Angin berembus dengan pongah. Menerbangkan dedaunan secara tak beraturan hingga salah satu daun itu terjatuh di kepala Restya. Perempuan itu hendak mengambil daun yang menempel di surai panjangnya yang kali ini tak terikat. Menjuntai dengan indahnya.
Cekrek. Suara bidikan kamera membuat Restya mengalihkan pandangannya. Ia mencari-cari sosok yang mengambil gambarnya. Namun, manik mata teduh tetapi tajam itu tak menemukan siapa pun di taman itu.Restya menghela napas sejenak, sebelum melangkah menuju bangku taman dekat air mancur. Kaki jenjang itu melangkah dengan perlahan, juga waspada dengan hal yang ada di sekitarnya.Manik mata Restya tertuju kepada sebuket bunga di bangku yang hendak ia duduki. Dia menengok ke sekeliling. Namun, nihil tak ada siapa-siapa. Tangan mungil itu perlahan mengambil buket bunga itu dengan hati-hati. Ada surat di sana.Untuk Bunga Bakungku,
Matahari boleh pongah dengan panasnya
Angin boleh congkak dengan lajunyaHujan boleh angkuh dengan derasnyaRembulan boleh jumawa dengan sinarnyaNamun, tidak ada yang bisa menandingi kuasa Tuhan yang memberikan senyum nan memesona di bibirmuMaka, selalu tersenyumlah, RestyaRestya menatap bingung surat itu. Sebenarnya siapa yang mengirimkan itu untuknya? Apakah pria yang sama dengan bingkisan yang sering ia dapat sebelumnya dari mantan kekasihnya itu? Namun, kenapa pikirannya mengatakan kalau bunga ini sepertinya bukan dari lelaki itu?
Restya melipat kembali surat itu, lalu memasukkannya ke dalam buket bunga. Ia berdiri tegak seraya mencari tong sampah. Manik mata teduh itu melihat sebuah tong yang dekat dengan pohon mangga. Dia langsung berjalan ke sana dengan menggenggam bunga itu erat.Restya membuang bunga itu dengan perasaan bercampur aduk. Entah kenapa ada rasa tak rela. Namun, di sisi lain dia ingin memusnahkan semua hal yang berhubungan dengan mantan kekasihnya.“Tidak!” teriak Zio seraya berlari ke arah Restya.Restya yang mendengar suara Zio, langsung berbalik arah. Dia mengernyit bingung. Ia tatap Zio dengan lekat.“Tya, kenapa bunga dari saya dibuang?” tanya Zio dengan napas yang masih terputus-putus karena cara kerja jantungnya tak beraturan. Efek dari berlari.Restya memutar bola matanya.“Itu dari Kak Zio. Kenapa tidak bilang-bilang mau kasih bunga?” tanya Restya serius.“Namanya bukan kejutan kalau saya kasih tahu,” jawab Zio sekenanya.Restya mengangguk. Perempuan itu langsung berbalik arah ke tong sampah. Dia langsung membuka tutup tong sampah untuk mengambil bunga dari Zio itu kembaliZio menahan tangan Restya.“Jangan, Tya. Sudah kotor. Ada muntahan juga di sana. Tak usah diambil. Saya kasih yang baru,” terang Zio dengan nada lembut.“Saya minta maaf. Saya enggak tahu itu dari Kak Zio. Saya kira dari--” Ucapan Restya menggantung. Bibirnya terasa kelu untuk sekadar menyebut nama pria yang mencampakkannya.“Dikira dari mantan kekasih, ya? Kamu masih mencintainya?” tanya Zio hati-hati, takut Restya tersinggung.Restya langsung menggeleng.“Hati saya telah membeku. Tak akan mencair sedikitpun. Dia yang membuat saya seperti ini. Jadi, untuk apa saya menyimpan nama pria yang telah meninggalkan saya di dalam hati? Semua tentangnya telah berakhir,” jelas Restya santai.Zio menangkap maksud ucapan Restya dengan baik. Ia mengerti sekarang, bunga bakungnya berubah karena ada yang melukainya.“Res, kamu cantik dengan baju bewarna marun ini,” puji Zio seraya mengalihkan pembicaraan mereka. Dia takut ucapannya melukai hati Restya kalau membahas masa lalu.