Suasana kebun binatang begitu ramai. Banyak keluarga yang menghabiskan pekan untuk melihat para satwa. Anak-anak kecil tampak riang gembira memberi makan hewan yang tergolong jinak.
Restya diam-diam menitikkan air mata mengamati anak-anak yang tengah tersenyum lebar bersama orang tuanya. Ia jadi teringat masa kecilnya. Di mana ayah dan ibu sering mengajaknya pergi liburan. Kebersamaan yang jarang ia rasakan saat remaja, apalagi masa kini.Zio menyodorkan es cincau untuk Restya yang baru saja ia beli. “Ini untukmu,” katanya dengan santai, lalu tersenyum.Restya mengambil minuman yang diberikan Zio dengan senyum merekah. Ia langsung duduk ke bangku di belakangnya, lalu minum sedikit seraya menatap ke arah dedaunan yang gugur karena angin.“Res, kamu tahu enggak, kenapa aku mengajakmu ke kebun binatang?” tanya Zio yang sudah duduk di samping Restya.Restya menghadap ke arah Zio, setelah meletakkan minuman di sebelahnya. Ia mengernyHari ini adalah hari yang membahagiakan untuk Restya dan Zio. Bagaimana tidak? Mereka telah resmi menikah. Restya sejak tadi terus tersenyum merekah seraya membuka kado pernikahannya. Membaca satu per satu hadiah dari temannya. Ada yang menulis kata-kata manis, ada yang menuliskan doa untuk rumah tangga mereka.“Res,” panggil Zio seraya menepuk bahu Restya pelan. Kontan perempuan itu menengok ke arah Zio.“Ada apa, Kak?” tanya Restya lembut.“Kado dari Devan mana?” Zio melirik semua hadiah yang sudah dibuka Restya. Isinya cangkir, seprei, selimut dan jam pasangan.“Belum aku buka.” Restya mengambil kado yang paling besar, tetapi begitu ringan. Ia sodorkan itu kepada Zio.“Ini isinya apa, ya?” Zio menebak-nebak isi bingkisan berwarna biru laut itu.Restya mengendikkan bahunya. “Buka saja daripada penasaran.”Zio mengangguk, lalu membukanya. Ia terkejut dengan isi bingkisan yang
Restya mengembuskan napasnya begitu lega, setelah beberapa jam di ruang yang sama dengan Zio. Ia sandarkan punggung di kursi ruangannya. Hari ini, pertama kali dan harapannya juga terakhir kali Restya bekerja sama dengan Zio. Ia tidak mungkin bisa tahan satu ruang dengan dokter yang selalu menyudutkannya. Meski Restya akui, kalau kepiawaian lelaki itu memainkan pisau bedah dapat diakui kehebatannya. Namun sayang, dia tak berminat belajar banyak dari pria itu.Restya mengambil kopi yang telah tersedia di hadapannya. Ia tadi berpesan kepada asistennya untuk membelikan kopi agar membuat matanya tetap terbuka. Meski hari masih sore. Belum petang. Namun, entah kenapa kedua manik mata itu ingin tertutup untuk melepas penat.Ketukan pintu membuyarkan lamunan Restya. Perempuan itu langsung membenarkan penampilannya seraya duduk tegak santai seperti biasanya.“Masuk,” katanya dengan nada tegas.Seorang perawat yang terlihat menawan memasu
Restya terdiam sepanjang menikmati makan malam bersama para rekannya. Kali ini, ia tak makan di rumah karena ada perayaan ulang tahun Dokter Kepala. Mereka merayakannya di sebuah restoran dekat dengan rumah sakit.Devan tadi membuat suasana makan malam menjadi ceria. Sesekali lelaki itu bergurau. Berbeda dengan Zio yang hanya diam, tak seperti biasanya selalu banyak berkomentar. Diam-diam Restya melirik Zio yang duduk di samping Emma. Lelaki itu tadi datang terlambat bersama Devan dan ia terlebih dulu memilih tempat duduk. Karena hanya ada dua tempat yang tersisa di sebelah Restya atau di samping Emma. Emma sedari tadi senyum karena bisa berdekatan dengan Zio.“Masakan di sini enak sekali, ya? Terima kasih, Dokter Key,” ucap Emma dengan nada ceria.“Saya yang terima kasih karena kalian sudah mau datang,” balas Dokter Key dengan nada tegas.“Ini cumi-cuminya gurih sekali, ya? Dokter Devan mau?” tawar Emma d
