RINDU YANG TERLUKA
- Biarkan Aku Di Sini "Nggak perlu repot-repot mengeluarkanku dari sini, Mas. Biar kujalani hukuman ini. Tiga bulan dipotong masa tahanan nggak akan lama. Kalau aku di sini kalian punya kesempatan untuk bersama tanpa sembunyi-sembunyi lagi dariku." Rinjani menatap sinis pada lelaki di hadapannya. "Mas sudah membicarakan pembebasanmu dengan pengacara kita." Daffa tidak mengindahkan ucapan istrinya. "Aku nggak butuh jaminan darimu." Rinjani menghindari tatapan suami dan memilih bangkit dari duduknya. Muak dengan lelaki yang sudah mengkhianati pernikahan mereka. "Kamu nggak memikirkan bagaimana perasaan Noval?" Pertanyaan Daffa membuat Rinjani kembali duduk. "Sadar nggak Mas, kamu ngomong kayak gini? Kamu mikir nggak perasaan kami, saat kamu berkhianat. Kalian sudah keterlaluan. Aku diam kalian malah keenakan. Seharusnya perempuan itu kubikin lebih parah lagi. "Nggak perlu sibuk mengeluarkanku dari sini. Karirku, hidupku, kepercayaanku padamu sudah berakhir. Aku turuti kemauanmu agar tidak buka praktek pribadi supaya kita bisa punya banyak waktu untuk bersama. Aku tolak menjadi dokter jaga di klinik agar waktu kita tidak tersita. Nyatanya apa, Mas? Kamu tetap saja mendua." "Please, Rin. Maafkan, Mas. Kita proses untuk kebebasan bersyaratmu, setelah itu kita selesaikan permasalahan ini di rumah. Tolong pikirkan Noval, dia setiap hari menanyakan di mana mamanya." Rinjani terdiam menatap benci pada pria yang sudah menjadi suaminya lima tahun ini. Dadanya terasa sesak. Netranya berkabut saat teringat bocah lelaki umur empat tahun. Anak yang selalu membuatnya menangis setiap malam selama dalam tahanan. Tanpa menjawab pertanyaan suaminya, Rinjani melangkah ke dalam di kawal seorang sipir yang akan mengantarnya kembali ke dalam sel. "Rin," panggil Daffa. Rinjani terus melangkah tidak mengindahkan panggilan itu. Padahal waktu besuk masuk tersisa. Hanya Noval yang membuatnya menangis. Ia rindu pada anaknya. Persetan dengan Daffa. Bahkan ia tidak peduli dengan karirnya yang sudah pasti hancur sebagai dokter umum di sebuah rumah sakit. Daffa mengusap kasar rambutnya. Menatap ruang di mana Rinjani pergi tadi. Dua kali ia menemui istrinya yang mendapatkan masa penahanan selama tiga bulan karena telah menganiaya Abila tiga minggu yang lalu. Pria itu bangkit dari duduknya dan keluar ruangan. Gagal lagi kali ini. Rinjani lebih memilih mendekam di penjara daripada dibebaskan bersyarat. Bahkan sinar matanya mengobarkan api amarah dan kebencian. Marah pada suami yang telah mengkhianatinya. Ponsel di saku celana Daffa berdering. Abila meneleponnya. Namun dibiarkan benda pipih itu bergetar di saku celana. Kekasih gelapnya terus menghubungi hingga Daffa sampai di kantor. "Halo." Akhirnya dijawab juga panggilan itu. "Mas, kamu tahu apa hasilnya setelah aku melakukan perawatan hampir sebulan ini? Bekas itu masih ada. Kamu harus bertanggungjawab, Mas. Kamu nggak boleh ninggalin aku," pekik Abila dengan nada frustasi. Perempuan itu panik karena pipi kirinya terluka akibat cakaran kuku-kuku Rinjani. Kecantikan wajahnya yang tercoreng luka, membuat wanita itu stres dan terus meneror Daffa dengan telepon dan ancaman. Ia harus pulih. Daffa harus