Suara gaduh dari samping rumah membangunkanku, entah apa yang terjadi di sana, kulihat Silvi masih terlelap di dalam selimutnya. Aku meraba sekeliling tempat ku, mencari ponsel yang entah di mana. "I got you," desisku setelah mendapatkan ponselku. Jam 02:45, aku menguap sesaat sebelum turun dari ranjang menuju kamar mandi. Biasanya aku suka membicarakan tentang idola dari Jepang, Thailand, Korea, dan China setiap bersama dengan Silvi sebelum kami berangkat tidur saat bersama seperti ini. Selera kami dalam musik dan seni hampir sama, bahkan serial drama dari berbagai negara sering kami cicipi bersama dan kita akan mereviewnya selesai itu. Aku suka dengan musik hip-hop, klasik, pop, R n B, semua jenis suka sih, kecuali dangdut koplo, serius kalau aliran musik yang satu ini aku alergi. Begitu juga Silvi, Manda, dan Fatira. Apa ya bahasanya? Se frekuensi? Semacam itu lah, padahal aku yang tertua diantara kami berempat, baiklah usia memang tidak bisa 100% menjadi tolak ukur penilaian ses
Terimaksih untuk semua pembaca... Sampai jumpa di Pt. Selnjutnya
"Udah deh cemberutnya, kamu tau kan aku bisa sewaktu-waktu mesum lho..." ujar Fauzi dengan wajah jenaka dan senyum jahilnya yang membuatku geram, beberapa waktu lalu dia yang udah bikin aku panik luar biasa, sekarang dia yang nggak berhenti menggoda ku sesuka hati."Ya habisnya kamu bikin aku panik! Jantungku rasanya mau copot uzi!" Teriakku masih tak mau menatapnya, setelah aksinya menyusup di ambang pintu yang ingin kututup tadi ia bisa sesantai itu, padahal wajahnya tadi sangat kesakitan saat aku serius mendorong pintu dan dia juga serius terhimpit sekaligus tak mau mengalah. Yang ada di pikiranku, kalau Fauzi mati disini akulah tersangka yang akan masuk bui. Jangan lah! Aku belum bisa mencapai cita-citaku jadi Dokter aku nggak mau punya catatan kriminal."Uzi?" Tanyanya mencondongkan tubuhnya dari duduk yang menghadap padaku, dulu saat hubungan kami masih baik-baik saja aku suka memanggilnya Uzi, tapi sejak aku mendeklarasikan kata putus aku memanggilnya seperti itu
Tanganku sedikit bergetar dengan otakku yang menduga-duga kenapa bapak menelponku bahkan saat aku hampir menelponnya, apa benar perasaanku yang merasa di awasi ini berkaitan dengan bapak yang menelponku di jam sepagi ini? Ya nggak pagi-pagi amat sih, masih jam 8 nan."Hallo, Assalamu'alaikum pak..." sapaku dengan suara yang ku usahakan se ceria mungkin."Wa'alaikumsalam nduk, maaf bapak telpon jam segini, darurat soalnya..." sahut bapak membuatku membeo sesaat.Darurat? Apa yang darurat? Benarkah aku sedang di awasi makanya bapak bilang darurat, aku ingat dengan jelas beberapa tahun lalu bapak juga begini tiba-tiba nelpon dengan kalimat darurat, jarang-jarang bapak nelpon diluar urusan pendidikanku, itupun seringnya aku yang menghubungi bapak duluan."Ada apa pak?" tanyaku berusaha terdengar tenang."Rumah yang kita tempati di sita bank..." jawaban bapak membuatku membola seketika, diluar ekspekstasiku."Ha???""Iya, rumahnya
