Restya terdiam sepanjang menikmati makan malam bersama para rekannya. Kali ini, ia tak makan di rumah karena ada perayaan ulang tahun Dokter Kepala. Mereka merayakannya di sebuah restoran dekat dengan rumah sakit.
Devan tadi membuat suasana makan malam menjadi ceria. Sesekali lelaki itu bergurau. Berbeda dengan Zio yang hanya diam, tak seperti biasanya selalu banyak berkomentar. Diam-diam Restya melirik Zio yang duduk di samping Emma. Lelaki itu tadi datang terlambat bersama Devan dan ia terlebih dulu memilih tempat duduk. Karena hanya ada dua tempat yang tersisa di sebelah Restya atau di samping Emma. Emma sedari tadi senyum karena bisa berdekatan dengan Zio.
“Masakan di sini enak sekali, ya? Terima kasih, Dokter Key,” ucap Emma dengan nada ceria.
“Saya yang terima kasih karena kalian sudah mau datang,” balas Dokter Key dengan nada tegas.
“Ini cumi-cuminya gurih sekali, ya? Dokter Devan mau?” tawar Emma dengan ramah yang melihat manik mata teduh itu tengah memperhatikannya menyendok cumi-cumi.
Devan menggeleng. “Zio suka cumi-cumi. Aneh, kenapa tidak ambil cumi-cuminya? Coba tawarkan saja cumi-cuminya kepada Dokter Zio,” terang Devan dengan santai seraya melirik Zio
Emma tersenyum kikuk. Ia yakin, pasti Zio akan menolaknya. Namun, untuk sekadar sopan-santun ia menyodorkan cumi-cumi itu.
“Dokter mau?” tanya Emma ragu. Takut lelaki itu menolak.
Zio mengangguk. Ia mengambil tangan Emma untuk menyuapinya. Emma kaget karena lelaki itu melakukan tindakan di luar perkiraannya. Sama dengan Devan, ia tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Sementara Restya malah tersenyum melihat tindakan Zio kepada Emma. Senyuman mencela lebih tepatnya.
“Dokter Emma sepertinya cocok sekali dengan Dokter Zio. Kenapa tidak menikah saja?” celetuk Dokter Kepala yang mengamati kedua anak manusia itu.
Zio meletakkan sendok dan garpunya. Kemudian, ia menoleh ke arah Dokter Kepala dengan senyum mengembang.
“Dokter Key bisa saja. Saya dan Dokter Emma hanya rekan,” jelas Zio dengan nada datar.
“Banyak rumor tentang Anda, Dokter Zio. Dari berita kalau Anda yang mau merebut istri saudara Anda sendiri, skandal dengan model, sampai terakhir yang saya dengar, Anda memiliki hubungan khusus dengan Dokter Restya. Bukan maksud saya lancang dan sok ikut campur. Anda memang dokter berbakat, tetapi citra juga penting. Jangan hanya karena satu hal bisa merusak reputasi Anda,” tegas Dokter Key dengan nada serius. Pria paruh baya itu sangat menyayangi Zio seperti putranya. Ia takut kalau lelaki itu akan hancur hanya karena gosip murahan.
Restya terdiam sejenak. Ia yakin kalau kabar kedekatannya dengan Zio itu, bermula dari para perawat yang salah menafsirkan perbincangannya dengan Zio.
“Maaf, Dokter. Hubungan saya dengan saudari ipar saya hanya sebatas saudara. Kami memang punya masa lalu, tapi bukan berarti kami mau mengulang masa lalu. Untuk masalah skandal itu hanya kesalahpahaman. Saya tidak punya hubungan apa-apa dengan para model itu lebih dari teman,” sahut Zio dengan nada rendah.
Zio melirik Restya sebelum meneruskan pembicaraannya.
“Masalah hubungan saya dengan Dokter Restya selama ini juga hanya rekan kerja saja. Mana mungkin Dokter Restya yang nyaris sempurna itu memiliki hubungan spesial dengan pria seperti saya,” lanjut Zio diakhiri senyuman.
Emma mengernyit. Dia mencium sebuah masalah besar terjadi di antara Zio dan Restya.
“Maafkan saya, Dokter Restya. Gara-gara saya nama Anda tercemar. Anda seorang Dokter berbakat dan bertanggung jawab. Saya yakin wanita seperti Anda, pasti akan menikah dengan seorang pangeran. Berasal dari keluarga terpandang dan kaya raya,” ucap Zio kepada Restya dengan nada lembut.
Restya menghela napas sejenak. Kemudian, memasang raut wajah setenang mungkin.
“Dokter tidak salah, kok. Mungkin rumor itu semua datang dari orang yang tidak punya kerjaan. Makanya mengosip. Saya yang harusnya minta maaf. Saya yang tidak pantas disandingkan dengan Dokter,” sahut Restya santai.
“Saya memang tidak pantas untuk Dokter. Pria yang pantas dengan Dokter Restya, pastilah yang punya takhta dan bergelimang harta agar bisa mewujudkan impian pernikahan Dokter yang begitu mewah,” sindir Zio dengan tatapan mencela.
Restya mencoba tetap tersenyum. Walau dalam hati, ia kesal sekali. Emma semakin curiga dengan apa yang terjadi dengan Zio dan Restya. Sementara Devan kebingungan dengan perkataan Zio. Sedangkan Dokter Key yakin, kalau ada masalah tersembunyi antara kedua dokter muda itu.
“Pernikahan yang begitu mewah? Apa maksudnya, Dok?” tanya Emma memberanikan diri.
“Dokter Restya itu ingin menikah dengan menggunakan cincin berlian yang mahal dan satu-satunya di dunia. Gaun pernikahannya harus dibuat oleh perancang busana terbaik dan dilapisi berlian. Gedung resepsinya harus dibuat semegah mungkin seperti istana,” ucap Zio mengulang ucapan Restya padanya.
Semua yang ada di situ, terkejut mendengar penuturan Zio. Mereka tak percaya seorang Restya bisa menginginkan hal semacam itu.
“Zio bisa bercanda juga,” ucap Devan berusaha memecah ketegangan.
“Tidak. Itu benar adanya. Dokter Restya sendiri yang mengatakannya,” terang Zio dengan menatap kesal Restya.
