nunggu mereka lumayan kuat nanti kalau ibunya tinggal praktek..." ujarku membuat nya mengangguk setuju.
"Ya pelan-pelan bikin bangungan standar dulu... yang lain nyusul..." sahutnya seakan penuh perhitungan. "Menurutmu diantara mereka bertiga yang kaya aku siapa...?" Tanya nya tiba-tiba membuatku ngakak.
" mereka semua mirip kamu yang... entah di sifat atau diwajahnya... mereka semua ada kemiripan sama kamu..." jawabku masih nyaman ada dalam pelukan hangatnya.
"Gimana kalau kita tentukan sekarang diantara mereka yang bakal jadi musisi kaya aku siapa... yang bakal jadi dokter kaya ibunya siapa... yang bakal jadi sutradara siapa...?" Ujar suamiku membuatku terbahak, lucu sekali menentukan nasib seseorang.
"Yang... gak boleh gitu... yang menentukan nasib seseorang hanya kuasa Tuhan... kita tuh cuma bisa berusaha... lagian mereka dari kecil aja udah kelihatan bakat suaranya... kaya bapaknya..." sahutku membuat matanya membulat.
"Ya gimana lagi, bapaknya dijuluki musisi, ibunya hobi nyanyi sih..." ujar suamiku lalu terkekeh. Perjalanan kami masih terlalu jauh, banyak hal yang bisa kita lakukan dan perjuangkan, bahagia itu bukan hanya tentang materi, tapi juga sesuatu yang membuat nyaman dihati, nggak ada sesuatupun di dunia ini yang benar-benar sempurna, itulah kenapa kita hidup berdampingan, saat namaku dan nama panggilannya punya arti yang sama saat itulah alam telah memberi jalan kami untuk bersama.
Mungkin jika aku harus bercerita tak cukup sehari atau dua hari untuk menjelaskan bagaimana kisah cinta kami dimulai, seandainya harus menulis akan butuh berjuta lembar dalam menggapai maknanya, tapi cinta bukan hanya soal waktu sepersekiannya mampu bertahan, bagiku cinta adalah perubahan, bagaimana merubah perbedaan menjadi pengertian, tentang berjuang mengikis ego untuk membangun keindahan. Cinta memang rumit dan tidak bisa dilogika, tapi bukan tidak mungkin bisa mengerti bahkan mengimbanginya.
###
Malam telah larut, ketiga malaikat kecil ku damai terlelap dengan bapaknya yang juga meringkuk tak jauh dari tempat mereka membuai mimpi. Aku membuka laptopku, sebelumnya menatap jauh ke ujung kamar, di sisi jam dinding yang mengukir pertunjukan jam menuju angka 11 malam. berani taruhan 2 jam lagi si kembar akan sibuk membangunkan bapaknya? Baiklah! Bertaruh itu tidak boleh ya! Tapi sejak kehadiran trio kiyowo setiap jam 1 dini hari akan ada yang bangun dan tidak tidur sampai subuh berlalu. Kalian akan tau nanti saat sudah memiliki momongan, meskipun aku cenderung lambat dalam menemukan cinta sejatiku. Tapi kehadiran bapaknya anak-anak cukup mempercepat pemahamanku bahwa menikah memang tidak semenakutkan yang pernah ku bayangkan.
Kembali pada laptop merah ku, yang 7 tahun lalu kudapatkan dari hasil jerih payah mengumpulkan uang lewat tulisan-tulisan yang di bayar sepuluh ribu rupiah setiap di tayangkan di beranda mereka. Laptop yang kuinginkan sejak pertama kali melihat seseorang yang ku kagumi mengenakannya. Seseorang yang kini terlelap di samping anak-anak kami, saat dulu rasa itu hanya sebatas kekaguman. Aku membuka berkas deadline novel terbaruku, seharusnya bulan ini sudah ku setorkan ke penerbitan, tapi sekali lagi aku meminta uluran waktu karena memang hanya jam segini aku bisa berefleksi ria dengan laptopku saat anak-anak tidur, itupun kalau salah satu diantara mereka berempat tidak ada yang bangun dan membutuhkan ku di tengah malam.
Kumulai dengan berdoa sebelum mengetikkan kata demi kata pengembangan dari ide pokok bahasan yang selalu sudah kusiapkan saat menemukan ide untuk menulis cerita, hanya perlu merombak sedikit dramatis nya, karena sebagian besar cerita yang kutulis berawal dari kisah nyata orang-orang terdekatku. Baru saja selesai 989 kata aku merasakan sepasang tangan mengerat di pwrutku, aku menghela nafas pelan, takut membuatnya tersinggung.
"Apa aku mengganggumu?" Tanyanya meletakkan dagunya di pundak ku, aku merasakan tatapannya bertahan di laptopku.