Aku masih menampakkan wajah baik-baik saja setelah mak sumi memaksa Alana pergi beberapa menit yang lalu, parahnya teriakan Alana yang mencaci maki ku membuat kerumunan di depan warung makan itu. Beberapa orang menghampiriku dan menepuk pundakku seakan memberi kekuatan, mereka orang-orang berusia paruh baya yang berjualan di sekitar kampus juga, dan pastinya aku sering ngobrol sama mereka. "Aku baik-baik aja kok pak, bu..." kataku beberapa kali dengan senyuman yang ku buat setulus mungkin. Mak Sumi sampai nggak habis pikir, beberapa kali kudengar beliau mengumpati Alana dengan suara lirih, lucu juga rasanya melihat wanita yang biasanya bersikap lembut bisa sekasar itu ucapannya."Ada apa kok rame kaya gini?" Tanya mak Dayah yang baru masuk aku hanya terkekeh, beberapa orang menatapku prihatin."Aku habis di labrak rentenir... haha," sahutku terbahak, sakit ya? Gimana enggak? Seingatku aku nggak pernah ngutang ke bank, koperasi atau bahkan rentenir. Sejauh ini aku n
"Jadi bapak juga tau kalau Ara di lirik lagi?" Tanyaku pada seseorang di balik ponselku."Cuma nguji kamu masih ingat pesen bapak enggak," jawab bapakku enteng membuatku mendengus."Katanya ada yang nyusupin kokain pak?" tanyaku tiba-tiba ingat percakapan Pak Juan tadi."Nggak cuma kokain,""Iya Ara tau pak, bapak inget kan pas Ara ngasih tau temen dari Fikes tingkat dua ada yang jual mbako aceh yg itu...""Kenapa?""Sebelum Ara di kasus sama Rektorat Ara nyobain, ternyata nggak seratus persen mbako pak...""Kamu nglinting?"Nada bicara bapak sudah tinggi, bakal jadi salah paham ini. "Nggak gitu, kan temen UMKM ada yang beli itu. Trus Ara penasaran... Ara deketin trus pegang teksturnya... kok pas anaknya ngisep langsung kaya gitu, Ara cium aromanya. Ara pernah nyium aroma mbako aceh yang di bawa om Deni, beda pak... terus Ara nemuin dokter Mahar, katanya emang ada ganjanya, kadar 40-60 sama mbakonya..." je
"Berhenti mengikuti dia!"Tegas dan cukup untuk membuatku mematung seketika, aku menoleh dan membola."Pak Juan?!"Aku masih terkejut menatapnya lalu beralih ke tempat dimana aku tadi melihat orang yang mirip Fauzi, dan aku menelan ludah secara paksa. Disana hanya ada toko-toko yang berjajar rapi tanpa ada seorangpun yang berperawakan mirip Fauzi."Dia siapa? Emang siapa yang saya ikuti?" tanyaku memasang wajah datar pada lelaki yang menggunakan pakaian kasual itu."Saya tau kamu ngikutin dia," ujar pak Juan menunjuk jalan yang tidak ada siapa-siapa. "Awalnya di nggak tau kamu bakal ngikutin dia, tapi kalau sampai dia tau? Bang!" sambung pak Juan berlagak menembak kepalaku dengan gerakan jarinya. "Meskipun mungkin dia orang yang kamu kenal, sebuah misi yang terancam gagal menghalalkan petugasnya melenyapkan saksi mata." kata pak Juan lalu berbalik arah, sepertinya dia akan ke perpusda. Aku mengikutinya, menatapnya aneh."Pa
"Fauzi? Lawan?" Tanyaku masih tak mengerti. Otakku seketika menangkap kemungkinan-kemungkinan yang selama ini mampir sejak kejadian Silvi di hubungin orang dengan bilang seseorang datang menemuiku."Apa yang kamu rasain tadi pas ngerasa liat orang yang mirip Fauzi tapi penampilannya beda?""Aku merasa perlu meyakinkan kalau itu dia," jawabku setelah berpikir sejenak."Padahal dia sama sekali nggak mirip Fauzi, dari sisi manapun. Kenapa orang yang pertama kamu pikirkan dia Fauzi?" Tanya Juan membuatku semakin heran, aku juga sempet mikir gitu. Tapi feelku merasa dia Fauzi. "Karena di alam bawah sadar kamu sudah menganggap dia lawan, mau berpenampilan seperti apapun kamu bisa merasakan kalau dia adalah musuhmu."Aku masih diam menatap Juan, aku sempat berpikir ini bukan novel, tapi kenapa yang ku alami hampir sama dengan cerita yang pernah aku baca. Nggak mungkin kan aku masuk dalam tokoh novel, ini semua nyata. "Terus kenapa kamu tau aku ngejar dia
