"Jadi langkah kamu setelah ini apa Asmara?" Tanya Bu Andin setelah bicara panjang panjang lebar tentang IPK ku semester lalu, buku rekam kegiatan selama menjadi mahasiswi di fakultas kesehatan, sampai kemungkinan-kemungkinan buruk yang sejak seminggu lalu hanya datang dan pergi tanpa permisi ke otakku semua bu Andin bahas.
"Jujur bu... saya nggak ada pandangan apa-apa... pikiran saya udah buntu... kalau menurut bu Andin dilihat dari mata prodi, apa yang harus saya lakukan?" Ujarku akhirnya menyuarakan kegalauan hatiku tanpa meperlihatkan kehancuranku, apa yang harus dipertahankan? Untuk mengejar uang 21 juta sampai besok tanggal 15 jelas nggak bisa! Sekarang aja udah tanggal 1? Mau nyongkel bank mana nih? Otakku ruwet seketika. Bahkan Bu Andin pun tadi mengatakan, posisiku saat ini sulit untuk mendapatkan beasiswa, sebodoh itukah aku? Bukan masalah bodoh sih sebenernya. Tapi karena aku yang selalu bilang untuk beasiswa kurang mampu alias keluarga miskin bukan kriteria yang pas sebagai beasiswa ukuran tenaga kesehatan, jadi itu sangat sulit di gapai.
"Kalau mau tetep melanjutkan semester ini, segera lunasi pembayaran administrasi sebelum tanggal 15 bulan ini seperti yang di sepakati kamrin, kamu sudah ketemu pak Saiful waka rektor kan?" Tanya bu Andin membuatku kembali memutar kenangan seminggu lalu, kalau di pikir ulang aku memang keterlaluan, bahkan aku hampir saja menghancurkan jendela ruangan wakil ketua dua rektor kampusku. Bodoh! Ya! Aku memang sedungu itu saat apa yang ku perjuangkan masih terasa sia-sia.
"Saya sudah cerita ke bu Andin... orang tua saya baru saja di tipu modal 500 juta itu hilang begitu saja... saya-" ujarku yang langsung terpotong dengan ungkapan bu Andin, sakit! Sangat sakit!
"Lho itu terserah kamu sama orang tuamu, ini adalah prosedur administrasi kampus, kalau kamu mau bertahan ya biayanya harus sepadan. Ini udah baik lho kami memberi kelonggaran waktu sampai tanggal 15, sedangkan teman-temanmu semua harus sudah selesai di tanggal 10. Kami sudah berbaik hati sama kamu... harap kerja samanya Asmara..." kata bu Andin yang jelas sekali tidak mau mendengar penjelasanku. Aku menghela nafas panjang, mencoba mencari ketenangan di balik rasa nggak nyaman ku sekarang.
"Kalau saya belum bisa membayar di tanggal itu, apa yang harus saya lakukan?" Tanyaku akhirnya mencoba menenangkan diri.
"Silahkan ajukan cuti, di tujukan ke KA Prodi S1 keperawatan yang sudah di setujui dosen TA nya..." jawab bu Andin tegas, disinilah aku paham sekarang. Kenapa prodi ini meskipun masih baru tapi sudah sekuat ini pengaruhnya? Karena KA prodinya adalah bu Andin, tegas, tidak bertele-tele. Meskipun ku akui terkadang tidak mau mendengarkan lebih jauh apa yang akan mahasiswa sampaikan selama ia sudah bisa menduga kemana arah pembicaraan itu, tegasnya memang sedikit menindas perasaan. Besok kalau aku punya universitas sendiri, aku nggak mau punya Dosen yang borjuis sekaligus nggak punya empaty kaya gini, setidaknya dengarkan dulu apa yang lawan bicaranya sampaikan tanpa harus memotong. Sakit tau!
"Cuti ya bu? Oke... sepertinya saya akan memilih mengajukan cuti bu..." kataku akhirnya dengan senyum yang kusajikan semanis mungkin.
"Baiklah! Sebelum itu kamu harus mendiskusikan dengan wali mu dulu, setelah orang tua mu tau, kamu bisa mengajukan ke dosen TA mu. Jika sudah nanti kasih ke saya surat pengajuannya, baru saya sampaikan ke Dekan FIKES..." ujar bu Andin membuatku mengangguk paham.
"Biaya administrasi cutinya sampai berapa bu? Biar saya siapkan dulu..." tanyaku dengan menampilkan raut tenang, padahal hatiku meronta.
"Kamu yakin? Sebenarnya saya sayangkan kalau kamu cuti... IPK mu semester lalu 3,8... tapi ya karena prosedur seperti ini... semua kembali ke kamu saja lah..." ujar bu Andin tanpa memberiku kesempatan untuk berargumen, "biaya administrasi cuti 15% dari SPP satu semster dan untuk cuti kamu mengambil 2 semester, jadi ketika kamu cuti di semester ganjil maka kembali lagi di semester ganjil, begitupun ketika mengambil cuti di semester genap maka kembalinya di semester genap juga... berlaku kali lipatnya... sampai sini ada yang di tanyakan?" Sambung bu Anin membuatku mengangguk.
"Kalau begitu, biaya administrasinya di bayar persemester ya bu? Kalau satu semester 15% berarti 1 juta 200 ya bu?" Kataku setelah memutar otak menghitung prosentase administrasi cuti, seketika hatiku mencelos, bahkan biaya cuti saja tetap besar. Tapi lebih baik membayar 2,4 juta untuk mengajukan cuti sementara daripada besok tanggal 15 harus menyerahkan 21 juta. Itu lebih ringan, meskipun otakku juga ngeblank memikirkan bagaimana mendapatkan uang segitu tanpa harus ngerepotin bapakku.
"Jadi kamu sudah bulat mau cuti?" Tanya bu Andin lagi yang tetap ku angguki, beliau memberikan buku rekam kegiatanku. Memintaku menemui dosen TA ku dulu, rasanya aku ingin teriak saat keluar dari ruangannya setelah undur diri. Aku berjalan ke lorong ruang Dosen FIKES, mencari ruangan pak Rangga --Dosen TA ku--.
"Shit!" Umpatku tanpa sadar saat melihat siluit pak Candra, ingin lari tapi jalur ini hanya ada satu, nggak mungkin aku balik badan kan? Keliatan banget kalau menghindar. Ganteng sih, tapi songong banget! Masa iya minta aku jadi istrinya biar kuliah ku tetap jalan? Oh no! Bukan ini yang ku inginkan! Lebih baik cuti daripada jadi istrinya, aku nggak akan sanggup menerima tatapan benci teman-teman ku yang mengagumi pak Candra.
"Ara?" Panggil pak Candra begitu menyadari yang berjalan di arah berlawanan darinya ini aku. Biasanya Dosen disini memanggilku dengan nama depanku --Asmara-- tapi entah kenapa dosen satu ini memanggilku dengan nama yang ramah di gunakan teman-temannku, baik dari HMP, BEM, Komunitas, dan kelas. Kadang orang menganggap aku terlalu sibuk dengan organisasi, padahal di organisasi selain BEM aku hanyalah anggota bayangan. Kadang jengah juga kalau mendengar pak Candra memanggilku dengan nama Ara.
"Hmm..." sahutku terkesan tidak sopan, tapi dia juga yang memulai tidak sopan, membahas pernikahan di saat yang sangat menyulitkan! Dia mengambil kesempatan dalam kesempitan, untung aku nggak tergoda, Nggak peduli wajahnya seganteng Kai Exo.
"Mau kemana lagi?" Tanya pak Candra berusaha ramah, aku sendiri yang risih.
"Ketemu pak Rangga, baru dapat konfirmasi di chatt beliau di ruangannya..." jawabku tanpa berniat menghentikan langkah. Berlalu tanpa sedikitpun menoleh pada lelaki yang tingginya selalu membuatku mendongak, sakit leherku selama ini kalau ngobrol sama dosen necis ini.
"Ada perlu apa?" Tanya pak Candra balik badan mengikutiku, kenapa harus balik badan sih pak?
"Bukannya bapak mau ada kelas? Kenapa malah ngikutin saya?" Tanyaku acuh tak acuh.
"Ini jam istirahat Ra... saya niatnya mau mau kantin, tapi saya pengen denger perkembangan kasus kamu..." ujarnya kali ini mensejajari langkahku. Aku mendengus kesal menyadari kesalahanku, iya ini jam istirahat.
"Saya bukan terdakwa yang terkasus... dan saya tidak sedang dalam sebuah kasus..." sahutku masih cuek. Sampai akhirnya aku lega melihat sosok pak Rangga. Aku melambai tangan. "Pak Rangga!" Panggilku agak keras dan lelaki paruh baya itu mengangguk, memberi isyarat tangan agar aku mengikutinya. "Saya permisi pak..." kataku pada pak Candra membuatnya mendengus.
"Saya mohon jangan menghindari saya..." kata Pak Candra tak lagi ku hiraukan. Kurasa lebih penting urusan dengan dosen TA daripada meladeni dosen psikolog.
###
Kepalaku pusing, apa yang bisa aku lakukan disaat seperti ini? Aku harus bagaimana? 2,4 juta bukan uang yang sedikit untuk seorang pengangguran sepertiku, setelah percakapanku dengan pak Rangga tempo hari, aku mencoba menghubungi bapak dan ibuku. Aku mengatakan semuanya tanpa di tambah-tambahi tak juga di kurangi, apa yang dikatakan bapak membuatku miris dalam hati tanpa bisa ku setujui air mata yang siap luncur ke bumi...
"Beneran kamu nggak apa kalau harus cuti dulu?" Tanya bapakku di balik telephone yang tergeletak di meja dengan headset bertengger di telingaku.
"Aku nggak masalah pak... ini yang terbaik yang sudah Allah berikan ke kita, mau menolak pun rasanya sulit. Aku juga belum dapat pekerjaan. Aku nggak bisa egois minta uang segitu besarnya ke bapak, padahal aku tau kondisi ekonomi kita gimana... waktunya masih 2 minggu lagi buat bayar administrasi cuti... aku juga akan cari uang entah gimana caranya... bapak jangan pikirin perasaan aku, aku nggak apa..." kataku mencoba menahan rasa tertohok dalam batinku, pingin nangis tapi nggak mau terlihat lemah.
"Kamu yakin?" Kali ini suara ibu, aku bersyukur dengan keputusanku tidak menggunakan video call dalam panggilan ini, aku nggak akan bisa menahan air mataku jika sudah melihat wajah sendu ibu dengan nada suara seperti ini. Ibu pasti sangat sakit.
"Serius bu aku nggak apa... lagian masih ada tahun depan buat ngajuin kuliah lagi... aku yakin bu ini yang terbaik..." kataku mencoba menguatkan diri sekaligus meyakinkan pusakaku itu bahwa aku baik-baik saja.
"Ibu gagal ya mendidik kamu dengan layak?" Ujar ibu berhasil meloloskan air mataku sebanyak yang tidak bisa kuduga tadi.
"Nggak... ibu nggak gagal..." kataku setelah menghela nafas panjang, mencoba menetralisir agar tidak terdengar aku menangis. Siapa bilang jadi satu-satunya anak perempuan dimanja? Apakah keadaan seperti ini bisa di bilang orang tua ku memanjakanku? Jika iya, harusnya mereka langsung membayar administrasi keseluruhan semester ini kan? Nggak peduli uang itu di dapat darimana. Iya?
"Kuliah mu jadi terbengkalai Ara..." sergah ibu ku dengar sedang menangis.
"Udah bu nggak apa... aku besok kerja... aku udah urus SKCK... aku akan daftar kerja... sampai nanti aku kuliah lagi... insyaAllah bu... doakan aku..." kataku merasa semakin sesak didadaku, apanya kerja? Semua lamaranku yang kukirim sejak sebulan lalu ditolak semua, sejak bapak bilang ia ditipu aku sudah mencoba mencari pekerjaan disamping padatnya kuliahku. Dan semua nihil. Aku hanya tidak ingin memmbuat ibuku semakin merasa bersalah.
Suara chezzy berteriak di ponselku membuatku tersadar dari lamunan tentang percakapan kemarin dengan ibu dan bapakku, aku angkat panggilan dari pak Thoif --Dosen Bahasa Indonesia ku-- "hallo, Assalamu'alaikum pak..." sapaku sembari mengalihkan rasa sakit setiap ingat suara ibuku.
"Ha??? Serius pak???" Tanyaku tak habis pikir, mengabaikan surat pengajuan cuti ku yang baru sampai salam pembuka, bahkan ketika surat itu belum sampai ke meja bu Andin, apa yang dikatakan pak Thoif lebih dari sebatas bom waktu untukku. Ingin kumenangis detik itu juga.
