Mengisahkan dua dokter yang berbeda pemikiran. Dokter Restya dengan masa lalunya dan Dokter Zio. Banyak lika-liku kehidupan yang mereka jalani.
View MoreHari ini adalah hari yang membahagiakan untuk Restya dan Zio. Bagaimana tidak? Mereka telah resmi menikah. Restya sejak tadi terus tersenyum merekah seraya membuka kado pernikahannya. Membaca satu per satu hadiah dari temannya. Ada yang menulis kata-kata manis, ada yang menuliskan doa untuk rumah tangga mereka.“Res,” panggil Zio seraya menepuk bahu Restya pelan. Kontan perempuan itu menengok ke arah Zio.“Ada apa, Kak?” tanya Restya lembut.“Kado dari Devan mana?” Zio melirik semua hadiah yang sudah dibuka Restya. Isinya cangkir, seprei, selimut dan jam pasangan.“Belum aku buka.” Restya mengambil kado yang paling besar, tetapi begitu ringan. Ia sodorkan itu kepada Zio.“Ini isinya apa, ya?” Zio menebak-nebak isi bingkisan berwarna biru laut itu.Restya mengendikkan bahunya. “Buka saja daripada penasaran.”Zio mengangguk, lalu membukanya. Ia terkejut dengan isi bingkisan yang
Suasana kebun binatang begitu ramai. Banyak keluarga yang menghabiskan pekan untuk melihat para satwa. Anak-anak kecil tampak riang gembira memberi makan hewan yang tergolong jinak.Restya diam-diam menitikkan air mata mengamati anak-anak yang tengah tersenyum lebar bersama orang tuanya. Ia jadi teringat masa kecilnya. Di mana ayah dan ibu sering mengajaknya pergi liburan. Kebersamaan yang jarang ia rasakan saat remaja, apalagi masa kini.Zio menyodorkan es cincau untuk Restya yang baru saja ia beli. “Ini untukmu,” katanya dengan santai, lalu tersenyum.Restya mengambil minuman yang diberikan Zio dengan senyum merekah. Ia langsung duduk ke bangku di belakangnya, lalu minum sedikit seraya menatap ke arah dedaunan yang gugur karena angin.“Res, kamu tahu enggak, kenapa aku mengajakmu ke kebun binatang?” tanya Zio yang sudah duduk di samping Restya.Restya menghadap ke arah Zio, setelah meletakkan minuman di sebelahnya. Ia mengerny
Gaun selutut tanpa lengan yang membalut tubuh Restya begitu cocok di tubuhnya. Namun, entah kenapa ia merasa kikuk. Manik matanya terus berpendar ke mana-mana. Ia mencari Zio, tetapi tak ia temukan sosok itu sama sekali.“Dokter Restya,” sapa Emma dengan senyum khasnya.Restya tersenyum manis seraya menyelipkan anak rambut di telinganya, “Iya, Dokter Emma.”“Dokter Restya sendirian?” tanya Emma seraya menyodorkan satu gelas jus yang ia bawa.Restya mengangguk seraya menerima minuman itu.“Oh, begitu,” kata Emma dengan nada santai. “Ngomong-ngomong saya enggak sengaja lihat Dokter Zio sama perempuan cantik. Mereka serasi sekali.”Restya kaget dengan ucapan Emma, tetapi ia tetap memasang raut wajah sesantai dan sedatar mungkin.“Lalu, apa hubungannya dengan saya?” Restya menatap Emma dingin. “Anda masih saja suka mengosip, ya.”Emma tersenyum masam. “Saya t
Restya tersenyum mendapati kondisi pasiennya semakin membaik. Perempuan itu terus berterima kasih padanya. Ia tengah menjabat tangan Restya erat dengan raut wajah ceria."Sekali lagi terima kasih, Dok. Saya janji kalau saya sudah sembuh nanti, saya pasti akan menyicil uang biaya rumah sakit ini kepada Dokter," katanya dengan mata berkaca-kaca."Masalah biaya tak usah dipikirkan. Saya ikhlas membantu, Mbak," balas Restya dengan nada lembut. Ia membayarkan semua biaya operasi pasiennya karena dia tak tega melihat seorang perempuan yang berjuang untuk putranya seorang diri. Wanita ini adalah salah satu karyawan di kantin rumah sakit. Suaminya telah meninggal dan kini hidup dengan ibu dan anaknya. Kalau wanita itu sakit, siapa yang akan membiayai kebutuhan keluarganya? Hatinya terketuk untuk membantu."Dokter Restya baik sekali. Semoga Dokter selalu bahagia," ucapnya dengan nada tulus.Restya tersenyum."Iya, terima kasih doanya. Saya pamit dulu," kata Restya de
11. FaktanyaTak terasa waktu berlalu dengan cepat. Kemarin Devan mengajak Restya untuk menonton di bioskop karena cuaca yang tak mendukung, akhirnya baru kali ini kedua anak manusia itu berjalan bersama. Sebelum menonton film, mereka pergi ke kedai ramen dan berbincang-bincang. Restya merasa Devan adalah teman yang baik pula untuk diajak bicara. Tak ada salahnya, jika ia memperbaiki hubungannya dengan Devan.Restya terus tersenyum mendengar lelucon yang Devan katakan. Mungkin benar kata orang, kalau tak kenal, maka tak sayang. Perempuan ini baru menyadari kalau Devan memang benar-benar manis seperti yang ia dengar dari beberapa orang.“Dokter Restya, mau minum apa?” tanya Devan yang baru saja membeli tiket. Tangan kanannya menyodorkan tiket untuk Restya yang langsung ditanggapi perempuan itu. Ia mengambilnya dengan tersenyum.“Terserah, ikut Dokter Devan saja,” kata Restya santai.Devan mengangguk. “Dokter Tya masuk dul