mengusahakan itu. Operasi plastik atau apapun supaya pipi Abila kembali mulus seperti sebelumnya. "Mas!" teriak Abila di seberang. "Iya. Kita bisa bicarakan ini nanti. Aku masih ada meeting sebentar lagi." "Beneran? Kutunggu di rumah." Daffa menarik napas panjang. Kalau dia tidak datang, Abila bisa nekat melakukan apa saja. Oh, kenapa dia terjerat oleh perempuan gila seperti Abila. Kenapa dia main-main dan terjerumus bersama perempuan yang begitu terobsesi padanya. Diraihnya lagi ponsel di atas meja untuk menghubungi mamanya. Setelah peristiwa itu, sang mama lebih sering tinggal bersamanya untuk menemani dan menghibur Noval yang selalu menanyakan tentang mamanya. Terkadang Noval yang diajak ke rumah kakek dan neneknya. "Bagaimana, Daf? Kamu sudah menemui Rinjani, kan?" "Sudah, Ma. Aku barusan kembali ke kantor. Rin menolak. Dia nggak mau dibebaskan." "Kenapa nggak mau? Apa dia nggak mikir anaknya. Nggak mikir karirnya sendiri, dan hancurnya reputasi keluarga kita." Bu Tiwi bicara dengan nada emosi. Daffa menghela nafas panjang. "Urus dan bebaskan secara diam-diam. Dan satu lagi, putus dengan kekasih gilamu itu." Ponsel langsung dimatikan oleh sang mama sebelum Daffa selesai bicara. Berapa kali ia hendak putus, tapi ada saja cara Abila untuk membuatnya bertahan dan lama kelamaan terbiasa dalam pesona wanita itu. Ponsel kembali berdenting. Ada pesan masuk dari Abila yang mengirimkan foto-foto tentang calar di pipinya, tentang jemari tangannya yang bengkok. Daffa hanya memandang tanpa membalas. Ditinggalkannya ponsel di atas meja. Dia harus segera ke ruangan meeting karena sudah ditunggu. ***L***"Kamu jadi dibebaskan bersyarat?" tanya seorang wanita bertubuh besar, berkulit, gelap, yang duduk tepat di depan Rinjani. Dia salah satu penghuni paling lama di sel itu."Saya nggak mau," jawab Rinjani masih dalam posisi duduk memeluk lututnya."Kenapa nggak mau? Bodoh. Dibebaskan kok nggak mau. Keluar saja, cari perempuan pengganggu itu dan kasih pelajaran setimpal. Jangan tanggung-tanggung kalau ngasih hukuman," ucap Mak Ewok berapi-api. Mak Ewok, begitulah penghuni lapas memanggilnya.Rinjani tersenyum getir. Dia bukan perempuan yang bar-bar dan suka war. Namun pemandangan di depan matanya kala itu membuatnya hilang kesabaran. Hingga berbuat di luar dugaan.Ada teman yang mengirimkan foto mobil sang suami terparkir di depan sebuah rumah. Dari rumah sakit langsung ke alamat yang ditunjukkan oleh temannya yang merupakan tempat tinggal kekasih gelap Daffa. Perempuan yang beberapa bulan terakhir ini menjadi orang ketiga dalam rumah tangganya. Melihat perempuan itu bermanja dengan Daff
"Sudah, jangan nangis. Kamu akan bertemu anakmu setelah keluar dari sini." Pak Haslam melihat jam tangannya. "Waktu om sudah habis. Om pulang dulu. Tunggu prosesnya dan om akan menjemputmu."Rinjani mencium tangan Pak Haslam. Lelaki itu keluar, sedangkan Rinjani kembali digiring masuk ke selnya."Suamimu datang lagi?" tanya Mak Ewok."Bukan. Yang datang om saya.""Enak, banyak yang perhatian sama kamu. Kalau suamiku lebih suka aku mendekam di sini dan dia enak-enak dengan perempuan lain di luar sana." Seorang wanita bertubuh gempal dengan rambut potongan pendek duduk di depan Rinjani. Perempuan dengan kasus yang sama dengannya. Melabrak wanita simpanan suaminya. Bahkan membuat wanita itu sampai patah tulang karena dipukul menggunakan logam."Kami nggak kehilangan apa-apa selain kebebasan. Tapi kamu kehilangan karirmu sebagai seorang dokter," lanjut wanita itu.Ya, Rinjani kehilangan kepercayaan dalam pekerjaannya. Instansi tempatnya bekerja memang belum membuat keputusan hendak member