“Itu pasti hanya bercanda, ya, Dok. Dokter Restya bukan wanita seperti itu,” sangkal Devan.
“Kau pikir aku berbohong, Dev? Aku sudah bertanya berulangkali dengan Dokter Restya tentang syarat untuk menikahinya. Aku sudah melamarnya dan jawaban itu yang ia berikan. Kalau tidak diwujudkan dia tidak mau menikah denganku. Ya, aku ditolak karena tak mampu memberikan apa yang dia mau.”
Devan terkekeh. “Zi, bercandamu bisa saja,” ujar Devan dengan tatapan geli.
“Sungguh aku sedang tidak bercanda. Iya, kan Dokter Restya? Anda mengajukan syarat seperti itu kepada saya?” Zio menatap Restya lekat. Dalam hati ia mencemooh perempuan itu. Dipikirnya seorang Zio akan tunduk dengan wanita sepertinya dengan menyanggupi semua apa yang dia mau atau mundur untuk membuang apa yang dia inginkan. Restya salah besar kalau bermain dengan dokter ini.
Semua tatapan tertuju pada Restya. Mereka menunggu jawaban perempuan itu. Meski gurat wajahnya tetap tenang. Namun, wanita ini tengah was-was dan berpikir bagaiamana citranya tetap terlihat baik. Bagaimanapun dia tak ingin dicap sebagai penggila kesenangan dunia karena itu pasti akan mencoreng nama ayahnya.
Restya mencoba tersenyum.
“Dokter Zio senang sekali bercanda. Saya tidak tahu kapan Dokter akan berbicara serius. Saya kira ucapan Dokter yang mau melamar saya itu candaan,” jawab Restya dengan nada rendah. Raut wajahnya tetap sama terlihat begitu tenang seraya menatap manik mata Zio lembut.
Zio tersenyum sekilas.
“Dokter Restya memang seperti itu. Saya serius,” kata Zio tegas.
Emma memutar bola matanya jengah. Ia tak percaya kalau Zio benar-benar melamar Restya. Sementara Devan berusaha menahan tawanya agar tak lepas. Ia tak kuasa menahan tawanya sejak tadi. Dia tahu kalau Zio tengah mempermainkan Restya.
“Maaf, Dok. Waktu itu saya jawabnya asal karena saya tidak tahu kalau itu serius. Dokter juga melamar saya mendadak seperti itu. Saya lumayan terkejut waktu Dokter langsung mengutarakannya tanpa basa-basi,” balas Restya yang secara tak langsung menyindir kalau Zio itu tak romantis. Ia sebenarnya tak mempermasalahkan mau dilamar romantis atau tidak oleh calon suaminya kelak. Dia hanya ingin mencela Zio kalau lelaki itu tak romantis. Pantas saja wanita yang dicintai lelaki itu memilih saudara kembarnya.
“Memangnya dilamarnya di mana kok mendadak?” tanya Devan penasaran. Ia menatap Zio dan Restya bergantian.
“Di ruangan saya. Waktu membahas masalah pasien. Tiba-tiba Dokter Zio mengatakan mau menikahi saya. Saya pikir itu gurauan saja agar suasana tidak tegang,” papar Restya santai.
Di dalam hati, Zio mengakui kalau Restya itu perempuan yang cerdas. Dia tahu cara membalikkan keadaan yang menyudutkannya menjadi berbanding terbalik. Piawai pula mengatur emosi.
Devan langsung menutup mulutnya agar tak terlihat saat terbuka lebar karena tertawa. Perutnya serasa dikelitiki. Dokter Key tersenyum pula.
“Zi, kalau mau melamar anak orang yang romantis. Diajak makan ke restoran atau jalan. Terus bawa bunga atau cincin. Kalau kayak gitu, mana ada yang percaya,” cela Devan dengan tatapan mengejek.
Zio tak mau kalah. Ia punya argumen sendiri yang akan disiapkan.
“Apa artinya romantis, kalau tidak punya komitmen. Buat apa kata-kata manis, kalau akhirnya membuat menangis? Saya bukan Dilan yang bisa membuat Milea tergila-gila. Namun, saya bersyukur karena saya bukan Dilan yang meninggalkan Milea, setelah membuatnya terpesona,” ungkap Zio dengan nada serius.
“Dokter Restya, saya memang bukan pria romantis yang bisa membuat kata puitis. Namun, saya serius mau menikahi Anda,” lanjut Zio seraya mengalihkan tatapannya ke arah Restya.
Restya mengerutkan dahinya bingung. Ia hendak menjawab apa. Lelaki itu pintar sekali menyudutkannya. Kalau menolak Zio secara langsung, jelas ucapan sebelumnya memanglah sebuah syarat yang digunakan untuk memberatkan pria itu atau nama lainnya menolak dengan halus.
“Terus Dokter Restya mau tidak menikah dengan Dokter Zio?” tanya Dokter Key menengahi. Ia tahu sebenarnya kalau Restya tidak memiliki ketertarikan dengan Zio. Terlihat sekali dengan cara interaksi Restya dengan Zio, meski terlihat biasa saja.
Restya tersenyum manis. Meski dalam hatinya ia geram dengan Zio.
“Harus dijawab di sini?” Restya menatap satu per satu rekannya.
“Dijawab di sini saja. Biar kita semua saksinya,” celetuk Devan penuh semangat.
“Ini harus to the point, apa bagaimana? Jujur saya malu,” sahut Restya seraya menyelipkan anak rambutnya ke telinga.
“Malu kenapa?” tanya Emma akhirnya angkat bicara. Perempuan itu tetap memasang raut wajah ceria. Meski hatinya terasa sakit.
“Kalau saya jawab jujur. Nanti ketahuan--”
“Ketahuan apa?” Zio menatap Restya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ia yakin, kalau sebenarnya Restya hanya mencari cara agar bisa menolaknya. Namun, tak akan dia biarkan perempuan itu menolaknya lagi.
“Kalau saya jawab iya. Nanti ketahuan kalau saya mempunyai rasa kepada Dokter,” lirih Restya diakhiri senyum, lalu menunduk. Dia memang sengaja terlihat menyukai Zio. Walau dalam hati sebaliknya. Ia tak punya pilihan selain menerima lelaki itu sekarang. Namun, perempuan ini akan menyusun banyak rencana agar tak menikah dengan lelaki itu.
