Malam berganti dengan cepat. Kini pagi telah menyapa dunia dengan tenang. Zio tampak serius melihat tampilan layar ponselnya. Dia hendak menghubungi rumah makan yang memberikan jasa delivery. Lelaki ini hendak memesan makanan untuk dia dan Restya. Namun, ia bingung ingin memesan apa.
Restya yang baru saja melangkah dari dapur, mengerutkan dahi begitu melihat Zio tampak sibuk dengan ponsel. Zio menoleh begitu mendengar derap langkah kaki. Ditambah bau sup yang menguar. Begitu harum baunya khas rempah-rempah.
Zio menatap Restya tak percaya. Perempuan itu membawa semangkuk sayur berisi sup ke meja makan di hadapannya. Ia tak menyangka Restya akan memasak sarapan karena perempuan itu masih sakit.
“Pagi, Dokter Zio,” sapa Restya santai seraya menata mangkuk sup di meja makan.
“Res, kamu masak?” tanya Zio dengan nada rendah.
Restya mengangguk. “Kenapa? Dokter mau bilang kalau putri bangsawan seperti saya ternyata bisa masak,” ujar Restya dengan nada ketus.
Zio mendongak untuk menatap raut wajah Restya. Ia terkekeh geli. “Dokter tahu aja. Saya baru tahu Dokter Restya bisa masak,” celetuk Zio asal. Lelaki ini tak bermaksud mencela Restya selagi ini. Dia hanya menggoda Restya.
Restya tersenyum masam seraya melipat kedua tangannya di depan dada. Ia hendak menjawab ucapan Zio. Namun bibirnya yang baru saja terbuka, terpaksa tertutup kembali karena Zio kembali bersuara.
“Saya tidak bermaksud menghina Dokter. Saya cemas, Dokter Restya masih sakit kenapa memasak? Lebih baik tidur saja. Eh, Dokter malah berpikiran negatif terhadap saya. Sekali-kali positif, kenapa?” Zio menjelaskan dengan nada lembut.
“Enggak, ah, Dok. Kalau positif berarti hamil, dong. Itu malah bikin geger,” balas Restya asal.
Zio tak kuasa menahan tawanya. Ia tertawa karena baru kali ini Restya bisa bercanda seperti itu. Restya hanya tersenyum masam.
“Sejak kapan Dokter Restya bisa benar-benar bercanda? Biasanya serius sekali. Padahal kita tidak sedang mengerjakan soal matematika,” sahut Zio yang tawanya sudah reda. Meski ia masih geli.
“Baru saja. Itu lucu, ya?” Restya mengangkat kursi di meja makan untuk digeser. Kemudian, ia duduDibukanya tudung saji yang sudah ada nasi dan lauk pauk yang dibuatnya tadi. Zio langsung menatap ke arah makanan yang sudah terhidang di hadapannya. Dia semakin terkejut dengan apa yang dilihatnya.
“Dokter bangun jam berapa? Saya baru tahu kalau sudah selengkap ini di meja makan?” Zio menatap cemas Restya. Takut kalau kondisi perempuan itu bertambah buruk karenanya.
Restya tersenyum masam.
“Ini akhir pekan, bukan berarti saya bisa bermalasan. Saya hanya bangun di jam biasanya. Memangnya Dokter bangun jam berapa?” tanya balik Restya yang sebenarnya tak peduli dengan ucapan atau perilaku Zio. Ia tak mau menanggapi Zio terlalu serius karena hanya akan membuatnya semakin pusing saja.
“Dua puluh menit yang lalu, mungkin. Saya baru saja mandi terus duduk di sini mau pesan makanan. Pokoknya sebelum mandi, saya bangun. Eh, malah Dokter Restya sudah masak. Terima kasih, Dok,” ujar Zio seraya menatap manik mata Restya lekat. Kemudian, ia matikan ponselnya.
“Dokter pasti capek sekali semalam. Kan harus bolak-balik. Saya pikir Dokter baru saja menghubungi wanita itu,” cibir Restya sambil mengambil mangkuk di hadapannya untuk diisi makanan.