RINDU YANG TERLUKA- Kekasih Gelapmu "Assalamu'alaikum." Seorang wanita yang sedang menenteng tas mewah berdiri di antara ruang tamu dan ruang keluarga. Rambutnya yang indah terurai untuk menutupi pipinya."Wa'alaikumsalam," jawab Daffa dan Bu Tiwi bersamaan sambil memandang siapa yang datang."Ma, tolong ajak Noval ke kamarnya." Daffa berkata pada sang mama.Bu Tiwi menatap tajam wanita yang mengangguk sopan padanya. Kalau tidak ada sang cucu, ingin rasanya mengamuk pada wanita yang sudah menjadi selingkuhan putranya. "Noval, ayo ikut nenek." Bu Tiwi mengandeng Noval menaiki tangga untuk ke lantai dua. Bocah lelaki itu tak henti menatap perempuan yang baru dilihatnya malam itu."Beraninya kamu datang ke sini. Kau ingin permasalahan ini makin rumit, Bil?" Daffa menahan amarahnya. Tidak menyangka Abila berani mendatangi rumahnya."Kenapa Mas menghilang setelah kejadian itu? Katanya tadi mau datang ke rumah. Aku tunggu kenapa nggak muncul? Makanya jangan salahkan kalau aku nyamperin k
Karirnya hancur. Impian menjadi dokter adalah cita-citanya semenjak kecil. Namun kini terancam tinggal kenangan."Pergi jauh dari kota ini. Mulai lagi karirmu. Penjara tiga bulan nggak akan membuat karirmu tenggelam." Mak Ewok tadi sore bicara begitu padanya. Namun apa masih ada orang yang percaya padanya? Profesi dokter sangat berkaitan dengan keselamatan pasien. Lantas bagaimana jika dirinya sendiri telah menganiaya orang. Apa mereka bisa menyakininya lagi?Rinjani mengangkat wajah. Melihat teman-teman satu sel yang terlelap di atas tikar. Mereka sudah terbiasa setelah berbulan-bulan menghuni ruangan dengan ukuran 4X4 meter itu. Bahkan dengkuran Mak Ewok yang terdengar di segala penjuru, tidak menjadikan itu sebuah gangguan. Mereka sudah terbiasa.Mungkin sekarang dirinya tengah menjadi perbincangan para tenaga kesehatan di rumah sakit, para kenalan, teman, kerabat, dan orang lain yang tahu tentang kasusnya. Emosi telah membuatnya berakhir di sini. Entah apa pendapat mereka tentang
RINDU YANG TERLUKA- Playboy "Om." Daffa mencium punggung tangan Pak Haslam. Tidak mengira kalau lelaki ini akan menjemput Rinjani. Tapi Daffa tahu kalau beberapa hari yang lalu Pak Haslam hendak mengurus pembebasan bersyaratnya Rinjani, hanya saja sudah keduluan dirinya yang memproses."Apa kabar, Nak Daffa?""Kabar baik, Om.""Aku akan pulang ke rumah Om, Mas," sela Rinjani."Kamu nggak kangen Noval? Dia menunggumu di rumah karena mas bilang kalau hari ini kamu pulang.""Hanya Allah yang tahu bagaimana hatiku saat ini," jawab Rinjani dengan netra berkaca-kaca. Kangennya sudah tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Bagaimana bisa suaminya bertanya apa dia tidak kangen anaknya?"Aku akan menemuinya nanti malam. Dia harus melihat ibunya dalam keadaan bahagia dan baik-baik saja. Bukan dalam keadaan seperti ini. Aku ingin menenangkan diri dulu." Rinjani menghindari bersipandang dengan suaminya.Ponsel Daffa bergetar di saku celana. Saat dilihat, tertera nomer rumahnya. Pasti Noval yan