-Sakit hati yang tiada tara itu, ketika kau jatuh hati, langsung patah hati karena orang yang kau cintai telah pergi. Jangan pernah menyakiti kalau ingin dicintai.-Hampir dua minggu berlalu dengan cepat, luka Restya telah sembuh. Bekasnya di beberapa bagian masih ada. Kini, ia kembali bekerja seperti biasanya. Sudah lama rasanya tak mengunjungi ruangannya. Dia menatap satu per satu sudut rumah sakit begitu jam istirahat tiba. Namun, entah kenapa ada yang kurang di hatinya.“Dokter Restya,” panggil Devan dengan nada ramah sama seperti biasanya, walau terakhir bertemu mereka sempat berdebat singkat. Restya mengalihkan pandangannya ke arah Devan dengan raut wajah tanpa ekspresi.“Iya,” jawab Restya singkat tanpa minat. Ia masih ingat dengan ucapan lelaki itu yang menyindirnya beberapa waktu lalu.“Di sini tidak turun salju, tetapi kenapa dingin sekali, ya,” gurau Devan sekaligus menyindir sifat Restya. Lelaki itu tersenyu
-Sebaiknya orang membangun karakter lain, pasti dia akan kembali menjadi dirinya sendiri, ketika bersama orang terdekat yang membuatnya nyaman-Suara gemuruh terdengar begitu jelas di indra pendengaran Restya. Ia langsung menengok ke kanan dan ke kiri untuk berteduh. Namun, manik matanya tak sengaja bertemu dengan Rangga. Dia langsung membuang wajahnya dan hendak pergi.Restya berjalan terburu-buru menuju arah utara, diikuti pula dengan langkah Rangga. Lelaki itu terus memanggil perempuan itu dengan lantang. Namun, tak digubris sekalipun oleh Restya. Terpaksa lelaki itu berlari mengejar Restya.Raut wajah Restya berubah kaku seketika. Manik matanya menajam, rasa sesak itu kembali menyeruak. Ingin sekali dia berbalik arah dan berteriak untuk meluapkan amarahnya kepada Rangga. Mengatakan semua hal yang membuatnya kecewa dan terpuruk di masa lalunya. Namun, tak mampu ia lakukan.“Restya,” lirih Rangga seraya memegang tangan Restya tepat di dekat ayunan
Istirahat makan siang kali ini begitu ramai. Beberapa dokter tengah berbincang-bincang mengenai pesta pernikahan Dokter Kepala UGD. Mereka yakin, banyak tamu penting yang hadir di sana. Dari kalangan dokter sampai pemilik rumah sakit terkenal di kota ini. Banyak yang berencana akan memanfaatkan acara ini untuk memperluas jaringan atau kolega. Bahkan dokter muda banyak yang ingin mencari jodoh di pesta itu.Restya mengambil earphone miliknya karena dia merasa terganggu akan pembicaraan itu. Perempuan ini tak tertarik sama sekali.“Dokter Restya,” sapa Devan seraya menaruh piringnya di meja makan Restya. Perempuan itu mendongak seraya tersenyum. Meski dalam hati, ia merasa malu dengan kejadian beberapa hari lalu, di mana dia mengaku menjadi kekasih lelaki itu. Untungnya Devan tak membahas masalah itu lagi sepanjang perjalanan pulang kemarin. Jadi, dia merasa tak begitu terbebani.Restya langsung melepas earphone bewarna biru itu.“Iya, Dok,” jawab Restya lembut.“Saya m
Angin berembus dengan pongah. Menerbangkan dedaunan secara tak beraturan hingga salah satu daun itu terjatuh di kepala Restya. Perempuan itu hendak mengambil daun yang menempel di surai panjangnya yang kali ini tak terikat. Menjuntai dengan indahnya.Cekrek. Suara bidikan kamera membuat Restya mengalihkan pandangannya. Ia mencari-cari sosok yang mengambil gambarnya. Namun, manik mata teduh tetapi tajam itu tak menemukan siapa pun di taman itu.Restya menghela napas sejenak, sebelum melangkah menuju bangku taman dekat air mancur. Kaki jenjang itu melangkah dengan perlahan, juga waspada dengan hal yang ada di sekitarnya.Manik mata Restya tertuju kepada sebuket bunga di bangku yang hendak ia duduki. Dia menengok ke sekeliling. Namun, nihil tak ada siapa-siapa. Tangan mungil itu perlahan mengambil buket bunga itu dengan hati-hati. Ada surat di sana.Untuk Bunga Bakungku,Matahari boleh pongah dengan panasnyaAngin boleh congkak dengan lajunyaHuja
Restya mengembuskan napasnya begitu lega, setelah beberapa jam di ruang yang sama dengan Zio. Ia sandarkan punggung di kursi ruangannya. Hari ini, pertama kali dan harapannya juga terakhir kali Restya bekerja sama dengan Zio. Ia tidak mungkin bisa tahan satu ruang dengan dokter yang selalu menyudutkannya. Meski Restya akui, kalau kepiawaian lelaki itu memainkan pisau bedah dapat diakui kehebatannya. Namun sayang, dia tak berminat belajar banyak dari pria itu.Restya mengambil kopi yang telah tersedia di hadapannya. Ia tadi berpesan kepada asistennya untuk membelikan kopi agar membuat matanya tetap terbuka. Meski hari masih sore. Belum petang. Namun, entah kenapa kedua manik mata itu ingin tertutup untuk melepas penat.Ketukan pintu membuyarkan lamunan Restya. Perempuan itu langsung membenarkan penampilannya seraya duduk tegak santai seperti biasanya.“Masuk,” katanya dengan nada tegas.Seorang perawat yang terlihat menawan memasu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments