Tampak seorang pria tengah mengamati pemandangan di atas jembatan yang terbuat dari beton. Tubuhnya kurus dan tinggi, berdiri lesu memegangi pembatas jembatan. Kedua mata sayunya melihat jauh ke depan. Menunjukkan ekspresi wajah yang datar, murung, dan penuh kehampaan.
Pandangannya lalu beralih ke arah kalung kartu tanda karyawan, yang bertuliskan nama ‘Han Reynard’. Beberapa saat, ia mengarahkan kalung pengenalnya ke depan. Dan hal selanjutnya, kalung pengenal tersebut dilepaskan dari genggaman dan hanyut mengikuti arus sungai di bawahnya. Terpampang sangat jelas di wajahnya sebuah beban pikiran yang dipikulnya. Diberhentikan paksa dari perusahaan tempat bekerjanya, tak mendapat uang pesangon, dan kini ia kebingungan ingin kerja apa.Lebih buruk lagi posisi keuangannya sedang menipis, habis untuk membayar kost dan mengangsur utang bank. Sekilas di kepala pria berambut hitam itu berharap dirinya akan mendapat sebuah koper berisi penuh uang lembaran kertas. Dan pikiran liar yang lain jika tak mendapatkan keinginan pertama, ia berpikir dengan gila akan terjun dari tempatnya berdiri, ke bawah sungai yang cukup dalam.Secepat mungkin ia menggelengkan kepala beberapa kali, agar menyadarkan dirinya untuk tak melakukan hal yang buruk.“Jangan berpikir yang tidak-tidak,” batin pria berambut hitam itu, “Ini belum berakhir.”Wajahnya diangkat ke depan, menghirup napas panjang dan mengembuskannya. Ia lalu menggerakkan kakinya mengarah ke kost untuk beristirahat, setelah itu memikirkan rencana ke depannya.Di saat Han sedang berjalan beberapa langkah, di depannya tampak ada anak laki-laki sedang berlari-lari menggiring sebuah bola dengan kaki kecilnya. Wajah bocah tersebut terlihat menjiwai bak pemain sepakbola yang handal.Dari kejauhan Han termenung memandangi tingkah bocah itu, ia sedikit kagum dengan gerakan samba yang dilakukan anak berusia tujuh tahun itu.“Wah … boleh juga bocah ini, kecil-kecil bisa samba.” Han membatin sembari mengamati. “Enak sekali menjadi anak-anak, bisa bermain tanpa memikirkan sebuah beban di hidupnya,” imbuh Han yang mengeluh.Anak laki-laki itu menghentikan gerakan teknik bolanya. Ia berjalan pelan ke arah Han. Berdiam diri seraya mengangkat kepala. Mata milik Han dan si anak saling bertemu. Ada beberapa jeda sebelum mereka mengeluarkan kata dari mulut masing-masing.“Ada apa, Paman? Kok lihat aku terus,” tanya bocah dengan wajah polos.“Jangan panggil aku Paman.” Han merespon dengan nada sedikit kesal. “Aku lihat kamu mahir bermain bola.”“Jelas, dong!” anak laki-laki tersebut menyahut penuh percaya diri. “Nanti besar aku ingin menjadi pemain bola dan bermain di Piala Dunia,” lanjut si anak.Mendengar perkataan dari anak kecil di hadapannya, membuat suasana emosi Han bercampur aduk. Dalam hati ia berkata, “Sepertinya bocah selugu ini belum tau jika Indonesia tidak ada harapan untuk bertanding di Piala Dunia.”Lamunan Han buyar saat si anak bertanya kepadanya. “Paman bisa main bola?”“Asal kamu tau ya dek, dulu waktu aku kecil pernah juara kampung.” Han menjawab dengan nada sedikit menyombongkan diri.“Juara main bola?”“Juara makan kerupuk.”Gelak tawa muncul dari Han, sedangkan si anak senyum masam mendengar lelucon yang sudah kuno dari seorang pria dewasa.“Sini bolanya,” pinta Han agar anak laki-laki di hadapannya mengumpan bola yang berada di kaki.“Paman bisa bermain bola?” Si anak lalu menendang pelan ke arah Han.“Berhenti memanggilku paman, anak kecil.” Han menahan bolanya dengan kaki kanannya, “Lihat, akan kutunjukkan teknik bermain bola ala pemain Brazil.”Han kemudian melakukan juggling, memantul-mantulkan bola ke atas, lalu sesekali memutari bola dengan kaki kanannya. Ia melakukan teknik itu dengan mengganti kaki kanan dan kiri. Setelah cukup puas bermain, Han kemudian melemparkan bola dengan pelan ke arah anak laki-laki di depannya.Karena belum mempersiapkan diri, si anak gugup untuk menangkap bola dengan kakinya. Alhasil, bola itu meleset darinya. Ia mengeluh kesal kepada Han. Mengejar bola yang menggelinding ke tengah jalan. Dirinya terlihat seperti ingin menangkap seekor ayam jago untuk dijadikan opor atau ayam bakar.Merasa dirinya salah, Han menampilkan ekspresi tidak enak, ia meminta maaf sambil melemparkan senyum kecil dan mengangkat tangan kanannya setengah ke atas.