"Nggak usah." Rinjani melepaskan tangannya dan berbalik hendak keluar. Namun dengan cepat, Daffa berhasil meraih lengannya. "Sayang, kamu pilih bajunya."Ini untuk pertama kali, Rinjani merasa muak dengan panggilan 'sayang'. "Nggak perlu, Mas. Bajuku ini pantas kupakai. Segera pulang saja, aku ingin segera bertemu Noval.""Please." Daffa menahan istrinya. "Tidak." Rinjani mendongak dan menatap tajam netra suaminya. Daffa mengalah. Namun setelah keluar toko, Daffa menariknya untuk masuk ke sebuah toko perhiasan yang terkenal paling mahal di kota mereka. Mulai dari emas 24 karat sampai berlian-berlian mewah ada di sana dan bisa di memesan jewelry yang diinginkan."Nggak usah merayuku dengan benda-benda seperti ini, Mas. Simpan saja uangmu. Memelihara gundik juga butuh uang."Daffa terhenyak sejenak. Ucapan itu cukup menyengat dalam dada. "Coba kamu lihat-lihat saja dulu, siapa tahu ada yang kamu sukai."Rinjani melepaskan tangannya dan melangkah cepat ke arah mobil. Andai dia punya ua
RINDU YANG TERLUKA- Kamar"Aku tidur di kamar Noval," jawab Rinjani datar."Tidur di kamar ini saja. Kita bisa ngobrol, Rin."Rinjani melepaskan cekalan tangan Daffa. Namun jemari itu kuat mencengkramnya. Malah Daffa menjatuhkan lututnya dan memeluk kaki Rinjani. "Rin, please! Berikan mas kesempatan untuk bicara. Mas minta maaf, Sayang."Seringai tipis terbit di bibir Rinjani. "Jangan panggil aku Sayang. Aku muak mendengarnya, Mas. Sebutan yang kau pakai untuk perempuan itu juga." Rinjani berusaha melepaskan kakinya. Namun rangkulan Daffa menguncinya."Rin, maafkan mas."Rinjani diam. Membiarkan Daffa meracau dengan kalimat-kalimat penyesalannya. Tidak sepatah kata ia menjawab. Tatapan wanita itu terbuang di sudut kamar. Cinta, rindu, benci, kecewa, marah, muak, dan entah kata apa lagi berkecamuk dalam dadanya. Membuat sesak dan ingin mengamuk rasanya."Jangan diam, Rin. Bicaralah. Maki dan sumpah serapahi suami ini. Mas akan menerimanya."Wanita itu membeku. "Sayang." Daffa menggun
"Nggak usah cemas gitu. Aku sudah nggak shock lagi sekarang. Bahkan aku sudah siap jika pernikahan kita selesai." Ucapan Rinjani membuat Daffa menatapnya tajam. Wanita itu berdiri. "Mana kuncinya, Mas. Aku mau keluar. Aku nggak bisa sekamar lagi denganmu.""Jangan seperti ini, Mas. Kita bisa bersikap secara dewasa menghadapi kemelut ini. Biarkan aku keluar menemani Noval." Suara Rinjani melembut dan berkata bijak saat melihat Daffa masih diam.Rinjani sendiri yang memilih Daffa dan mengabaikan beberapa nasihat temannya. Ia juga yang memutuskan untuk menerima lamaran dan hidup bersama dengan lelaki ini. Jadi ada permasalahan apapun ia harus bisa mengatasinya sendiri."Mas."Akhirnya Daffa bangkit setelah beberapa saat membiarkan istrinya menunggu. "Tidurlah di sini, mas akan tidur di sofa. Katamu baru saja, kita harus bersikap dewasa, kan? Lagian di kamar Noval hanya ada satu tempat tidur yang dipakai Lastri. Kamu nggak mungkin tidur di lantai.""Sebulan lebih aku sudah terbiasa tidur