"Eh, iya kak... apa?" tanya Arda dengan tampang polosnya.
"Kedepan," pintaku membuatnya membola tapi tetap mengikuti instruksiku maju ke depan 24 peserta lain. "Bisa kamu contohkan latihan olah vokal?" tukasku dengan wajah datar. "Ng," gumam Arda dengan menatap Arial seakan minta bantuan."Kenapa ng?" tanyaku menahan untuk tidak terbahak melihat muka bingung nya. "Aku gak tau kak..." "Kok bisa?" Kali ini bukan suaraku, tapi suara Arial. Kalau dia udah buka suara aku memilih mundur, menyaksikan drama komedi apa yang habis ini akan terjadi.###
"Mau pulang mbak?" Tanya Arial menahan langkahku yang mengarah ke depan sanggar, udah jam 5 sore. Biasanya masih ada angkot, mungkin kloter terakhir.
"Kamu pikir aku mau nginep sini?" tanyaku balik."Haha, nggak berubah dari dulu kalau di tanyain bukannya jawab malah balik tanya," tukas Arial membuatku terkekeh pelan. "Kebiasaan kok susah ngerubahnya," kataku lalu beHampir dua bulan aku berkutat dengan theater, dan sekali menemani delegasi dari sanggar yang di percaya ikut event. Ada rasa campur aduk dari mulai seneng, emosi, sedih untuk setiap inci proses dalam pengemasan pertunjukan yang menarik. Rasanya seperti membesarkan seorang anak, meskipun aku belum tau rasanya menjadi seorang ibu bagaimana, tapi sungguh aku bersyukur ada di sanggar ini dan mencintai setiap jengkal apapun yang berhubungan dengan komponen di sanggar ini. Anggap aku mulai bisa merelakan kelukaan ku beberapa bulan lalu, anggap aku tidak lagi mempermasalahkan sakit hatiku terpaksa menunda impianku, anggap aku baik-baik saja dengan kesibukanku di sanggar selama dua bulan ini. Tau apa yang kulakukan sejak aku menolak tawaran Gidae? Aku tidak pernah sekalipun membuka email yang bersangkutan dengannya, memblokir semua akun yang berhubungan dengannya. Orang tuaku juga tidak lagi membahas tentang pernikahan dan jodoh seperti saat Vian menikah, sepertinya mereka memahami keadaank
"mbak jangan gila! Apa yang kamu lakuin?" teriakan Arial hampir saja membuatku gagal fokus dengan tujuan yang hampir ku capai, aku tau ini salah. Tapi aku lelah. Sangat lelah. "aku memang gila! Kenapa? Nggak suka!!!" teriakku emosional, coba dia nggak ngagetin aku barusan? Aku gak perlu buang-buang waktu percumah. "tapi gak dengan cara kaya gini mbak! Tolong mbak dengerin aku!" teriak Arial frustasi. "nggak! Aku capek Ar!" "aku bilang berhenti mbak!" "nggak!" "mbakkkkkk!" Byuuuuuurrrrrrrr.... Dinginnya air sungai kurasakan di kulitku. Aku tau mungkin hidupku akan berakhir hari ini, saat ini. Aku menyerah, menyerah dengan semua hal yang harus ku terima. Biar kan aku pergi. Mengakhiri semuanya, aku lelah, aku merasa tak bisa melewati semua lebih dari ini. Aku tak akan mampu lebih jauh lagi, Kupikir ini yang terbaik untuk kita. Maafkan aku bapak...
"jaga rahasia ini dari kakak saya..." Kataku membuat salah satu perawat memelototkan matanya.Ok kakak nemu di rumah sakit, ku ikuti sandiwaramu."Buat saya terlihat seperti lupa ingatan di depan kakak saya, apa yang membuat saya ada di sini pasti menyakiti perasaannya, saya tau dia pasti khawatir dan sempat berpikir ada yg salah dengan otak saya. Kalau saya di nyatakan lupa ingatan, mungkin kakak akan terbebas dari rasa yang mengganggu hatinya. Akhhh.. aku ngomong apaan sih? Tapi serius dok, anda paham maksud saya kan? Dalam domestik kedokteran, kebidanan, dan keperawatan ada kode etik untuk tidak menyampaikan keadaan pasien tanpa seijin pasien kan?" Kataku panjang lebar di sela-sela mereka memeriksaku."Saya paham, tapi kakak anda sangat menunggu kesadaran anda kembali sejak terhitung 18 hari anda koma, anda juga harus memikirkan bagaimana perasaannya nanti jika tau kondisi anda di luar ekspektasi." Kata dokter ber name tag Hariyadi."Saya dengar percakapan dokte
"bang, siapa mereka ini?" Tanya Ara setelah selesai memakan bubur nya sembari menunjukkan gambar dari laptopnya."Ini ibu, ini bapak, ini Farhan, ini Vian, dan ini kamu..." Jawab Gidae sambil menunjuk foto keluarga Ara, gadis itu mengernyit, dari mana Gidae tau tentang keluarganya."Apa ini foto keluarga?""Iya...""Banyak foto seperti ini, tapi Abang nggak ada... Mwonde noui uri orabeoni jinja yo?""Aku benar-benar kakak mu, aku Abang mu... Cukup hanya aku yang kamu punya saat ini... Aku tidak ingin mengorbankan kebahagiaan mu lagi... Maaf... Aku egois..." Kata Gidae menggenggam tangan Ara erat, ini bahkan lebih cepat dari yang bisa gadis itu duga."Apa sebelum kecelakaan ini aku tidak bahagia?" Tanya Ara yang sedikit mengimprovisasi perannya, mengingat tadi Gidae mengatakan kalau ia kecelakaan makanya sampai koma."Bahkan mereka menghalangi mimpimu, mereka mengabaikan perasaanmu, mereka memilih mendahuluk
