Restya mengembuskan napasnya begitu lega, setelah beberapa jam di ruang yang sama dengan Zio. Ia sandarkan punggung di kursi ruangannya. Hari ini, pertama kali dan harapannya juga terakhir kali Restya bekerja sama dengan Zio. Ia tidak mungkin bisa tahan satu ruang dengan dokter yang selalu menyudutkannya. Meski Restya akui, kalau kepiawaian lelaki itu memainkan pisau bedah dapat diakui kehebatannya. Namun sayang, dia tak berminat belajar banyak dari pria itu.
Restya mengambil kopi yang telah tersedia di hadapannya. Ia tadi berpesan kepada asistennya untuk membelikan kopi agar membuat matanya tetap terbuka. Meski hari masih sore. Belum petang. Namun, entah kenapa kedua manik mata itu ingin tertutup untuk melepas penat.
Ketukan pintu membuyarkan lamunan Restya. Perempuan itu langsung membenarkan penampilannya seraya duduk tegak santai seperti biasanya.
“Masuk,” katanya dengan nada tegas.
Seorang perawat yang terlihat menawan memasuki ruangan Restya dengan senyum mengembang. Wajahnya seperti remaja, tetapi siapa sangka kalau usianya sudah memasuki kepala tiga dan sudah memiliki seorang putra.
“Permisi, Dok. Saya hendak memberikan hasil MRI dari Nona Sahila,” ujar Estu dengan ramah seraya menyodorkan hasil MRI tersebut.
“Terima kasih. Saya boleh minta tolong,” ujar Restya dengan nada datar kepada asistennya itu.
Estu mengangguk.
“Tolong kamu berikan ini kepada Dokter Zio,” pinta Restya seraya menyerahkan map biru kepada Estu. Estu mengambilnya dengan senang hati, lalu pamit pergi.
Restya segera menganalisa hasil MRI pasiennya. Ia melihatnya dengan raut wajah datar. Entah apa yang sedang ia pikirkan.
“Dokter Restya,” panggil Emma yang langsung masuk ke ruangan Restya tanpa permisi. Restya langsung mengalihkan pandangannya ke arah wanita menyebalkan itu dengan raut wajah tanpa ekspresi.
“Iya, Dok. Saya tersanjung dengan Anda yang mau masuk ke ruangan saya, bahkan tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu,” papar Restya yang menyinggung ketidaksopanan Emma dengan cara halus. Kata-katanya juga mengandung makna lain yang mempertanyakan kedatangan wanita itu ke ruangannya secara tiba-tiba. Selama Restya bekerja di rumah sakit ini, Emma tak pernah masuk ke ruangannya. Kalau ada kepentingan, biasanya dia menyuruh asistennya.
Emma mengatur napas yang tadi tersengal-sengal karena berlari. Perempuan itu mencoba mencerna ucapan Restya yang sudah jelas menyinggungnya. Ia tetap berusaha tersenyum semanis mungkin. Meski dalam hati, ia kesal dengan Restya.
“Dokter Restya bisa saja. Saya selama ini tidak pernah datang menemui Anda secara langsung karena Anda tahu sendiri kalau pekerjaaan saya banyak,” terang Emma dengan nada santai.
Restya hanya tersenyum sekilas. Lebih tepatnya itu senyum mencela.
“Oh. Lalu, ada keperluan apa dengan saya?” tanya Restya dengan nada yang tak kalah lembut dari Emma.
Emma tampak berpikir serius. Seperti sedang memikirkan cara mengutarakan apa yang ingin ia bicarakan agar Restya tak mencelanya.
“Bagaimana operasinya, Dok? Ini pertama kalinya Dokter Tya bekerja sama dengan Dokter Zio, bukan? Semuanya berjalan baik?” tanya Emma basa-basi.
Restya semakin penasaran dengan apa tujuan Emma datang menemuinya. Pastinya bukan pertanyaan baru saja yang menjadi kepentingannya sampai harus datang ke ruangan Restya.
“Iya, lancar seperti biasanya. Dokter Zio memang ahlinya. Tidak usah dipertanyakan,” kata Restya dengan menekankan pada kata ‘seperti biasanya’ seraya memberikan tatapan serius kepada Emma.
“Syukurlah, kalau begitu. Seperti yang kita tahu, kalau Dokter Zio itu orangnya sangat tegas dan perfeksionis. Saya senang jika Anda tidak mengalami kesulitan sama sekali,” dustanya dengan raut wajah sebahagia mungkin.
