Langkah ku percepat ke Cafe tempat pak Thoif memintaku bertemu disana, kebetulan juga nggak jauh dari kosan ku. Aku sampai di depan cafe dan melihat motor king nya pak Thoif, aku tersenyum dan langsung masuk mengedarkan pandangan. Seseorang berpakaian santai melambaikan tangannya dari meja yang berdampingan dengan taman, aku tersenyum lebar dan menuju ke arahnya.
"Pak Thoif..." ujarku dengan senang tak terbendung.
"Ara... sini!" Katanya membuatku dengan santainya duduk di hadapannya. "Mau minum apa?" tanya pak Thoif dengan senyum berwibawanya.
"V60 aja pak seperti biasa..." kataku dengan tenang.
"Ok! Tunggu ya..." ujar pak Thoif lalu menuju bartander memesankan minumanku. "Makanannya ngikut pak Thoif aja ya Ra?" Pinta pak Thoif sambil jalan membuatku mengangguk, kadang aku merasa banyak sekali selera pak Thoif yang sama dengan seleraku, sering juga aku berpikir untuk memantaskan diri sebagai adik pak Thoif, banyak juga yang bilang wajahku dengan pak Thoif mirip.
"Sudah lama Ra?" tanya suara yang sangat ku kenal membuatku reflek menoleh dan melihatnya, aku sulit mengekspresikan perasaanku saat ini.
"Ngapain pak Candra di sini?" Tanyaku datar.
"Saya janjian sama pak Thoif, ada masalah?" sahut pak Candra membuatku memejamkan mata sesaat menahan marah. Apa pak Thoif tau masalah ini? "Saya nggak bilang apapun ke pak Thoif tentang yang saya minta ke kamu, saya cuma minta bantuan pak Thoif biar kamu mau saya biayai. Gimana menurutmu?" ujar pak Candra seperti tau kemana arah pikiranku.
"Oh, jadi bantuan itu dari anda... kalau saya mengiyakan apa yang pak Thoif katakan artinya saya mengiyakan ajakan anda kan?" Kataku memastikan dugaanku sendiri.
"Kurang lebih nya seperti itu..." sahut pak Candra tampak puas.
"Sudah sampai Candra? Barusan saya pesen latte juga buat kamu..." kata pak Thoif yang kusyukuri sudah bergabung dengan kami.
"Baru aja pak, kita langsung aja nih pak?" tukas pak Candra tanpa basa-basi membuat pak Thoif terkekeh pelan.
"Kamu nggak sabaran ya?" tanya pak Thoif dengan senyumnya yang tersisa. "Gimana Ra? Kamu mau?" tanya pak Thoif ke arahku saat itu aku melihat dengan jelas wajah terkejut pak Candra.
"Saya kira pak Thoif udah tanya ke Ara," ungkap pak Candra telihat kecewa, aku hanya bisa menduga mungki semua ini diluar prediksinya.
"Gimana Ara?" tanya pak Thoif lagi dengan senyumnya yang menenangkan.
"Apanya pak?" tanyaku balik merasa nggak paham dengan situasi ini.
"Pandangan kamu, tadi saya bilang kan di telphone? Kalau kamu tetap bisa melanjutkan kuliah, tapi kita harus ketemu dulu," kata pak Thoif membuatku tersenyum penuh arti, apa kami sedang bermain peran? Apakah hal seperti ini selalu terjadi setiap ada sesuatu hal yang sedikit mengusikku? Secara tidak langsung pak Thoif memberikan ruang untukku memilih dan mungkinkah untuk kesekian kalinya pak Thoif memahami posisiku? Sekilas aku melihat ke arah pak Candra, wajah yang beberapa menit lalu berbinar seperti menang lotre itu kini tampak kusut, meskipun tidak mengurangi kadar ketampanannya tapi tetap saja dia terlihat kecewa.
"Saya tetap akan ambil cuti pak..." kataku lembut ke arah pak Thoif, matanya sempat memancarkan keterkejutan tapi langsung berubah tenang.