“Pagi-pagi Dokter sudah cemburu saja. Enggak, kok. Serius, saya mau pesan makanan. Eh, tapi makasih udah diingetin. Saya mau tanya dulu ke Bunda saya bagaimana kondisi Della,” sahut Zio seraya mengambil ponselnya. Restya langsung menatap Zio kesal dengan raut wajah dingin. Perempuan itu langsung mengambil sambal satu sendok makan. Kemudian, ia tutup dengan nasi.
Zio yang tengah asyik mengetik pesan. Tiba-tiba mendapat tepukan dari Restya di bahunya.
“Dokter, saya suapin, ya,” ujar Restya dengan diakhiri senyum. Zio mengernyit tetapi dia tetap membuka mulutnya. Takut kalau Restya marah lagi.
Zio langsung menjatuhkan ponselnya begitu menelan nasi. Lidahnya begitu kepedasan. Ia tak menyangka Restya akan melakukan hal seperti itu.
“Enak kan, Dok?” Restya meledek Zio seraya menopang kepalanya menggunakan satu tangan dengan tatapan mengejek.
Zio langsung mengambil segelas air putih tanpa bicara sepatah apa pun. Dalam sekali tegukan minuman di gelasnya langsung habis seketika.
“Enak kan, Dok? Minumnya pelan-pelan,” ucap Restya santai.
“Enak tapi pedas. Kalau cemburu jangan begini juga, dong,” ujar Zio dengan nada kesal.
“Dokter marah? Jadi, Dokter memilih perempuan itu daripada saya. Kejam sekali,” cibir Restya seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Enggak, Dok. Jangan marah. Sumpah, Dok, saya enggak punya hubungan spesial dengan Della. Dia itu depresi berat. Sejujurnya dia itu--”
“Dia kenapa?” Restya menatap Zio semakin penasaran.
“Dia itu cinta pertama saya, tapi saya enggak ada rasa apa pun dengannya sekarang karena saya--” Zio menggaruk kepalanya kebingungan.
“Mencintai saudari ipar sendiri, kan? Menyedihkan sekali,” cela Restya dengan tatapan sinis
Zio menyugar rambutnya. Lalu, memejamkan mata sejenak.
“Iya, itu benar. Maafkan saya. Saya berusaha menghapus nama El. Dokter Restya saya benar-benar serius kok sama Dokter.”
Restya menyandarkan punggungnya. Kemudian, menatap Zio dengan tatapan sulit diartikan.
“Serius? Saya saja enggak tahu alasan Dokter mau menikahi saya. Kenapa saya harus percaya?”
Zio terdiam sejenak. Raut wajahnya berubah menjadi datar seketika. Restya menatap Zio penuh curiga. Ia berpikir bahwa lelaki itu hanya ingin memanfaatkannya saja.
Restya menopang dagunya di meja makan. Memandang Zio dengan tatapan mengejek. Pasti lelaki itu tak punya jawaban yang menyakinkan Restya.
“Dokter, enggak punya alasan, ya? Jangan bilang dokter cari istri acak,” tuduh Restya dengan nada mencemooh.
Zio menggeleng seraya tersenyum. Ia malah teringat cerita bibinya yang mengatakan kalau ibu lelaki ini dulu mencari suami acak. Hal itu terjadi juga berdasarkan saran pamannya yang aneh. Mungkin kalau tidak begitu ibunda dari dokter ini tidak akan menikah dengan ayahnya.
Restya mengernyit. Aneh, pikirnya. Dia seharusnya tak bertanya karena akan sia-sia saja. Lelaki semacam Zio tak akan mengerti perasaan wanita kalau perempuan butuh kepastian. Mimpi apa dia bisa bertemu pria semenyebalkan itu.
“Saya punya banyak alasan, tapi takut kalau salah satu alasan saya membuat Dokter Restya marah,” lirih Zio dengan tatapan sendu.
Restya mengangkat kepalanya. Kemudian, ia menggeser kursinya agar dekat dengan Zio.
“Memangnya alasan Dokter apa? Jangan bilang ini yang tidak-tidak.”