“Tidak ada yang sulit. Kalau kita mau berusaha dan percaya diri, pasti semua hal bisa dilakukan. Hanya pemalas yang merasa sulit. Lagi pula, mana mungkin Dokter Zio mempersulit saya. Beliau Dokter yang hebat. Anda tahu begitu, bukan?” Restya memandang Emma seolah-olah tak percaya dengan ucapan Emma yang secara tak langsung menyinggung kemampuan Zio. Meski bukan itu maksud Emma. Namun, Restya sengaja melakukan hal itu.
Emma salah kalau ingin menjatuhkan Restya. Perempuan itu pintar membalikkan keadaan dengan memutar kata-katanya saja.
“Mana mungkin saya meragukan kehebatan Dokter Zio memainkan pisau bedah. Anda tahu sendiri akan hal itu. Saya tidak bermaksud berpikir seperti itu. Saya hanya mengkhawatirkan Anda. Mungkin merasa canggung atau bagaimana dengan Dokter Zio,” ucap Emma dengan nada datar.
Restya tak menanggapi hal itu. Ia hanya tersenyum.
“Saya dengar Dokter Zio mengajak Anda berkencan. Saya pikir kalian punya hubungan spesial di luar pekerjaan. Makanya saya takut, kalau Anda menjadi gugup atau canggung,” jelas Emma yang memang ingin memastikan dari mulut Restya sendiri akan apa yang ia dengar tadi dari asistennya. Kalau Zio mengajak Restya berkencan.
Restya menahan tawanya agar tak meledak seketika. Ia mengerti sekarang maksud kedatangan wanita itu. Dia paham, pasti Emma telah mendengar berita itu dari beberapa perawat yang tadi berdiri tak jauh darinya dan Zio. Sebenarnya Zio tak mengajaknya berkencan, tetapi lelaki itu mencelanya karena tak pernah berkencan. Lalu, menawarinya untuk jalan bersama yang jelas Restya tolak seketika. Namun, Zio tambah menghinanya.
Restya hendak mengerjai Emma, tetapi suara ketukan pintu membuat ia harus memberhentikan aktivitasnya.
“Silakan masuk,” kata Restya seraya berdiri dari tempat duduknya untuk mendekat ke arah Emma yang sejak tadi masih berdiri.
Pintu itu terbuka. Memperlihatkan Zio yang datang dengan wajah datarnya seraya membawa map. Restya tersenyum penuh arti menghadap ke arah Zio. Sementara Emma merasa kikuk.
“Dokter Emma sedang apa di sini?” tanya Zio keheranan.
“Saya ada perlu dengan Dokter Restya. Dokter sendiri?” tanya balik Emma penasaran. Ia takut kalau berita yang ia dengar akan adanya. Zio terpikat dengan pesona Restya.
“Saya mau membicarakan tentang pasien,” terang Zio seraya menunjukkan mapnya.
“Kepentingan Dokter Emma sendiri apa?” Zio menatap Emma penuh selidik.
Emma hendak menjawab, tetapi Restya terlebih dahulu membuka mulutnya.
“Dokter Emma hanya ingin memastikan satu hal kepada saya. Namun, akan lebih baik kalau Dokter Zio yang menjawabnya,” tutur Restya santai.
Zio mengernyit.
“Apakah Dokter Zio mengajak saya berkencan? Itu pertanyaan dari Dokter Emma. Kalau saya yang menjawab. Takutnya salah,” terang Restya dengan nada datar.
“Apakah pekerjaan Dokter sudah berubah menjadi pengosip dan tukang ikut campur masalah pribadi orang lain?” Itu bukan pertanyaan, tetapi celaan.
Zio menatap Emma penuh ketidaksukaan. Emma yang ditatap seperti hanya mampu menunduk karena malu. Ia meremas tangannya, gusar. Takut Zio membencinya.
“Sepertinya Anda salah dengar, Dokter Emma. Saya tidak mengajak Dokter Tya berkencan,” ujar Zio dengan nada serius.
Emma mendongak. Ia menghembuskan napas perlahan. Dia merasa tenang sekarang begitu mendengar penjelasan Zio.
Restya hanya memandang Emma geli. Sebegitu sukanya kah Emma dengan Zio? Tanya Restya kebingungan yang tak ia utarakan. Hanya ada dalam pemikirannya.
“Saya tidak mengajak kencan Dokter Tya karena membuang-buang waktu kalau hanya sekadar kencan atau pacaran. Saya bukan remaja labil,” tutur Zio dengan nada datar tanpa ekspresi.
“Namun, saya mengajak Dokter Tya menikah. Saya akan berikan undangan spesial untuk Dokter Emma karena Dokter yang pertama kali mendengar berita ini,” lanjut Zio dengan diakhiri senyum yang sulit diartikan.