"Apa kamu tau kalau bantuan itu dari Candra?" tanya pak Thoif dengan santai sembari menatapku lekat.
"Nggak pak, mau bantuan itu dari siapapun saya rasa tetap harus cuti pak..." kataku mengambil jalan tengah, aku nggak bisa kalau seandainya salah bicara pak Thoif jadi tanya aneh-aneh.
"Sudah dengar Can?" tanya pak Thoif pada pak Candra.
"Iya pak," jawab pak Candra lalu menatapku, "aku takut kamu menyesal karena ambil cuti Ra," ujar pak Candra kali ini ku akui wajahnya khawatir.
"Hidupku adalah milikku, keputusanku resikoku, aku nggak peduli apapun konsekuensi nya. Kalau aku sudah bulat ya itulah jalan yang kupilih, dan berusaha untuk tidak kecewa meskipun mungkin akan ada luka..." kataku tak lagi memperdulikan bahasa formal, toh memang usia pak Candra hanya beberapa tahun lebih tua dariku.
Berakhirlah percakapan serius itu seiring pesanan kami datang, seketika mataku melebar mendapati camilan pedas yang di pesan pak Thoif untukku, bahagia itu sederhana kan? V60, camilan pedas, coklat, apa lagi? Aku bahkan hampir lupa tentang pak Candra yang memintaku menjadi istrinya sebagai ganti kuliah ku yang tetap berjalan sebagaimana mestinya. Bahkan aku sempat mencandainya yang tidak bisa makan pedas, hingga pak Candra pamit saat itulah pak Thoif menatapku dengan wajah menyesal.
"Kenapa harus terjadi lagi Ra?" tanya pak Thoif dengan mata memerah.
"Apanya pak?" tanyaku balik merasa ada ketidak nyamanan di balik matanya yang memerah.
"8 tahun yang lalu? Kamu ingat? Kamu hampir di tendang dari sekolahan padahal saat itu dua hari menjelang try out padahal kamu siswa yang cerdas... kenapa sekarang harus terulang lagi? IPK mu bagus Ra... temen-temen seangkatanmu nggak ada yang dapat IPK setinggi itu, kenapa harus terulang lagi?" tanya Pak Thoif membuang pandangannya keluar cafe.
"Allah yang berkehendak seperti itu pak, mungkin kita bisa berusaha sekuat semampu kita, tapi jika Allah menjalankan rencana-Nya apa yang bisa di lakukan manusia?" jawabku mengingat ucapan bapakku setiap kali ada orang yang menyayangkan kenapa dan bagaimana kondisi kami yang seringkali oleng tak terkendali. Setelah itu aku hanya bisa mencoba menenangkannya yang terlihat sangat frustasi dan khawatir dengan kondisiku.
Sore itu aku paham, apa yang kita alami adalah yang terbaik dari Tuhan untuk kita, setidaknya dengan jatuh tersungkur kita ingat bahwa tempat yang kita anggap aman tidak selalu benar-benar menyelamatkan kita dari takdir yang sudah Tuhan tentukan. Tuhan lebih tau apa yang kita butuhkan daripada sebatas apa yang kita inginkan.
Aku pulang ke kosan dengan perasan campur aduk, jawabannya jelas. Aku tetap cuti meskipun sempat berharap ada sedikit kemungkinan yang nyatanya tetap nihil.
"Ara!!! Ara!!!" panggil Alana tetangga kamarku dengan panik.
"Ada apa?" tanyaku bingung di depan gerbang kosan.
"Itu..." belum usai Alana bicara dengan sisa kepanikannya aku terpaku melihat apa yang terjadi dengan 8 meter dari tempatku berdiri, mataku memanas tapi aku tetap tersenyum ke arah Alana. Aku bisa menghadapinya kan?