“Jadi, Dokter Restya mau menikah dengan Dokter Zio?” Devan meninggikan intonaisnya. Restya masih menunduk seraya mengangguk.
***
Suara deru mobil terus yang menjadi pengiring perjalanan pulang kedua dokter muda ini. Zio yang fokus menyetir. Sementara Restya sibuk membaca majalah dengan menyumbat telinganya dengan headphone. Dia memang sengaja mendengarkan musik, karena terlalu malas kalau nanti berbicara dengan Zio. Ia sudah terlalu lelah beradu pendapat dengan lelaki itu yang membuatnya semakin tersudut.
Zio yang terlihat fokus menyetir, sesekali melirik Restya. Ia sebenarnya masih ingin berbicara banyak hal dengan perempuan itu. Namun, Restya tampak menghindar dari segala macam pembicaraan dengannya.
Zio mengerem mendadak--saat ada lambaian tangan dari seseorang--di depan mobilnya. Membuat tubuh Restya terhuyung ke depan. Ia langsung membenarkan posisinya seraya melirik Zio.
“Maaf, ada orang di depan,” kata Zio seraya melepas sabuk pengamannya. Lelaki itu keluar dari mobilnya untuk memeriksa apa yang terjadi di luar sana.
Restya menurunkan headphone biru mudanya seraya merapikan rambutnya yang tadi menutupi wajahnya. Ia membuka kaca mobil seraya mengamati Zio yang tengah berbicara dengan seorang pria paruh baya. Perempuan itu langsung menutup kembali kaca mobilnya, setelah Zio berjalan kembali untuk masuk ke mobil.
Zio membuka pintu mobilnya dengan raut wajah muram. Hal itu membuat Restya kebingungan.
“Ada apa, Dok?” tanya Restya dengan raut wajah khawatir.
“Jalannya ditutup ada pohon tumbang dan perbaikan jalan,” terang Zio dengan nada lesu.
“Berarti kita putar arah dong, Dok?” Restya menepuk dahinya. Kalau malam seperti ini jalan menuju ke rumahnya begitu ramai karena biasanya kendaraan besar melaju untuk pendistribusian barang ke pabrik, sehingga menimbulkan kemacetan. Belum lagi, gerimis yang semakin lama menitik semakin kencang. Pertanda akan hujan deras.
“Iya, apa Anda mau mencari penginapan?” tanya Zio dengan nada santai.
“Tidak, saya lebih suka kamar saya,” kata Restya dengan nada tegas.
Zio menatap kesal Restya. Jarak apartemennya dengan rumah perempuan itu sangat jauh, kalau harus lewat jalan raya. Menuju rumah wanita itu saja membutuhkan waktu sejaman, apalagi dalam kondisi cuaca seperti ini. Bisa memakan waktu yang lebih lama lagi.
“Dok, rumah Anda dengan apartemen saya itu jauh sekali jaraknya. Kalau kita lewat jalan raya, nanti sudah banyak hotel. Kalau Dokter Restya mau menginap di sana, kan, lebih baik daripada kita terjebak macet,” bujuk Zio dengan nada ramah.
Restya tersenyum masam.
“Tadi, siapa yang menawari mau mengantarkan saya pulang. Anda, bukan saya yang meminta. Tidak usah menawarkan apa yang tidak bisa dipenuhi,” bibir Restya dengan raut wajah mencela.
“Begini saja tidak mau. Nasib apa punya calon suami seperi ini tidak bisa diandalkan,” lanjut Restya seraya melepas headphone. Kemudian, ia memasukannya ke tas yang ada di pangkuannya.
“Kalau saya tidak bisa diandalkan. Sedangkan Anda calon istri yang tak pengertian. Ini sudah malam dan hujan pula, tapi Anda tetap keras kepala,” sahut Zio sambil menyalakan mesin mobilnya, lalu memutar arah.
“Ya sudah. Turunkan saja saya nanti di lampu merah. Saya bisa naik taksi,” balas Restya dengan nada ketus.
“Siap,” jawab Zio santai.
Restya membelalakan matanya. Ia tak percaya dengan jawaban Zio yang mengiyakan. Sebelumnya, dia tak pernah naik taksi selarut ini. Apalagi, macet dan cuaca yang tak bersahabat seperti malam ini. Ia kesal sekali sekarang. Kalau tahu akhirnya seperti ini, pasti dia lebih memilih pulang dengan Dokter Emma, walau perempuan itu hanya basa-basi saja. Namun, sudah pasti dokter itu tak akan menurunkannya sembarangan.
“Enggak ada sepuluh menit kita sampai ke jalan raya. Tepat di lampu merah, nanti saya turunkan Dokter di sana,” ujar Zio diakhiri dengan senyum mengembang, tanpa menoleh ke arah Restya.
Restya mengambil ponsel di sakunya. Ternyata, ia mendapatkan pesan dari kakaknya. Kalau keluarganya sedang menginap di Surabaya. Perempuan ini mendesah frustrasi. Berarti tak ada yang bisa menjemputnya dan di rumah dia akan sendirian.
“Dokter, sudah sampai,” ucap Zio di lampu merah yang kebetulan memang tengah menunjukkan warna merah. Restya tersadar dari lamunannya.
Zio menatapnya seolah-olah memberi aba-aba untuk turun. Namun, Restya tak kunjung turun.
“Dokter, sebentar lagi lampu hijau. Ayo, turun. Biar cepet dapat taksinya,” jelas Zio seraya menatap manik mata Restya lekat.
Restya menggeleng. “Tidak jadi, Dok. Saya nginap di apartemen Dokter saja,” kata Restya dengan nada lesu.
Zio terkekeh. “Nanti pulang-pulang Dokter alergi. Kulitnya jadi gatal-gatal. Soalnya, apartemen saya begitu minimalis. Tidak cocok untuk putri bangsawan,” ungkap Zio penuh cemoohan.
“Saya sudah ngantuk, Dok. Jalan saja lampunya udah hijau,” balas Restya mengalihkan pembicaraan.
Zio langsung mengemudikan mobilnya seraya menyaut setiap ucapan Restya.
