"Di depan warung kafi..." sahutku setelah meregang ke terkejutanku. "Aku kesana," ujar Silvi tanpa permisi sudah mematikan sambungan telpon. Ddrrrttt...Ponselku bergetar lagi, nomer tak di kenal? Siapa? Aku pribadi selama ini kalau ada pesan masuk tanpa nama jarang merespon, tapi awalan kalimat yang muncul membuatku membukanya. +62821098xxxxx : "menikahlah denganku, maka keadaanmu akan lebih baik Ara... -Candra-"Mataku membola, dia gila? Aku udah nolak berkali-kali masih maju aja? Andai aku bisa mengatakan pada siapapun, aku ingin teriak "aku takut dengan pernikahan! Tidak akan menikah selama ketakutan ku masih ada!". Dan aku nggak pernah bisa menyuarakan itu, tidak bisa! Ini sulit. ###“gimana ceritanya sih Ra? Aku nggak paham sama semua kejadian ini,” Tanya Silvi dengan sangat tidak sabarannya setelah membantuku mengangkut barang-barangku yang memang tidak banyak, dua ransel pakaian dan satu kardus buku sekaligus separangjat laptop serta balakurawanya. Motor mio biru putih itu udah kaya teman setia Silvi, yang bahkan seandainya digunain buat ngangkut beras sekwintal kuat.“aku yang jalanin aja masih bingung, apalagi kamu yang hanya pendengar setia…” kataku sambil melihat sepanjang perjalanan menuju kontrakan Silvi yang berjarak sekitar 500 meter dari warung kafi.“itu ibu kos laknat amat sampe begitu? Aku inget banget Alana bahkan udah 5 bulan gak bayar, gak ada tuh sejarahnya Alana di usir…” tukas Silvi terdengar emosi.“kamu tau dari mana Alana telat bayar?” “dia kemarin cerita sendiri di sanggar, itu si Diana juga…”“Diana siapa Vi?”“anak FBS… yang alay itu…”“oh, Diana yang kpopers itu?”“ya siapa lagi anak FBS yang sekosan sama kamu Ara?”“ya aku kan gak tau kalau Diana itu sekosan ama aku, emang dia juga telat bayar?”“ampun deh ini anak! Kamu hidup di hutan mana sih Ra?”“amason mungkin…”“serius ini Ra! Diana itu di HMP bahasa sampe terkenal modis luar tapi ancur dalemnya, dia tuh jarang di kosan… ayam kampus dia, udah gitu Vira pernah cerita kalau Diana itu langganan telat bayar sampe beberapa bulan… nyatanya masih betah aja di sana… ibu kosmu nggak adil Ra!” ungkap Silvi hamper berteriak saat roda motor berhenti di depan rumah kontrakan dia, ketika jiwa ghibah mulai meronta-ronta. “bu Lis udah bukan ibu kos ku lagi,” kataku sambil turun dari motornya membawa kardus buku ku dan menurunkan tas yang tadinya kutaruh diatas paha selama perjalanan kami. Sambil masuk kedalam rumah minimalis yang selama dua tahun ini ia singgahi, kadang aku mikir betapa beruntungnya Silvi yang selalu terlihat rejekinya sampai tumpah-tumpah, tapi secara logika juga aku serimh menyangkal pikiran itu, dia kan anak yang rajin dari SMA pun udah mandiri dan banyak prestasi, lha aku? Mau membandingkan diri akhirnya piker-pikir lagi 1001 kali lagi. “apa aku jadi ayam kampus aja ya? Biar uangnya banyak… bisa bayar kuliah juga…” celetukku ketika ingat pekerjaan sampingan beberapa mahasiswa yang katanya jadi ayam kampus untuk melangsungkan hidup di perantauan.PLETAKKK“ahhhh… sakit Vi!” teriakku saat merasakan nyeri di pundakku karena kelakuan Silvi yang memukulnya dengan tangan terkepal, ishhh ini bukan tangan cewek kayaknya, sakit banget serius.