###
"Kok bisa?!" Pekik Silvi di seberang nun jauh disana, aku menelponnya dengan sisa keberanianku. Tubuhku bergetar menahan gejolak di dadaku. "Aku bisa jelasin nanti, sekarang kamu bisa kesini?" Tanyaku dengan suara datar, pandanganku kosong menatap langit sore yang mulai menggelap. Sejam yang lalu aku sampai kosan dengan di hadapakan wajah panik Alana, semakin kalut karena melihat barang-barangku sudah di luar kosan semua, sempet ngeri bayangin apa barang-barangku di lempar? Kan kasihan laptop ku kalauy kebanting. Tapi syukurlah nggak di lempar-lempar, tapi sumpah teriakan ibu kos membuatku bergidik ngeri. "Aku bikin kos-kosan kaya gini bukan untuk di utangi ya mbak! Jadi tolong kalau nggak bisa bayar pergi sekarang! Ingat! Kamu masih hutang bayar kos 3 bulan! Bayar itu akhir bulan nanti! Sekarang kamu pergi!" teriak bu Lis tadi membuat jantung ku seperti berhenti, udah di usir, masih di anggap hutang pula? Tapi ya emang aku salah sih, ya giman
Dia memegang tanganku kencang seperti orang takut kehilangan, aku terbahak mendapati sikapnya yang kelewat protektif. “kamu tau kalau pegang tangan gadis kaya gini nggak boleh? Kamu bukan mukhrimku ya pak!” kataku masih dengan sisa-sisa kekehanku.“kamu?” tanyanya menatapku intens, ya aku reflex aja bilang kaya gitu. Habis dia juga yang memulai dengan bahasa tidak formal setiap bersama ku kan?“kamu yang mulai untuk bicara nggak formal sama aku, salahku dimana? Lagian aku tetep kasih embel-embel pak kan?” ujarku menyangkal kemungkinan dia akan menyalahkanku.“aku nggak bilang kalau kamu salah, tapi aku seneng percakapan kita nggak secanggung itu.” Ujarnya dengan senyum manis, kulitnya yang sawo matang dengan mata tajam dan senyum yang selalu mengundang lesung pipit di kanan pipinya membuatku berpikir sebenarnya dia ganteng, ya kalau di bandingin sama Kai EXO nggak kalah lah. “jangan panggil pak ya…” pintanya membuatku menoleh.“ya gak bisa gitu dong, pak Candra
Suara gaduh dari samping rumah membangunkanku, entah apa yang terjadi di sana, kulihat Silvi masih terlelap di dalam selimutnya. Aku meraba sekeliling tempat ku, mencari ponsel yang entah di mana. "I got you," desisku setelah mendapatkan ponselku. Jam 02:45, aku menguap sesaat sebelum turun dari ranjang menuju kamar mandi. Biasanya aku suka membicarakan tentang idola dari Jepang, Thailand, Korea, dan China setiap bersama dengan Silvi sebelum kami berangkat tidur saat bersama seperti ini. Selera kami dalam musik dan seni hampir sama, bahkan serial drama dari berbagai negara sering kami cicipi bersama dan kita akan mereviewnya selesai itu. Aku suka dengan musik hip-hop, klasik, pop, R n B, semua jenis suka sih, kecuali dangdut koplo, serius kalau aliran musik yang satu ini aku alergi. Begitu juga Silvi, Manda, dan Fatira. Apa ya bahasanya? Se frekuensi? Semacam itu lah, padahal aku yang tertua diantara kami berempat, baiklah usia memang tidak bisa 100% menjadi tolak ukur penilaian ses