Malam berganti dengan cepat. Kini pagi telah menyapa dunia dengan tenang. Zio tampak serius melihat tampilan layar ponselnya. Dia hendak menghubungi rumah makan yang memberikan jasadelivery.Lelaki ini hendak memesan makanan untuk dia dan Restya. Namun, ia bingung ingin memesan apa.Restya yang baru saja melangkah dari dapur, mengerutkan dahi begitu melihat Zio tampak sibuk dengan ponsel. Zio menoleh begitu mendengar derap langkah kaki. Ditambah bau sup yang menguar. Begitu harum baunya khas rempah-rempah.Zio menatap Restya tak percaya. Perempuan itu membawa semangkuk sayur berisi sup ke meja makan di hadapannya. Ia tak menyangka Restya akan memasak sarapan karena perempuan itu masih sakit.“Pagi, Dokter Zio,” sapa Restya santai seraya menata mangkuk sup di meja makan.“Res, kamu masak?” tanya Zio dengan nada rendah.Restya mengangguk. “Kenapa? Dokter mau bilang kalau putri bangsawan seperti saya t
Restya tersenyum begitu semua pekerjaannya selesai. Ia bisa pulang lebih awal hari ini. Perempuan itu berencana untuk berjalan-jalan bersama kakaknya ke taman hiburan. Dia ingin sesekali menikmati harinya penuh keceriaan.Restya langsung memasukkan semua barang ke tasnya. Lalu, memperbaiki penampilan sebelum keluar dari ruangan. Dengan langkah perlahan, perempuan ini meninggalkan ruangannya.“Dokter Restya,” panggil Estu seraya berlari ke arah Restya.“Iya?” Restya mengernyit. Ia mengamati Estu yang tengah membawa buket bunga.“Dokter, ini ada bunga untuk Dokter,” ujar Estu dengan nada sumringah. Restya langsung menerimanya dan tersenyum.“Dari siapa?” tanya Restya penasaran.“Lebih baik Dokter baca sendiri saja catatan kecil di dalam buket bunga itu,” jawab Estu dengan nada lembut.Restya mengangguk. “Terima kasih. Saya pamit dulu, ya,” ujar Restya seraya menepuk
Begitu seorang wanita berpakaian kasual dengan warna pastel melangkah dengan anggun memasuki lobi rumah sakit, semua pandang tertuju padanya. Perempuan itu terus berjalan dengan memasang raut wajah datar tanpa ekspresi. Meski begitu tak mengurangi paras ayunya yang menawan. Meneduhkan hati. Banyak perawat atau dokter yang tak sengaja berpapasan, lalu menyapanya dengan raut wajah ceria. Meski banyak juga hanya kepalsuan. Ada yang tak suka dengan wanita muda yang terlihat begitu angkuh itu, padahal tidak. Memang dia seperti itu, cuek dan pemikirannya tak mudah dibaca. Belum lagi, paras indahnya membuat banyak wanita merasa iri. Dia bagaikan Psyche, perempuan yang begitu cantik dari mitologi Yunani alias istri Eros. Namun, dia sekeras Athena, Sang Dewi Perang yang memiliki keberanian yang kuat. Memiliki tatapan mematikan seperti Medusa, tatkala sudah geram. “Dokter Restya,” sapa Emma, salah satu rekannya. Membuat langkah wanita itu terhenti dan me