"Enggak..." jawabku santai sambil melanjutkan mengetik, sebelum akhirnya aku sadar. Malam ini cukup menulis sampai di 992 kata, karena sedikitpun aku tak bisa berpaling dari ruang yang menyejukkan perasaanku dalam aroma hangt yang menguar damai.
###
Kulangkahkan kaki dengan malas keluar dari gedung rektorat, hampir satu jam adu mulut dengan petugas administrasi membuat otakku ingin meledakkan lahar seketika itu juga. Kenapa orang borjuis selalu merasa diatas segalanya? Apa iya kuliahku hanya samapai titik ini? Masuk semester tiga aja belum, udah harus seribet ini berurusan dengan pembiayaan. Seandainya aku bisa seperti kakakku yang mendapat beasiswa untuk kuliah, tapi sayang aku tidak sepintar dia dan aku juga tidak pernah bisa mengurus beasiswa dibawah status kurang mampu, untuk sekedar meringankan biaya kuliahku yang nggak sedikit. Tapi rasanya percumah mengatakan andai, toh pada kenyataannya takdir lebih jujur dari keinginan ku. Aku tidak mengatakan aku bodoh, tapi aku juga nggak pinter-pinter amat. Aku berhenti di depan Warung Makan bercat hijau, warung andalan anak kost dan mahasiswa di kampusku. Mungkin ngutang di sana bisa mengurangi rasa laparku selama dua hari belum makan apapun, hanya minum dari air galo
Aku hanya bisa menunggu di depan ruang kaprodi, sesaat setelah aku mendapat panggilan tadi. Pikiranku berputar-putar entah kemana, apa ini waktunya aku di tendang dari kampus ini? Otakku tak bisa berhenti berpikir logis. Wahai otak berhargaku, tolong bisalah berkompromi! Berpikirlah yang baik-baik saja! Kau harus bertahan, jadi tolong jangan berpikir yang aneh-aneh!. Ah, dasar otakku selalu overthinking. Dengan memainkan ponselku yang bisa di bilang sudah tidak normal lagi, tombol powernya sudah tidak berfungsi dan bentuknya sudah pecah sana-sini, ditambah lagi cara menghidupkannya harus buka tutup baterai. Berharap dengan bermain gawai dapat meredakan gelisah dalam benakku sendiri. Tak lupa juga aku memasang headset ke telinga kiriku, mencoba menikmati salah satu lagu kesukaanku, eye blues milik Gidae --Rapper dari Gwangju--. I wanna put you in my blue dreamEven if not, in my eyesI wanna hug you in my blue dreamsEven if
"Jadi langkah kamu setelah ini apa Asmara?" Tanya Bu Andin setelah bicara panjang panjang lebar tentang IPK ku semester lalu, buku rekam kegiatan selama menjadi mahasiswi di fakultas kesehatan, sampai kemungkinan-kemungkinan buruk yang sejak seminggu lalu hanya datang dan pergi tanpa permisi ke otakku semua bu Andin bahas. "Jujur bu... saya nggak ada pandangan apa-apa... pikiran saya udah buntu... kalau menurut bu Andin dilihat dari mata prodi, apa yang harus saya lakukan?" Ujarku akhirnya menyuarakan kegalauan hatiku tanpa meperlihatkan kehancuranku, apa yang harus dipertahankan? Untuk mengejar uang 21 juta sampai besok tanggal 15 jelas nggak bisa! Sekarang aja udah tanggal 1? Mau nyongkel bank mana nih? Otakku ruwet seketika. Bahkan Bu Andin pun tadi mengatakan, posisiku saat ini sulit untuk mendapatkan beasiswa, sebodoh itukah aku? Bukan masalah bodoh sih sebenernya. Tapi karena aku yang selalu bilang untuk beasiswa kurang mampu alias keluarga miskin bukan kriteria yang p
Entah apa maksud pak Thoif mengatakan kuliahku tidak perlu di cuti kan, aku masih bertanya-tanya dan sedikitpun beliau tidak memberitahuku di telphone alasannya apa, pak Thoif hanya ingin bertemu dengan ku untuk membicarakan ini. Dosen bahasa Indonesia ku itu sangat ku hormati, disatu sisi beliau adalah salah satu dosen yang memiliki sikap bersahabat di hadapan mahasiswanya, sedang disisi yang lain pak Thoif adalah guruku sejak aku SD. Ceritanya sangat panjang, yang ku ingat dulu saat aku masih SD pak Thoif adalah guru kewarganegaraan, setelah aku lulus SD tidak pernah lagi mendengar kabarnya, dan saat aku ospek pertama kalinya bertemu dengan guru yang sangat ku kagumi, terlebih guruku ini sekarang jadi dosen bahasa Indonesia di seluruh fakultas kampus tempatku kuliah kecuali di fakultas ekonomi, disana beliau menjadi dosen akuntansi sekaligus wakil dekan. Nggak main-main pak Thoif ini, wakil dekan termuda di kampus ini, usianya baru 34 tahun padahal kebanyakan dekan d
"Kok bisa?!" Pekik Silvi di seberang nun jauh disana, aku menelponnya dengan sisa keberanianku. Tubuhku bergetar menahan gejolak di dadaku. "Aku bisa jelasin nanti, sekarang kamu bisa kesini?" Tanyaku dengan suara datar, pandanganku kosong menatap langit sore yang mulai menggelap. Sejam yang lalu aku sampai kosan dengan di hadapakan wajah panik Alana, semakin kalut karena melihat barang-barangku sudah di luar kosan semua, sempet ngeri bayangin apa barang-barangku di lempar? Kan kasihan laptop ku kalauy kebanting. Tapi syukurlah nggak di lempar-lempar, tapi sumpah teriakan ibu kos membuatku bergidik ngeri. "Aku bikin kos-kosan kaya gini bukan untuk di utangi ya mbak! Jadi tolong kalau nggak bisa bayar pergi sekarang! Ingat! Kamu masih hutang bayar kos 3 bulan! Bayar itu akhir bulan nanti! Sekarang kamu pergi!" teriak bu Lis tadi membuat jantung ku seperti berhenti, udah di usir, masih di anggap hutang pula? Tapi ya emang aku salah sih, ya giman
Dia memegang tanganku kencang seperti orang takut kehilangan, aku terbahak mendapati sikapnya yang kelewat protektif. “kamu tau kalau pegang tangan gadis kaya gini nggak boleh? Kamu bukan mukhrimku ya pak!” kataku masih dengan sisa-sisa kekehanku.“kamu?” tanyanya menatapku intens, ya aku reflex aja bilang kaya gitu. Habis dia juga yang memulai dengan bahasa tidak formal setiap bersama ku kan?“kamu yang mulai untuk bicara nggak formal sama aku, salahku dimana? Lagian aku tetep kasih embel-embel pak kan?” ujarku menyangkal kemungkinan dia akan menyalahkanku.“aku nggak bilang kalau kamu salah, tapi aku seneng percakapan kita nggak secanggung itu.” Ujarnya dengan senyum manis, kulitnya yang sawo matang dengan mata tajam dan senyum yang selalu mengundang lesung pipit di kanan pipinya membuatku berpikir sebenarnya dia ganteng, ya kalau di bandingin sama Kai EXO nggak kalah lah. “jangan panggil pak ya…” pintanya membuatku menoleh.“ya gak bisa gitu dong, pak Candra
Suara gaduh dari samping rumah membangunkanku, entah apa yang terjadi di sana, kulihat Silvi masih terlelap di dalam selimutnya. Aku meraba sekeliling tempat ku, mencari ponsel yang entah di mana. "I got you," desisku setelah mendapatkan ponselku. Jam 02:45, aku menguap sesaat sebelum turun dari ranjang menuju kamar mandi. Biasanya aku suka membicarakan tentang idola dari Jepang, Thailand, Korea, dan China setiap bersama dengan Silvi sebelum kami berangkat tidur saat bersama seperti ini. Selera kami dalam musik dan seni hampir sama, bahkan serial drama dari berbagai negara sering kami cicipi bersama dan kita akan mereviewnya selesai itu. Aku suka dengan musik hip-hop, klasik, pop, R n B, semua jenis suka sih, kecuali dangdut koplo, serius kalau aliran musik yang satu ini aku alergi. Begitu juga Silvi, Manda, dan Fatira. Apa ya bahasanya? Se frekuensi? Semacam itu lah, padahal aku yang tertua diantara kami berempat, baiklah usia memang tidak bisa 100% menjadi tolak ukur penilaian ses
"Udah deh cemberutnya, kamu tau kan aku bisa sewaktu-waktu mesum lho..." ujar Fauzi dengan wajah jenaka dan senyum jahilnya yang membuatku geram, beberapa waktu lalu dia yang udah bikin aku panik luar biasa, sekarang dia yang nggak berhenti menggoda ku sesuka hati."Ya habisnya kamu bikin aku panik! Jantungku rasanya mau copot uzi!" Teriakku masih tak mau menatapnya, setelah aksinya menyusup di ambang pintu yang ingin kututup tadi ia bisa sesantai itu, padahal wajahnya tadi sangat kesakitan saat aku serius mendorong pintu dan dia juga serius terhimpit sekaligus tak mau mengalah. Yang ada di pikiranku, kalau Fauzi mati disini akulah tersangka yang akan masuk bui. Jangan lah! Aku belum bisa mencapai cita-citaku jadi Dokter aku nggak mau punya catatan kriminal."Uzi?" Tanyanya mencondongkan tubuhnya dari duduk yang menghadap padaku, dulu saat hubungan kami masih baik-baik saja aku suka memanggilnya Uzi, tapi sejak aku mendeklarasikan kata putus aku memanggilnya seperti itu