“kamu sebenernya tau nggak sih ayam kampus itu apaan?” Tanya Silvi terlihat sangat marah, aku hanya ingat kata Naya waktu itu kalau ayam kampus itu bahasa kerennya mahasiswa yang jualan anget-anget pas udah sore gitu, penjual wedang ronde kan juga nyediain yang anget-anget kan? “tau,” jawabku dengan lagak cuek ku, aku meletakkan barang-barangku di ruang tamu rumah kontrakan Silvi. “apa coba?”“anak kampus yang kerja jualan anget-anget di bawah plasa sama sekitar alun-alun…”“hah? Siapa yang bilang?”“naya…”“kok tau kalau banyak uangnya?”“ya kan penjual gorengan, ronde, wedang jahe, bajigur, warkop juga jualan anget-anget Vi, mereka kalau jualan sore-sore tuh pulang pagi dan selalu laris kan artinya banyak duit keuntungan bejibun…”“astaghfirullahal’adzim… thobatannasuha…” erang Silvi dengan menutup wajahnya, aku tau dia frustasi. Tapi salahku dimana? “Asmara….” desis Silvi tertahan.“kurang apa ku padamu… cinta menusuk jan-““siapa suruh nyanyi?!”Bentakan Silvi itu membuatku kicep, aku diam dan menikmati kesunyian yang kuciptakan di otakku. Seharusnya aku yang pusing hari itu, saat pengusiran demi pengusiran terjadi padaku berturut-turut, saat kepercayaan orang-orang di sekelilingku mulai meruntuh. Tapi yang terjadi Silvi justru sangat emosional menghadapiku, aku hanya butuh banyak bicara untuk mengabaikan rasa sakitku, mengesampingkan mataku yang memanas hamper menumpahkan laharnya, aku masih diam bebrapa saat, aku mendengar beberapa kali Silvi memanggilku, dan mulutku seketika bisu.“mau kemana?” Tanya Silvi yang masih kuingat sedikit panik dan ada nada penyesalan, ya mungkin karena panggilan-panggilannya tadi ku abaikan dalam diamku.“jangan ikuti aku! Jagain barang-barangku aja.” Kataku tanpa menoleh padanya dan keluar dari rumahnya. Hari itu aku berjalan tanpa mempedulikan teriakan Silvi, hari itu aku menuju tempat yang mungkin akan membuatku lebih tenang tanpa beban. Beberapa kali aku menghela nafas di sana, otakku sudah menyusun beberpa skenario yang muncul tanpa permisi. Waktu itu aku beristighfar sebanyak yang aku bisa, mataku sempat ngeri juga melihat derasnya air sungai.“hidupmu terlalu berharga untuk diakhiri di tempat ini,” suara bariton yang tidak asing di telingaku membuat langkah ku terhenti sebelum terlalu jauh, aku menoleh padanya. Aku tersenyum sinis sebelum melangkah lagi.###
Dia memegang tanganku kencang seperti orang takut kehilangan, aku terbahak mendapati sikapnya yang kelewat protektif. “kamu tau kalau pegang tangan gadis kaya gini nggak boleh? Kamu bukan mukhrimku ya pak!” kataku masih dengan sisa-sisa kekehanku.“kamu?” tanyanya menatapku intens, ya aku reflex aja bilang kaya gitu. Habis dia juga yang memulai dengan bahasa tidak formal setiap bersama ku kan?“kamu yang mulai untuk bicara nggak formal sama aku, salahku dimana? Lagian aku tetep kasih embel-embel pak kan?” ujarku menyangkal kemungkinan dia akan menyalahkanku.“aku nggak bilang kalau kamu salah, tapi aku seneng percakapan kita nggak secanggung itu.” Ujarnya dengan senyum manis, kulitnya yang sawo matang dengan mata tajam dan senyum yang selalu mengundang lesung pipit di kanan pipinya membuatku berpikir sebenarnya dia ganteng, ya kalau di bandingin sama Kai EXO nggak kalah lah. “jangan panggil pak ya…” pintanya membuatku menoleh.“ya gak bisa gitu dong, pak Candra