Restya menatap nanar tubuh yang kaku di atas brangkar. Gadis belia itu tak berhasil terselamatkan. Beberapa saat setelah memasuki rumah sakit, nyawanya sudah tidak ada. Ia melihat orang tua gadis itu menangis tak keruan sehingga pingsan. Ini bukan pertama kalinya, dia melihat seseorang meninggal. Namun, melihat gadis itu mengingatkan kepada sepupunya yang meninggal ketika remaja.Zio yang tadi melihat Restya berjalan ke ruang jenazah langsung mengikuti perempuan itu. Dia bingung kenapa Restya menitikkan air mata melihat jasad itu. Apakah Restya mengenalnya, pikir Zio.“Dokter Restya,” panggil Zio seraya menepuk pundak Restya pelan. Sontak gadis itu berbalik arah menghadap Zio.“Dokter Zio,” sapa Restya dengan senyuman kaku.“Kenapa di sini? Itu bukan pasien Dokter, kan?” tanya Zio memastikan.Restya menggeleng.“Dia seperti sepupu saya. Meninggal karena overdosis. Awalnya sepupu saya depresi karena masalah kelua
Angin berembus dengan pongah. Menerbangkan dedaunan secara tak beraturan hingga salah satu daun itu terjatuh di kepala Restya. Perempuan itu hendak mengambil daun yang menempel di surai panjangnya yang kali ini tak terikat. Menjuntai dengan indahnya.Cekrek. Suara bidikan kamera membuat Restya mengalihkan pandangannya. Ia mencari-cari sosok yang mengambil gambarnya. Namun, manik mata teduh tetapi tajam itu tak menemukan siapa pun di taman itu.Restya menghela napas sejenak, sebelum melangkah menuju bangku taman dekat air mancur. Kaki jenjang itu melangkah dengan perlahan, juga waspada dengan hal yang ada di sekitarnya.Manik mata Restya tertuju kepada sebuket bunga di bangku yang hendak ia duduki. Dia menengok ke sekeliling. Namun, nihil tak ada siapa-siapa. Tangan mungil itu perlahan mengambil buket bunga itu dengan hati-hati. Ada surat di sana.Untuk Bunga Bakungku,Matahari boleh pongah dengan panasnyaAngin boleh congkak dengan lajunyaHuja
Hari ini adalah hari yang membahagiakan untuk Restya dan Zio. Bagaimana tidak? Mereka telah resmi menikah. Restya sejak tadi terus tersenyum merekah seraya membuka kado pernikahannya. Membaca satu per satu hadiah dari temannya. Ada yang menulis kata-kata manis, ada yang menuliskan doa untuk rumah tangga mereka.“Res,” panggil Zio seraya menepuk bahu Restya pelan. Kontan perempuan itu menengok ke arah Zio.“Ada apa, Kak?” tanya Restya lembut.“Kado dari Devan mana?” Zio melirik semua hadiah yang sudah dibuka Restya. Isinya cangkir, seprei, selimut dan jam pasangan.“Belum aku buka.” Restya mengambil kado yang paling besar, tetapi begitu ringan. Ia sodorkan itu kepada Zio.“Ini isinya apa, ya?” Zio menebak-nebak isi bingkisan berwarna biru laut itu.Restya mengendikkan bahunya. “Buka saja daripada penasaran.”Zio mengangguk, lalu membukanya. Ia terkejut dengan isi bingkisan yang
Suasana kebun binatang begitu ramai. Banyak keluarga yang menghabiskan pekan untuk melihat para satwa. Anak-anak kecil tampak riang gembira memberi makan hewan yang tergolong jinak.Restya diam-diam menitikkan air mata mengamati anak-anak yang tengah tersenyum lebar bersama orang tuanya. Ia jadi teringat masa kecilnya. Di mana ayah dan ibu sering mengajaknya pergi liburan. Kebersamaan yang jarang ia rasakan saat remaja, apalagi masa kini.Zio menyodorkan es cincau untuk Restya yang baru saja ia beli. “Ini untukmu,” katanya dengan santai, lalu tersenyum.Restya mengambil minuman yang diberikan Zio dengan senyum merekah. Ia langsung duduk ke bangku di belakangnya, lalu minum sedikit seraya menatap ke arah dedaunan yang gugur karena angin.“Res, kamu tahu enggak, kenapa aku mengajakmu ke kebun binatang?” tanya Zio yang sudah duduk di samping Restya.Restya menghadap ke arah Zio, setelah meletakkan minuman di sebelahnya. Ia mengerny
