Aku hanya bisa menunggu di depan ruang kaprodi, sesaat setelah aku mendapat panggilan tadi. Pikiranku berputar-putar entah kemana, apa ini waktunya aku di tendang dari kampus ini? Otakku tak bisa berhenti berpikir logis. Wahai otak berhargaku, tolong bisalah berkompromi! Berpikirlah yang baik-baik saja! Kau harus bertahan, jadi tolong jangan berpikir yang aneh-aneh!. Ah, dasar otakku selalu overthinking. Dengan memainkan ponselku yang bisa di bilang sudah tidak normal lagi, tombol powernya sudah tidak berfungsi dan bentuknya sudah pecah sana-sini, ditambah lagi cara menghidupkannya harus buka tutup baterai. Berharap dengan bermain gawai dapat meredakan gelisah dalam benakku sendiri. Tak lupa juga aku memasang headset ke telinga kiriku, mencoba menikmati salah satu lagu kesukaanku, eye blues milik Gidae --Rapper dari Gwangju--.
I wanna put you in my blue dream Even if not, in my eyes I wanna hug you in my blue dreams Even if it's impossible, in my arms ☆Gidae - Eye Blues☆Kadang otakku sulit diajak kompromi jika tentang arti lagu diluar Indonesia, seringkali kata-kata yang manis dan di iringi musik dramatis itu menyimpan maksud yang erotis. Meskipun lagu yang akhir-akhir ini kudengar nggak ada musik dramatisnya, yang ada alur hiphop atau bahkan rock n roll menghiasi telingaku hampir setiap hari. Salah satunya lagu ini, lagu yang kukenal sejak dua tahun lalu, lagu seorang rapper dari ujung negara lain, yang bahkan tidak terlalu dikenal selama yang aku tau sampai hari ini di sini. Selain Gidae aku juga suka Ronin, seorang rapper berwajah oriental yang berbeda negara, ada juga Diego yang seorang rocker western. Entah mengapa mendengar lagu-lagu hiphop, RnB, Rock n Roll, dan metal membuat hariku lebih berwarna. Setiap penyanyi selalu punya cerita dibalik lagu yang mereka rilis. Lagu yang kudengar saat ini pun punya cerita yang membuatku bisa memainkan imajinasi tingkat dewa tanpa ada yang bisa menghalanginya lagi, eye blues judul yang mengarah pada arti mata yang biru meskipun di dalam lagunya malah tidak menjelaskan tentang mata yang biru, justru membicarakan tentang keinginan seseorang memeluk orang yang dicintainya dalam mimpi biru, otak liarku menari diatas matras ilusi. Bagaimana bisa membawakan lagu semanis itu dengan isi yang ku artikan se erotis itu? Meskipun aku leluasa mengatakan apa yang kupikirkan, tapi aku tidak akan sembarangan mendiskusikan hal-hal vulgar diluar orang yang benar-benar memahami arah pikiranku.Saat otakku diisi oleh pemikiran dan ide untuk apa yang akan aku tulis nanti karena mendengarkan lagu ini, seseorang menepuk pundakku. Aku menoleh ke arahnya. "Pak Candra?" Heranku mendapati dosen psikolog yang sudah duduk saja di sampingku sejak menepuk pundakku tadi, aku menatapnya dengan tanda tanya. Ada apa? Bukannya sekarang beliau ada kelas di Akper 3C?"Menunggu bu Andin?" Tanya pak Candra seperti membaca alasan kenapa aku disini. "Iya pak, tadi ada panggilan untuk menemui beliau..." jawabku dengan senyum yang kubuat setulus mungkin. "Saya sudah dengar kasus kamu Ra..." ujar pak Candra membuatku menoleh dan tersenyum penuh hormat."Saya nggak masalah dengan kasus saya pak... saya memang nggak tau apa yang akan terjadi nanti, tapi saya yakin pak apapun yang terjadi itu takdir Tuhan yang terbaik untuk kita..." kataku dengan senyuman yang sama, kali ini ku regangkan kakiku, membiarkan sepatu putih yang hampir setahun ini bergantian dengan fantofel hitamku sebagai teman berjalan ke kampus ini melayang sesaat di udara bebas. "Saya mau kasih tawaran ke kamu Ra... biar kamu juga tetap bisa kuliah..." kata pak Candra kali