“Saya kasih tahu yang baik-baik saja. Dokter itu benar-benar tipe saya. Apalagi, saya ingin punya istri yang seprofesi. Dokter tahu kan kalau seorang dokter bukan dimiliki keluarganya tapi dia harus mengabdi untuk merawat pasiennya. Ayah saya kan Dokter, ibu saya itu model, desainer, dan pengusaha. Nah, Bunda saya itu suka mengeluh kalau ditinggal dinas ayah saya. Makanya saya mau menikah dengan wanita yang seprofesi agar lebih mengerti,” terang Zio mencari jawaban yang paling masuk akal. Dia takut kalau menggunakan jawaban yang paling utama, Restya bisa murka kepadanya.
“Tipe? Memangnya tipe Dokter Zio seperti apa?”
Restya tak percaya dengan ucapan Zio. Perempuan ini menatap manik mata Zio lekat untuk mencari kebohongan di sana. Ia yakin, kalau lelaki itu sedang menyembunyikan sesuatu darinya. Dia sudah mengenal sekali Zio, jadi tak mudah dibohongi.
Zio yang ditatap seperti itu mengerti kalau Restya pasti mencurigai dia.
“Dokter ibu baik, cerdas dan cantik pula. Siapa yang tidak tertarik dengan Dokter. Mending Dokter makan dulu. Keburu dingin,” kata Zio seraya mengambil mangkuk Restya seraya menyendok nasi untuk perempuan itu. Namun, Restya memegang tangannya erat.
“Makanan yang dingin bisa dengan mudah dihangatkan, tetapi hati yang beku tak mudah dihangatkan,” cibir Restya dengan nada sinis. Perempuan ini secara tak langsung memberi peringatan kalau hatinya sudah tersakiti, maka tak mudah diobati. Oleh karena itu, jangan membuatnya terluka. Apalagi, dengan kebohongan.
Zio tersenyum. Meski dalam hati ia meragu kalau Restya tetap akan memberinya kesempatan untuk menikah dengan perempuan itu kalau dia jawab alasan utamanya menikahi Restya.
“Dokter, sejujurnya saya itu dijodohkan oleh bunda saya karena tak kunjung menikah. Apalagi, soal kenyataan saya yang mencintai El membuat ibu saya resah. Itu menjadi alasan beliau mendesak saya untuk menikah,” tutur Zio seraya menunduk.
“Lalu, kenapa Dokter melamar saya?” tanya Restya seraya menaikkan alis sebelah kirinya.
“Perempuan yang dijodohkan dengan saya itu Della. Makanya saya tidak mau. Terus saya mau menikahi Dokter agar orang tua saya tidak menikahkan saya dengan Della,” terang Zio dengan nada lirih. Takut Restya tersinggung karena dia hanya digunakan untuk tameng Zio.
“Bukannya perempuan itu cinta pertamanya Dokter. Akan lebih mudah mencintai kembali cinta pertama daripada mencintai wanita asing seperti saya,” sindir Restya dengan nada sinis.
“Rumit, Dok. Kami dulu saling mencintai tetapi Della malah menjauh dari saya. Ternyata dia tidak mau melukai hati Habsa, sepupunya yang juga mencintai saya. Saya enggak mau menikahi Della karena saya tahu mencintai orang yang sama dengan saudara sendiri itu menyakitkan. Lebih baik keduanya tidak mendapatkan yang mereka cintai,” sahut Zio seraya memejamkan matanya sejenak. Ia sangat berat mengatakan kata-kata itu.
Bahagia rasanya melihat yang dicintai tersenyum, tetapi juga sakit kalau alasan dari senyuman itu adalah orang lain, apalagi yang membuat pujaan hati tersenyum adalah saudara kembar sendiri. Hal itu yang bertahun-tahun Zio rasakan. Setiap pertemuan keluarga, dia pasti menghindar dari saudara kembarnya dan istrinya agar tak menjadi saksi kemesraan mereka.