"Udah deh cemberutnya, kamu tau kan aku bisa sewaktu-waktu mesum lho..." ujar Fauzi dengan wajah jenaka dan senyum jahilnya yang membuatku geram, beberapa waktu lalu dia yang udah bikin aku panik luar biasa, sekarang dia yang nggak berhenti menggoda ku sesuka hati."Ya habisnya kamu bikin aku panik! Jantungku rasanya mau copot uzi!" Teriakku masih tak mau menatapnya, setelah aksinya menyusup di ambang pintu yang ingin kututup tadi ia bisa sesantai itu, padahal wajahnya tadi sangat kesakitan saat aku serius mendorong pintu dan dia juga serius terhimpit sekaligus tak mau mengalah. Yang ada di pikiranku, kalau Fauzi mati disini akulah tersangka yang akan masuk bui. Jangan lah! Aku belum bisa mencapai cita-citaku jadi Dokter aku nggak mau punya catatan kriminal."Uzi?" Tanyanya mencondongkan tubuhnya dari duduk yang menghadap padaku, dulu saat hubungan kami masih baik-baik saja aku suka memanggilnya Uzi, tapi sejak aku mendeklarasikan kata putus aku memanggilnya seperti itu
Tanganku sedikit bergetar dengan otakku yang menduga-duga kenapa bapak menelponku bahkan saat aku hampir menelponnya, apa benar perasaanku yang merasa di awasi ini berkaitan dengan bapak yang menelponku di jam sepagi ini? Ya nggak pagi-pagi amat sih, masih jam 8 nan."Hallo, Assalamu'alaikum pak..." sapaku dengan suara yang ku usahakan se ceria mungkin."Wa'alaikumsalam nduk, maaf bapak telpon jam segini, darurat soalnya..." sahut bapak membuatku membeo sesaat.Darurat? Apa yang darurat? Benarkah aku sedang di awasi makanya bapak bilang darurat, aku ingat dengan jelas beberapa tahun lalu bapak juga begini tiba-tiba nelpon dengan kalimat darurat, jarang-jarang bapak nelpon diluar urusan pendidikanku, itupun seringnya aku yang menghubungi bapak duluan."Ada apa pak?" tanyaku berusaha terdengar tenang."Rumah yang kita tempati di sita bank..." jawaban bapak membuatku membola seketika, diluar ekspekstasiku."Ha???""Iya, rumahnya
Aku masih menampakkan wajah baik-baik saja setelah mak sumi memaksa Alana pergi beberapa menit yang lalu, parahnya teriakan Alana yang mencaci maki ku membuat kerumunan di depan warung makan itu. Beberapa orang menghampiriku dan menepuk pundakku seakan memberi kekuatan, mereka orang-orang berusia paruh baya yang berjualan di sekitar kampus juga, dan pastinya aku sering ngobrol sama mereka. "Aku baik-baik aja kok pak, bu..." kataku beberapa kali dengan senyuman yang ku buat setulus mungkin. Mak Sumi sampai nggak habis pikir, beberapa kali kudengar beliau mengumpati Alana dengan suara lirih, lucu juga rasanya melihat wanita yang biasanya bersikap lembut bisa sekasar itu ucapannya."Ada apa kok rame kaya gini?" Tanya mak Dayah yang baru masuk aku hanya terkekeh, beberapa orang menatapku prihatin."Aku habis di labrak rentenir... haha," sahutku terbahak, sakit ya? Gimana enggak? Seingatku aku nggak pernah ngutang ke bank, koperasi atau bahkan rentenir. Sejauh ini aku n
"Jadi bapak juga tau kalau Ara di lirik lagi?" Tanyaku pada seseorang di balik ponselku."Cuma nguji kamu masih ingat pesen bapak enggak," jawab bapakku enteng membuatku mendengus."Katanya ada yang nyusupin kokain pak?" tanyaku tiba-tiba ingat percakapan Pak Juan tadi."Nggak cuma kokain,""Iya Ara tau pak, bapak inget kan pas Ara ngasih tau temen dari Fikes tingkat dua ada yang jual mbako aceh yg itu...""Kenapa?""Sebelum Ara di kasus sama Rektorat Ara nyobain, ternyata nggak seratus persen mbako pak...""Kamu nglinting?"Nada bicara bapak sudah tinggi, bakal jadi salah paham ini. "Nggak gitu, kan temen UMKM ada yang beli itu. Trus Ara penasaran... Ara deketin trus pegang teksturnya... kok pas anaknya ngisep langsung kaya gitu, Ara cium aromanya. Ara pernah nyium aroma mbako aceh yang di bawa om Deni, beda pak... terus Ara nemuin dokter Mahar, katanya emang ada ganjanya, kadar 40-60 sama mbakonya..." je