“Lebih baik Anda menginap di hotel saja. Pasti Anda mampu membayar sewa. Kalau tidak, saya pinjami atau mau saya bayari saja?”
“Bilang saja kalau tidak boleh menginap. Tidak usah berbelit-belit,” balas Restya dengan nada tegas.
“Bukannya tidak boleh. Saya hanya takut ada kabar kalau seorang putri bangsawan keracunan di apartemen dokter miskin. Siapa tahu Anda makan atau minum di apartemen saya terus keracunan karena tidak sesuai dengan lambung Anda.”
“Hentikan, Dok. Sampai kapan Dokter selalu menghina dan memojokkan saya. Sebenarnya apa salah saya?” Restya menatap Zio lekat. “Bisa enggak, sekali saja, tidak menghina saya? Setidaknya hargai saya sebagai manusia yang bisa sakit hati, kalau Dokter enggak bisa menghargai saya sebagai rekan kerja,” pinta Restya dengan nada serius. Dia sudah terlalu lelah berdebat dengan Zio dan berpura-pura tunduk dengannya. Ia kesal sekali.
Zio menepikan mobilnya untuk bicara dengan Restya.
“Sekarang kita tidak sedang bekerja dan tidak berada di rumah sakit. Saya meminta sebagai seorang wanita dan lebih tepatnya calon istri Dokter Zio untuk dihargai. Tolong jangan hina saya terus,” mohon Restya dengan nada serius.
“Saya tidak bisa hidup dengan pria yang selalu merendahkan saya. Apalagi, berbagi suka dan duka. Kalau Dokter memang serius ingin menikahi saya, tolong perbaiki perilaku Dokter pada saya. Kalau tidak, lebih baik tidak ada hubungan di antara kita, kecuali rekan kerja,” tegas Restya dengan manik mata menajam. Ini kesempatan untuknya agar bisa menjauh dari Zio.
“Maaf,” lirih Zio dengan raut wajah murung.
“Dokter itu pernah punya kekasih atau tidak, sih? Sepertinya tidak mengerti sekali memperlakukan wanita,” cibir Restya dengan nada ketus.
“Enggak, kamu yang pertama dan terakhir,” jawab Zio jujur.
Restya menghela napasnya. Ia merutuki Zio dalam hati. Siapa yang sudi menjadi kekasih lelaki itu. Dekat dengan Zio saja sudah membuat kepala Restya berdenyut.
“Bohong. Dokter itu punya banyak wanita di mana-mana. Semua orang tahu kalau Dokter pernah memiliki hubungan dengan banyak model,” sahut Restya mengingatkan, kalau Zio memiliki banyak skandal dengan para model. Berita miring akan lelaki itu banyak sekali yang sudah tersebar. Ia mencurigai Zio mendekatinya untuk menutupi gosip yang beredar.
“Kata siapa? Sudah saya katakan itu tidak benar. Jangan cemburu, ya,” goda Zio dengan raut wajah datar.
Restya terus menjaga emosinya. Meski sangat ingin meluap.
“Dokter, mana ada orang tak punya hubungan berpelukan dan berciuman mesra. Besok jalan dengan A, terus lusa jalan dengan B. Itu namanya apa, kalau tidak punya banyak wanita?”
“Terserahlah kalau tidak percaya. Saya jujur juga di mata Dokter Restya salah,” balas Zio sekenanya. “Jangan marah-marah lagi. Ini sudah malam. Saya enggak mungkin tega ninggalin Dokter di lampu merah. Saya antar pulang. Saya cuma mau tahu reaksi Dokter, kalau saya enggak mau nganterin. Jangan bawa masalah lain untuk mengkeruh keadaan,” tambah Zio seraya menyalakan mesin mobilnya.
“Saya tidak memperkeruh keadaan. Dokter yang memulai. Mengatakan banyak hal yang membuat saya kesal. Sebenarnya salah saya apa, sih?”
Zio sama sekali tak menoleh ke arah Restya. Matanya terfokus pada jalanan malam di depannya. Dia juga tak berminat menjawab pertanyaan Restya. Ia sudah cukup lelah. Rasanya ingin cepat-cepat pulang dan merebahkan diri di ranjang kesayangannya.
“Kalau caranya seperti ini. Tak ada satu hari kita menikah, pasti sudah cerai,” tutur Restya dengan nada kesal. Namun, Zio tak juga menanggapinya.
Suara ponsel Zio memecahkan keheningan. Lelaki itu terpaksa menepikan mobilnya lagi untuk memeriksa siapa yang menghubunginya selarut itu. Sebuah nama yang pernah singgah di hatinya yang tertera di ponselnya membuatnya terburu-buru mengangkat panggilan itu. Namun, belum sempat ia menjawab ponselnya telah berhenti berdering. Ada pesan pula di sana. Dia segera membuka pesan itu dan membalasnya.
“Maaf, Dok. Dokter saya turunkan di sini. Ada urusan mendadak. Saya carikan taksi, ya,” ujar Zio seraya menaruh kembali ponselnya ke saku.
Restya terdiam membisu. Ia tak habis pikir dengan ucapan Zio. Di tengah hujan seperti itu dia hendak diturunkan di jalanan. Padahal hari semakin larut.
Zio tak menunggu jawaban Restya. Lelaki itu mengambil payung lipat di sebelah bangku kemudinya yang ia selipkan, lalu turun dari mobil. Kemudian, ia membuka pintu untuk Restya mengulurkan tangan.
“Saya carikan taksi biar Dokter bisa sampai ke rumah dengan cepat,” ujar Zio dengan nada rendah.
Restya menatap lekat manik mata Zio. Ia memandang lelaki itu tak percaya. Dia tak pernah diperlakukan seperti ini sebelumnya.
Restya meremas bajunya dengan geram. Dalam hati, ia terus menyerukan kekesalannya terhadap Zio. Dia tak menyangka lelaki itu akan seenaknya memperlakukannya seperti itu. Perempuan ini menyesal karena telah percaya bahwa Zio mau mengantarkannya pulang.
“Dokter,” panggil Zio dengan penuh penekanan.
Restya tetap diam. Ia tak bergerak sedikitpun. Zio mengambil tangan Restya dengan lembut. Namun, perempuan itu langsung menepis tangan Zio dengan kesal.