“Cinta datang tak pernah salah. Meski yang dicintai sudah berlabuh karena hati tak bisa dipaksakan. Namun, yang salah itu kalau mengejar kekasih orang. Seharusnya Dokter Zio bisa menerima kenyataan, kalau Elina itu tak mencintai Dokter. Pasti Dokter sudah memiliki kekasih sejati sekarang,” ucap Restya dengan nada serius.
“Bicara itu mudah, praktiknya itu sulit. Saya tulus mencintai El. Dia perempuan yang benar-benar berbeda dari wanita lain. Dia itu istimewa,” papar Zio seraya mengingat awal pertemuannya dengan Elina.
Restya tersenyum masam.
“Kalau seperti itu terus, Dokter tidak akan menikah. Kalau menikah, kasihan istri Dokter. Karena semua cinta Dokter untuk istri orang dan saya tidak mau menjadi wanita yang tak beruntung itu.”
Zio menyugar rambutnya. Ia terdiam. Pikirannya melayang ke mana-mana. Dia tak tahu harus bagaimana untuk meyakinkan Restya kalau lelaki ini benar-benar ingin menjalani hubungan serius dengan perempuan itu.
“Dokter Zio, cobalah untuk menata kehidupan dengan perempuan yang mencintai Dokter. Siapa tahu Dokter lebih mudah melupakan Elina. Bagaimanapun perempuan itu adalah istri dari kakak Dokter, tak patut untuk dicintai oleh Dokter. Saya yakin, banyak wanita di luar sana yang mengagumi dan mencintai Dokter,” ungkap Restya dengan nada halus seraya menepuk pelan punggung tangan Zio. Lalu, dia tersenyum begitu manis. Kali ini, Restya benar-benar tersenyum tulus bukan sopan-santun ataupun terpaksa. Dia juga memberikan masukan kepada Zio dengan tulus. Tak ada niat jelek apa pun.
“Tapi itu sulit--”
“Apanya yang sulit? Dokter belum mencoba. Bilang saja Dokter tak mau. Jangan-jangan dokter terobsesi. Seharusnya Dokter bahagia kalau dia yang Dokter cintai bahagia. Meski alasannya bahagia bukan Dokter,” sahut Restya memotong pembicaraan Zio karena kesal.
Zio menggenggam tangan Restya erat. “Bukan itu. Jangan salah paham. Saya itu tadi hanya menjelaskan betapa sakitnya patah hati. Memang benar saya masih menyimpan rasa dengan El, tapi tidak sebesar dulu. Saya sudah mencoba melupakannya, tetapi sulit karena tidak ada yang membantu saya melupakannya,” terang Zio dengan raut wajah serius.
Restya mengernyit. Ia tak mengerti, kenapa ingin melupakan orang yang dicintai harus menggunakan bantuan orang lain. Ditatapnya Zio lekat-lekat.
“Saya belum menemukan wanita yang lebih baik dari El. Semua wanita yang saya temui kebanyakan seperti Emma. Munafik. Namun, sekarang perlahan rasa saya kepada El berkurang karena saya sudah menemukan perempuan yang lebih baik dari El,” kata Zio dengan nada tegas.
“Awalnya saya tertarik dengan perempuan itu, lalu saya kagum karena kecerdasannya. Lama-kelamaan saya nyaman di dekatnya. Pembawaannya begitu tenang. Dia seperti udara pagi. Dingin, tetapi menyejukkan. Membuat saya semakin betah di sisinya. Namun, sayang dia tak menatap ke arah saya,” lanjut Zio dengan nada lesu.
Restya menghela napas sejenak. Lalu, menopang dagu dengan kedua tangannya di atas meja untuk menatap ke arah Zio lebih dekat.
“Saya selalu menatap Dokter, loh. Ini sudah dekat belum? Dokter bukan hantu. Jadi, saya bisa melihat Dokter,” gurau Restya untuk mengalihkan ketegangan.
“Dokter Restya kok percaya diri sekali. Lah, saya itu enggak ngomongin Dokter, loh. Jangan-jangan Dokter ada rasa sama saya, tapi disembunyikan karena enggak ke notice,” balas Zio yang langsung mendapatkan senyuman sekilas dari bibir Restya.