“Maaf, aku ti-.”Kedua mata Han melebar, ketika dari arah jauh depannya melaju sebuah truk dengan kecepatan yang tidak normal. Insting Han seketika mencoba ingin memberitahukan bahwa bahaya akan terjadi pada anak itu.Dan benar, pengendara truk membunyikan klakson berulang kali. Si pengendara tak sanggup menghentikan kendaraannya dikarenakan rem depan maupun belakang tak dapat berfungsi dengan baik.Si anak yang mendengar bunyi klakson, sontak menoleh ke arah sumber suara. Dirinya bergidik, tak sanggup menggerakkan kaki kecilnya. Bahkan ia tak mampu mengeluarkan suara dari mulutnya.“Bocah, awas!” teriak Han sembari berlari menuju anak laki-laki.Seolah waktu melambat, saat itu juga pikiran di kepala Han muncul satu-persatu. Tak beraturan.“Apa aku bisa menyelamatkannya? Jangan sampai telat. Kenapa truk itu tidak berhenti? Kumohon selamatkan anak kecil ini, Tuhan,” kata Han dalam hati.Tangan kiri Han berhasil menyentuh pundak anak kecil tersebut. Lalu dirinya mendorong sekuat tenaga ke trotoar. Si anak menutup mata dan jatuh.Syukur, Han berhasil tepat waktu menyelamatkan anak kecil. Namun, malangnya … bagian depan truk telah menyentuh tubuh Han. Ia merasakan hantaman yang sangat keras, saking kerasnya membuat tubuh laki-laki tersebut terpental ke belakang dan membentur aspal jalanan.Han tersungkur dengan bersimbah darah di bagian kepala. Napasnya cepat tak beraturan, penglihatan yang dapat ditangkap perlahan mulai kabur. Ia ingin mengucapkan suatu kata, tapi apa daya di bagian mulutnya mengeluarkan darah yang banyak. Bahkan, ia merasakan berat di dada untuk bernapas.Di sisa kesadaran yang ia miliki, beberapa kali telinganya mendengar suara dari anak kecil.“Paman, Paman, jangan mati!” teriak si anak berulang kali. Wajahnya tampak ketakutan dan sedih.Dalam hati Han berkata, “Sudah kubilang, jangan panggil aku paman … untung ka-kamu … sela-mat … bocah …”Di sisi lain, Han memikirkan semua bebannya. Masalah hidup, karir, percintaan, dan hutang yang ia takuti akan memberatkan dirinya saat di akhirat.Kemudian, ia melihat kilas balik masa hidupnya dulu. Dirinya yang masih kecil ditemani oleh ibu, ayah, dan adiknya. Namun, mereka—keluarga yang ia cintai—telah pergi satu-persatu persis seperti dirinya yang akan menyusul mereka. Seluruh tubuh Han menjadi dingin, kulitnya tampak memucat. Ia sudah tak dapat menggerakkan anggota tubuhnya. Bahkan, ia sudah tak bisa merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Pelan-pelan jantungnya berhenti berdetak dan matanya menjadi kosong.Gelap dan dingin …Sebuah akhir dari pria yang bernama Han Reynard.Tak pernah terbayangkan oleh Han, bahwa hidupnya telah berakhir dengan mengenaskan. Banyak pertanyaan yang berlalu-lalang di kepalanya. Bagaimana nasib dirinya selanjutnya?Di dalam kegelapan yang tak terhingga, Han mengambang di udara. Ia mencoba membuka mata, menatap kedua tangannya. Tubuhnya tidak merasa panas ataupun dingin. Namun, hatinya tak merasa tenang karena masih memikirkan utang dan masalah yang belum diselesaikannya.“Apa ini neraka?” Han membatin dengan wajah murung. “Tidak kusangka, hidupku bad ending.”Perlahan muncul tawa dari Han, lalu berangsur menjadi isak tangis. Tiba-tiba dari arah tak diketahui, muncul suara orang lain dengan bahasa yang tidak pernah Han dengar sebelumnya.“Kpe de enu, loluto. Egbo nie vie.” (Bertahanlah, Sayang. Kurang sedikit lagi)“Eh ... apa?” Han berhenti menangis dan pandangannya mencari sumber suara itu.“Eveam nuto ... edze abe nyemegate nu xoe o vie.” (Sakit sekali ... aku sepertinya tidak sanggup lagi.)Han semakin bingung tentang apa