"Berhenti mengikuti dia!"Tegas dan cukup untuk membuatku mematung seketika, aku menoleh dan membola."Pak Juan?!"Aku masih terkejut menatapnya lalu beralih ke tempat dimana aku tadi melihat orang yang mirip Fauzi, dan aku menelan ludah secara paksa. Disana hanya ada toko-toko yang berjajar rapi tanpa ada seorangpun yang berperawakan mirip Fauzi."Dia siapa? Emang siapa yang saya ikuti?" tanyaku memasang wajah datar pada lelaki yang menggunakan pakaian kasual itu."Saya tau kamu ngikutin dia," ujar pak Juan menunjuk jalan yang tidak ada siapa-siapa. "Awalnya di nggak tau kamu bakal ngikutin dia, tapi kalau sampai dia tau? Bang!" sambung pak Juan berlagak menembak kepalaku dengan gerakan jarinya. "Meskipun mungkin dia orang yang kamu kenal, sebuah misi yang terancam gagal menghalalkan petugasnya melenyapkan saksi mata." kata pak Juan lalu berbalik arah, sepertinya dia akan ke perpusda. Aku mengikutinya, menatapnya aneh."Pa
"Bangun, waktu subuh hampir habis. Kita juga harus take off jam 7." Ujar Gidae lembut sebelum mengecup dahi Ara perlahan. "Abang...!" Protes Ara akhirnya memaksakan matanya terbuka, tanpa sadar dirinya tersenyum saat lelaki itu menatapnya intens. Akan selalu ada hal-hal yang tak terduga dalam hidup, seperti halnya kehadiran seseorang yang semula rasanya tidak mungkin. Mengharapkan dan di harapkan seringkali sangat berbeda. Ara menghela nafas panjang. Setelah hari ini ia yakin kehidupannya pasti berubah drastis. Hidup bersama orang yang dia kagumi tapi mungkin hatinya bukan untuk Ara. Semua ingatan tentang bagaimana mereka bisa bertemu sampai dirinya harus bersikap layaknya orang yang lupa ingatan. Ara tidak ingin melampui batas yang sudah Tuhan ciptakan. Tidak sekalipun. Ia tidak akan memaksakan sesuatu yang memang bukan untuknya. Tapi juga akan selalu mengejar apa yang Ara rasa memang sudah seharusnya. Hidup tidak selalu menyulitkan. Tapi juga tidak selalu menyenangkan. Di satu
"bang, siapa mereka ini?" Tanya Ara setelah selesai memakan bubur nya sembari menunjukkan gambar dari laptopnya."Ini ibu, ini bapak, ini Farhan, ini Vian, dan ini kamu..." Jawab Gidae sambil menunjuk foto keluarga Ara, gadis itu mengernyit, dari mana Gidae tau tentang keluarganya."Apa ini foto keluarga?""Iya...""Banyak foto seperti ini, tapi Abang nggak ada... Mwonde noui uri orabeoni jinja yo?""Aku benar-benar kakak mu, aku Abang mu... Cukup hanya aku yang kamu punya saat ini... Aku tidak ingin mengorbankan kebahagiaan mu lagi... Maaf... Aku egois..." Kata Gidae menggenggam tangan Ara erat, ini bahkan lebih cepat dari yang bisa gadis itu duga."Apa sebelum kecelakaan ini aku tidak bahagia?" Tanya Ara yang sedikit mengimprovisasi perannya, mengingat tadi Gidae mengatakan kalau ia kecelakaan makanya sampai koma."Bahkan mereka menghalangi mimpimu, mereka mengabaikan perasaanmu, mereka memilih mendahuluk