Gaun selutut tanpa lengan yang membalut tubuh Restya begitu cocok di tubuhnya. Namun, entah kenapa ia merasa kikuk. Manik matanya terus berpendar ke mana-mana. Ia mencari Zio, tetapi tak ia temukan sosok itu sama sekali.“Dokter Restya,” sapa Emma dengan senyum khasnya.Restya tersenyum manis seraya menyelipkan anak rambut di telinganya, “Iya, Dokter Emma.”“Dokter Restya sendirian?” tanya Emma seraya menyodorkan satu gelas jus yang ia bawa.Restya mengangguk seraya menerima minuman itu.“Oh, begitu,” kata Emma dengan nada santai. “Ngomong-ngomong saya enggak sengaja lihat Dokter Zio sama perempuan cantik. Mereka serasi sekali.”Restya kaget dengan ucapan Emma, tetapi ia tetap memasang raut wajah sesantai dan sedatar mungkin.“Lalu, apa hubungannya dengan saya?” Restya menatap Emma dingin. “Anda masih saja suka mengosip, ya.”Emma tersenyum masam. “Saya t
Restya tersenyum mendapati kondisi pasiennya semakin membaik. Perempuan itu terus berterima kasih padanya. Ia tengah menjabat tangan Restya erat dengan raut wajah ceria."Sekali lagi terima kasih, Dok. Saya janji kalau saya sudah sembuh nanti, saya pasti akan menyicil uang biaya rumah sakit ini kepada Dokter," katanya dengan mata berkaca-kaca."Masalah biaya tak usah dipikirkan. Saya ikhlas membantu, Mbak," balas Restya dengan nada lembut. Ia membayarkan semua biaya operasi pasiennya karena dia tak tega melihat seorang perempuan yang berjuang untuk putranya seorang diri. Wanita ini adalah salah satu karyawan di kantin rumah sakit. Suaminya telah meninggal dan kini hidup dengan ibu dan anaknya. Kalau wanita itu sakit, siapa yang akan membiayai kebutuhan keluarganya? Hatinya terketuk untuk membantu."Dokter Restya baik sekali. Semoga Dokter selalu bahagia," ucapnya dengan nada tulus.Restya tersenyum."Iya, terima kasih doanya. Saya pamit dulu," kata Restya de
11. FaktanyaTak terasa waktu berlalu dengan cepat. Kemarin Devan mengajak Restya untuk menonton di bioskop karena cuaca yang tak mendukung, akhirnya baru kali ini kedua anak manusia itu berjalan bersama. Sebelum menonton film, mereka pergi ke kedai ramen dan berbincang-bincang. Restya merasa Devan adalah teman yang baik pula untuk diajak bicara. Tak ada salahnya, jika ia memperbaiki hubungannya dengan Devan.Restya terus tersenyum mendengar lelucon yang Devan katakan. Mungkin benar kata orang, kalau tak kenal, maka tak sayang. Perempuan ini baru menyadari kalau Devan memang benar-benar manis seperti yang ia dengar dari beberapa orang.“Dokter Restya, mau minum apa?” tanya Devan yang baru saja membeli tiket. Tangan kanannya menyodorkan tiket untuk Restya yang langsung ditanggapi perempuan itu. Ia mengambilnya dengan tersenyum.“Terserah, ikut Dokter Devan saja,” kata Restya santai.Devan mengangguk. “Dokter Tya masuk dul
-Sakit hati yang tiada tara itu, ketika kau jatuh hati, langsung patah hati karena orang yang kau cintai telah pergi. Jangan pernah menyakiti kalau ingin dicintai.-Hampir dua minggu berlalu dengan cepat, luka Restya telah sembuh. Bekasnya di beberapa bagian masih ada. Kini, ia kembali bekerja seperti biasanya. Sudah lama rasanya tak mengunjungi ruangannya. Dia menatap satu per satu sudut rumah sakit begitu jam istirahat tiba. Namun, entah kenapa ada yang kurang di hatinya.“Dokter Restya,” panggil Devan dengan nada ramah sama seperti biasanya, walau terakhir bertemu mereka sempat berdebat singkat. Restya mengalihkan pandangannya ke arah Devan dengan raut wajah tanpa ekspresi.“Iya,” jawab Restya singkat tanpa minat. Ia masih ingat dengan ucapan lelaki itu yang menyindirnya beberapa waktu lalu.“Di sini tidak turun salju, tetapi kenapa dingin sekali, ya,” gurau Devan sekaligus menyindir sifat Restya. Lelaki itu tersenyu