“Iya, saya punya rasa sama Dokter, tapi rasa benci,” sahut Restya dengan santai. Ucapannya barusan hanyalah kata-kata asal. Dia memang kesal dengan Zio, tetapi tak membenci lelaki itu.
Zio tak mengerti ucapan Restya barusan benar atau tidak. Namun, apa pun itu dia tak mau menyerah untuk melepaskan Restya.
“Dokter, kalau kata saudara kembar saya. Benci itu singkatan dari benar-benar cinta. Jangan mudah membenci seseorang, nanti juga mudah mencintainya,” sahut Zio dengan nada serius.
“Saya tidak tertarik untuk mencintai siapa pun. Cinta kalau salah membawa luka. Saya tidak mau tersakiti karena cinta. Lebih baik saya yang dicintai, bukan yang mencintai,” terang Restya dengan mimik wajah yang berubah menjadi dingin. Ingatannya melayang pada masa lalu yang membawa luka di hatinya. Dari hari itu Restya berjanji padanya untuk tidak mencintai siapa pun. Makanya sampai sekarang ia tak menikah karena takut salah memilih suami.
“Kenapa? Dokter punya masa lalu yang menyakitkan?” selidik Zio dengan tatapan serius.
“Menyakitkan apanya? I am single and happy. Saya tidak seperti Dokter. Tidak ada pria yang berani melukai hati saya. Kebanyakan pada mengantri menjadi calon suami. Dokter itu yang menjengkelkan, yang semena-mena dengan saya,” bantah Restya seraya tetap memasang wajah datar. Dia berusaha keras menutupi lukanya. Ia tak mau terlihat lemah. Lagi pula, perempuan seperti dia memang tak suka membicarakan kehidupan pribadi kepada orang lain. Apalagi dengan Zio yang bisa saja memanfaatkan masa lalunya.
Zio menatap Restya dengan tatapan yang begitu dalam. Ia menyadari ada hal besar yang disembunyikan Restya darinya. Perempuan itu tak mau terbuka, padahal ia selalu jujur pada Restya. Meski tak dipercayai.
“Serius enggak ada yang disembunyikan? Nanti kalau dipendam sakit, loh. Enggak apa-apa curhat sama saya. Kan saya calon suami Dokter,” bujuk Zio dengan nada lembut.
“Status Dokter masih belum pasti. Saya hanya mau menikah dengan orang yang mencintai saya. Hanya saya perempuan yang akan menjadi ratu di hatinya,” kata Restya mengalihkan pembicaraan. Ia tak mau mengungkit masa lalu. Baginya semua kenangan buruk di masa lalu harus dilenyapkan. Tak patut untuk diabadikan dalam memorinya. Meski kadang terlintas sedikit di pikirannya.
“Ya, ya. Saya tahu. Saya berusaha akan menjadikan Dokter ratu di hati saya. Bahkan saya yakin suatu saat nanti Dokter juga mencintai saya. Kita memulai semua dari awal, ya, Dok?” pinta Zio dengan nada lembut.
“Jangan ngomong doang. Buktikan. Saya bukan mainan,” jawab Restya dengan nada tegas.