Emma langsung merasakan sesak di hatinya mendengar penuturan Zio barusan.
Ucapan dokter itu terdengar seperti petir yang mengeleggar di tengah derasnya hujan. Begitu mengerikan kalau menurut Emma. Namun, tidak untuk Restya. Pernyataan Zio bagai angin yang berembus semilir, lalu pergi begitu saja. Restya sudah hafal dengan tabiat Zio yang sering mempermainkannya. Jadi, dia tak ambil pusing untuk hal itu. Perempuan ini tetap memasang raut wajah datar, meski terkejut kalau Zio akan mengatakan hal seperti untuk memberi pelajaran kepada Emma.
Dalam hati, Restya menertawakan Emma sekaligus Zio. Ia menertawakan sikap Emma yang kurang sopan, sehingga membuatnya dipermalukan. Sementara dia tak habis pikir dengan ucapan Zio yang terlalu terburu-buru mengambil langkah seperti itu, hanya untuk membuat Emma cemburu. Bukankah nanti hal itu akan menjadi belati untuknya?
Emma menghela napasnya sejenak, sebelum memberanikan diri menatap Zio. Hatinya sangat sakit. Tak sanggup berkata apa pun.
“Kalau begitu selamat, Dok,” ujar Emma dengan nada rendah. Kalimat yang begitu menyakiti hati, terpaksa meluncur dari bibir mungilnya. Gamang, sedih, dan ketidakrelaan menyatu dalam hatinya. Rasa yang semakin membakar dia, penuh dengan kesakitan yang tak terkira.
Zio hanya berdeham, sementara Restya masih di posisinya. Tangannya terlipat santai di depan dada. Sebenarnya perempuan ini juga merasa kasihan pada Emma. Bagaimanapun dia wanita yang tahu rasanya terluka karena cinta.
“Kalau begitu saya permisi, Dokter Restya dan Dokter Zio,” kata Emma dengan mencoba tetap menyuguhkan senyuman di akhir ucapannya. Namun bulir air mata yang berada di pelupuk mata wanita ini, tak bisa menyembunyikan perasaannya yang begitu terluka.
“Silakan,” sahut Restya dengan nada ramah.
Zio hanya mengangguk, tanpa menatap Emma. Emma berbalik arah dengan cairan bening di matanya yang tak terbendung lagi. Dokter ini keluar dengan air mata yang mengalir deras.
Keheningan terasa di dalam ruangan yang lumayan besar ini. Zio tengah berpikir untuk mengucapkan hal apa kepada Restya.“Dokter ke sini ada keperluannya apa?” tanya Restya, pada akhirnya perempuan ini yang memulai pembicaraan. Zio yang tengah melamun, kembali tersadar akan apa tujuannya kemari.
“Dokter Restya, bisa minta tolong,” kata Zio seraya memberikan berkas pasien yang dibawanya kepada Restya. Restya mengernyit, tetapi ia tetap menerima map itu. Dibukanya hasil MRI tersebut. Raut wajah Restya berubah menjadi begitu serius.
“Cedera ACL?” tanya Restya dengan nada datar.
“Iya, cedera ACL. Pasien ini bernama Kirana, dia atlet lompat tinggi,” jelas Zio dengan raut wajah datar.
Restya hanya mengangguk. Ia merasa wajar kalau wanita itu seorang atlet, pasti pernah terjadi kecelakaan saat berolahraga yang menyebabkan urat di dalam sendi lutut cedera.
“Pasien ini mengeluh bahwa lututnya sering nyeri, ternyata dulu dia pernah terjatuh saat berlari dan dikiranya itu hanya sakit biasa,” terang Zio dengan nada santai.
“Biasanya setelah cedera, sih, lutut bengkak dan terasa tidak stabil. Namun, satu atau dua hari sudah bisa jalan seperti biasa. Wajar jika pasien mengira sakitnya sudah sembuh, padahal kan tidak. Ini risiko jadi atlet,” gumam Restya seraya menggelengkan kepala.
Restya jadi teringat seseorang yang pernah berlabuh di hatinya. Seorang atlet renang yang berhenti dari dunianya, dia berhenti karena salah satu anak didiknya mengembuskan napas terakhir demi mempersembahkan mendali untuknya. Atlet remaja itu mengembuskan napas terakhir sebelum ke garis finish dan menjadi pukulan telak bagi lelaki yang ia cintai. Sosok itu tak percaya anak didik kebanggaannya harus meregang nyawa di perlombaan.