-Sebaiknya orang membangun karakter lain, pasti dia akan kembali menjadi dirinya sendiri, ketika bersama orang terdekat yang membuatnya nyaman-Suara gemuruh terdengar begitu jelas di indra pendengaran Restya. Ia langsung menengok ke kanan dan ke kiri untuk berteduh. Namun, manik matanya tak sengaja bertemu dengan Rangga. Dia langsung membuang wajahnya dan hendak pergi.Restya berjalan terburu-buru menuju arah utara, diikuti pula dengan langkah Rangga. Lelaki itu terus memanggil perempuan itu dengan lantang. Namun, tak digubris sekalipun oleh Restya. Terpaksa lelaki itu berlari mengejar Restya.Raut wajah Restya berubah kaku seketika. Manik matanya menajam, rasa sesak itu kembali menyeruak. Ingin sekali dia berbalik arah dan berteriak untuk meluapkan amarahnya kepada Rangga. Mengatakan semua hal yang membuatnya kecewa dan terpuruk di masa lalunya. Namun, tak mampu ia lakukan.“Restya,” lirih Rangga seraya memegang tangan Restya tepat di dekat ayunan
Istirahat makan siang kali ini begitu ramai. Beberapa dokter tengah berbincang-bincang mengenai pesta pernikahan Dokter Kepala UGD. Mereka yakin, banyak tamu penting yang hadir di sana. Dari kalangan dokter sampai pemilik rumah sakit terkenal di kota ini. Banyak yang berencana akan memanfaatkan acara ini untuk memperluas jaringan atau kolega. Bahkan dokter muda banyak yang ingin mencari jodoh di pesta itu.Restya mengambil earphone miliknya karena dia merasa terganggu akan pembicaraan itu. Perempuan ini tak tertarik sama sekali.“Dokter Restya,” sapa Devan seraya menaruh piringnya di meja makan Restya. Perempuan itu mendongak seraya tersenyum. Meski dalam hati, ia merasa malu dengan kejadian beberapa hari lalu, di mana dia mengaku menjadi kekasih lelaki itu. Untungnya Devan tak membahas masalah itu lagi sepanjang perjalanan pulang kemarin. Jadi, dia merasa tak begitu terbebani.Restya langsung melepas earphone bewarna biru itu.“Iya, Dok,” jawab Restya lembut.“Saya m
Angin berembus dengan pongah. Menerbangkan dedaunan secara tak beraturan hingga salah satu daun itu terjatuh di kepala Restya. Perempuan itu hendak mengambil daun yang menempel di surai panjangnya yang kali ini tak terikat. Menjuntai dengan indahnya.Cekrek. Suara bidikan kamera membuat Restya mengalihkan pandangannya. Ia mencari-cari sosok yang mengambil gambarnya. Namun, manik mata teduh tetapi tajam itu tak menemukan siapa pun di taman itu.Restya menghela napas sejenak, sebelum melangkah menuju bangku taman dekat air mancur. Kaki jenjang itu melangkah dengan perlahan, juga waspada dengan hal yang ada di sekitarnya.Manik mata Restya tertuju kepada sebuket bunga di bangku yang hendak ia duduki. Dia menengok ke sekeliling. Namun, nihil tak ada siapa-siapa. Tangan mungil itu perlahan mengambil buket bunga itu dengan hati-hati. Ada surat di sana.Untuk Bunga Bakungku,Matahari boleh pongah dengan panasnyaAngin boleh congkak dengan lajunyaHuja