"Apa menurutmu aku sebaik itu membiarkan saksi mata tetap hidup?" Kata Kang Candra berbisik di telingaku dengan aura dingin ya ku akui, belati itu masih ia tekankan duajari di bawah telingaku."Kamu emang nggak sebaik itu, tapi terimakasih karena sudah memasang penyadap di rumah ini, jadi pemancarnya mudah di lacak..." kataku berusaha tenang, ini hanya peruntungan saja. Kalau memang dia lah yang pertama kali menaruh penyadap disini itu artinya mudah membalikkan keadaan, bodohnya aku memang tidak paham tentang bela diri, tapi siapapun orang dalam kondisi terdesak selalu bisa menjadi penjahat kan? Persetan kalau nanti akhirnya aku jadi pembunuh. Kurasa kang Candra tidak seperti Juan yang bisa membaca pikiran orang hanya dari sikap yang ditunjukkan, nggak ada salahnya pura-pura tenang sambil bersiap memukul mundur."Ra! Sebenarnya sejauh mana kamu tau semuanya?!" teriak kang Candra terdengar frustasi melepaskanku dan memasukkan lagi belati ke sarungnya yang ternyata d
Aku merasa duniaku berbalik, aku bahkan tidak merasakan sakit. Tidak lagi takut tentang hari esok. Aku bernafas sesukaku. Aku menatap pakaianku, aku nggak suka warna putih polos, tapi aku nyaman menggunakan pakaian ini. Apa ini aku sudah lepas dari duniaku?Untuk pertama kalinya dalam hidupku bisa melihat dengan mata kepala pohon apel dengan buah yang merah menggoda, aku mendekati pohon itu. Saat aku mengangkat tanganku ingin mengambilnya, seperti dahan itu sengaja menundukkan diri agar aku bisa mencapai buahnya tanpa kesulitan."Jangan di makan!"Aku terkejut, apel yang hampir ku makan jatuh entah kemana. Aku berbalik badan melihat seseorang dengan tinggi melampuiku, mata hitam legam yang tampak teduh menatapku. Wajahnya putih bersih, aku seperti pernah melihatnya tapi dimana? Aku menatapnya heran dengan perasaan yang kupikir terlalu tenang, biasanya aku akan marah saat seseorang menghalangiku makan, tapi kenapa ini aku biasa saja? Kenapa aku lebih tertarik den
"Bangun, waktu subuh hampir habis. Kita juga harus take off jam 7." Ujar Gidae lembut sebelum mengecup dahi Ara perlahan. "Abang...!" Protes Ara akhirnya memaksakan matanya terbuka, tanpa sadar dirinya tersenyum saat lelaki itu menatapnya intens. Akan selalu ada hal-hal yang tak terduga dalam hidup, seperti halnya kehadiran seseorang yang semula rasanya tidak mungkin. Mengharapkan dan di harapkan seringkali sangat berbeda. Ara menghela nafas panjang. Setelah hari ini ia yakin kehidupannya pasti berubah drastis. Hidup bersama orang yang dia kagumi tapi mungkin hatinya bukan untuk Ara. Semua ingatan tentang bagaimana mereka bisa bertemu sampai dirinya harus bersikap layaknya orang yang lupa ingatan. Ara tidak ingin melampui batas yang sudah Tuhan ciptakan. Tidak sekalipun. Ia tidak akan memaksakan sesuatu yang memang bukan untuknya. Tapi juga akan selalu mengejar apa yang Ara rasa memang sudah seharusnya. Hidup tidak selalu menyulitkan. Tapi juga tidak selalu menyenangkan. Di satu
"bang, siapa mereka ini?" Tanya Ara setelah selesai memakan bubur nya sembari menunjukkan gambar dari laptopnya."Ini ibu, ini bapak, ini Farhan, ini Vian, dan ini kamu..." Jawab Gidae sambil menunjuk foto keluarga Ara, gadis itu mengernyit, dari mana Gidae tau tentang keluarganya."Apa ini foto keluarga?""Iya...""Banyak foto seperti ini, tapi Abang nggak ada... Mwonde noui uri orabeoni jinja yo?""Aku benar-benar kakak mu, aku Abang mu... Cukup hanya aku yang kamu punya saat ini... Aku tidak ingin mengorbankan kebahagiaan mu lagi... Maaf... Aku egois..." Kata Gidae menggenggam tangan Ara erat, ini bahkan lebih cepat dari yang bisa gadis itu duga."Apa sebelum kecelakaan ini aku tidak bahagia?" Tanya Ara yang sedikit mengimprovisasi perannya, mengingat tadi Gidae mengatakan kalau ia kecelakaan makanya sampai koma."Bahkan mereka menghalangi mimpimu, mereka mengabaikan perasaanmu, mereka memilih mendahuluk