Suara gaduh dari samping rumah membangunkanku, entah apa yang terjadi di sana, kulihat Silvi masih terlelap di dalam selimutnya. Aku meraba sekeliling tempat ku, mencari ponsel yang entah di mana. "I got you," desisku setelah mendapatkan ponselku. Jam 02:45, aku menguap sesaat sebelum turun dari ranjang menuju kamar mandi. Biasanya aku suka membicarakan tentang idola dari Jepang, Thailand, Korea, dan China setiap bersama dengan Silvi sebelum kami berangkat tidur saat bersama seperti ini. Selera kami dalam musik dan seni hampir sama, bahkan serial drama dari berbagai negara sering kami cicipi bersama dan kita akan mereviewnya selesai itu. Aku suka dengan musik hip-hop, klasik, pop, R n B, semua jenis suka sih, kecuali dangdut koplo, serius kalau aliran musik yang satu ini aku alergi. Begitu juga Silvi, Manda, dan Fatira. Apa ya bahasanya? Se frekuensi? Semacam itu lah, padahal aku yang tertua diantara kami berempat, baiklah usia memang tidak bisa 100% menjadi tolak ukur penilaian ses
"Udah deh cemberutnya, kamu tau kan aku bisa sewaktu-waktu mesum lho..." ujar Fauzi dengan wajah jenaka dan senyum jahilnya yang membuatku geram, beberapa waktu lalu dia yang udah bikin aku panik luar biasa, sekarang dia yang nggak berhenti menggoda ku sesuka hati."Ya habisnya kamu bikin aku panik! Jantungku rasanya mau copot uzi!" Teriakku masih tak mau menatapnya, setelah aksinya menyusup di ambang pintu yang ingin kututup tadi ia bisa sesantai itu, padahal wajahnya tadi sangat kesakitan saat aku serius mendorong pintu dan dia juga serius terhimpit sekaligus tak mau mengalah. Yang ada di pikiranku, kalau Fauzi mati disini akulah tersangka yang akan masuk bui. Jangan lah! Aku belum bisa mencapai cita-citaku jadi Dokter aku nggak mau punya catatan kriminal."Uzi?" Tanyanya mencondongkan tubuhnya dari duduk yang menghadap padaku, dulu saat hubungan kami masih baik-baik saja aku suka memanggilnya Uzi, tapi sejak aku mendeklarasikan kata putus aku memanggilnya seperti itu
Tanganku sedikit bergetar dengan otakku yang menduga-duga kenapa bapak menelponku bahkan saat aku hampir menelponnya, apa benar perasaanku yang merasa di awasi ini berkaitan dengan bapak yang menelponku di jam sepagi ini? Ya nggak pagi-pagi amat sih, masih jam 8 nan."Hallo, Assalamu'alaikum pak..." sapaku dengan suara yang ku usahakan se ceria mungkin."Wa'alaikumsalam nduk, maaf bapak telpon jam segini, darurat soalnya..." sahut bapak membuatku membeo sesaat.Darurat? Apa yang darurat? Benarkah aku sedang di awasi makanya bapak bilang darurat, aku ingat dengan jelas beberapa tahun lalu bapak juga begini tiba-tiba nelpon dengan kalimat darurat, jarang-jarang bapak nelpon diluar urusan pendidikanku, itupun seringnya aku yang menghubungi bapak duluan."Ada apa pak?" tanyaku berusaha terdengar tenang."Rumah yang kita tempati di sita bank..." jawaban bapak membuatku membola seketika, diluar ekspekstasiku."Ha???""Iya, rumahnya