“Setiap profesi pasti memiliki risiko,” balas Zio dengan raut wajah datar. Dia memperhatikan raut wajah Restya dengan saksama saat mengatakan beberapa kata terakhirnya. Terlihat dari ucapan tersebut, ada sesuatu yang menganggu pikiran Restya.
“Iya, Dok. Kalau dilihat dari hasil MRI sepertinya pasien ini perlu tindakan artroskopi1,” kata Restya seraya memasukkan kembali hasil MRI tadi.
“Benar. Makanya, saya kemari ingin bertanya. Kamu bersedia untuk mengoperasi pasien ini?” tanya Zio dengan nada serius. Ia menatap Restya dengan tatapan memerintah karena dokter satu ini benci penolakan. Restya tampak menimbang tawaran Zio barusan.
“Jadwal saya penuh minggu ini, Dok. Kenapa tidak Dokter saja?” tanya Restya balik. Dia bukan ingin membantah atau menolak. Namun, apa yang ia katakan memang apa adanya. Pasiennya begitu banyak yang perlu ditangani.
Zio menghela napas. “Kalau jadwal Dokter Restya padat, saya lebih padat,” elak Zio dengan nada tegas.
“Bagaimana kalau Dokter Devan atau Dokter Emma? Sepertinya kalau Dokter Emma itu pasiennya tidak terlalu banyak,” celetuk Restya dengan santai.
Zio malah mengambil ponsel. Kemudian, ia mencari nomor Dokter Kepala. Lelaki ini langsung menunjukkan layar ponselnya ke arah Restya.
“Saya akan bilang kepada Dokter Kepala kalau Anda tidak mau melayani pasien dengan baik,” ancam Zio dengan nada santai. Senyum simpul mengembang di pipi Zio, lelaki itu tersenyum penuh kemenangan. Dia yakin, kalau Restya akan menurutinya. Tak mungkin wanita itu membantahnya.
“Dokter mengancam saya? Saya juga bisa,” jawab Restya santai. Sekali-kali dia membantah Zio tidak kenapa-kenapa, kan? Lagi pula, selama ini Zio selalu mengekang dan menyudutkannya.
Zio mengernyit. Dia melipat kedua tangannya seraya menatap Restya lekat, tetapi pandangan itu sulit diartikan.
“Memangnya Dokter Restya bisa mengancam saya? Jangan suka main-main dengan saya,” hardik Zio dengan tatapan serius.
Restya tersenyum miring. “Bisa sajalah, Dok. Saya bisa menyebarkan foto Dokter yang sedang bermesraan dengan saudari ipar sendiri,” kata Restya santai seraya mengambil ponsel di sakunya. Di layar ponsel milik Restya itu tampak jelas foto Zio yang tengah memeluk Elina. Perempuan ini mendapatkan potret lelaki itu secara tidak sengaja di pusat perbelanjaan.
Zio menghela napas sejenak. Dia tak habis pikir, bagaimana Restya memiliki foto itu. Apalagi, di sana seolah-olah memperlihatkan betapa mesranya dokter rupawan ini dengan istri saudara kembarnya itu. Padahal, kejadian saat itu saudari iparnya tengah menangis sedih karena mendapat kabar kalau suaminya kecelakaan. Maka Zio memeluknya untuk menenangkan perempuan itu.
“Foto itu tidak seperti yang terlihat,” kata Zio dengan nada rendah.
Restya mengernyitkan dahi. Ia tak peduli dengan fakta itu. Mau benar berita Zio yang mengejar saudari iparnya atau lelaki itu mau merebut wanita itu dari saudara kembarnya, bagi Restya itu tak penting.
“Tapi siapa pun yang melihatnya akan berpikir kalau Anda ada affair dengan dia. Dokter, kita bekerja untuk sebuah pengabdian. Namun, citra juga dibutuhkan. Bagaimana bisa seorang dokter yang mengobati luka, malah melukai orang lain dengan perselingkuhan?” sahut Restya dengan nada santai. Kali ini dia bisa menang dari Zio.
Zio menyugar rambutnya. Kemudian, ia tersenyum sekilas. Meski dalam hatinya percikan amarah mulai terkumpul.
“Jika sampai foto itu tersebar, maka bukan saya yang tamat riwayatnya. Namun Anda, Dokter Restya. Jangan pernah libatkan siapa pun dalam masalah kita. Apalagi melibatkan Elina,” tegas Zio dengan memberikan penekan di kata terakhir. Dia begitu mencintai Elina, ia tak takut citranya hancur. Namun, wanita yang tak memiliki salah bisa tercemar nama baiknya hanya karena lelaki ini. Apalagi, Zio takut kalau saudara kembarnya akan marah dan salah paham. Ia sudah berjanji untuk menjauhi Elina.