"jaga rahasia ini dari kakak saya..." Kataku membuat salah satu perawat memelototkan matanya.Ok kakak nemu di rumah sakit, ku ikuti sandiwaramu."Buat saya terlihat seperti lupa ingatan di depan kakak saya, apa yang membuat saya ada di sini pasti menyakiti perasaannya, saya tau dia pasti khawatir dan sempat berpikir ada yg salah dengan otak saya. Kalau saya di nyatakan lupa ingatan, mungkin kakak akan terbebas dari rasa yang mengganggu hatinya. Akhhh.. aku ngomong apaan sih? Tapi serius dok, anda paham maksud saya kan? Dalam domestik kedokteran, kebidanan, dan keperawatan ada kode etik untuk tidak menyampaikan keadaan pasien tanpa seijin pasien kan?" Kataku panjang lebar di sela-sela mereka memeriksaku."Saya paham, tapi kakak anda sangat menunggu kesadaran anda kembali sejak terhitung 18 hari anda koma, anda juga harus memikirkan bagaimana perasaannya nanti jika tau kondisi anda di luar ekspektasi." Kata dokter ber name tag Hariyadi."Saya dengar percakapan dokte
"mbak jangan gila! Apa yang kamu lakuin?" teriakan Arial hampir saja membuatku gagal fokus dengan tujuan yang hampir ku capai, aku tau ini salah. Tapi aku lelah. Sangat lelah. "aku memang gila! Kenapa? Nggak suka!!!" teriakku emosional, coba dia nggak ngagetin aku barusan? Aku gak perlu buang-buang waktu percumah. "tapi gak dengan cara kaya gini mbak! Tolong mbak dengerin aku!" teriak Arial frustasi. "nggak! Aku capek Ar!" "aku bilang berhenti mbak!" "nggak!" "mbakkkkkk!" Byuuuuuurrrrrrrr.... Dinginnya air sungai kurasakan di kulitku. Aku tau mungkin hidupku akan berakhir hari ini, saat ini. Aku menyerah, menyerah dengan semua hal yang harus ku terima. Biar kan aku pergi. Mengakhiri semuanya, aku lelah, aku merasa tak bisa melewati semua lebih dari ini. Aku tak akan mampu lebih jauh lagi, Kupikir ini yang terbaik untuk kita. Maafkan aku bapak...
Hampir dua bulan aku berkutat dengan theater, dan sekali menemani delegasi dari sanggar yang di percaya ikut event. Ada rasa campur aduk dari mulai seneng, emosi, sedih untuk setiap inci proses dalam pengemasan pertunjukan yang menarik. Rasanya seperti membesarkan seorang anak, meskipun aku belum tau rasanya menjadi seorang ibu bagaimana, tapi sungguh aku bersyukur ada di sanggar ini dan mencintai setiap jengkal apapun yang berhubungan dengan komponen di sanggar ini. Anggap aku mulai bisa merelakan kelukaan ku beberapa bulan lalu, anggap aku tidak lagi mempermasalahkan sakit hatiku terpaksa menunda impianku, anggap aku baik-baik saja dengan kesibukanku di sanggar selama dua bulan ini. Tau apa yang kulakukan sejak aku menolak tawaran Gidae? Aku tidak pernah sekalipun membuka email yang bersangkutan dengannya, memblokir semua akun yang berhubungan dengannya. Orang tuaku juga tidak lagi membahas tentang pernikahan dan jodoh seperti saat Vian menikah, sepertinya mereka memahami keadaank