"Bangun, waktu subuh hampir habis. Kita juga harus take off jam 7." Ujar Gidae lembut sebelum mengecup dahi Ara perlahan. "Abang...!" Protes Ara akhirnya memaksakan matanya terbuka, tanpa sadar dirinya tersenyum saat lelaki itu menatapnya intens. Akan selalu ada hal-hal yang tak terduga dalam hidup, seperti halnya kehadiran seseorang yang semula rasanya tidak mungkin. Mengharapkan dan di harapkan seringkali sangat berbeda. Ara menghela nafas panjang. Setelah hari ini ia yakin kehidupannya pasti berubah drastis. Hidup bersama orang yang dia kagumi tapi mungkin hatinya bukan untuk Ara. Semua ingatan tentang bagaimana mereka bisa bertemu sampai dirinya harus bersikap layaknya orang yang lupa ingatan. Ara tidak ingin melampui batas yang sudah Tuhan ciptakan. Tidak sekalipun. Ia tidak akan memaksakan sesuatu yang memang bukan untuknya. Tapi juga akan selalu mengejar apa yang Ara rasa memang sudah seharusnya. Hidup tidak selalu menyulitkan. Tapi juga tidak selalu menyenangkan. Di satu
"Ammmeata.. tha... ta..." gumaman yang ku tau itu hanya bahasa bayi, aku sama sekali tidak paham apa yang dibicarakannya, hanya bisa menduga-duga. Entah kenapa bayiku yang satu ini agaknya punya sifat lebih mirip ayahnya, di usianya yang baru 5 bulan udah pinter ngoceh aja, kalau udah gini bikin aku gemes, ini jelas duplikatnya suamiku, cuma kata banyak orang wajah nya aku banget."Kamu ngomong apa ya? Kamu nyanyi apa ngerap? Kamu ikut-ikutan bapak ya?" ujarku menggapainya dan melayangkannya ke udara sesaat cukup membuat ia terkekeh dan gumaman kecil itu lolos dari bibir mungilnya, gemas ku ciumi pipi gembulnya."Assalamu'alaikum, Bapak pulang..." sapa sengau suamiku, wajah orientalnya yang teduh dengan senyum lebar selalu dan selalu menggetarkan perasaanku, sudah lama tapi kok masih aja deg-deg an kalau liat dia senyum kaya gitu."Wa'alaikumsalam! itu bapak pulang..." sahutku menatap mereka satu persatu, kulihat si sulung yang bermain dengan tengkurap men
Kulangkahkan kaki dengan malas keluar dari gedung rektorat, hampir satu jam adu mulut dengan petugas administrasi membuat otakku ingin meledakkan lahar seketika itu juga. Kenapa orang borjuis selalu merasa diatas segalanya? Apa iya kuliahku hanya samapai titik ini? Masuk semester tiga aja belum, udah harus seribet ini berurusan dengan pembiayaan. Seandainya aku bisa seperti kakakku yang mendapat beasiswa untuk kuliah, tapi sayang aku tidak sepintar dia dan aku juga tidak pernah bisa mengurus beasiswa dibawah status kurang mampu, untuk sekedar meringankan biaya kuliahku yang nggak sedikit. Tapi rasanya percumah mengatakan andai, toh pada kenyataannya takdir lebih jujur dari keinginan ku. Aku tidak mengatakan aku bodoh, tapi aku juga nggak pinter-pinter amat. Aku berhenti di depan Warung Makan bercat hijau, warung andalan anak kost dan mahasiswa di kampusku. Mungkin ngutang di sana bisa mengurangi rasa laparku selama dua hari belum makan apapun, hanya minum dari air galo
Aku hanya bisa menunggu di depan ruang kaprodi, sesaat setelah aku mendapat panggilan tadi. Pikiranku berputar-putar entah kemana, apa ini waktunya aku di tendang dari kampus ini? Otakku tak bisa berhenti berpikir logis. Wahai otak berhargaku, tolong bisalah berkompromi! Berpikirlah yang baik-baik saja! Kau harus bertahan, jadi tolong jangan berpikir yang aneh-aneh!. Ah, dasar otakku selalu overthinking. Dengan memainkan ponselku yang bisa di bilang sudah tidak normal lagi, tombol powernya sudah tidak berfungsi dan bentuknya sudah pecah sana-sini, ditambah lagi cara menghidupkannya harus buka tutup baterai. Berharap dengan bermain gawai dapat meredakan gelisah dalam benakku sendiri. Tak lupa juga aku memasang headset ke telinga kiriku, mencoba menikmati salah satu lagu kesukaanku, eye blues milik Gidae --Rapper dari Gwangju--. I wanna put you in my blue dreamEven if not, in my eyesI wanna hug you in my blue dreamsEven if