Beranda / Pernikahan / Rindu yang Terluka / 1. Biarkan Aku Di Sini 1

Share

Rindu yang Terluka
Rindu yang Terluka
Penulis: Lis Susanawati

1. Biarkan Aku Di Sini 1

RINDU YANG TERLUKA

- Biarkan Aku Di Sini

"Nggak perlu repot-repot mengeluarkanku dari sini, Mas. Biar kujalani hukuman ini. Tiga bulan dipotong masa tahanan nggak akan lama. Kalau aku di sini kalian punya kesempatan untuk bersama tanpa sembunyi-sembunyi lagi dariku." Rinjani menatap sinis pada lelaki di hadapannya.

"Mas sudah membicarakan pembebasanmu dengan pengacara kita." Daffa tidak mengindahkan ucapan istrinya.

"Aku nggak butuh jaminan darimu." Rinjani menghindari tatapan suami dan memilih bangkit dari duduknya. Muak dengan lelaki yang sudah mengkhianati pernikahan mereka.

"Kamu nggak memikirkan bagaimana perasaan Noval?"

Pertanyaan Daffa membuat Rinjani kembali duduk. "Sadar nggak Mas, kamu ngomong kayak gini? Kamu mikir nggak perasaan kami, saat kamu berkhianat. Kalian sudah keterlaluan. Aku diam kalian malah keenakan. Seharusnya perempuan itu kubikin lebih parah lagi.

"Nggak perlu sibuk mengeluarkanku dari sini. Karirku, hidupku, kepercayaanku padamu sudah berakhir. Aku turuti kemauanmu agar tidak buka praktek pribadi supaya kita bisa punya banyak waktu untuk bersama. Aku tolak menjadi dokter jaga di klinik agar waktu kita tidak tersita. Nyatanya apa, Mas? Kamu tetap saja mendua."

"Please, Rin. Maafkan, Mas. Kita proses untuk kebebasan bersyaratmu, setelah itu kita selesaikan permasalahan ini di rumah. Tolong pikirkan Noval, dia setiap hari menanyakan di mana mamanya."

Rinjani terdiam menatap benci pada pria yang sudah menjadi suaminya lima tahun ini. Dadanya terasa sesak. Netranya berkabut saat teringat bocah lelaki umur empat tahun. Anak yang selalu membuatnya menangis setiap malam selama dalam tahanan. Tanpa menjawab pertanyaan suaminya, Rinjani melangkah ke dalam di kawal seorang sipir yang akan mengantarnya kembali ke dalam sel.

"Rin," panggil Daffa. Rinjani terus melangkah tidak mengindahkan panggilan itu. Padahal waktu besuk masuk tersisa.

Hanya Noval yang membuatnya menangis. Ia rindu pada anaknya. Persetan dengan Daffa. Bahkan ia tidak peduli dengan karirnya yang sudah pasti hancur sebagai dokter umum di sebuah rumah sakit.

Daffa mengusap kasar rambutnya. Menatap ruang di mana Rinjani pergi tadi. Dua kali ia menemui istrinya yang mendapatkan masa penahanan selama tiga bulan karena telah menganiaya Abila tiga minggu yang lalu.

Pria itu bangkit dari duduknya dan keluar ruangan. Gagal lagi kali ini. Rinjani lebih memilih mendekam di penjara daripada dibebaskan bersyarat. Bahkan sinar matanya mengobarkan api amarah dan kebencian. Marah pada suami yang telah mengkhianatinya.

Ponsel di saku celana Daffa berdering. Abila meneleponnya. Namun dibiarkan benda pipih itu bergetar di saku celana. Kekasih gelapnya terus menghubungi hingga Daffa sampai di kantor.

"Halo." Akhirnya dijawab juga panggilan itu.

"Mas, kamu tahu apa hasilnya setelah aku melakukan perawatan hampir sebulan ini? Bekas itu masih ada. Kamu harus bertanggungjawab, Mas. Kamu nggak boleh ninggalin aku," pekik Abila dengan nada frustasi. Perempuan itu panik karena pipi kirinya terluka akibat cakaran kuku-kuku Rinjani.

Kecantikan wajahnya yang tercoreng luka, membuat wanita itu stres dan terus meneror Daffa dengan telepon dan ancaman. Ia harus pulih. Daffa harus mengusahakan itu. Operasi plastik atau apapun supaya pipi Abila kembali mulus seperti sebelumnya.

"Mas!" teriak Abila di seberang.

"Iya. Kita bisa bicarakan ini nanti. Aku masih ada meeting sebentar lagi."

"Beneran? Kutunggu di rumah."

Daffa menarik napas panjang. Kalau dia tidak datang, Abila bisa nekat melakukan apa saja. Oh, kenapa dia terjerat oleh perempuan gila seperti Abila. Kenapa dia main-main dan terjerumus bersama perempuan yang begitu terobsesi padanya.

Diraihnya lagi ponsel di atas meja untuk menghubungi mamanya. Setelah peristiwa itu, sang mama lebih sering tinggal bersamanya untuk menemani dan menghibur Noval yang selalu menanyakan tentang mamanya. Terkadang Noval yang diajak ke rumah kakek dan neneknya.

"Bagaimana, Daf? Kamu sudah menemui Rinjani, kan?"

"Sudah, Ma. Aku barusan kembali ke kantor. Rin menolak. Dia nggak mau dibebaskan."

"Kenapa nggak mau? Apa dia nggak mikir anaknya. Nggak mikir karirnya sendiri, dan hancurnya reputasi keluarga kita." Bu Tiwi bicara dengan nada emosi. Daffa menghela nafas panjang.

"Urus dan bebaskan secara diam-diam. Dan satu lagi, putus dengan kekasih gilamu itu." Ponsel langsung dimatikan oleh sang mama sebelum Daffa selesai bicara.

Berapa kali ia hendak putus, tapi ada saja cara Abila untuk membuatnya bertahan dan lama kelamaan terbiasa dalam pesona wanita itu.

Ponsel kembali berdenting. Ada pesan masuk dari Abila yang mengirimkan foto-foto tentang calar di pipinya, tentang jemari tangannya yang bengkok. Daffa hanya memandang tanpa membalas. Ditinggalkannya ponsel di atas meja. Dia harus segera ke ruangan meeting karena sudah ditunggu.

***L***

Komen (7)
goodnovel comment avatar
Acon Irama
ebak d baca ya
goodnovel comment avatar
PiMary
Mampir dibab awal dulu mbak Lis,penasaran heheh.....aku mau selesaikan dulu Alan Livi,tinggal dikit lg..
goodnovel comment avatar
Putry Bungsu
lanjut ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status