Restya tersenyum begitu manis. “Ya Tuhan, Dokter Zio marah? Saya hanya bercanda,” sahut Restya santai seraya menutup bibirnya dengan tangan kanan. Ia sengaja mempermainkan Zio. Tak ada niatan sekalipun juga untuk mengirimkan gambar itu ke publik. Dia tak sejahat itu.
“Dokter, mana mungkin saya mengancam. Apalagi, mau mempermalukan Dokter. Dokter tahu sekali kalau saya sangat menghormati Dokter. Dokter Zio juga bercanda kan mengancam saya? Mana mungkin Dokter tega dengan saya,” papar Restya dengan raut wajah datar. Meski dalam hati, ia was-was kalau Zio akan semakin mempersulitnya.
Zio tak menjawab ucapan Restya. Dia malah berbalik arah untuk segera meninggalkan ruangan Restya.
“Apa begini caranya beradab? Saya mungkin junior Anda. Mengucapkan salam itu juga termasuk etika. Dokter pasti tahu banyak kan tentang etika,” sahut Restya dengan nada rendah.
Zio tak mengindahkan ucapan Restya. Dia tetap melangkah pergi meninggalkan ruangan wanita itu.
Restya mengatur napas. Dia harus bisa mengontrol emosinya agar tak meluap. Perempuan itu mengambil kaca di tas untuk merapikan rambutnya. Sebelum pergi ke ruangan Zio untuk meminta maaf. Namun, karet rambutnya malah putus. Perempuan ini langsung menepuk dahi, lalu memejamkan matanya sejenak. Ia menyandarkan punggung di kursi sekadar melepas penat.
Siapa sangka Zio yang tadi keluar dari ruangan Restya kembali lagi dengan membawa sebotol air dingin. Dia menempelkan botol itu di pipi Restya. Wanita itu yang tadinya memejamkan mata, kini membuka kelopak matanya seketika.
“Kau sudah banyak bicara tadi. Pasti haus. Minumlah,” kata Zio seraya menyodorkan botol itu ke hadapan Restya.
Restya hendak mengambil botol itu. Namun, Zio malah menjauhkan minuman dingin itu darinya. Wanita ini menghela napas. Dia lagi-lagi dipermainkan.
“Sebentar, aku bukakan tutupnya,” jelas Zio seraya memutar tutup botol itu. Restya hanya mengangguk.
Perempuan itu langsung meneguk minumannya perlahan-lahan. Kerongkongannya terasa kering tadi karena terlalu banyak bicara. Zio tersenyum simpul.
“Sepertinya haus sekali,” cibir Zio seraya melipat kedua tangannya di depan dada.
“Hauslah dari tadi saya belum minum. Terima kasih,” balas Restya santai sebelum memulai permohonan maafnya.
“Makanya jadi perempuan jangan suka mengancam. Kamu terlalu banyak membuang energi untuk mengancam,” sahut Zio dengan nada mencela.
Restya memasang senyuman manis sebelum berkata. Ia menatap Zio lekat.
“Dokter, saya itu hanya bercanda. Mana mungkin, saya berani mengancam Dokter. Dokter kan punya selera humor yang tinggi,” balas Restya sekenanya. Kalimat Restya itu memiliki makna tersirat. Zio selama ini suka seenaknya sendiri dalam berkata dan mengatakan semuanya candaan. Padahal jelas kalau lelaki itu tengah menghinanya.
Zio tersenyum. “Tapi bercandaan Dokter Restya tidak lucu. Saya punya lelucon. Dokter mau dengar?”
“Apa?” Restya menatap Zio penasaran.
“Saya bisikan tapi ini rahasia dan tidak ada pengulangan,” kata Zio seraya mendekatkan bibirnya ke telinga Restya. Perempuan itu mengernyit. Dia tak mendengar apa-apa.
“Dokter bicara apa, sih? Saya enggak dengar,” kata Restya dengan nada lembut, tetapi dalam hatinya ia kesal.
“Enggak ada pengulangan. Cantik-cantik tuli. Ya ampun,” sindir Zio dengan nada datar.
“Apaan, sih, Dok? Sepertinya tadi Dokter tidak bicara apa-apa.”
“Kadang sebuah kata diperlukan, tetapi rasa sulit diungkapkan. Saat kita ingin berkata iya, tetapi kadang ada saja yang menghambat,” balas Zio yang membuat Restya semakin tak mengerti.
“Dokter, jangan bilang ini teori jatuh cinta,” gumam Restya kebingungan.