***
Restya tersenyum begitu semua pekerjaannya selesai. Ia bisa pulang lebih awal hari ini. Perempuan itu berencana untuk berjalan-jalan bersama kakaknya ke taman hiburan. Dia ingin sesekali menikmati harinya penuh keceriaan.Restya langsung memasukkan semua barang ke tasnya. Lalu, memperbaiki penampilan sebelum keluar dari ruangan. Dengan langkah perlahan, perempuan ini meninggalkan ruangannya.“Dokter Restya,” panggil Estu seraya berlari ke arah Restya.“Iya?” Restya mengernyit. Ia mengamati Estu yang tengah membawa buket bunga.“Dokter, ini ada bunga untuk Dokter,” ujar Estu dengan nada sumringah. Restya langsung menerimanya dan tersenyum.“Dari siapa?” tanya Restya penasaran.“Lebih baik Dokter baca sendiri saja catatan kecil di dalam buket bunga itu,” jawab Estu dengan nada lembut.Restya mengangguk. “Terima kasih. Saya pamit dulu, ya,” ujar Restya seraya menepuk
Begitu seorang wanita berpakaian kasual dengan warna pastel melangkah dengan anggun memasuki lobi rumah sakit, semua pandang tertuju padanya. Perempuan itu terus berjalan dengan memasang raut wajah datar tanpa ekspresi. Meski begitu tak mengurangi paras ayunya yang menawan. Meneduhkan hati. Banyak perawat atau dokter yang tak sengaja berpapasan, lalu menyapanya dengan raut wajah ceria. Meski banyak juga hanya kepalsuan. Ada yang tak suka dengan wanita muda yang terlihat begitu angkuh itu, padahal tidak. Memang dia seperti itu, cuek dan pemikirannya tak mudah dibaca. Belum lagi, paras indahnya membuat banyak wanita merasa iri. Dia bagaikan Psyche, perempuan yang begitu cantik dari mitologi Yunani alias istri Eros. Namun, dia sekeras Athena, Sang Dewi Perang yang memiliki keberanian yang kuat. Memiliki tatapan mematikan seperti Medusa, tatkala sudah geram. “Dokter Restya,” sapa Emma, salah satu rekannya. Membuat langkah wanita itu terhenti dan me
Restya menatap nanar tubuh yang kaku di atas brangkar. Gadis belia itu tak berhasil terselamatkan. Beberapa saat setelah memasuki rumah sakit, nyawanya sudah tidak ada. Ia melihat orang tua gadis itu menangis tak keruan sehingga pingsan. Ini bukan pertama kalinya, dia melihat seseorang meninggal. Namun, melihat gadis itu mengingatkan kepada sepupunya yang meninggal ketika remaja.Zio yang tadi melihat Restya berjalan ke ruang jenazah langsung mengikuti perempuan itu. Dia bingung kenapa Restya menitikkan air mata melihat jasad itu. Apakah Restya mengenalnya, pikir Zio.“Dokter Restya,” panggil Zio seraya menepuk pundak Restya pelan. Sontak gadis itu berbalik arah menghadap Zio.“Dokter Zio,” sapa Restya dengan senyuman kaku.“Kenapa di sini? Itu bukan pasien Dokter, kan?” tanya Zio memastikan.Restya menggeleng.“Dia seperti sepupu saya. Meninggal karena overdosis. Awalnya sepupu saya depresi karena masalah kelua
Angin berembus dengan pongah. Menerbangkan dedaunan secara tak beraturan hingga salah satu daun itu terjatuh di kepala Restya. Perempuan itu hendak mengambil daun yang menempel di surai panjangnya yang kali ini tak terikat. Menjuntai dengan indahnya.Cekrek. Suara bidikan kamera membuat Restya mengalihkan pandangannya. Ia mencari-cari sosok yang mengambil gambarnya. Namun, manik mata teduh tetapi tajam itu tak menemukan siapa pun di taman itu.Restya menghela napas sejenak, sebelum melangkah menuju bangku taman dekat air mancur. Kaki jenjang itu melangkah dengan perlahan, juga waspada dengan hal yang ada di sekitarnya.Manik mata Restya tertuju kepada sebuket bunga di bangku yang hendak ia duduki. Dia menengok ke sekeliling. Namun, nihil tak ada siapa-siapa. Tangan mungil itu perlahan mengambil buket bunga itu dengan hati-hati. Ada surat di sana.Untuk Bunga Bakungku,Matahari boleh pongah dengan panasnyaAngin boleh congkak dengan lajunyaHuja