“Jangan sentuh saya. Saya bisa turun sendiri. Tidak perlu diusir dengan cara seperti ini sampai harus ditarik-tarik,” tegas Restya sambil mengambil tasnya.
Zio menggelengkan kepalanya. Dia tak menyangka dengan jawaban Restya. Ia tak bermaksud mengusir. Apalagi, menarik tangan Restya kasar. Tak ada niatan sama sekali.
“Dokter, salah paham,” terang Zio dengan nada rendah.
Restya tak memedulikan ucapan Zio. Perempuan ini langsung melangkah keluar dari mobil Zio. Ia langung berjalan dengan kesal. Dia tak peduli dengan Zio. Ia juga tak peduli dengan dinginnya hujan yang mengguyurnya.
Restya melangkah tak menentu dengan membawa rasa sakit hatinya, karena diperlakukan seperti itu.
Zio mencoba memanggil Restya yang semakin menjauh, tetapi tak juga mendapat respon. Lelaki ini hendak mengejar. Namun, ponselnya kembali berbunyi. Ia langsung mengangkat telepon dan masuk ke mobilnya untuk meninggalkan jalanan kota.
Restya yang melihat mobil Zio melaju meninggalkan tempatnya berdiri, langsung melayangkan tatapan sengit. Ia berjanji tak akan melupakan penghinaan yang dia dapatkan hari ini.
Restya merutuki nasibnya yang harus berurusan dengan Zio. Apalagi, terikat dengan hubungan calon istri lelaki itu yang sudah di-setting oleh Zio dengan baik.
Restya melirik ke jalanan yang semakin gelap. Banyak mobil berlalu lalang. Namun, tak ia lihat ada taksi kosong. Perempuan ini berjalan mencari tempat untuk berteduh. Meski percuma dia sudah terlanjur basah kuyup. Setidaknya tidak membuatnya harus bersentuhan lagi dengan air hujan.
Restya duduk di pinggir toko yang telah tutup untuk berteduh. Ia lelah melangkah ke sana dan kemari tak ada taksi yang lewat. Baterai ponselnya pun habis. Perempuan itu menunduk lesu. Berharap ada keajaiban datang--seseorang menolongnya.
Kini, tubuhnya terasa begitu kedinginan karena seluruh bajunya basah. Belum lagi, udara yang membelai tubuhnya semakin membuatnya kehilangan kehangatan.
Restya berjongkok seraya menenggelamkan wajahnya di sela-sela tangan yang dibuat untuk menumpu.
“Dokter Restya,” panggil Devan yang membuat wanita itu langsung mendongak. Raut wajahnya yang memucat itu berubah sedikit terang karena senyuman yang terbentuk. Ia menatap Devan lekat. Berterima kasih kepada Sang Kuasa yang telah mengirimkan seseorang untuk menolongnya.
“Dokter,” lirih Restya.
Devan menatap Restya dengan sendu. Ia tak tega melihat kondisi Restya yang seperti itu. Di tengah malam sendirian di pinggiran toko dengan baju yang basah. Keterlaluan sekali Zio, pikirnya.
“Anda pucat sekali,” kata Devan seraya memegang tangan Restya yang begitu dingin. Ia benar-benar merasa khawatir dengan kondisi rekan kerjanya itu.
“Dokter, saya antar pulang, ya,” ujar Devan dengan lembut.
Restya mengangguk. “Dari mana Dokter tahu saya ada di sini?” tanya Restya dengan suara serak.
“Zio, dia yang menyuruh saya ke tempat dia menurunkan Anda. Untuk memastikan Anda sudah pulang atau belum. Karena ponsel Anda tidak bisa dihubungi. Sangat ceroboh sekali, sudah malam seperti ini mana mudah mencari kendaraan umum,” geram Devan kesal. Ia tak menyangka sahabatnya akan setega itu memerlakukan Restya. Dia tahu kalau Zio pasti punya kepentingan mendesak, tetapi seharusnya juga tak seenaknya berperilaku seperti itu.
Restya tersenyum masam. “Terima kasih, Dok. Anda mau kemari. Maafkan saya merepotkan Anda,” ucap Restya dengan nada sendu.
“Tidak. Anda tidak pernah merepotkan saya. Ini Anda mau saya antar ke mana? Kalau ke rumah Anda itu masih jauh dan macet. Sementara Anda basah kuyup seperti ini. Mau ke penginapan atau bagaimana?” tanya Devan serius.
Restya tampak berpikir keras. Ia tidak mau menginap di hotel sendirian. Kalau pulang juga pasti dia sendirian karena tidak ada siapa-siapa. Paling cuma petugas keamanan yang ada. Makanya, wanita ini sampai sekarang masih tinggal bersama orang tuanya. Tidak tinggal di apartemen.
“Kalau menginap di tempat saya, tidak bisa. Kebetulan di rumah saya ada banyak tamu. Jadi, tidak ada tempat yang kosong dan tidak enak apa kata orang kalau saya membawa seorang perempuan,” kata Devan dengan nada lesu.
“Saya tidak suka sendirian,” terang Restya dengan nada sendu.
Devan pun berpikir. Namun, siapa sangka kalau Restya tumbang. Perempuan itu tak sadarkan diri. Sontak Devan langsung menggendong Restya.
***
Restya membuka kelopak matanya yang terasa berat. Kepalanya begitu pusing. Ia melirik ke setiap penjuru ruangan yang ia tempati. Begitu asing. Jauh dari kamarnya yang begitu lembut. Tatanan di ruang itu begitu mengisyaratkan keterpurukan. Warna dinding kecokelatan dan ornamen tua mendominasi.
Restya mencoba mengangkat tubuhnya yang terasa begitu berat untuk menyandar ke papan ranjang. Dia menyadari pakaiannya telah berubah. Baju tidur bergambar panda bewarna merah muda yang sekarang ia kenakan. Bukan kemeja yang basah tadi.
Restya benar-benar bingung. Ia tak tahu dia berada di mana. Dia yakin itu bukan rumah Devan karena gaya desain kamar itu bukan gaya Devan.
Otaknya berpikir keras dan hanya ada satu kemungkinan. Tempat yang ia tempati adalah kamar Zio. Namun pertanyaannya, bagaimana dia bisa sampai di kediaman lelaki yang membuatnya sakit?