“Bukan. Orang itu lucu. Suka menipu dirinya sendiri.”
Restya merasa kalau Zio tengah menyindirnya yang berbohong. Namun, dibuat dengan kata ambigu.
“Dokter marah dengan saya. Setahu saya, Dokter Zio punya selera humor yang tinggi. Biasanya kan Dokter suka bercanda. Sekali-kali saya bercanda tidak masalah, kan? Selama ini Dokter bercanda dengan saya tapi saya enggak marah.”
“Yang mana yang bercanda?”
“Seperti yang tadi. Dokter bilang mau menikahi saya. Nah, saya enggak marah sama sekali,” balas Restya dengan nada serius.
“Memangnya itu seperti bercanda, ya? Padahal saya serius. Dokter Restya memang lucu,” sahut Zio dengan tegas.
“Kalau itu memang bukan candaan, nikahi saya bulan ini paling lambat dengan beberapa syarat. Cincin yang saya pakai harus cincin yang mahal dan satu-satunya di dunia. Gaun yang saya pakai harus didesain oleh perancang busana terkenal dan dilapisi intan permata. Gedung resepsinya harus dibuat seperti istana. Saya mau terlihat seperti putri yang paling bahagia di dunia,” tantang Restya dengan nada santai. Ia yakin, Zio tak sanggup memenuhi keinginannya.
Zio terdiam.
“Kenapa diam, Dok? Dokter tadi katanya tidak bercanda. Itu baru tiga syarat. Saya masih mau yang lain, sih. Dokter tak sanggup, ya?” Restya menatap Zio dengan tatapan datar tapi penuh celaan.
Zio mengepalkan tangannya. Baru kali ini ia dihina seperti itu. Secara tidak langsung Restya mengatakan kalau dia tak mampu.
Zio tersenyum dengan santai, “Bukannya saya tak mau mewujudkan permintaan Dokter Restya. Pernikahan memang satu kali seumur hidup, tapi apa itu tidak berlebihan? Lebih baik uangnya didonasikan, bukan?”
“Ini mimpi saya dari kecil. Terserah sih Dokter Zio mau mengabulkannya atau tidak.”
Restya menatap Zio dengan santai, di balik tatapannya itu tersirat sebuah kemenangan. Kapan lagi dia bisa menjatuhkan Zio? Mempermalukan pria itu tanpa penolakan secara langsung darinya. Namun, lelaki itu akan mundur dengan sendirinya.
Restya yakin permintaannya yang begitu mewah, tak akan dikabulkan oleh Zio. Perempuan ini tahu kalau Zio adalah pria sederhana yang tak suka kemewahan. Apalagi, membuang uang hanya untuk kesenangan sesaat. Lelaki itu pasti lebih memilih mengeluarkan uang untuk didonasikan untuk kesehatan. Kemurahan hati neneknya yang ada di diri ayahnya juga ada di hati Zio. Meski untuk beberapa hal dia begitu kaku.
Restya tak peduli kalau Zio akan menganggap dia pemuja kemewahan dunia yang penting dengan cara seperti itu, ia bisa terbebas dari Zio. Perempuan ini sama sekali tak punya mimpi untuk menikah dengan kemewahan yang hanya ada satu hari karena itu hanyalah semu. Dia berharap menikah dengan pria yang ia cintai. Namun, sayangnya lelaki itu telah pergi meninggalkannya.
“Saya tahu setiap wanita pasti punya mimpi yang indah untuk pernikahannya. Apakah pernikahan seperti itu memang gaya bangsawan seperti Anda? Saya hanya rakyat jelata yang tidak punya apa-apa. Seharusnya saya sadar, kalau perempuan seperti Anda mana sudi menikah dengan saya,” kata Zio merendah.
Bibir Restya terasa kelu. Ia terbungkam. Jawaban Zio di luar perkiraannya. Lelaki itu malah merendah.
“Saya yang terlalu tidak tahu diri. Seharusnya saya tidak boleh lancang mengutarakan ingin menikah dengan Anda. Anda itu bagaikan bunga di dalam istana, sementara saya hanya kumbang yang terbang tak menentu,” lanjut Zio dengan nada sendu. Mimik wajahnya terlihat begitu sedih. Entah itu rupa bentuk atas rasa sakit penolakan atau hanya buatan saja.
Restya hendak berbicara, tetapi Zio kembali berkata lagi.
“Mohon maafkan kelancangan saya, Dokter Restya. Permisi,” ujar Zio seraya membungkuk hormat, lalu pergi.
Restya benar-benar tak habis pikir dengan jalan pikiran Zio. Seorang dokter perfeksionis sepertinya bisa merendah seperti itu. Dia mengira lelaki itu akan mendebatnya atau merendahkannya lebih darinya mencela Zio.
***
Restya terdiam sepanjang menikmati makan malam bersama para rekannya. Kali ini, ia tak makan di rumah karena ada perayaan ulang tahun Dokter Kepala. Mereka merayakannya di sebuah restoran dekat dengan rumah sakit.Devan tadi membuat suasana makan malam menjadi ceria. Sesekali lelaki itu bergurau. Berbeda dengan Zio yang hanya diam, tak seperti biasanya selalu banyak berkomentar. Diam-diam Restya melirik Zio yang duduk di samping Emma. Lelaki itu tadi datang terlambat bersama Devan dan ia terlebih dulu memilih tempat duduk. Karena hanya ada dua tempat yang tersisa di sebelah Restya atau di samping Emma. Emma sedari tadi senyum karena bisa berdekatan dengan Zio.“Masakan di sini enak sekali, ya? Terima kasih, Dokter Key,” ucap Emma dengan nada ceria.“Saya yang terima kasih karena kalian sudah mau datang,” balas Dokter Key dengan nada tegas.“Ini cumi-cuminya gurih sekali, ya? Dokter Devan mau?” tawar Emma d
Malam berganti dengan cepat. Kini pagi telah menyapa dunia dengan tenang. Zio tampak serius melihat tampilan layar ponselnya. Dia hendak menghubungi rumah makan yang memberikan jasadelivery.Lelaki ini hendak memesan makanan untuk dia dan Restya. Namun, ia bingung ingin memesan apa.Restya yang baru saja melangkah dari dapur, mengerutkan dahi begitu melihat Zio tampak sibuk dengan ponsel. Zio menoleh begitu mendengar derap langkah kaki. Ditambah bau sup yang menguar. Begitu harum baunya khas rempah-rempah.Zio menatap Restya tak percaya. Perempuan itu membawa semangkuk sayur berisi sup ke meja makan di hadapannya. Ia tak menyangka Restya akan memasak sarapan karena perempuan itu masih sakit.“Pagi, Dokter Zio,” sapa Restya santai seraya menata mangkuk sup di meja makan.“Res, kamu masak?” tanya Zio dengan nada rendah.Restya mengangguk. “Kenapa? Dokter mau bilang kalau putri bangsawan seperti saya t
Restya tersenyum begitu semua pekerjaannya selesai. Ia bisa pulang lebih awal hari ini. Perempuan itu berencana untuk berjalan-jalan bersama kakaknya ke taman hiburan. Dia ingin sesekali menikmati harinya penuh keceriaan.Restya langsung memasukkan semua barang ke tasnya. Lalu, memperbaiki penampilan sebelum keluar dari ruangan. Dengan langkah perlahan, perempuan ini meninggalkan ruangannya.“Dokter Restya,” panggil Estu seraya berlari ke arah Restya.“Iya?” Restya mengernyit. Ia mengamati Estu yang tengah membawa buket bunga.“Dokter, ini ada bunga untuk Dokter,” ujar Estu dengan nada sumringah. Restya langsung menerimanya dan tersenyum.“Dari siapa?” tanya Restya penasaran.“Lebih baik Dokter baca sendiri saja catatan kecil di dalam buket bunga itu,” jawab Estu dengan nada lembut.Restya mengangguk. “Terima kasih. Saya pamit dulu, ya,” ujar Restya seraya menepuk
Begitu seorang wanita berpakaian kasual dengan warna pastel melangkah dengan anggun memasuki lobi rumah sakit, semua pandang tertuju padanya. Perempuan itu terus berjalan dengan memasang raut wajah datar tanpa ekspresi. Meski begitu tak mengurangi paras ayunya yang menawan. Meneduhkan hati. Banyak perawat atau dokter yang tak sengaja berpapasan, lalu menyapanya dengan raut wajah ceria. Meski banyak juga hanya kepalsuan. Ada yang tak suka dengan wanita muda yang terlihat begitu angkuh itu, padahal tidak. Memang dia seperti itu, cuek dan pemikirannya tak mudah dibaca. Belum lagi, paras indahnya membuat banyak wanita merasa iri. Dia bagaikan Psyche, perempuan yang begitu cantik dari mitologi Yunani alias istri Eros. Namun, dia sekeras Athena, Sang Dewi Perang yang memiliki keberanian yang kuat. Memiliki tatapan mematikan seperti Medusa, tatkala sudah geram. “Dokter Restya,” sapa Emma, salah satu rekannya. Membuat langkah wanita itu terhenti dan me
Restya menatap nanar tubuh yang kaku di atas brangkar. Gadis belia itu tak berhasil terselamatkan. Beberapa saat setelah memasuki rumah sakit, nyawanya sudah tidak ada. Ia melihat orang tua gadis itu menangis tak keruan sehingga pingsan. Ini bukan pertama kalinya, dia melihat seseorang meninggal. Namun, melihat gadis itu mengingatkan kepada sepupunya yang meninggal ketika remaja.Zio yang tadi melihat Restya berjalan ke ruang jenazah langsung mengikuti perempuan itu. Dia bingung kenapa Restya menitikkan air mata melihat jasad itu. Apakah Restya mengenalnya, pikir Zio.“Dokter Restya,” panggil Zio seraya menepuk pundak Restya pelan. Sontak gadis itu berbalik arah menghadap Zio.“Dokter Zio,” sapa Restya dengan senyuman kaku.“Kenapa di sini? Itu bukan pasien Dokter, kan?” tanya Zio memastikan.Restya menggeleng.“Dia seperti sepupu saya. Meninggal karena overdosis. Awalnya sepupu saya depresi karena masalah kelua
Angin berembus dengan pongah. Menerbangkan dedaunan secara tak beraturan hingga salah satu daun itu terjatuh di kepala Restya. Perempuan itu hendak mengambil daun yang menempel di surai panjangnya yang kali ini tak terikat. Menjuntai dengan indahnya.Cekrek. Suara bidikan kamera membuat Restya mengalihkan pandangannya. Ia mencari-cari sosok yang mengambil gambarnya. Namun, manik mata teduh tetapi tajam itu tak menemukan siapa pun di taman itu.Restya menghela napas sejenak, sebelum melangkah menuju bangku taman dekat air mancur. Kaki jenjang itu melangkah dengan perlahan, juga waspada dengan hal yang ada di sekitarnya.Manik mata Restya tertuju kepada sebuket bunga di bangku yang hendak ia duduki. Dia menengok ke sekeliling. Namun, nihil tak ada siapa-siapa. Tangan mungil itu perlahan mengambil buket bunga itu dengan hati-hati. Ada surat di sana.Untuk Bunga Bakungku,Matahari boleh pongah dengan panasnyaAngin boleh congkak dengan lajunyaHuja
Istirahat makan siang kali ini begitu ramai. Beberapa dokter tengah berbincang-bincang mengenai pesta pernikahan Dokter Kepala UGD. Mereka yakin, banyak tamu penting yang hadir di sana. Dari kalangan dokter sampai pemilik rumah sakit terkenal di kota ini. Banyak yang berencana akan memanfaatkan acara ini untuk memperluas jaringan atau kolega. Bahkan dokter muda banyak yang ingin mencari jodoh di pesta itu.Restya mengambil earphone miliknya karena dia merasa terganggu akan pembicaraan itu. Perempuan ini tak tertarik sama sekali.“Dokter Restya,” sapa Devan seraya menaruh piringnya di meja makan Restya. Perempuan itu mendongak seraya tersenyum. Meski dalam hati, ia merasa malu dengan kejadian beberapa hari lalu, di mana dia mengaku menjadi kekasih lelaki itu. Untungnya Devan tak membahas masalah itu lagi sepanjang perjalanan pulang kemarin. Jadi, dia merasa tak begitu terbebani.Restya langsung melepas earphone bewarna biru itu.“Iya, Dok,” jawab Restya lembut.“Saya m
-Sebaiknya orang membangun karakter lain, pasti dia akan kembali menjadi dirinya sendiri, ketika bersama orang terdekat yang membuatnya nyaman-Suara gemuruh terdengar begitu jelas di indra pendengaran Restya. Ia langsung menengok ke kanan dan ke kiri untuk berteduh. Namun, manik matanya tak sengaja bertemu dengan Rangga. Dia langsung membuang wajahnya dan hendak pergi.Restya berjalan terburu-buru menuju arah utara, diikuti pula dengan langkah Rangga. Lelaki itu terus memanggil perempuan itu dengan lantang. Namun, tak digubris sekalipun oleh Restya. Terpaksa lelaki itu berlari mengejar Restya.Raut wajah Restya berubah kaku seketika. Manik matanya menajam, rasa sesak itu kembali menyeruak. Ingin sekali dia berbalik arah dan berteriak untuk meluapkan amarahnya kepada Rangga. Mengatakan semua hal yang membuatnya kecewa dan terpuruk di masa lalunya. Namun, tak mampu ia lakukan.“Restya,” lirih Rangga seraya memegang tangan Restya tepat di dekat ayunan