“Terima kasih. Ngomong-ngomong, kenapa Kak Zio ada di sini? Menguntit? Jangan bilang Kak Zio juga yang mencuri potretku diam-diam tadi,” selidik Restya dengan nada serius.Zio hanya terkekeh.“Kan mau bikin kejutan. Sama seperti yang saya bilang tadi,” jelas Zio apa adanya.“Oh.”“Tya, kamu kalau senyum cantik sekali. Banyakin senyum, dong,” pinta Zio dengan nada lembut.Restya tersenyum masam. “Saya bukan pengidap eccedentesiast3,” balas Restya sekenanya.Zio yang mendengar jawaban Restya langsung mengernyit. Ia tak paham hubungan eccedentesiast dengan Restya. Restya menepuk bahu Zio pelan.“Tidak usah melihat saya seperti itu. Kak Zio tahu sendiri, saya tidak baik-baik saja. Sifat saya yang beku, hanya pertahanan diri saya saja,” jelas Restya dengan nada santai.Zio menatap Restya lekat. Dia paham sekarang. Restya tak mau banyak tersenyum agar terlihat kalau dia bahagia. Sementara kenyataannya dia terluka.“Saya tidak butuh dikasihani. Jangan menatap saya seperti itu,” kata Restya penuh penekanan.“Tidak. Saya bingung. Kamu terlalu tertutup. Saya enggak tahu betapa besarnya luka di hatimu, tapi yang saya tahu ada dua cara untuk mengatasi semua luka itu. Menghapus semua luka itu dan berusaha untuk bahagia atau berpura-pura bahagia. Namun kamu tidak memilih keduanya, kamu lebih memilih membiarkan luka itu sehingga rasa sakitnya masih terasa,” kata Zio dengan nada sendu.“Tidak. Saya sudah berusaha menghilangkan rasa sakit itu, tapi ada saja yang menggores hati saya sehingga luka itu membesar,” terang Restya dengan nada serius. “Kalau Dokter mau, Dokter bisa ceritakan masalah Dokter kepada saya. Siapa tahu, saya bisa membantu,” ujarnya lembut, kembali memanggil Restya dengan embel-embel dokter, seraya menatap lekat manik mata Restya.Restya menghela napas, lalu tersenyum singkat seraya menatap Zio ragu.“Tidak ada hal yang perlu saya bagi dengan Dokter, terima kasih perhatiannya,” balas Restya seraya beranjak dari tempat duduknya.Zio langsung bangkit, kemudian tangannya menggenggam erat tangan Restya. Restya menoleh dengan tatapan datar.“Restya, sampai kapan kamu memendam lukamu sendirian?” ujar Zio dengan nada sendu.“Lupakan saja, Dok. Saya permisi,” pamit Restya seraya menjauhkan tangan Zio dari tangannya. Ia langsung melangkah pergi. Sementara Zio hanya terdiam lesu.***
Sebuah cokelat terletak di meja kerja Restya, membuat kening sang pemilik tempat berkerut. Tangan Restya langsung terulur untuk mengambil cokelat itu. Ada amplop di bawahnya. Dibukanya amplop beraroma stroberi. Ia pun membaca saksama.
Cokelat yang manis pun tetap tak bisa mengalahkan manisnya senyumanmu, Restya. Maafkan, aku. Tak lagi kulihat senyum lagi di bibirmu. Ini semua salahku. Kuingin ucapkan sesuatu dalam bait rindu.
Ombak selalu beradu dalam malam sunyi
Angin terus berlari-lari, tak peduliAku ke sana-kemari sendiriMencari sang pujaan hatiNamun tak kudapatiSosokmu lagiBagai tertusuk duriPedih melanda hati iniIngin kusampaikan rasaku pada anginIngin kuadukan cintaku pada hujanIngin kuceritakan rinduku pada bulanBetapa kumenantikanmu untuk mengulang kenanganRestya langsung merobek surat itu menjadi keping-keping, lalu mengambil tasnya. Kaki jenjangnya langsung pergi meninggalkan ruangannya dengan raut wajah kesal. Perempuan itu berjalan dengan gusar. Memorinya selalu diusik oleh bayang masa lalu. Apalagi, lelaki itu kini terus mencoba masuk ke dalam kehidupannya lagi.
Restya hendak keluar dari lobi, tetapi langkah perempuan itu terhenti begitu melihat punggung seseorang yang dulu sering ia rindukan. Sosok yang acapkali membuatnya nyaman, juga membuatnya sedih, kini nyata ada di hadapannya. Tak terasa bulir air mata Restya menitik. Rasa sesak melanda dadanya. Seolah-olah oksigen tak lagi bisa dihirup dengan bebas.“Dokter Restya,” panggil Devan menyadarkan Restya. Perempuan itu langsung mengusap air mata, seraya mengatur napasnya perlahan agar normal kembali. Lelaki yang membelakangi Restya itu langsung berbalik begitu mendengar nama Restya dipanggil.“Iya, Dok,” jawab Restya lembut seraya memasang wajah seceria mungkin, padahal kentara sekali ada gelisah yang melanda Restya jelas di paras ayunya.“Anda kenapa?” tanya Devan dengan nada halus, penuh perhatian. Tangan lelaki itu bergerak untuk menghapus sisa air mata yang mengenang di pipi Restya. Sosok yang memperhatikan Restya pun menatap serius aksi Devan itu.“Tidak apa-apa, Dok,” balas Restya kikuk.Devan hanya mengangguk.“Mau saya antar pulang,” tawar Devan dengan nada sumringah seraya mengulurkan tangannya. Restya menggenggam tangan Devan perlahan seraya mengangguk. Ia berjalan seolah-olah tak melihat sosok itu.“Restya!” Suara yang amat Restya ingin lupakan, kini terdengar lagi mengumandangkan namanya. Dulu suara itu yang sangat ia nanti. Kini setiap apa pun yang berhubungan dengan sosok itu, hanya akan ada luka yang timbul di hati perempuan ini.Restya menghentikan langkahnya dengan perasaan bercampur aduk. Sosok itu berjalan semakin mendekat ke arah Restya. Devan menatap serius lelaki yang mencoba mendekati Restya.“Restya, aku ingin bicara,” katanya dengan suara serak yang terdengar sangat berat. Devan mengamati pria berpakaian sangat sederhana hanya menggunakan kemeja bewarna biru muda polos yang lengan bajunya digulung. Potongan rambut yang begitu rapi seperti pegawai kedinasan sangat kentara, belum lagi kacamata yang bertengger menutupi manik mata cokelat itu.“Maaf, Anda siapa, ya?” tanya Restya seolah-olah tak kenal, lalu manik matanya seperti menilai lelaki di hadapannya.“Ini aku, Rangga. Kamu tidak lupa kan, hanya karena aku berpenampilan seperti ini? Bukankah kamu menyukai pria sederhana?” sahutnya dengan nada lirih, hampir tak terdengar. Sepertinya kepercayaan diri lelaki itu mengendur.Dalam hati, Restya mengiyakan. Dia menyukai pria yang sederhana dan apa adanya. Bukan bergaya ala-ala kaum sosialita yang terlihat nyentrik. Sementara lelaki yang ada di hadapannya dulu selalu tampil dengan gaya kekinian dan elegan. Deretan pakaian atau aksesoris ternama pasti akan menjadi penghias tubuhnya, tanpa berlebihan. Lelaki ini adalah anak bangsawan, berdarah biru. Jadi, tak heran kalau dia sangat stylish. Namun, pria yang ada di depan Restya ini sungguh berbeda.“Maaf, Anda sepertinya salah orang, Tuan Rangga,” jawab Restya dengan nada tegas.Devan mengernyit. Ia menatap Rangga dan Restya bergantian. Dia penasaran dengan apa yang akan terjadi.“Res, aku tahu kamu marah. Tolong maafkan aku,” pintanya seraya menyatukan tangannya di depan dada. Restya hanya bergeming. “Aku masih mencintaimu, Res. Maafkan aku dulu. Tolong beri aku kesempatan,” imbuhnya lagi.“Ini sebenarnya ada apa, ya?” tanya Devan menyela.“Tidak tahu, Sayang. Mungkin dia salah satu penggemarku,” balas Restya seraya memandang Devan lekat penuh perasaan, lalu tersenyum. Devan mengernyit bingung. Masih tak paham.“Dokter, maksudnya?”“Sayang, dia itu mungkin cuma tahu aku. Aku tak mengenalnya. Tidak usah formal kenapa sih, Yang. Kan udah di luar jam kerja,” kata Restya seraya melepaskan genggaman tangan Devan, lalu tangannya merangkul lengan Devan erat. Ia ingin menunjukkan kepada Rangga, kalau dia sudah bahagia dengan pria lain.Devan hanya mengangguk mengikuti ucapan Restya. Ia nanti akan bertanya lebih lanjut kepada perempuan itu jika sudah tepat waktunya.“Ya udah, lagian yang lain juga udah pada pulang. Maaf ya, Mas, tolong jangan ganggu kekasih saya,” tegas Devan dengan suara penuh penekanan pada dua kata terakhir.“Tidak usah berpura-pura, aku tahu Res. Kamu masih sendiri, tidak memiliki kekasih. Selama ini aku mengamatimu begitu tiba di negara ini,” elak Rangga tak percaya.“Maaf, Tuan Rangga. Pria di sebelah saya ini adalah calon suami saya. Namanya Devan kalau Anda tak percaya, nanti kalau kami menikah Anda bisa datang,” terang Restya dengan nada seserius mungkin.“Siapa pun Anda, saya kasih tahu. Percuma Anda mendekati calon istri saya, karena dia hanya mencintai dan mau menikah dengan saya. Iya, kan Sayang?” timpal Devan dengan nada tegas.“Iya, Sayang. Aku hanya mencintai dan ingin menikah denganmu. Tak ada pria yang aku cintai selain dirimu.”Rangga yang mendengar itu merasa ada ribuan duri yang menancap di hatinya. Begitu menyakitkan, sehingga ia tak mampu berbicara lagi. Dia merutuki kebodohannya di masa lalu, telah meninggalkan perempuan sebaik Restya.Zio yang berdiri tak jauh dari Restya dan Devan bisa dengan jelas mendengar pembicaraan mereka. Entah kenapa, ia juga merasakan sesak di hati mendengar kalimat terakhir Restya yang mencintai Devan.Zio berjalan memutar arah. Ia melangkah dengan lesu. Dia sekarang meyakini akan satu hal, kalau sebenarnya Restya hanya mempermainkan perasaannya karena yang perempuan itu cintai adalah sahabatnya. Mungkin ini adalah pembalasan dari Restya kepadanya akan semua perilakunya selama ini, pikir Zio.***
Istirahat makan siang kali ini begitu ramai. Beberapa dokter tengah berbincang-bincang mengenai pesta pernikahan Dokter Kepala UGD. Mereka yakin, banyak tamu penting yang hadir di sana. Dari kalangan dokter sampai pemilik rumah sakit terkenal di kota ini. Banyak yang berencana akan memanfaatkan acara ini untuk memperluas jaringan atau kolega. Bahkan dokter muda banyak yang ingin mencari jodoh di pesta itu.Restya mengambil earphone miliknya karena dia merasa terganggu akan pembicaraan itu. Perempuan ini tak tertarik sama sekali.“Dokter Restya,” sapa Devan seraya menaruh piringnya di meja makan Restya. Perempuan itu mendongak seraya tersenyum. Meski dalam hati, ia merasa malu dengan kejadian beberapa hari lalu, di mana dia mengaku menjadi kekasih lelaki itu. Untungnya Devan tak membahas masalah itu lagi sepanjang perjalanan pulang kemarin. Jadi, dia merasa tak begitu terbebani.Restya langsung melepas earphone bewarna biru itu.“Iya, Dok,” jawab Restya lembut.“Saya m
-Sebaiknya orang membangun karakter lain, pasti dia akan kembali menjadi dirinya sendiri, ketika bersama orang terdekat yang membuatnya nyaman-Suara gemuruh terdengar begitu jelas di indra pendengaran Restya. Ia langsung menengok ke kanan dan ke kiri untuk berteduh. Namun, manik matanya tak sengaja bertemu dengan Rangga. Dia langsung membuang wajahnya dan hendak pergi.Restya berjalan terburu-buru menuju arah utara, diikuti pula dengan langkah Rangga. Lelaki itu terus memanggil perempuan itu dengan lantang. Namun, tak digubris sekalipun oleh Restya. Terpaksa lelaki itu berlari mengejar Restya.Raut wajah Restya berubah kaku seketika. Manik matanya menajam, rasa sesak itu kembali menyeruak. Ingin sekali dia berbalik arah dan berteriak untuk meluapkan amarahnya kepada Rangga. Mengatakan semua hal yang membuatnya kecewa dan terpuruk di masa lalunya. Namun, tak mampu ia lakukan.“Restya,” lirih Rangga seraya memegang tangan Restya tepat di dekat ayunan
-Sakit hati yang tiada tara itu, ketika kau jatuh hati, langsung patah hati karena orang yang kau cintai telah pergi. Jangan pernah menyakiti kalau ingin dicintai.-Hampir dua minggu berlalu dengan cepat, luka Restya telah sembuh. Bekasnya di beberapa bagian masih ada. Kini, ia kembali bekerja seperti biasanya. Sudah lama rasanya tak mengunjungi ruangannya. Dia menatap satu per satu sudut rumah sakit begitu jam istirahat tiba. Namun, entah kenapa ada yang kurang di hatinya.“Dokter Restya,” panggil Devan dengan nada ramah sama seperti biasanya, walau terakhir bertemu mereka sempat berdebat singkat. Restya mengalihkan pandangannya ke arah Devan dengan raut wajah tanpa ekspresi.“Iya,” jawab Restya singkat tanpa minat. Ia masih ingat dengan ucapan lelaki itu yang menyindirnya beberapa waktu lalu.“Di sini tidak turun salju, tetapi kenapa dingin sekali, ya,” gurau Devan sekaligus menyindir sifat Restya. Lelaki itu tersenyu
11. FaktanyaTak terasa waktu berlalu dengan cepat. Kemarin Devan mengajak Restya untuk menonton di bioskop karena cuaca yang tak mendukung, akhirnya baru kali ini kedua anak manusia itu berjalan bersama. Sebelum menonton film, mereka pergi ke kedai ramen dan berbincang-bincang. Restya merasa Devan adalah teman yang baik pula untuk diajak bicara. Tak ada salahnya, jika ia memperbaiki hubungannya dengan Devan.Restya terus tersenyum mendengar lelucon yang Devan katakan. Mungkin benar kata orang, kalau tak kenal, maka tak sayang. Perempuan ini baru menyadari kalau Devan memang benar-benar manis seperti yang ia dengar dari beberapa orang.“Dokter Restya, mau minum apa?” tanya Devan yang baru saja membeli tiket. Tangan kanannya menyodorkan tiket untuk Restya yang langsung ditanggapi perempuan itu. Ia mengambilnya dengan tersenyum.“Terserah, ikut Dokter Devan saja,” kata Restya santai.Devan mengangguk. “Dokter Tya masuk dul
Restya tersenyum mendapati kondisi pasiennya semakin membaik. Perempuan itu terus berterima kasih padanya. Ia tengah menjabat tangan Restya erat dengan raut wajah ceria."Sekali lagi terima kasih, Dok. Saya janji kalau saya sudah sembuh nanti, saya pasti akan menyicil uang biaya rumah sakit ini kepada Dokter," katanya dengan mata berkaca-kaca."Masalah biaya tak usah dipikirkan. Saya ikhlas membantu, Mbak," balas Restya dengan nada lembut. Ia membayarkan semua biaya operasi pasiennya karena dia tak tega melihat seorang perempuan yang berjuang untuk putranya seorang diri. Wanita ini adalah salah satu karyawan di kantin rumah sakit. Suaminya telah meninggal dan kini hidup dengan ibu dan anaknya. Kalau wanita itu sakit, siapa yang akan membiayai kebutuhan keluarganya? Hatinya terketuk untuk membantu."Dokter Restya baik sekali. Semoga Dokter selalu bahagia," ucapnya dengan nada tulus.Restya tersenyum."Iya, terima kasih doanya. Saya pamit dulu," kata Restya de
Gaun selutut tanpa lengan yang membalut tubuh Restya begitu cocok di tubuhnya. Namun, entah kenapa ia merasa kikuk. Manik matanya terus berpendar ke mana-mana. Ia mencari Zio, tetapi tak ia temukan sosok itu sama sekali.“Dokter Restya,” sapa Emma dengan senyum khasnya.Restya tersenyum manis seraya menyelipkan anak rambut di telinganya, “Iya, Dokter Emma.”“Dokter Restya sendirian?” tanya Emma seraya menyodorkan satu gelas jus yang ia bawa.Restya mengangguk seraya menerima minuman itu.“Oh, begitu,” kata Emma dengan nada santai. “Ngomong-ngomong saya enggak sengaja lihat Dokter Zio sama perempuan cantik. Mereka serasi sekali.”Restya kaget dengan ucapan Emma, tetapi ia tetap memasang raut wajah sesantai dan sedatar mungkin.“Lalu, apa hubungannya dengan saya?” Restya menatap Emma dingin. “Anda masih saja suka mengosip, ya.”Emma tersenyum masam. “Saya t
Suasana kebun binatang begitu ramai. Banyak keluarga yang menghabiskan pekan untuk melihat para satwa. Anak-anak kecil tampak riang gembira memberi makan hewan yang tergolong jinak.Restya diam-diam menitikkan air mata mengamati anak-anak yang tengah tersenyum lebar bersama orang tuanya. Ia jadi teringat masa kecilnya. Di mana ayah dan ibu sering mengajaknya pergi liburan. Kebersamaan yang jarang ia rasakan saat remaja, apalagi masa kini.Zio menyodorkan es cincau untuk Restya yang baru saja ia beli. “Ini untukmu,” katanya dengan santai, lalu tersenyum.Restya mengambil minuman yang diberikan Zio dengan senyum merekah. Ia langsung duduk ke bangku di belakangnya, lalu minum sedikit seraya menatap ke arah dedaunan yang gugur karena angin.“Res, kamu tahu enggak, kenapa aku mengajakmu ke kebun binatang?” tanya Zio yang sudah duduk di samping Restya.Restya menghadap ke arah Zio, setelah meletakkan minuman di sebelahnya. Ia mengerny
Hari ini adalah hari yang membahagiakan untuk Restya dan Zio. Bagaimana tidak? Mereka telah resmi menikah. Restya sejak tadi terus tersenyum merekah seraya membuka kado pernikahannya. Membaca satu per satu hadiah dari temannya. Ada yang menulis kata-kata manis, ada yang menuliskan doa untuk rumah tangga mereka.“Res,” panggil Zio seraya menepuk bahu Restya pelan. Kontan perempuan itu menengok ke arah Zio.“Ada apa, Kak?” tanya Restya lembut.“Kado dari Devan mana?” Zio melirik semua hadiah yang sudah dibuka Restya. Isinya cangkir, seprei, selimut dan jam pasangan.“Belum aku buka.” Restya mengambil kado yang paling besar, tetapi begitu ringan. Ia sodorkan itu kepada Zio.“Ini isinya apa, ya?” Zio menebak-nebak isi bingkisan berwarna biru laut itu.Restya mengendikkan bahunya. “Buka saja daripada penasaran.”Zio mengangguk, lalu membukanya. Ia terkejut dengan isi bingkisan yang
Hari ini adalah hari yang membahagiakan untuk Restya dan Zio. Bagaimana tidak? Mereka telah resmi menikah. Restya sejak tadi terus tersenyum merekah seraya membuka kado pernikahannya. Membaca satu per satu hadiah dari temannya. Ada yang menulis kata-kata manis, ada yang menuliskan doa untuk rumah tangga mereka.“Res,” panggil Zio seraya menepuk bahu Restya pelan. Kontan perempuan itu menengok ke arah Zio.“Ada apa, Kak?” tanya Restya lembut.“Kado dari Devan mana?” Zio melirik semua hadiah yang sudah dibuka Restya. Isinya cangkir, seprei, selimut dan jam pasangan.“Belum aku buka.” Restya mengambil kado yang paling besar, tetapi begitu ringan. Ia sodorkan itu kepada Zio.“Ini isinya apa, ya?” Zio menebak-nebak isi bingkisan berwarna biru laut itu.Restya mengendikkan bahunya. “Buka saja daripada penasaran.”Zio mengangguk, lalu membukanya. Ia terkejut dengan isi bingkisan yang
Suasana kebun binatang begitu ramai. Banyak keluarga yang menghabiskan pekan untuk melihat para satwa. Anak-anak kecil tampak riang gembira memberi makan hewan yang tergolong jinak.Restya diam-diam menitikkan air mata mengamati anak-anak yang tengah tersenyum lebar bersama orang tuanya. Ia jadi teringat masa kecilnya. Di mana ayah dan ibu sering mengajaknya pergi liburan. Kebersamaan yang jarang ia rasakan saat remaja, apalagi masa kini.Zio menyodorkan es cincau untuk Restya yang baru saja ia beli. “Ini untukmu,” katanya dengan santai, lalu tersenyum.Restya mengambil minuman yang diberikan Zio dengan senyum merekah. Ia langsung duduk ke bangku di belakangnya, lalu minum sedikit seraya menatap ke arah dedaunan yang gugur karena angin.“Res, kamu tahu enggak, kenapa aku mengajakmu ke kebun binatang?” tanya Zio yang sudah duduk di samping Restya.Restya menghadap ke arah Zio, setelah meletakkan minuman di sebelahnya. Ia mengerny
Gaun selutut tanpa lengan yang membalut tubuh Restya begitu cocok di tubuhnya. Namun, entah kenapa ia merasa kikuk. Manik matanya terus berpendar ke mana-mana. Ia mencari Zio, tetapi tak ia temukan sosok itu sama sekali.“Dokter Restya,” sapa Emma dengan senyum khasnya.Restya tersenyum manis seraya menyelipkan anak rambut di telinganya, “Iya, Dokter Emma.”“Dokter Restya sendirian?” tanya Emma seraya menyodorkan satu gelas jus yang ia bawa.Restya mengangguk seraya menerima minuman itu.“Oh, begitu,” kata Emma dengan nada santai. “Ngomong-ngomong saya enggak sengaja lihat Dokter Zio sama perempuan cantik. Mereka serasi sekali.”Restya kaget dengan ucapan Emma, tetapi ia tetap memasang raut wajah sesantai dan sedatar mungkin.“Lalu, apa hubungannya dengan saya?” Restya menatap Emma dingin. “Anda masih saja suka mengosip, ya.”Emma tersenyum masam. “Saya t
Restya tersenyum mendapati kondisi pasiennya semakin membaik. Perempuan itu terus berterima kasih padanya. Ia tengah menjabat tangan Restya erat dengan raut wajah ceria."Sekali lagi terima kasih, Dok. Saya janji kalau saya sudah sembuh nanti, saya pasti akan menyicil uang biaya rumah sakit ini kepada Dokter," katanya dengan mata berkaca-kaca."Masalah biaya tak usah dipikirkan. Saya ikhlas membantu, Mbak," balas Restya dengan nada lembut. Ia membayarkan semua biaya operasi pasiennya karena dia tak tega melihat seorang perempuan yang berjuang untuk putranya seorang diri. Wanita ini adalah salah satu karyawan di kantin rumah sakit. Suaminya telah meninggal dan kini hidup dengan ibu dan anaknya. Kalau wanita itu sakit, siapa yang akan membiayai kebutuhan keluarganya? Hatinya terketuk untuk membantu."Dokter Restya baik sekali. Semoga Dokter selalu bahagia," ucapnya dengan nada tulus.Restya tersenyum."Iya, terima kasih doanya. Saya pamit dulu," kata Restya de
11. FaktanyaTak terasa waktu berlalu dengan cepat. Kemarin Devan mengajak Restya untuk menonton di bioskop karena cuaca yang tak mendukung, akhirnya baru kali ini kedua anak manusia itu berjalan bersama. Sebelum menonton film, mereka pergi ke kedai ramen dan berbincang-bincang. Restya merasa Devan adalah teman yang baik pula untuk diajak bicara. Tak ada salahnya, jika ia memperbaiki hubungannya dengan Devan.Restya terus tersenyum mendengar lelucon yang Devan katakan. Mungkin benar kata orang, kalau tak kenal, maka tak sayang. Perempuan ini baru menyadari kalau Devan memang benar-benar manis seperti yang ia dengar dari beberapa orang.“Dokter Restya, mau minum apa?” tanya Devan yang baru saja membeli tiket. Tangan kanannya menyodorkan tiket untuk Restya yang langsung ditanggapi perempuan itu. Ia mengambilnya dengan tersenyum.“Terserah, ikut Dokter Devan saja,” kata Restya santai.Devan mengangguk. “Dokter Tya masuk dul
-Sakit hati yang tiada tara itu, ketika kau jatuh hati, langsung patah hati karena orang yang kau cintai telah pergi. Jangan pernah menyakiti kalau ingin dicintai.-Hampir dua minggu berlalu dengan cepat, luka Restya telah sembuh. Bekasnya di beberapa bagian masih ada. Kini, ia kembali bekerja seperti biasanya. Sudah lama rasanya tak mengunjungi ruangannya. Dia menatap satu per satu sudut rumah sakit begitu jam istirahat tiba. Namun, entah kenapa ada yang kurang di hatinya.“Dokter Restya,” panggil Devan dengan nada ramah sama seperti biasanya, walau terakhir bertemu mereka sempat berdebat singkat. Restya mengalihkan pandangannya ke arah Devan dengan raut wajah tanpa ekspresi.“Iya,” jawab Restya singkat tanpa minat. Ia masih ingat dengan ucapan lelaki itu yang menyindirnya beberapa waktu lalu.“Di sini tidak turun salju, tetapi kenapa dingin sekali, ya,” gurau Devan sekaligus menyindir sifat Restya. Lelaki itu tersenyu
-Sebaiknya orang membangun karakter lain, pasti dia akan kembali menjadi dirinya sendiri, ketika bersama orang terdekat yang membuatnya nyaman-Suara gemuruh terdengar begitu jelas di indra pendengaran Restya. Ia langsung menengok ke kanan dan ke kiri untuk berteduh. Namun, manik matanya tak sengaja bertemu dengan Rangga. Dia langsung membuang wajahnya dan hendak pergi.Restya berjalan terburu-buru menuju arah utara, diikuti pula dengan langkah Rangga. Lelaki itu terus memanggil perempuan itu dengan lantang. Namun, tak digubris sekalipun oleh Restya. Terpaksa lelaki itu berlari mengejar Restya.Raut wajah Restya berubah kaku seketika. Manik matanya menajam, rasa sesak itu kembali menyeruak. Ingin sekali dia berbalik arah dan berteriak untuk meluapkan amarahnya kepada Rangga. Mengatakan semua hal yang membuatnya kecewa dan terpuruk di masa lalunya. Namun, tak mampu ia lakukan.“Restya,” lirih Rangga seraya memegang tangan Restya tepat di dekat ayunan
Istirahat makan siang kali ini begitu ramai. Beberapa dokter tengah berbincang-bincang mengenai pesta pernikahan Dokter Kepala UGD. Mereka yakin, banyak tamu penting yang hadir di sana. Dari kalangan dokter sampai pemilik rumah sakit terkenal di kota ini. Banyak yang berencana akan memanfaatkan acara ini untuk memperluas jaringan atau kolega. Bahkan dokter muda banyak yang ingin mencari jodoh di pesta itu.Restya mengambil earphone miliknya karena dia merasa terganggu akan pembicaraan itu. Perempuan ini tak tertarik sama sekali.“Dokter Restya,” sapa Devan seraya menaruh piringnya di meja makan Restya. Perempuan itu mendongak seraya tersenyum. Meski dalam hati, ia merasa malu dengan kejadian beberapa hari lalu, di mana dia mengaku menjadi kekasih lelaki itu. Untungnya Devan tak membahas masalah itu lagi sepanjang perjalanan pulang kemarin. Jadi, dia merasa tak begitu terbebani.Restya langsung melepas earphone bewarna biru itu.“Iya, Dok,” jawab Restya lembut.“Saya m
Angin berembus dengan pongah. Menerbangkan dedaunan secara tak beraturan hingga salah satu daun itu terjatuh di kepala Restya. Perempuan itu hendak mengambil daun yang menempel di surai panjangnya yang kali ini tak terikat. Menjuntai dengan indahnya.Cekrek. Suara bidikan kamera membuat Restya mengalihkan pandangannya. Ia mencari-cari sosok yang mengambil gambarnya. Namun, manik mata teduh tetapi tajam itu tak menemukan siapa pun di taman itu.Restya menghela napas sejenak, sebelum melangkah menuju bangku taman dekat air mancur. Kaki jenjang itu melangkah dengan perlahan, juga waspada dengan hal yang ada di sekitarnya.Manik mata Restya tertuju kepada sebuket bunga di bangku yang hendak ia duduki. Dia menengok ke sekeliling. Namun, nihil tak ada siapa-siapa. Tangan mungil itu perlahan mengambil buket bunga itu dengan hati-hati. Ada surat di sana.Untuk Bunga Bakungku,Matahari boleh pongah dengan panasnyaAngin boleh congkak dengan lajunyaHuja