Istirahat makan siang kali ini begitu ramai. Beberapa dokter tengah berbincang-bincang mengenai pesta pernikahan Dokter Kepala UGD. Mereka yakin, banyak tamu penting yang hadir di sana. Dari kalangan dokter sampai pemilik rumah sakit terkenal di kota ini. Banyak yang berencana akan memanfaatkan acara ini untuk memperluas jaringan atau kolega. Bahkan dokter muda banyak yang ingin mencari jodoh di pesta itu.Restya mengambil earphone miliknya karena dia merasa terganggu akan pembicaraan itu. Perempuan ini tak tertarik sama sekali.“Dokter Restya,” sapa Devan seraya menaruh piringnya di meja makan Restya. Perempuan itu mendongak seraya tersenyum. Meski dalam hati, ia merasa malu dengan kejadian beberapa hari lalu, di mana dia mengaku menjadi kekasih lelaki itu. Untungnya Devan tak membahas masalah itu lagi sepanjang perjalanan pulang kemarin. Jadi, dia merasa tak begitu terbebani.Restya langsung melepas earphone bewarna biru itu.“Iya, Dok,” jawab Restya lembut.“Saya m
-Sebaiknya orang membangun karakter lain, pasti dia akan kembali menjadi dirinya sendiri, ketika bersama orang terdekat yang membuatnya nyaman-Suara gemuruh terdengar begitu jelas di indra pendengaran Restya. Ia langsung menengok ke kanan dan ke kiri untuk berteduh. Namun, manik matanya tak sengaja bertemu dengan Rangga. Dia langsung membuang wajahnya dan hendak pergi.Restya berjalan terburu-buru menuju arah utara, diikuti pula dengan langkah Rangga. Lelaki itu terus memanggil perempuan itu dengan lantang. Namun, tak digubris sekalipun oleh Restya. Terpaksa lelaki itu berlari mengejar Restya.Raut wajah Restya berubah kaku seketika. Manik matanya menajam, rasa sesak itu kembali menyeruak. Ingin sekali dia berbalik arah dan berteriak untuk meluapkan amarahnya kepada Rangga. Mengatakan semua hal yang membuatnya kecewa dan terpuruk di masa lalunya. Namun, tak mampu ia lakukan.“Restya,” lirih Rangga seraya memegang tangan Restya tepat di dekat ayunan
-Sakit hati yang tiada tara itu, ketika kau jatuh hati, langsung patah hati karena orang yang kau cintai telah pergi. Jangan pernah menyakiti kalau ingin dicintai.-Hampir dua minggu berlalu dengan cepat, luka Restya telah sembuh. Bekasnya di beberapa bagian masih ada. Kini, ia kembali bekerja seperti biasanya. Sudah lama rasanya tak mengunjungi ruangannya. Dia menatap satu per satu sudut rumah sakit begitu jam istirahat tiba. Namun, entah kenapa ada yang kurang di hatinya.“Dokter Restya,” panggil Devan dengan nada ramah sama seperti biasanya, walau terakhir bertemu mereka sempat berdebat singkat. Restya mengalihkan pandangannya ke arah Devan dengan raut wajah tanpa ekspresi.“Iya,” jawab Restya singkat tanpa minat. Ia masih ingat dengan ucapan lelaki itu yang menyindirnya beberapa waktu lalu.“Di sini tidak turun salju, tetapi kenapa dingin sekali, ya,” gurau Devan sekaligus menyindir sifat Restya. Lelaki itu tersenyu
11. FaktanyaTak terasa waktu berlalu dengan cepat. Kemarin Devan mengajak Restya untuk menonton di bioskop karena cuaca yang tak mendukung, akhirnya baru kali ini kedua anak manusia itu berjalan bersama. Sebelum menonton film, mereka pergi ke kedai ramen dan berbincang-bincang. Restya merasa Devan adalah teman yang baik pula untuk diajak bicara. Tak ada salahnya, jika ia memperbaiki hubungannya dengan Devan.Restya terus tersenyum mendengar lelucon yang Devan katakan. Mungkin benar kata orang, kalau tak kenal, maka tak sayang. Perempuan ini baru menyadari kalau Devan memang benar-benar manis seperti yang ia dengar dari beberapa orang.“Dokter Restya, mau minum apa?” tanya Devan yang baru saja membeli tiket. Tangan kanannya menyodorkan tiket untuk Restya yang langsung ditanggapi perempuan itu. Ia mengambilnya dengan tersenyum.“Terserah, ikut Dokter Devan saja,” kata Restya santai.Devan mengangguk. “Dokter Tya masuk dul