Suara pintu digeser membuyarkan lamunan Restya. Perempuan itu menoleh ke arah samping. Ada pintu berornamen klasik. Sosok Zio pun muncul dari balik pintu itu.
Zio langsung mengunci pintu itu, lalu berjalan ke arah Restya dengan raut wajah datar.
“Dokter sudah sadar?” tanyanya seraya memegang dahi Restya yang langsung dicengkeram Restya untuk menjauh. Zio mengerti kalau Restya marah padanya. “Maaf, sungguh saya tidak bermaksud mencelakai Dokter. Ada urusan penting,” jelas Zio dengan nada serius.
“Urusan penting? Sepenting apakah itu? Dokter memang sengaja kan ingin menyakiti saya,” balas Restya dengan suara serak.
Zio menggeleng. “Tidak. Tadi itu ibu saya menelepon. Ini tentang hidup dan matinya seseorang,” terang Zio dengan nada serius.
“Benarkah itu nomor ibu Anda? Saya melihat Dokter waktu mengirim pesan itu, bukan nama ibu Anda. Perempuan mana lagi, Dok? Anda terlalu banyak punya wanita. Makanya saudari ipar Anda memilih saudara kembar Anda. Bukan Anda. Pria tanpa komitmen seperti Anda, tak pantas menjadi suami,” geram Restya dengan nada sengit.
Zio terdiam. Ia menyadari kalau dia salah.
“Saya memang salah, Dok. Namun, saya itu tidak punya banyak wanita seperti yang dituduhkan orang-orang. Saya juga tidak ditolak karena tidak berkomitmen. Saya sudah serius terhadap El, tapi di hari itu dia memilih saudara saya sendiri di depan keluarga saya. Padahal dia berjanji sebelumnya, mau memulai hubungan dengan saya. Setahu dia, sampai hari ini saya sudah melupakannya dan kami tidak punya hubungan spesial apa pun. Di hatinya tidak ada nama saya sama sekali.”
“Saya tidak pernah mendekati El lagi. Saya juga tidak punya hubungan apa pun dengan para model itu. Masalah yang ke klub itu hanya salah paham,” lanjut Zio dengan nada rendah.
“Sudah cukup. Dokter Zio, saya tidak buta. Tadi yang saya lihat itu nama wanita lain, bukan ibu Anda. Kalau Dokter mencintai wanita itu, seharusnya kejar dan nikahi dia. Jangan mengusik hidup saya,” mohon Restya dengan nada tegas.
“Iya, itu bukan nomor telepon ibu saya. Itu nomor model yang memiliki skandal dengan saya. Iya, saya pergi karena cemas dengan kondisi wanita itu. Iya, saya sangat menyayanginya. Namun, saya tidak mencintainya dan yang menelepon serta mengirimkan pesan memang ibu saya. Dia cemas dengan kondisi wanita itu. Mengertilah, Dokter Restya. Ini benar-benar darurat,” kata Zio seraya memejamkan matanya sejenak.
“Dokter bilang saya suruh mengerti. Namun, Dokter tak mengerti saya. Dokter tega menurunkan saya di jalanan seperti itu. Terima kasih, Dok, untuk semuanya hari ini,” cibir Restya dengan nada lesu.
Zio mencoba mengatur emosinya. Tak ada gunanya ia mendebat Restya karena dia memang patut disalahkan untuk kejadian yang menimpa Restya. Lelaki itu yang semula berdiri, naik ke ranjang untuk berbicara lebih dekat dengan Restya.
“Res, aku tidak bermaksud sedikit pun melukaimu seperti ini,” kata Zio dengan bahasa non formal. Lelaki itu menggenggam tangan Restya erat. Sementara Restya tampak acuh dengan perilaku Zio. Ia enggan menatap ke pria itu. Dia memalingkan wajahnya ke arah lain.
“Res, tolong maafkan aku. Meski sebenarnya aku tak pantas dimaafkan. Beri aku kesempatan, Res. Tolong satu kali ini saja, beri aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya,” pinta Zio dengan nada rendah.
Restya tersenyum masam. Tak peduli dengan ucapan lelaki itu. Untuk apa dia memberikan kesempatan kepada Zio. Di hatinya saja tak ada nama lelaki itu. Begitu pun dengan Zio, tak ada namanya di hati pria itu.
“Sudah cukup, Dok. Dokter cari saja wanita lain yang mau Dokter nikahi, yang pasti bukan saya,” balas Restya dengan nada tegas seraya menghadapkan wajahnya ke arah Zio.
“Saya akan melakukan apa saja untuk menebus kesalahan saya pada Dokter Restya. Tolong beri kesempatan untuk saya. Saya janji tidak akan mengecewakan Dokter Restya lagi,” mohon Zio dengan tatapan sendu.
Restya memejamkan matanya sejenak. Ia harus berpikir dengan jernih karena Zio adalah tipikal orang yang keras kepala. Tak akan diam saja, kalau keinginannya belum tercapai. Percuma saja kalau dia terus mendebat lelaki itu, tak akan menyelesaikan segala permasalahan.
“Saya tidak suka memberi kesempatan kedua, ketiga dan seterusnya. Buat apa saya beri banyak kesempatan, kalau yang diberi kesempatan tak kunjung memperbaiki sikapnya?” tutur Restya dengan nada rendah tetapi tegas.
Zio mengangguk. Ia mengerti sekali dengan ucapan Restya. Namun, dia tak akan menyerah untuk mendapatkan kepercayan gadis itu.
“Saya--”
“Kali ini saya berikan satu kesempatan dengan syarat, kalau Dokter menyakiti saya baik fisik maupun hati lagi, maka semua hubungan di antara kita putus termasuk pekerjaan. Dokter harus keluar dari rumah sakit dan menjauh sejauh mungkin dari saya selamanya,” ucap Restya dengan nada tegas penuh penekanan pada kata terakhir.
Zio menatap Restya tak percaya dengan ucapan perempuan itu.
“Saya harus menghilang? Lah, Dok, mana sanggup saya? Enggak ketemu Dokter Restya sehari itu sepi. Enggak ada yang bisa diajak berdebat,” celetuk Zio yang langsung mendapatkan tatapan tajam dari Restya.