"jaga rahasia ini dari kakak saya..." Kataku membuat salah satu perawat memelototkan matanya.Ok kakak nemu di rumah sakit, ku ikuti sandiwaramu."Buat saya terlihat seperti lupa ingatan di depan kakak saya, apa yang membuat saya ada di sini pasti menyakiti perasaannya, saya tau dia pasti khawatir dan sempat berpikir ada yg salah dengan otak saya. Kalau saya di nyatakan lupa ingatan, mungkin kakak akan terbebas dari rasa yang mengganggu hatinya. Akhhh.. aku ngomong apaan sih? Tapi serius dok, anda paham maksud saya kan? Dalam domestik kedokteran, kebidanan, dan keperawatan ada kode etik untuk tidak menyampaikan keadaan pasien tanpa seijin pasien kan?" Kataku panjang lebar di sela-sela mereka memeriksaku."Saya paham, tapi kakak anda sangat menunggu kesadaran anda kembali sejak terhitung 18 hari anda koma, anda juga harus memikirkan bagaimana perasaannya nanti jika tau kondisi anda di luar ekspektasi." Kata dokter ber name tag Hariyadi."Saya dengar percakapan dokte
"mbak jangan gila! Apa yang kamu lakuin?" teriakan Arial hampir saja membuatku gagal fokus dengan tujuan yang hampir ku capai, aku tau ini salah. Tapi aku lelah. Sangat lelah. "aku memang gila! Kenapa? Nggak suka!!!" teriakku emosional, coba dia nggak ngagetin aku barusan? Aku gak perlu buang-buang waktu percumah. "tapi gak dengan cara kaya gini mbak! Tolong mbak dengerin aku!" teriak Arial frustasi. "nggak! Aku capek Ar!" "aku bilang berhenti mbak!" "nggak!" "mbakkkkkk!" Byuuuuuurrrrrrrr.... Dinginnya air sungai kurasakan di kulitku. Aku tau mungkin hidupku akan berakhir hari ini, saat ini. Aku menyerah, menyerah dengan semua hal yang harus ku terima. Biar kan aku pergi. Mengakhiri semuanya, aku lelah, aku merasa tak bisa melewati semua lebih dari ini. Aku tak akan mampu lebih jauh lagi, Kupikir ini yang terbaik untuk kita. Maafkan aku bapak...
Hampir dua bulan aku berkutat dengan theater, dan sekali menemani delegasi dari sanggar yang di percaya ikut event. Ada rasa campur aduk dari mulai seneng, emosi, sedih untuk setiap inci proses dalam pengemasan pertunjukan yang menarik. Rasanya seperti membesarkan seorang anak, meskipun aku belum tau rasanya menjadi seorang ibu bagaimana, tapi sungguh aku bersyukur ada di sanggar ini dan mencintai setiap jengkal apapun yang berhubungan dengan komponen di sanggar ini. Anggap aku mulai bisa merelakan kelukaan ku beberapa bulan lalu, anggap aku tidak lagi mempermasalahkan sakit hatiku terpaksa menunda impianku, anggap aku baik-baik saja dengan kesibukanku di sanggar selama dua bulan ini. Tau apa yang kulakukan sejak aku menolak tawaran Gidae? Aku tidak pernah sekalipun membuka email yang bersangkutan dengannya, memblokir semua akun yang berhubungan dengannya. Orang tuaku juga tidak lagi membahas tentang pernikahan dan jodoh seperti saat Vian menikah, sepertinya mereka memahami keadaank
"Eh, iya kak... apa?" tanya Arda dengan tampang polosnya."Kedepan," pintaku membuatnya membola tapi tetap mengikuti instruksiku maju ke depan 24 peserta lain."Bisa kamu contohkan latihan olah vokal?" tukasku dengan wajah datar."Ng," gumam Arda dengan menatap Arial seakan minta bantuan."Kenapa ng?" tanyaku menahan untuk tidak terbahak melihat muka bingung nya."Aku gak tau kak...""Kok bisa?" Kali ini bukan suaraku, tapi suara Arial. Kalau dia udah buka suara aku memilih mundur, menyaksikan drama komedi apa yang habis ini akan terjadi. ### "Mau pulang mbak?" Tanya Arial menahan langkahku yang mengarah ke depan sanggar, udah jam 5 sore. Biasanya masih ada angkot, mungkin kloter terakhir."Kamu pikir aku mau nginep sini?" tanyaku balik."Haha, nggak berubah dari dulu kalau di tanyain bukannya jawab malah balik tanya," tukas Arial membuatku terkekeh pelan."Kebiasaan kok susah ngerubahnya," kataku lalu be