###
Entah apa maksud pak Thoif mengatakan kuliahku tidak perlu di cuti kan, aku masih bertanya-tanya dan sedikitpun beliau tidak memberitahuku di telphone alasannya apa, pak Thoif hanya ingin bertemu dengan ku untuk membicarakan ini. Dosen bahasa Indonesia ku itu sangat ku hormati, disatu sisi beliau adalah salah satu dosen yang memiliki sikap bersahabat di hadapan mahasiswanya, sedang disisi yang lain pak Thoif adalah guruku sejak aku SD. Ceritanya sangat panjang, yang ku ingat dulu saat aku masih SD pak Thoif adalah guru kewarganegaraan, setelah aku lulus SD tidak pernah lagi mendengar kabarnya, dan saat aku ospek pertama kalinya bertemu dengan guru yang sangat ku kagumi, terlebih guruku ini sekarang jadi dosen bahasa Indonesia di seluruh fakultas kampus tempatku kuliah kecuali di fakultas ekonomi, disana beliau menjadi dosen akuntansi sekaligus wakil dekan. Nggak main-main pak Thoif ini, wakil dekan termuda di kampus ini, usianya baru 34 tahun padahal kebanyakan dekan d
"Kok bisa?!" Pekik Silvi di seberang nun jauh disana, aku menelponnya dengan sisa keberanianku. Tubuhku bergetar menahan gejolak di dadaku. "Aku bisa jelasin nanti, sekarang kamu bisa kesini?" Tanyaku dengan suara datar, pandanganku kosong menatap langit sore yang mulai menggelap. Sejam yang lalu aku sampai kosan dengan di hadapakan wajah panik Alana, semakin kalut karena melihat barang-barangku sudah di luar kosan semua, sempet ngeri bayangin apa barang-barangku di lempar? Kan kasihan laptop ku kalauy kebanting. Tapi syukurlah nggak di lempar-lempar, tapi sumpah teriakan ibu kos membuatku bergidik ngeri. "Aku bikin kos-kosan kaya gini bukan untuk di utangi ya mbak! Jadi tolong kalau nggak bisa bayar pergi sekarang! Ingat! Kamu masih hutang bayar kos 3 bulan! Bayar itu akhir bulan nanti! Sekarang kamu pergi!" teriak bu Lis tadi membuat jantung ku seperti berhenti, udah di usir, masih di anggap hutang pula? Tapi ya emang aku salah sih, ya giman
Dia memegang tanganku kencang seperti orang takut kehilangan, aku terbahak mendapati sikapnya yang kelewat protektif. “kamu tau kalau pegang tangan gadis kaya gini nggak boleh? Kamu bukan mukhrimku ya pak!” kataku masih dengan sisa-sisa kekehanku.“kamu?” tanyanya menatapku intens, ya aku reflex aja bilang kaya gitu. Habis dia juga yang memulai dengan bahasa tidak formal setiap bersama ku kan?“kamu yang mulai untuk bicara nggak formal sama aku, salahku dimana? Lagian aku tetep kasih embel-embel pak kan?” ujarku menyangkal kemungkinan dia akan menyalahkanku.“aku nggak bilang kalau kamu salah, tapi aku seneng percakapan kita nggak secanggung itu.” Ujarnya dengan senyum manis, kulitnya yang sawo matang dengan mata tajam dan senyum yang selalu mengundang lesung pipit di kanan pipinya membuatku berpikir sebenarnya dia ganteng, ya kalau di bandingin sama Kai EXO nggak kalah lah. “jangan panggil pak ya…” pintanya membuatku menoleh.“ya gak bisa gitu dong, pak Candra
Suara gaduh dari samping rumah membangunkanku, entah apa yang terjadi di sana, kulihat Silvi masih terlelap di dalam selimutnya. Aku meraba sekeliling tempat ku, mencari ponsel yang entah di mana. "I got you," desisku setelah mendapatkan ponselku. Jam 02:45, aku menguap sesaat sebelum turun dari ranjang menuju kamar mandi. Biasanya aku suka membicarakan tentang idola dari Jepang, Thailand, Korea, dan China setiap bersama dengan Silvi sebelum kami berangkat tidur saat bersama seperti ini. Selera kami dalam musik dan seni hampir sama, bahkan serial drama dari berbagai negara sering kami cicipi bersama dan kita akan mereviewnya selesai itu. Aku suka dengan musik hip-hop, klasik, pop, R n B, semua jenis suka sih, kecuali dangdut koplo, serius kalau aliran musik yang satu ini aku alergi. Begitu juga Silvi, Manda, dan Fatira. Apa ya bahasanya? Se frekuensi? Semacam itu lah, padahal aku yang tertua diantara kami berempat, baiklah usia memang tidak bisa 100% menjadi tolak ukur penilaian ses