“Anda kira kita sedang berkompetisi di ajang debat? Kalau Dokter memang serius ingin menikahi saya, lakukan berbagai cara agar saya nyaman dengan Anda. Bukan bikin emosi setiap hari.”
“Iya, Dokter Restya lebih baik minum obat dulu,” ucap Zio seraya mengambil gelas di atas nakas dan obat yang sudah ada di sana. Kemudian, ia sodorkan ke Restya. Perempuan itu langsung mengambilnya. Setelah selesai minum, ia kembalikan gelas itu kepada Zio. Lelaki itu menerimanya dan langsung mengembalikan ke tempatnya semula.
“Dokter Restya masih kedinginan enggak? Kalau iya, saya ambilin minyak angin atau mau saya pinjami jaket?” tawar Zio seraya menarik selimut untuk menyelimuti Restya.
Restya menggeleng. “Tidak perlu. Leher saya saja panas. Ini saya dibaluri pakai balsem apa minyak angin, sih?”
“Enggak tahu. Balsem mungkin, tapi kok wangi, ya?”
Restya mengernyit mendengar jawaban Zio. Apalagi, melihat raut wajahnya yang benar-benar tidak tahu. Mana mungkin seorang Dokter seperti Zio tidak tahu apa yang dia berikan kepada pasiennya. Lelaki itu tak mungkin sembarangan memberi sesuatu. Kalau seperti itu sudah jelas. Bukan Zio yang membaluri tubuhnya.
“Gimana sih, Dok?”
“Bukan saya yang baluri tubuh kamu. Bukan saya juga yang gantiin pakaian kamu. Mungkin Devan,” terang Zio dengan raut wajah datar.
Restya membelalakan matanya. Zio malah terkekeh yang membuat Restya semakin kesal.
“Dok, dalam dunia medis kan semua dokter sudah disumpah. Tenang saja enggak bakal diapa-apain. Enggak mungkin kan kalau pasiennya perempuan dan di situ hanya ada dokter pria kalau tidak diobati segera, keburu mati. Masa harus cari dokter wanita dulu,” sahut Zio santai.
“Saya tahu. Cuma malu saja. Wanita itu perasa, tapi bukan berarti pria enggak seperti itu. Ada juga, sih, pria yang enggak tahu malu dan tega sama perempuan,” balas Restya seraya menatap manik mata Zio lekat.
Zio merutuk di dalam hati, sepertinya salah lagi.
“Iya, saya tahu. Enggak usah diperjelas. Tenang saja, Dok. Yang tadi gantiin baju Dokter itu Ferra. Dia tinggal di lantai dua. Tadi saya telepon dia, setelah Devan menelepon saya mengabarkan kondisi Dokter.”
Restya terdiam. Ia seperti tak asing dengan nama yang disebutkan oleh Zio. Namun, kenapa dia tak mengingat siapa itu. Zio yang melihat raut wajah kebingungan Restya langsung menjelaskan agar tak salah paham lagi.
“Itu sepupu saya. Dia sudah menikah, kok. Jangan kira teman kencan saya. Enggak mau saya punya perempuan kayak Ferra. Berisik. Jangan pikir yang aneh-aneh,” kata Zio dengan nada serius.
“Dokter tidur lagi saja, ya. Masih jam dua pagi. Biar cepat sembuh. Jangan banyak pikiran. Sekali lagi saya minta maaf.”
***
Malam berganti dengan cepat. Kini pagi telah menyapa dunia dengan tenang. Zio tampak serius melihat tampilan layar ponselnya. Dia hendak menghubungi rumah makan yang memberikan jasadelivery.Lelaki ini hendak memesan makanan untuk dia dan Restya. Namun, ia bingung ingin memesan apa.Restya yang baru saja melangkah dari dapur, mengerutkan dahi begitu melihat Zio tampak sibuk dengan ponsel. Zio menoleh begitu mendengar derap langkah kaki. Ditambah bau sup yang menguar. Begitu harum baunya khas rempah-rempah.Zio menatap Restya tak percaya. Perempuan itu membawa semangkuk sayur berisi sup ke meja makan di hadapannya. Ia tak menyangka Restya akan memasak sarapan karena perempuan itu masih sakit.“Pagi, Dokter Zio,” sapa Restya santai seraya menata mangkuk sup di meja makan.“Res, kamu masak?” tanya Zio dengan nada rendah.Restya mengangguk. “Kenapa? Dokter mau bilang kalau putri bangsawan seperti saya t
Restya tersenyum begitu semua pekerjaannya selesai. Ia bisa pulang lebih awal hari ini. Perempuan itu berencana untuk berjalan-jalan bersama kakaknya ke taman hiburan. Dia ingin sesekali menikmati harinya penuh keceriaan.Restya langsung memasukkan semua barang ke tasnya. Lalu, memperbaiki penampilan sebelum keluar dari ruangan. Dengan langkah perlahan, perempuan ini meninggalkan ruangannya.“Dokter Restya,” panggil Estu seraya berlari ke arah Restya.“Iya?” Restya mengernyit. Ia mengamati Estu yang tengah membawa buket bunga.“Dokter, ini ada bunga untuk Dokter,” ujar Estu dengan nada sumringah. Restya langsung menerimanya dan tersenyum.“Dari siapa?” tanya Restya penasaran.“Lebih baik Dokter baca sendiri saja catatan kecil di dalam buket bunga itu,” jawab Estu dengan nada lembut.Restya mengangguk. “Terima kasih. Saya pamit dulu, ya,” ujar Restya seraya menepuk
Begitu seorang wanita berpakaian kasual dengan warna pastel melangkah dengan anggun memasuki lobi rumah sakit, semua pandang tertuju padanya. Perempuan itu terus berjalan dengan memasang raut wajah datar tanpa ekspresi. Meski begitu tak mengurangi paras ayunya yang menawan. Meneduhkan hati. Banyak perawat atau dokter yang tak sengaja berpapasan, lalu menyapanya dengan raut wajah ceria. Meski banyak juga hanya kepalsuan. Ada yang tak suka dengan wanita muda yang terlihat begitu angkuh itu, padahal tidak. Memang dia seperti itu, cuek dan pemikirannya tak mudah dibaca. Belum lagi, paras indahnya membuat banyak wanita merasa iri. Dia bagaikan Psyche, perempuan yang begitu cantik dari mitologi Yunani alias istri Eros. Namun, dia sekeras Athena, Sang Dewi Perang yang memiliki keberanian yang kuat. Memiliki tatapan mematikan seperti Medusa, tatkala sudah geram. “Dokter Restya,” sapa Emma, salah satu rekannya. Membuat langkah wanita itu terhenti dan me