Aku masih menampakkan wajah baik-baik saja setelah mak sumi memaksa Alana pergi beberapa menit yang lalu, parahnya teriakan Alana yang mencaci maki ku membuat kerumunan di depan warung makan itu. Beberapa orang menghampiriku dan menepuk pundakku seakan memberi kekuatan, mereka orang-orang berusia paruh baya yang berjualan di sekitar kampus juga, dan pastinya aku sering ngobrol sama mereka. "Aku baik-baik aja kok pak, bu..." kataku beberapa kali dengan senyuman yang ku buat setulus mungkin. Mak Sumi sampai nggak habis pikir, beberapa kali kudengar beliau mengumpati Alana dengan suara lirih, lucu juga rasanya melihat wanita yang biasanya bersikap lembut bisa sekasar itu ucapannya."Ada apa kok rame kaya gini?" Tanya mak Dayah yang baru masuk aku hanya terkekeh, beberapa orang menatapku prihatin."Aku habis di labrak rentenir... haha," sahutku terbahak, sakit ya? Gimana enggak? Seingatku aku nggak pernah ngutang ke bank, koperasi atau bahkan rentenir. Sejauh ini aku n
"Jadi bapak juga tau kalau Ara di lirik lagi?" Tanyaku pada seseorang di balik ponselku."Cuma nguji kamu masih ingat pesen bapak enggak," jawab bapakku enteng membuatku mendengus."Katanya ada yang nyusupin kokain pak?" tanyaku tiba-tiba ingat percakapan Pak Juan tadi."Nggak cuma kokain,""Iya Ara tau pak, bapak inget kan pas Ara ngasih tau temen dari Fikes tingkat dua ada yang jual mbako aceh yg itu...""Kenapa?""Sebelum Ara di kasus sama Rektorat Ara nyobain, ternyata nggak seratus persen mbako pak...""Kamu nglinting?"Nada bicara bapak sudah tinggi, bakal jadi salah paham ini. "Nggak gitu, kan temen UMKM ada yang beli itu. Trus Ara penasaran... Ara deketin trus pegang teksturnya... kok pas anaknya ngisep langsung kaya gitu, Ara cium aromanya. Ara pernah nyium aroma mbako aceh yang di bawa om Deni, beda pak... terus Ara nemuin dokter Mahar, katanya emang ada ganjanya, kadar 40-60 sama mbakonya..." je
"Berhenti mengikuti dia!"Tegas dan cukup untuk membuatku mematung seketika, aku menoleh dan membola."Pak Juan?!"Aku masih terkejut menatapnya lalu beralih ke tempat dimana aku tadi melihat orang yang mirip Fauzi, dan aku menelan ludah secara paksa. Disana hanya ada toko-toko yang berjajar rapi tanpa ada seorangpun yang berperawakan mirip Fauzi."Dia siapa? Emang siapa yang saya ikuti?" tanyaku memasang wajah datar pada lelaki yang menggunakan pakaian kasual itu."Saya tau kamu ngikutin dia," ujar pak Juan menunjuk jalan yang tidak ada siapa-siapa. "Awalnya di nggak tau kamu bakal ngikutin dia, tapi kalau sampai dia tau? Bang!" sambung pak Juan berlagak menembak kepalaku dengan gerakan jarinya. "Meskipun mungkin dia orang yang kamu kenal, sebuah misi yang terancam gagal menghalalkan petugasnya melenyapkan saksi mata." kata pak Juan lalu berbalik arah, sepertinya dia akan ke perpusda. Aku mengikutinya, menatapnya aneh."Pa
"Fauzi? Lawan?" Tanyaku masih tak mengerti. Otakku seketika menangkap kemungkinan-kemungkinan yang selama ini mampir sejak kejadian Silvi di hubungin orang dengan bilang seseorang datang menemuiku."Apa yang kamu rasain tadi pas ngerasa liat orang yang mirip Fauzi tapi penampilannya beda?""Aku merasa perlu meyakinkan kalau itu dia," jawabku setelah berpikir sejenak."Padahal dia sama sekali nggak mirip Fauzi, dari sisi manapun. Kenapa orang yang pertama kamu pikirkan dia Fauzi?" Tanya Juan membuatku semakin heran, aku juga sempet mikir gitu. Tapi feelku merasa dia Fauzi. "Karena di alam bawah sadar kamu sudah menganggap dia lawan, mau berpenampilan seperti apapun kamu bisa merasakan kalau dia adalah musuhmu."Aku masih diam menatap Juan, aku sempat berpikir ini bukan novel, tapi kenapa yang ku alami hampir sama dengan cerita yang pernah aku baca. Nggak mungkin kan aku masuk dalam tokoh novel, ini semua nyata. "Terus kenapa kamu tau aku ngejar dia