"Udah deh cemberutnya, kamu tau kan aku bisa sewaktu-waktu mesum lho..." ujar Fauzi dengan wajah jenaka dan senyum jahilnya yang membuatku geram, beberapa waktu lalu dia yang udah bikin aku panik luar biasa, sekarang dia yang nggak berhenti menggoda ku sesuka hati."Ya habisnya kamu bikin aku panik! Jantungku rasanya mau copot uzi!" Teriakku masih tak mau menatapnya, setelah aksinya menyusup di ambang pintu yang ingin kututup tadi ia bisa sesantai itu, padahal wajahnya tadi sangat kesakitan saat aku serius mendorong pintu dan dia juga serius terhimpit sekaligus tak mau mengalah. Yang ada di pikiranku, kalau Fauzi mati disini akulah tersangka yang akan masuk bui. Jangan lah! Aku belum bisa mencapai cita-citaku jadi Dokter aku nggak mau punya catatan kriminal."Uzi?" Tanyanya mencondongkan tubuhnya dari duduk yang menghadap padaku, dulu saat hubungan kami masih baik-baik saja aku suka memanggilnya Uzi, tapi sejak aku mendeklarasikan kata putus aku memanggilnya seperti itu
Tanganku sedikit bergetar dengan otakku yang menduga-duga kenapa bapak menelponku bahkan saat aku hampir menelponnya, apa benar perasaanku yang merasa di awasi ini berkaitan dengan bapak yang menelponku di jam sepagi ini? Ya nggak pagi-pagi amat sih, masih jam 8 nan."Hallo, Assalamu'alaikum pak..." sapaku dengan suara yang ku usahakan se ceria mungkin."Wa'alaikumsalam nduk, maaf bapak telpon jam segini, darurat soalnya..." sahut bapak membuatku membeo sesaat.Darurat? Apa yang darurat? Benarkah aku sedang di awasi makanya bapak bilang darurat, aku ingat dengan jelas beberapa tahun lalu bapak juga begini tiba-tiba nelpon dengan kalimat darurat, jarang-jarang bapak nelpon diluar urusan pendidikanku, itupun seringnya aku yang menghubungi bapak duluan."Ada apa pak?" tanyaku berusaha terdengar tenang."Rumah yang kita tempati di sita bank..." jawaban bapak membuatku membola seketika, diluar ekspekstasiku."Ha???""Iya, rumahnya
Aku masih menampakkan wajah baik-baik saja setelah mak sumi memaksa Alana pergi beberapa menit yang lalu, parahnya teriakan Alana yang mencaci maki ku membuat kerumunan di depan warung makan itu. Beberapa orang menghampiriku dan menepuk pundakku seakan memberi kekuatan, mereka orang-orang berusia paruh baya yang berjualan di sekitar kampus juga, dan pastinya aku sering ngobrol sama mereka. "Aku baik-baik aja kok pak, bu..." kataku beberapa kali dengan senyuman yang ku buat setulus mungkin. Mak Sumi sampai nggak habis pikir, beberapa kali kudengar beliau mengumpati Alana dengan suara lirih, lucu juga rasanya melihat wanita yang biasanya bersikap lembut bisa sekasar itu ucapannya."Ada apa kok rame kaya gini?" Tanya mak Dayah yang baru masuk aku hanya terkekeh, beberapa orang menatapku prihatin."Aku habis di labrak rentenir... haha," sahutku terbahak, sakit ya? Gimana enggak? Seingatku aku nggak pernah ngutang ke bank, koperasi atau bahkan rentenir. Sejauh ini aku n
"Jadi bapak juga tau kalau Ara di lirik lagi?" Tanyaku pada seseorang di balik ponselku."Cuma nguji kamu masih ingat pesen bapak enggak," jawab bapakku enteng membuatku mendengus."Katanya ada yang nyusupin kokain pak?" tanyaku tiba-tiba ingat percakapan Pak Juan tadi."Nggak cuma kokain,""Iya Ara tau pak, bapak inget kan pas Ara ngasih tau temen dari Fikes tingkat dua ada yang jual mbako aceh yg itu...""Kenapa?""Sebelum Ara di kasus sama Rektorat Ara nyobain, ternyata nggak seratus persen mbako pak...""Kamu nglinting?"Nada bicara bapak sudah tinggi, bakal jadi salah paham ini. "Nggak gitu, kan temen UMKM ada yang beli itu. Trus Ara penasaran... Ara deketin trus pegang teksturnya... kok pas anaknya ngisep langsung kaya gitu, Ara cium aromanya. Ara pernah nyium aroma mbako aceh yang di bawa om Deni, beda pak... terus Ara nemuin dokter Mahar, katanya emang ada ganjanya, kadar 40-60 sama mbakonya..." je