Restya menatap nanar tubuh yang kaku di atas brangkar. Gadis belia itu tak berhasil terselamatkan. Beberapa saat setelah memasuki rumah sakit, nyawanya sudah tidak ada. Ia melihat orang tua gadis itu menangis tak keruan sehingga pingsan. Ini bukan pertama kalinya, dia melihat seseorang meninggal. Namun, melihat gadis itu mengingatkan kepada sepupunya yang meninggal ketika remaja.Zio yang tadi melihat Restya berjalan ke ruang jenazah langsung mengikuti perempuan itu. Dia bingung kenapa Restya menitikkan air mata melihat jasad itu. Apakah Restya mengenalnya, pikir Zio.“Dokter Restya,” panggil Zio seraya menepuk pundak Restya pelan. Sontak gadis itu berbalik arah menghadap Zio.“Dokter Zio,” sapa Restya dengan senyuman kaku.“Kenapa di sini? Itu bukan pasien Dokter, kan?” tanya Zio memastikan.Restya menggeleng.“Dia seperti sepupu saya. Meninggal karena overdosis. Awalnya sepupu saya depresi karena masalah kelua
Angin berembus dengan pongah. Menerbangkan dedaunan secara tak beraturan hingga salah satu daun itu terjatuh di kepala Restya. Perempuan itu hendak mengambil daun yang menempel di surai panjangnya yang kali ini tak terikat. Menjuntai dengan indahnya.Cekrek. Suara bidikan kamera membuat Restya mengalihkan pandangannya. Ia mencari-cari sosok yang mengambil gambarnya. Namun, manik mata teduh tetapi tajam itu tak menemukan siapa pun di taman itu.Restya menghela napas sejenak, sebelum melangkah menuju bangku taman dekat air mancur. Kaki jenjang itu melangkah dengan perlahan, juga waspada dengan hal yang ada di sekitarnya.Manik mata Restya tertuju kepada sebuket bunga di bangku yang hendak ia duduki. Dia menengok ke sekeliling. Namun, nihil tak ada siapa-siapa. Tangan mungil itu perlahan mengambil buket bunga itu dengan hati-hati. Ada surat di sana.Untuk Bunga Bakungku,Matahari boleh pongah dengan panasnyaAngin boleh congkak dengan lajunyaHuja
Istirahat makan siang kali ini begitu ramai. Beberapa dokter tengah berbincang-bincang mengenai pesta pernikahan Dokter Kepala UGD. Mereka yakin, banyak tamu penting yang hadir di sana. Dari kalangan dokter sampai pemilik rumah sakit terkenal di kota ini. Banyak yang berencana akan memanfaatkan acara ini untuk memperluas jaringan atau kolega. Bahkan dokter muda banyak yang ingin mencari jodoh di pesta itu.Restya mengambil earphone miliknya karena dia merasa terganggu akan pembicaraan itu. Perempuan ini tak tertarik sama sekali.“Dokter Restya,” sapa Devan seraya menaruh piringnya di meja makan Restya. Perempuan itu mendongak seraya tersenyum. Meski dalam hati, ia merasa malu dengan kejadian beberapa hari lalu, di mana dia mengaku menjadi kekasih lelaki itu. Untungnya Devan tak membahas masalah itu lagi sepanjang perjalanan pulang kemarin. Jadi, dia merasa tak begitu terbebani.Restya langsung melepas earphone bewarna biru itu.“Iya, Dok,” jawab Restya lembut.“Saya m
-Sebaiknya orang membangun karakter lain, pasti dia akan kembali menjadi dirinya sendiri, ketika bersama orang terdekat yang membuatnya nyaman-Suara gemuruh terdengar begitu jelas di indra pendengaran Restya. Ia langsung menengok ke kanan dan ke kiri untuk berteduh. Namun, manik matanya tak sengaja bertemu dengan Rangga. Dia langsung membuang wajahnya dan hendak pergi.Restya berjalan terburu-buru menuju arah utara, diikuti pula dengan langkah Rangga. Lelaki itu terus memanggil perempuan itu dengan lantang. Namun, tak digubris sekalipun oleh Restya. Terpaksa lelaki itu berlari mengejar Restya.Raut wajah Restya berubah kaku seketika. Manik matanya menajam, rasa sesak itu kembali menyeruak. Ingin sekali dia berbalik arah dan berteriak untuk meluapkan amarahnya kepada Rangga. Mengatakan semua hal yang membuatnya kecewa dan terpuruk di masa lalunya. Namun, tak mampu ia lakukan.“Restya,” lirih Rangga seraya memegang tangan Restya tepat di dekat ayunan
-Sakit hati yang tiada tara itu, ketika kau jatuh hati, langsung patah hati karena orang yang kau cintai telah pergi. Jangan pernah menyakiti kalau ingin dicintai.-Hampir dua minggu berlalu dengan cepat, luka Restya telah sembuh. Bekasnya di beberapa bagian masih ada. Kini, ia kembali bekerja seperti biasanya. Sudah lama rasanya tak mengunjungi ruangannya. Dia menatap satu per satu sudut rumah sakit begitu jam istirahat tiba. Namun, entah kenapa ada yang kurang di hatinya.“Dokter Restya,” panggil Devan dengan nada ramah sama seperti biasanya, walau terakhir bertemu mereka sempat berdebat singkat. Restya mengalihkan pandangannya ke arah Devan dengan raut wajah tanpa ekspresi.“Iya,” jawab Restya singkat tanpa minat. Ia masih ingat dengan ucapan lelaki itu yang menyindirnya beberapa waktu lalu.“Di sini tidak turun salju, tetapi kenapa dingin sekali, ya,” gurau Devan sekaligus menyindir sifat Restya. Lelaki itu tersenyu