"Eh, iya kak... apa?" tanya Arda dengan tampang polosnya."Kedepan," pintaku membuatnya membola tapi tetap mengikuti instruksiku maju ke depan 24 peserta lain."Bisa kamu contohkan latihan olah vokal?" tukasku dengan wajah datar."Ng," gumam Arda dengan menatap Arial seakan minta bantuan."Kenapa ng?" tanyaku menahan untuk tidak terbahak melihat muka bingung nya."Aku gak tau kak...""Kok bisa?" Kali ini bukan suaraku, tapi suara Arial. Kalau dia udah buka suara aku memilih mundur, menyaksikan drama komedi apa yang habis ini akan terjadi. ### "Mau pulang mbak?" Tanya Arial menahan langkahku yang mengarah ke depan sanggar, udah jam 5 sore. Biasanya masih ada angkot, mungkin kloter terakhir."Kamu pikir aku mau nginep sini?" tanyaku balik."Haha, nggak berubah dari dulu kalau di tanyain bukannya jawab malah balik tanya," tukas Arial membuatku terkekeh pelan."Kebiasaan kok susah ngerubahnya," kataku lalu be
Baik bapak maupun ibu sama-sama tidak pernah membahas beasiswa itu lagi, padahal padahal kejadian hari itu aku sampai parah nangisnya, baiklah! Tangisanku memang tidak berharga, haha. Sambil memasukkan data-data yang memungkinkan mendapat beasiswa dari perusahaan swasta, aku mulai disibukkan dengan kegiatan di sanggar teather. Aku suka segala macam bentuk seni, termasuk seni peran, ketika aku memasukkan data diriku ke Culturic Theather sebenarnya aku pengen masuk ke bagian Sutradara atau setidaknya asisten Sutradara. Tapi karena aku nggak pernah sekolah di perperanan jadi ya aku di masukkan pada bagian pelatihan, karena aku punya sertifikat Swara Theater jaman aku masih SMA, ya meskipun theater garapan ektrakulikuler pun dan tidak seterkenal Theater Koma, setidaknya pengalaman jaman SMA itu cukup membantu posisiku di Culturic Theater. Kesibukan ini membuatku bisa mengabaikan rasa kecewaku yang nggk jdi kuliah, udah lah nanti jadi sedih juga. Sekaligus salah satu caraku menemukan ide
"Mohon maaf, saya akan membicarakan beasiswa ini dengan orang tua saya dulu. Terimakasih."Balasku tak mengindahkan pesan-pesannya sebelum ini, aku memilih menganggap ungkapan formalku sebagai profesionalitas. Aku mematikan data selular, menatap segenap jajaran anggrek di depan jendela kamarku. "Cattleya, perasaanku ini aneh kah?" tanyaku pada anggrek bulan berwarna ungu itu, dia bukan jenis cattleya, tapi aku menamainya begitu. Suka-suka ku lah. Aku yang punya."Cattleya... aku suka sama dia... tapi, ah... aku nggak suka kalau harus ingat bagaimana pacar Gidae menciumnya... itu menyakitkan!" kataku lagi pada anggrekku.Aku menatap ponselku lagi, membuka file dokumen unduhan. Undangan beasiswa resmi itu tadi sudah ku unduh. Aku masih menikmati tulisan demi tulisan yang membuatku hampir melayang, tapi aku sangsi dengan ijin dari orang tuaku. Hanya tinggal memberi tanda tangan, dan tiba-tiba aku di rundung perasaan gelisah.Seandainya pun di ijinkan apa a
Apa aku memang se egois itu? Tapi aku juga belum siap jika harus berhadapan dengan mereka semua. Seribet itu pemikiranku. Aku bahkan tidak bisa tidur malam ini, rasa kantukku lenyap seiring memikirkan Fatira dan Manda. Aku mengambil ponselku, mencari nama Silvi.Tuuuuuuuttttt....Tuuuuuuutttt....Tuuuuuuuuutttt...Nada sambung panggilan menguar sepenjuru kamar, sudah pasti ku loudspeaker, tak peduli nanti bapak ibuku mendengarnya. Aku sudah pusing dengan kenyataan ini."Hallo..." suara serak Silvi menyapaku, baru juga jam 10. Tumben udah tidur?"Bangun tidur?" selorohku dan dia terkekeh sesaat."Aku capek Ra.""Habis ngapain emang?""Maraton ke rumah sakit,""Siapa yang sakit?""Nggak ada.""Lha terus?""Fatira pengen bakso kadipolo..."Hening."Apa Fatira sering ngidam?" tanyaku sedikit merasa bersalah."Nggak juga, tapi kayaknya emang sengaja nggak minta kalau nggak pengen banget..." sa