ini tersenyum dengan cara yang berbeda, ingin rasanya aku memaki melihat senyuman itu. 4 bulan yang lalu aku memutuskan hubungan dengan satu-satunya mantan pacarku juga gara-gara senyuman sejenis dengan yang pak Candra tunjukkan. Aku benci suasana seperti ini. "Nggak perlu repot pak, terimakasih... saya nggak mau berhutang-" ujarku terpotong karena pak Candra menyela."Kamu belum mendengarkan penjelasan saya... kenapa langsung menolak? Dengarkan dulu saya ngomong..." tukas pak Candra membuatku mendengus sekilas, aku mengangguk sebagai jawaban. Sudah ku duga, ini menyebalkan. "Kamu bisa tetep kuliah, saya yang akan membiayai kamu... saya rasa sayang sekali mahasiswi seperti kamu ini harus terhambat kuliahnya, saya yang mengurus nilai kalian semester kemarin... saya tau nilai IPK kamu tertinggi seangkatan... kalau kamu bisa mempertahankan kuliah ini masa depan kamu juga semakin jelas didepan mata... kamu ngerti kan maksud saya? Kamu bisa mempertimbangkan ini..." sambung lelaki yang kudengar baru 29 tahun yang artinya 5 tahun lebih tua dariku."Saya nggak perlu mikir dua kali pak, saya tau apa yang harus saya lakukan... kalau memang saya terpaksa harus berhenti, itu sudah jalan saya... saya tidak akan melarikan diri..." "Tapi Ra... kamu bisa pertimbangkan tawaran saya... sayang sekali IPK 3,8 tidak dipertahankan di fakultas ini..." "Pak... saya tau di setiap tawaran yang bapak berikan ke saya tidak ada yang gratis... mau bapak apa?" Tanya ku langsung pada intinya membuat pak Candra menatapku intens. Tak lama setelah itu kulihat senyumnya terbit sesaat."Ternyata benar kata banyak Dosen disini, kamu sangat cepat membaca situasi dan memahami lawan main mu..." kata pak Candra kali ini terlihat senyum puas terpatri di bibirnya yang hanya ku pandang tanpa niat menyela sedikitpun kata. "Saya mau kamu menjadi istri saya... sebagai gantinya kamu tetap kuliah sampai Ners...""Yah! Bapak nggak romantis banget! Masa ngelamar kaya gitu hahaha..." tawaku sengaja ku rebakkan, rasa takut menjalar di hatiku. Tapi sedikitpun aku tak bisa menyuarakan kegelisahan hatiku dan sayangnya tubuhku lebih cepat bereaksi menutupi rasa takutku sendiri. "Saya serius Asmara Sukma Hadi binti Hadi Kusuma..." sergah pak Candra bahkan menyebut nama bapakku. Rasa takut itu semakin gila memengaruhi otakku. "Asmara Sukma Hadi?" Bersamaan dengan itu kudengar suara Mbak Risa asisten bu Andin memanggilku, alhamdulillah aku bisa sedikit mengalihkan rasa takutku dan mengabaikan pak Candra. "Iya mbak... bu Andin sudah ada?" Tanya ku tanpa peduli tatapan kecewa pak Candra."Udah ditunggu di dalam, baru saja selesai rapat direksi..." kata wanita cantik itu membuatku lega, aku hampir menyusulnya saat tanganku tertahan genggaman pak Candra. "Aku tunggu jawaban kamu Ra..." ujar Pak Candra tak lagi ku pedulikan dan aku hanya tersenyum tipis sebelum masuk ke ruangan KA Prodi menjemput sisa-sisa masalah yang kutinggalkan seminggu lalu dari rektorat. Sebentar! Kamu? Pak Candra memanggilku kamu?###
"Jadi langkah kamu setelah ini apa Asmara?" Tanya Bu Andin setelah bicara panjang panjang lebar tentang IPK ku semester lalu, buku rekam kegiatan selama menjadi mahasiswi di fakultas kesehatan, sampai kemungkinan-kemungkinan buruk yang sejak seminggu lalu hanya datang dan pergi tanpa permisi ke otakku semua bu Andin bahas. "Jujur bu... saya nggak ada pandangan apa-apa... pikiran saya udah buntu... kalau menurut bu Andin dilihat dari mata prodi, apa yang harus saya lakukan?" Ujarku akhirnya menyuarakan kegalauan hatiku tanpa meperlihatkan kehancuranku, apa yang harus dipertahankan? Untuk mengejar uang 21 juta sampai besok tanggal 15 jelas nggak bisa! Sekarang aja udah tanggal 1? Mau nyongkel bank mana nih? Otakku ruwet seketika. Bahkan Bu Andin pun tadi mengatakan, posisiku saat ini sulit untuk mendapatkan beasiswa, sebodoh itukah aku? Bukan masalah bodoh sih sebenernya. Tapi karena aku yang selalu bilang untuk beasiswa kurang mampu alias keluarga miskin bukan kriteria yang p
Entah apa maksud pak Thoif mengatakan kuliahku tidak perlu di cuti kan, aku masih bertanya-tanya dan sedikitpun beliau tidak memberitahuku di telphone alasannya apa, pak Thoif hanya ingin bertemu dengan ku untuk membicarakan ini. Dosen bahasa Indonesia ku itu sangat ku hormati, disatu sisi beliau adalah salah satu dosen yang memiliki sikap bersahabat di hadapan mahasiswanya, sedang disisi yang lain pak Thoif adalah guruku sejak aku SD. Ceritanya sangat panjang, yang ku ingat dulu saat aku masih SD pak Thoif adalah guru kewarganegaraan, setelah aku lulus SD tidak pernah lagi mendengar kabarnya, dan saat aku ospek pertama kalinya bertemu dengan guru yang sangat ku kagumi, terlebih guruku ini sekarang jadi dosen bahasa Indonesia di seluruh fakultas kampus tempatku kuliah kecuali di fakultas ekonomi, disana beliau menjadi dosen akuntansi sekaligus wakil dekan. Nggak main-main pak Thoif ini, wakil dekan termuda di kampus ini, usianya baru 34 tahun padahal kebanyakan dekan d
"Kok bisa?!" Pekik Silvi di seberang nun jauh disana, aku menelponnya dengan sisa keberanianku. Tubuhku bergetar menahan gejolak di dadaku. "Aku bisa jelasin nanti, sekarang kamu bisa kesini?" Tanyaku dengan suara datar, pandanganku kosong menatap langit sore yang mulai menggelap. Sejam yang lalu aku sampai kosan dengan di hadapakan wajah panik Alana, semakin kalut karena melihat barang-barangku sudah di luar kosan semua, sempet ngeri bayangin apa barang-barangku di lempar? Kan kasihan laptop ku kalauy kebanting. Tapi syukurlah nggak di lempar-lempar, tapi sumpah teriakan ibu kos membuatku bergidik ngeri. "Aku bikin kos-kosan kaya gini bukan untuk di utangi ya mbak! Jadi tolong kalau nggak bisa bayar pergi sekarang! Ingat! Kamu masih hutang bayar kos 3 bulan! Bayar itu akhir bulan nanti! Sekarang kamu pergi!" teriak bu Lis tadi membuat jantung ku seperti berhenti, udah di usir, masih di anggap hutang pula? Tapi ya emang aku salah sih, ya giman
Dia memegang tanganku kencang seperti orang takut kehilangan, aku terbahak mendapati sikapnya yang kelewat protektif. “kamu tau kalau pegang tangan gadis kaya gini nggak boleh? Kamu bukan mukhrimku ya pak!” kataku masih dengan sisa-sisa kekehanku.“kamu?” tanyanya menatapku intens, ya aku reflex aja bilang kaya gitu. Habis dia juga yang memulai dengan bahasa tidak formal setiap bersama ku kan?“kamu yang mulai untuk bicara nggak formal sama aku, salahku dimana? Lagian aku tetep kasih embel-embel pak kan?” ujarku menyangkal kemungkinan dia akan menyalahkanku.“aku nggak bilang kalau kamu salah, tapi aku seneng percakapan kita nggak secanggung itu.” Ujarnya dengan senyum manis, kulitnya yang sawo matang dengan mata tajam dan senyum yang selalu mengundang lesung pipit di kanan pipinya membuatku berpikir sebenarnya dia ganteng, ya kalau di bandingin sama Kai EXO nggak kalah lah. “jangan panggil pak ya…” pintanya membuatku menoleh.“ya gak bisa gitu dong, pak Candra
Suara gaduh dari samping rumah membangunkanku, entah apa yang terjadi di sana, kulihat Silvi masih terlelap di dalam selimutnya. Aku meraba sekeliling tempat ku, mencari ponsel yang entah di mana. "I got you," desisku setelah mendapatkan ponselku. Jam 02:45, aku menguap sesaat sebelum turun dari ranjang menuju kamar mandi. Biasanya aku suka membicarakan tentang idola dari Jepang, Thailand, Korea, dan China setiap bersama dengan Silvi sebelum kami berangkat tidur saat bersama seperti ini. Selera kami dalam musik dan seni hampir sama, bahkan serial drama dari berbagai negara sering kami cicipi bersama dan kita akan mereviewnya selesai itu. Aku suka dengan musik hip-hop, klasik, pop, R n B, semua jenis suka sih, kecuali dangdut koplo, serius kalau aliran musik yang satu ini aku alergi. Begitu juga Silvi, Manda, dan Fatira. Apa ya bahasanya? Se frekuensi? Semacam itu lah, padahal aku yang tertua diantara kami berempat, baiklah usia memang tidak bisa 100% menjadi tolak ukur penilaian ses
"Udah deh cemberutnya, kamu tau kan aku bisa sewaktu-waktu mesum lho..." ujar Fauzi dengan wajah jenaka dan senyum jahilnya yang membuatku geram, beberapa waktu lalu dia yang udah bikin aku panik luar biasa, sekarang dia yang nggak berhenti menggoda ku sesuka hati."Ya habisnya kamu bikin aku panik! Jantungku rasanya mau copot uzi!" Teriakku masih tak mau menatapnya, setelah aksinya menyusup di ambang pintu yang ingin kututup tadi ia bisa sesantai itu, padahal wajahnya tadi sangat kesakitan saat aku serius mendorong pintu dan dia juga serius terhimpit sekaligus tak mau mengalah. Yang ada di pikiranku, kalau Fauzi mati disini akulah tersangka yang akan masuk bui. Jangan lah! Aku belum bisa mencapai cita-citaku jadi Dokter aku nggak mau punya catatan kriminal."Uzi?" Tanyanya mencondongkan tubuhnya dari duduk yang menghadap padaku, dulu saat hubungan kami masih baik-baik saja aku suka memanggilnya Uzi, tapi sejak aku mendeklarasikan kata putus aku memanggilnya seperti itu
Tanganku sedikit bergetar dengan otakku yang menduga-duga kenapa bapak menelponku bahkan saat aku hampir menelponnya, apa benar perasaanku yang merasa di awasi ini berkaitan dengan bapak yang menelponku di jam sepagi ini? Ya nggak pagi-pagi amat sih, masih jam 8 nan."Hallo, Assalamu'alaikum pak..." sapaku dengan suara yang ku usahakan se ceria mungkin."Wa'alaikumsalam nduk, maaf bapak telpon jam segini, darurat soalnya..." sahut bapak membuatku membeo sesaat.Darurat? Apa yang darurat? Benarkah aku sedang di awasi makanya bapak bilang darurat, aku ingat dengan jelas beberapa tahun lalu bapak juga begini tiba-tiba nelpon dengan kalimat darurat, jarang-jarang bapak nelpon diluar urusan pendidikanku, itupun seringnya aku yang menghubungi bapak duluan."Ada apa pak?" tanyaku berusaha terdengar tenang."Rumah yang kita tempati di sita bank..." jawaban bapak membuatku membola seketika, diluar ekspekstasiku."Ha???""Iya, rumahnya
Aku masih menampakkan wajah baik-baik saja setelah mak sumi memaksa Alana pergi beberapa menit yang lalu, parahnya teriakan Alana yang mencaci maki ku membuat kerumunan di depan warung makan itu. Beberapa orang menghampiriku dan menepuk pundakku seakan memberi kekuatan, mereka orang-orang berusia paruh baya yang berjualan di sekitar kampus juga, dan pastinya aku sering ngobrol sama mereka. "Aku baik-baik aja kok pak, bu..." kataku beberapa kali dengan senyuman yang ku buat setulus mungkin. Mak Sumi sampai nggak habis pikir, beberapa kali kudengar beliau mengumpati Alana dengan suara lirih, lucu juga rasanya melihat wanita yang biasanya bersikap lembut bisa sekasar itu ucapannya."Ada apa kok rame kaya gini?" Tanya mak Dayah yang baru masuk aku hanya terkekeh, beberapa orang menatapku prihatin."Aku habis di labrak rentenir... haha," sahutku terbahak, sakit ya? Gimana enggak? Seingatku aku nggak pernah ngutang ke bank, koperasi atau bahkan rentenir. Sejauh ini aku n