Baik bapak maupun ibu sama-sama tidak pernah membahas beasiswa itu lagi, padahal padahal kejadian hari itu aku sampai parah nangisnya, baiklah! Tangisanku memang tidak berharga, haha. Sambil memasukkan data-data yang memungkinkan mendapat beasiswa dari perusahaan swasta, aku mulai disibukkan dengan kegiatan di sanggar teather. Aku suka segala macam bentuk seni, termasuk seni peran, ketika aku memasukkan data diriku ke Culturic Theather sebenarnya aku pengen masuk ke bagian Sutradara atau setidaknya asisten Sutradara. Tapi karena aku nggak pernah sekolah di perperanan jadi ya aku di masukkan pada bagian pelatihan, karena aku punya sertifikat Swara Theater jaman aku masih SMA, ya meskipun theater garapan ektrakulikuler pun dan tidak seterkenal Theater Koma, setidaknya pengalaman jaman SMA itu cukup membantu posisiku di Culturic Theater. Kesibukan ini membuatku bisa mengabaikan rasa kecewaku yang nggk jdi kuliah, udah lah nanti jadi sedih juga. Sekaligus salah satu caraku menemukan ide
"Mohon maaf, saya akan membicarakan beasiswa ini dengan orang tua saya dulu. Terimakasih."Balasku tak mengindahkan pesan-pesannya sebelum ini, aku memilih menganggap ungkapan formalku sebagai profesionalitas. Aku mematikan data selular, menatap segenap jajaran anggrek di depan jendela kamarku. "Cattleya, perasaanku ini aneh kah?" tanyaku pada anggrek bulan berwarna ungu itu, dia bukan jenis cattleya, tapi aku menamainya begitu. Suka-suka ku lah. Aku yang punya."Cattleya... aku suka sama dia... tapi, ah... aku nggak suka kalau harus ingat bagaimana pacar Gidae menciumnya... itu menyakitkan!" kataku lagi pada anggrekku.Aku menatap ponselku lagi, membuka file dokumen unduhan. Undangan beasiswa resmi itu tadi sudah ku unduh. Aku masih menikmati tulisan demi tulisan yang membuatku hampir melayang, tapi aku sangsi dengan ijin dari orang tuaku. Hanya tinggal memberi tanda tangan, dan tiba-tiba aku di rundung perasaan gelisah.Seandainya pun di ijinkan apa a
Apa aku memang se egois itu? Tapi aku juga belum siap jika harus berhadapan dengan mereka semua. Seribet itu pemikiranku. Aku bahkan tidak bisa tidur malam ini, rasa kantukku lenyap seiring memikirkan Fatira dan Manda. Aku mengambil ponselku, mencari nama Silvi.Tuuuuuuuttttt....Tuuuuuuutttt....Tuuuuuuuuutttt...Nada sambung panggilan menguar sepenjuru kamar, sudah pasti ku loudspeaker, tak peduli nanti bapak ibuku mendengarnya. Aku sudah pusing dengan kenyataan ini."Hallo..." suara serak Silvi menyapaku, baru juga jam 10. Tumben udah tidur?"Bangun tidur?" selorohku dan dia terkekeh sesaat."Aku capek Ra.""Habis ngapain emang?""Maraton ke rumah sakit,""Siapa yang sakit?""Nggak ada.""Lha terus?""Fatira pengen bakso kadipolo..."Hening."Apa Fatira sering ngidam?" tanyaku sedikit merasa bersalah."Nggak juga, tapi kayaknya emang sengaja nggak minta kalau nggak pengen banget..." sa