Begitu seorang wanita berpakaian kasual dengan warna pastel melangkah dengan anggun memasuki lobi rumah sakit, semua pandang tertuju padanya. Perempuan itu terus berjalan dengan memasang raut wajah datar tanpa ekspresi. Meski begitu tak mengurangi paras ayunya yang menawan. Meneduhkan hati.
Banyak perawat atau dokter yang tak sengaja berpapasan, lalu menyapanya dengan raut wajah ceria. Meski banyak juga hanya kepalsuan. Ada yang tak suka dengan wanita muda yang terlihat begitu angkuh itu, padahal tidak. Memang dia seperti itu, cuek dan pemikirannya tak mudah dibaca. Belum lagi, paras indahnya membuat banyak wanita merasa iri.
Dia bagaikan Psyche, perempuan yang begitu cantik dari mitologi Yunani alias istri Eros. Namun, dia sekeras Athena, Sang Dewi Perang yang memiliki keberanian yang kuat. Memiliki tatapan mematikan seperti Medusa, tatkala sudah geram.
“Dokter Restya,” sapa Emma, salah satu rekannya. Membuat langkah wanita itu terhenti dan memutar balik tubuhnya di ujung koridor.
Raut wajah datar khas milik Restya berubah seketika. Senyuman yang begitu manis. Memikat hati setiap orang yang memandang. Hal itu hanya dilakukannya sebagai sopan-santun, karena sejatinya dia tak suka tersenyum. Entahlah kenapa seperti itu.
“Iya, Dokter Emma. Ada yang bisa saya bantu?” tanya Restya dengan sopan seraya menatap lembut Emma. Meski ia tahu kalau perempuan yang memiliki pembawaan tenang dan menawan di depannya ini sangat berbahaya. Emma selalu menyulitkan Restya yang bekerja di rumah sakit ini yang masih tergolong baru.
Restya dapat membaca pikiran Emma tentangnya. Perempuan berkulit kaukasoid, keturunan Jerman itu terlihat iri kepadanya. Sebelumnya banyak pria yang terpikat olehnya di rumah sakit ini. Namun, sekarang kebanyakan mereka menyukai Restya. Apalagi, Restya yang sulit ditaklukkan. Membuat para dokter pria lajang atau karyawan lainnya ingin mendapatkan hatinya.
“Dokter Kepala mengatakan ingin berbicara penting dengan Anda mengenai operasi besok,” sahut Emma masih dengan nada yang sama, begitu lembut. Tatapannya pun terlihat ramah sekali.
Restya mengangguk. Ia sudah tahu akan hal itu. Makanya, dia kembali ke rumah sakit di jam makan siangnya ini untuk menemui dokter kepala sekitar satu jam lagi. Karena dokter itu mengatakan melalui telepon agar Restya menemuinya, setelah ia selesai mengoperasi pasien.
“Ngomong-ngomong, Dokter kok baru masuk? Biasanya pagi sekali sudah datang,” kata Emma dengan nada santai, tetapi penuh makna tersembunyi. Itu bukan pertanyaan atau pujian biasa. Melainkan perkataan di baliknya tersirat, kalau Restya tidak punya kerjaan lain sehingga datang pagi-pagi.
“Saya tadi mengisi seminar di UI. Makanya, saya tidak bisa datang pagi untuk memastikan pasien saya baik-baik saja. Tidak ada yang lebih membahagiakan dari kepulihan kesehatan mereka,” balas Restya dengan nada tenang.
“Dokter juga begitu, kan? Menganggap pasien adalah prioritas utama saat kerja. Mau pagi atau malam, kita bersedia mengobati mereka setulus hati, bukan?” Restya melanjutkan kembali ucapannya dengan nada datar, tetapi sebenarnya mencela. Ia tahu benar Emma seperti apa. Seniornya itu acapkali mencari alasan untuk mangkir kalau harus melakukan pekerjaan di jam tenangnya.
Emma mengembuskan napas perlahan. Setelahnya, tersenyum manis.
“Iya, itu memang tanggung jawab dan kewajiban kita,” sahutnya dengan nada tegas.
Restya tersenyum simpul. Ia menggelengkan kepala. Namun, malah tak sengaja matanya bersitemu dengan Zio. Perempuan ini langsung mengalihkan pandangannya dari dokter yang juga suka mempersulitnya.
Zio bersama Devan melangkah ke arah Restya dan Emma. Sementara Emma yang mendapati dua dokter rupawan yang selalu diperebutkan oleh rekan-rekannya tersenyum begitu manis. Emma juga begitu mengagumi mereka. Terutama Zio.
Restya yang mendapati perubahan ekspresi Emma hanya menggeleng. Ia dapat melihat pipi Emma yang bersemu merah. Tersipu malu. Dia heran kenapa semua orang menyukai kedua dokter itu. Menurut Restya, Devan terlalu banyak tebar pesona kepada siapa pun, padahal memang pembawaannya ramah. Sementara Zio, Restya tak punya alasan yang pasti tak menyukai lelaki itu. Dia tak suka dengan Zio karena memang dari awal lelaki itu juga menunjukkan ketidaksukaan dengannya dan terang-terangan selalu menyudutkan Restya. Ia berpikir Zio menganggapnya rival karena berani mendebat atau menentang instruksi Zio.
“Siang, Dokter Zio,” sapa Emma kepada Zio yang sudah ada di hadapan Restya dan Emma.
“Siang,” balas Zio datar. Tak berminat. Bahkan sama sekali tak melirik ke arah Emma. Rasanya Restya ingin tertawa sekarang. Namun, ia tahan.
Emma tetap tersenyum meski Zio memperlakukannya seperti itu. Hal itu sudah sering dia dapatkan. Zio begitu dingin dan kaku.
“Saya enggak disapa, nih,” gurau Devan dengan nada dibuat kecewa.
“Ini baru mau nyapa Dokter Devan. Siang, Dok. Bagaimana kabarnya?” balas Emma dengan nada semanis mungkin.
“Baik.”
“Dokter Tya, Anda sudah selesai seminarnya? Saya pikir sampai sore,” tanya Devan dengan nada yang begitu ramah. Ia memandangi Restya penuh kekaguman.
“Seperti yang Dokter lihat. Dokter sendiri bagaimana operasinya?” tanya Restya basa-basi dengan nada tak kalah ramah.
“Lancar, seperti biasa. Baru saja selesai. Makanya, saya dan Dokter Zio mau makan siang. Dokter Restya mau ikut? Dokter Emma juga mau ikut?” ajak Devan dengan ramah.
Emma hanya mengangguk. Tak mungkin perempuan itu menolak tawaran menggiurkan itu.
“Maaf, Dokter. Saya harus menemui Dokter Kepala,” tolak Restya lembut. Tak berniat menyinggung Devan.
“Bukannya Dokter Kepala sedang mengoperasi, ya? Kira satu jam-an lagi baru selesai,” ungkap Devan dengan nada kebingungan.
“Dokter Restya memang seperti itu. Terlalu sombong. Dia tidak sudi makan siang bersama dengan kita karena dia anak konglomerat,” sindir Zio dengan tatapan dingin ke arah Restya.
Restya tetap berupaya tersenyum. “Bukan begitu, Dokter. Saya hanya tidak mau nanti terlambat saat menemui Dokter Kepala. Kita harus menjunjung integritas, bukan?” terang Restya dengan nada tegas.
“Hanya alasan. Makan itu tidak membutuhkan waktu satu jam. Kecuali kau makan satu baskom,” cela Zio dengan nada kesal.
“Jangan dengarkan, Zio. Memang seperti itu,” kata Devan menengahi.
“Biarkan saja kalau Dokter Restya tidak mau ikut. Dokter Restya punya kesibukan yang lain,” timpal Emma dengan nada halus, tetapi sebenarnya dia tak mau satu meja dengan Restya karena kesal sekali dengan wanita itu.
“Baik, saya ikut,” putus Restya pada akhirnya agar tidak memperpanjang perdebatan.
***
Keempat dokter itu akhirnya makan di rumah makan yang tak jauh dari rumah sakit. Devan yang memilih, karena dia rindu masakan rumah buatan ibunya. Makanya, dia mengajak rekan-rekannya untuk menikmati hidangan rumahan.
Restya menatap semua hidangannya tanpa minat. Tampak tak bersemangat untuk menyantapnya. Bukan karena tak suka, tetapi mood-nya memburuk seketika karena Zio. Apalagi, lelaki itu duduk di sampingnya. Tadi, dia berjalan lesu tertinggal di belakang. Tak sempat memilih duduk bersebelahan dengan siapa.
“Dokter Restya, ini ikannya enak sekali. Mau coba,” tawar Devan seraya menyodorkan piring ikan kepada Restya, tetapi perempuan itu langsung menggelengkan kepala. Sementara Emma tampak tak suka dengan perilaku Devan kepada Restya.
“Sepertinya enak, Dok. Boleh saya cicipi?” tanya Emma dengan nada ramah.
Devan mengangguk. Lalu memberikan ikan itu kepada Emma.
“Dijamin ini enak sekali. Dokter Emma pasti suka,” kata Devan dengan ramah.
“Anda tidak makan? Tidak suka. Sukanya makan di restoran mewah, ya?” sindir Zio kepada Restya.
Restya menengok ke arah Zio dengan senyum dipaksakan. “Tidak, Dok. Saya hanya bingung mau makan apa. Semuanya terlihat lezat,” kilah Restya dengan nada selembut mungkin. Menghadapi orang seperti Zio tidak boleh dengan emosi. Restya punya cara sendiri akan hal itu.
Zio terdiam. Tak membalas ucapan Restya. Lelaki itu malah mengambil mangkuk sayur. Kemudian, disendoknya ke piring Restya yang membuat Restya mengernyit.
“Makan sayur saja kalau bingung. Ini menyehatkan untuk tubuh,” jawab Zio santai.
Restya tidak suka masakan pedas dan dia tahu kalau sayur yang ada di hadapannya itu pedas.
“Dok--” Bibir Restya terbungkam seketika. Melihat tangan Zio yang menyendok nasi beserta sayur untuknya.
“Makan. Jangan banyak bicara,” kata Zio memotong ucapan Restya.
Devan terkekeh geli dengan perilaku temannya itu yang sulit ditebak. Sementara Emma mengeram kesal.
Restya tak sanggup untuk memakannya.
“Tidak usah bingung dan malu. Anggap Devan dan Emma tidak ada. Seumur hidup aku tidak pernah menyuapi siapa pun. Kalau kau menolak, ini penghinaan,” tegas Zio tanpa bantahan. Restya terpaksa membuka mulutnya. Dia mengunyah perlahan makanan yang masuk ke mulutnya. Tuhan memberkati. Makanan itu tidak pedas.
“Nah, lanjutkan sendiri. Jangan manja seperti anak kecil. Makan harus disuapi,” cibir Zio dengan nada dingin.
Restya tak habis pikir dengan ucapan dan perilaku Zio yang sering membuatnya naik darah. Namun, tidak bisa ia lupakan. Dia yakin, tadi Zio mengerjainya karena tahu bahwa seorang Restya tidak bisa memakan masakan pedas.
“Saya bisa makan sendiri. Namun, Dokter sendiri yang mengatakan kalau saya menolak, berarti menghina Dokter. Mana berani saya menghina senior saya. Terima kasih,” kata Restya dengan nada manis yang syarat akan cibiran di dalamnya.
“Bagus kalau begitu. Makan yang banyak sekarang. Kau besok menjadi rekanku, aku tak mau kau sakit karena tidak makan.”
***
Restya menatap nanar tubuh yang kaku di atas brangkar. Gadis belia itu tak berhasil terselamatkan. Beberapa saat setelah memasuki rumah sakit, nyawanya sudah tidak ada. Ia melihat orang tua gadis itu menangis tak keruan sehingga pingsan. Ini bukan pertama kalinya, dia melihat seseorang meninggal. Namun, melihat gadis itu mengingatkan kepada sepupunya yang meninggal ketika remaja.Zio yang tadi melihat Restya berjalan ke ruang jenazah langsung mengikuti perempuan itu. Dia bingung kenapa Restya menitikkan air mata melihat jasad itu. Apakah Restya mengenalnya, pikir Zio.“Dokter Restya,” panggil Zio seraya menepuk pundak Restya pelan. Sontak gadis itu berbalik arah menghadap Zio.“Dokter Zio,” sapa Restya dengan senyuman kaku.“Kenapa di sini? Itu bukan pasien Dokter, kan?” tanya Zio memastikan.Restya menggeleng.“Dia seperti sepupu saya. Meninggal karena overdosis. Awalnya sepupu saya depresi karena masalah kelua
Angin berembus dengan pongah. Menerbangkan dedaunan secara tak beraturan hingga salah satu daun itu terjatuh di kepala Restya. Perempuan itu hendak mengambil daun yang menempel di surai panjangnya yang kali ini tak terikat. Menjuntai dengan indahnya.Cekrek. Suara bidikan kamera membuat Restya mengalihkan pandangannya. Ia mencari-cari sosok yang mengambil gambarnya. Namun, manik mata teduh tetapi tajam itu tak menemukan siapa pun di taman itu.Restya menghela napas sejenak, sebelum melangkah menuju bangku taman dekat air mancur. Kaki jenjang itu melangkah dengan perlahan, juga waspada dengan hal yang ada di sekitarnya.Manik mata Restya tertuju kepada sebuket bunga di bangku yang hendak ia duduki. Dia menengok ke sekeliling. Namun, nihil tak ada siapa-siapa. Tangan mungil itu perlahan mengambil buket bunga itu dengan hati-hati. Ada surat di sana.Untuk Bunga Bakungku,Matahari boleh pongah dengan panasnyaAngin boleh congkak dengan lajunyaHuja
Istirahat makan siang kali ini begitu ramai. Beberapa dokter tengah berbincang-bincang mengenai pesta pernikahan Dokter Kepala UGD. Mereka yakin, banyak tamu penting yang hadir di sana. Dari kalangan dokter sampai pemilik rumah sakit terkenal di kota ini. Banyak yang berencana akan memanfaatkan acara ini untuk memperluas jaringan atau kolega. Bahkan dokter muda banyak yang ingin mencari jodoh di pesta itu.Restya mengambil earphone miliknya karena dia merasa terganggu akan pembicaraan itu. Perempuan ini tak tertarik sama sekali.“Dokter Restya,” sapa Devan seraya menaruh piringnya di meja makan Restya. Perempuan itu mendongak seraya tersenyum. Meski dalam hati, ia merasa malu dengan kejadian beberapa hari lalu, di mana dia mengaku menjadi kekasih lelaki itu. Untungnya Devan tak membahas masalah itu lagi sepanjang perjalanan pulang kemarin. Jadi, dia merasa tak begitu terbebani.Restya langsung melepas earphone bewarna biru itu.“Iya, Dok,” jawab Restya lembut.“Saya m
-Sebaiknya orang membangun karakter lain, pasti dia akan kembali menjadi dirinya sendiri, ketika bersama orang terdekat yang membuatnya nyaman-Suara gemuruh terdengar begitu jelas di indra pendengaran Restya. Ia langsung menengok ke kanan dan ke kiri untuk berteduh. Namun, manik matanya tak sengaja bertemu dengan Rangga. Dia langsung membuang wajahnya dan hendak pergi.Restya berjalan terburu-buru menuju arah utara, diikuti pula dengan langkah Rangga. Lelaki itu terus memanggil perempuan itu dengan lantang. Namun, tak digubris sekalipun oleh Restya. Terpaksa lelaki itu berlari mengejar Restya.Raut wajah Restya berubah kaku seketika. Manik matanya menajam, rasa sesak itu kembali menyeruak. Ingin sekali dia berbalik arah dan berteriak untuk meluapkan amarahnya kepada Rangga. Mengatakan semua hal yang membuatnya kecewa dan terpuruk di masa lalunya. Namun, tak mampu ia lakukan.“Restya,” lirih Rangga seraya memegang tangan Restya tepat di dekat ayunan
-Sakit hati yang tiada tara itu, ketika kau jatuh hati, langsung patah hati karena orang yang kau cintai telah pergi. Jangan pernah menyakiti kalau ingin dicintai.-Hampir dua minggu berlalu dengan cepat, luka Restya telah sembuh. Bekasnya di beberapa bagian masih ada. Kini, ia kembali bekerja seperti biasanya. Sudah lama rasanya tak mengunjungi ruangannya. Dia menatap satu per satu sudut rumah sakit begitu jam istirahat tiba. Namun, entah kenapa ada yang kurang di hatinya.“Dokter Restya,” panggil Devan dengan nada ramah sama seperti biasanya, walau terakhir bertemu mereka sempat berdebat singkat. Restya mengalihkan pandangannya ke arah Devan dengan raut wajah tanpa ekspresi.“Iya,” jawab Restya singkat tanpa minat. Ia masih ingat dengan ucapan lelaki itu yang menyindirnya beberapa waktu lalu.“Di sini tidak turun salju, tetapi kenapa dingin sekali, ya,” gurau Devan sekaligus menyindir sifat Restya. Lelaki itu tersenyu
11. FaktanyaTak terasa waktu berlalu dengan cepat. Kemarin Devan mengajak Restya untuk menonton di bioskop karena cuaca yang tak mendukung, akhirnya baru kali ini kedua anak manusia itu berjalan bersama. Sebelum menonton film, mereka pergi ke kedai ramen dan berbincang-bincang. Restya merasa Devan adalah teman yang baik pula untuk diajak bicara. Tak ada salahnya, jika ia memperbaiki hubungannya dengan Devan.Restya terus tersenyum mendengar lelucon yang Devan katakan. Mungkin benar kata orang, kalau tak kenal, maka tak sayang. Perempuan ini baru menyadari kalau Devan memang benar-benar manis seperti yang ia dengar dari beberapa orang.“Dokter Restya, mau minum apa?” tanya Devan yang baru saja membeli tiket. Tangan kanannya menyodorkan tiket untuk Restya yang langsung ditanggapi perempuan itu. Ia mengambilnya dengan tersenyum.“Terserah, ikut Dokter Devan saja,” kata Restya santai.Devan mengangguk. “Dokter Tya masuk dul
Restya tersenyum mendapati kondisi pasiennya semakin membaik. Perempuan itu terus berterima kasih padanya. Ia tengah menjabat tangan Restya erat dengan raut wajah ceria."Sekali lagi terima kasih, Dok. Saya janji kalau saya sudah sembuh nanti, saya pasti akan menyicil uang biaya rumah sakit ini kepada Dokter," katanya dengan mata berkaca-kaca."Masalah biaya tak usah dipikirkan. Saya ikhlas membantu, Mbak," balas Restya dengan nada lembut. Ia membayarkan semua biaya operasi pasiennya karena dia tak tega melihat seorang perempuan yang berjuang untuk putranya seorang diri. Wanita ini adalah salah satu karyawan di kantin rumah sakit. Suaminya telah meninggal dan kini hidup dengan ibu dan anaknya. Kalau wanita itu sakit, siapa yang akan membiayai kebutuhan keluarganya? Hatinya terketuk untuk membantu."Dokter Restya baik sekali. Semoga Dokter selalu bahagia," ucapnya dengan nada tulus.Restya tersenyum."Iya, terima kasih doanya. Saya pamit dulu," kata Restya de
Gaun selutut tanpa lengan yang membalut tubuh Restya begitu cocok di tubuhnya. Namun, entah kenapa ia merasa kikuk. Manik matanya terus berpendar ke mana-mana. Ia mencari Zio, tetapi tak ia temukan sosok itu sama sekali.“Dokter Restya,” sapa Emma dengan senyum khasnya.Restya tersenyum manis seraya menyelipkan anak rambut di telinganya, “Iya, Dokter Emma.”“Dokter Restya sendirian?” tanya Emma seraya menyodorkan satu gelas jus yang ia bawa.Restya mengangguk seraya menerima minuman itu.“Oh, begitu,” kata Emma dengan nada santai. “Ngomong-ngomong saya enggak sengaja lihat Dokter Zio sama perempuan cantik. Mereka serasi sekali.”Restya kaget dengan ucapan Emma, tetapi ia tetap memasang raut wajah sesantai dan sedatar mungkin.“Lalu, apa hubungannya dengan saya?” Restya menatap Emma dingin. “Anda masih saja suka mengosip, ya.”Emma tersenyum masam. “Saya t