Semenjak kejadian kecelakaan di dunia sebelumnya, Han telah pasrah dengan nasibnya di dunia akhirat. Sedikit bimbang tentang utang-utangnya, tetapi di sisi lain ia merasa lega karena telah menyelamatkan nyawa anak kecil. Jika boleh sedikit egois, ia ingin membuat tawaran untuk keringanan siksaannya dengan perbuatan mulia di saat akhir hidupnya.Namun, sebelum itu terjadi, entah kenapa Han terlahir kembali menjadi bayi yang bukan manusia, melainkan bayi ras Phantom. Sebuah makhluk yang sering disebut hantu di dunia ini. Ia mulai membiasakan diri hidup sebagai ras yang baru ia ketahui dalam hidupnya. Kebanyakan orang-orangnya memiliki ciri fisik yang sama. Berkulit putih pucat dan ada tanduk di dahi setiap orang.Awalnya Han mengira orang tua dan dirinya adalah orang yang memiliki kelainan fisik, rupanya ia keliru tentang pandangan itu. Ketika ia sering dibawa oleh Mawuli—ibu kandung Han saat ini—pergi berbelanja ke pasar yang tidak jauh dari rumah, alangkah terkejut dirinya bahwa bukan
Pagi ini Han melakukan rutinitas seperti biasa. Setelah membantu sang ibu menyelesaikan tugas rumah, Han berlatih ilmu pedang yang diajarkan oleh ayahnya. Jika ibu Han memiliki kelebihan dalam kecerdasan, maka ayah Han mempunyai kelebihan di kekuatan.Bisa dibilang sang ayah adalah orang paling ahli dalam ilmu seni pedang di desanya yang bernama Smohill. Dengan tubuh tegap berdiri dan memiliki otot yang sedang, membuat ia dapat bergerak dengan lincah dan kuat. Bahkan, Kafui beserta kawannya sering mengalahkan monster yang mendekat ke desa dengan ilmu seni pedang.Di bawah dahan pohon, Han duduk memeluk lutut memerhatikan ayahnya yang sedang menunjukkan beberapa jurus berpedang. Matanya terpaku pada hunusan dari pedang bermata dua milik ayahnya. Setiap hunusan pedang yang dilancarkan, selalu ada angin yang keluar. Seakan-akan dapat menembakkan serangan jarak jauh menggunakan gelombang angin.“Bagaimana ... kamu sudah paham?” tanya Kafui seraya mengatur napas.Seketika Han tersadar dari
Han menyuruh Shiva berjalan mengikutinya. Bukan menuju desa, melainkan ke atas bukit tujuan awal Han. Ia memperkirakan bahwa mereka berdua akan bertemu dengan anak-anak perundung di desa, maka ia memutuskan untuk tidak kembali ke sana dulu dan menunggu hingga situasi dingin.Sampai di atas bukit, Han berjalan menuju satu pohon besar yang rindang. Ia mengatur napas karena berjalan menaiki bukit. Melirik ke arah Shiva yang terlihat terengah-engah. Dirinya dapat memaklumi kondisi fisik anak perempuan jika disuruh berlari lalu berjalan menanjak.Dari sini Han dapat melihat desanya dengan jelas. Ia bahkan telah menemukan rumahnya yang berada di bagian kanan penglihatannya. Sepanjang mata memandang, dinding kubah yang transparan mengelilingi, seakan-akan mengunci dirinya, desa, dan semua yang ada di dalamnya. Sehingga tidak dapat menyentuh atau tidak dapat disentuh oleh dunia luar.Kemudian ia mengalihkan pandangannya ke sumber teriakan yang tadi membuat bulu kuduk berdiri. Memikirkan ada mo
Sejak pertemuannya dengan Han waktu itu, hidup Shiva mulai berubah. Ia menyelesaikan tugas rumah untuk mengumpulkan kayu kecil di hutan dekat rumahnya dengan cepat. Dalam perjalanan pulang, terkadang dirinya mengamati beberapa tumbuhan yang dapat dijadikan obat herbal. Mengingat dengan benar informasi seputar tanaman yang diberitahukan oleh Han.Setelah semua tugas rumah selesai, ia menuju ke rumah Han yang berada di bagian timur desa. Wajahnya berseri dengan senyuman yang lebar. Karena suasana hatinya membaik, sesekali melompat kecil saat berjalan.Sampai di depan pagar rumah Han, dirinya tidak langsung masuk dan bertemu. Ia mengintip dari balik celah pagar yang terbuat dari kayu. Sesuai perkiraannya, jadwal hari ini Han latihan pedang. Dan benar saja, di sana Han sedang berlatih dengan ayahnya.Sebuah ujung pedang milik Han meluncur lurus ke arah ayahnya. Dengan sigap, sang ayah menghindar dari serangan Han. Melihat ada kesempatan, Kafui melancarkan serangan balik. Beberapa hunusan p
Terbangun di suatu tempat yang asing, pandangan Han mulai mengelilingi penjuru tempat ia berdiri. Wajahnya mulai cemas karena baru sadar dirinya tidak berada di kamarnya. Ia menatap langit yang berwarna merah, tetapi matahari di atas lebih berwarna merah.Han menggerakkan kaki di atas hamparan rumput yang layu. Ia tak tau kenapa dirinya berada di tempat menyeramkan ini. Pikirannya saat ini hanya mau mengikuti langkah yang mengarahkan entah ke mana. Hingga matanya terbelalak ketika sampai di tujuan.Ia terdiam beberapa saat di depan mulut gua yang mirip gua di desanya. Awalnya ia berpikir begitu, tetapi setelah dilihat-lihat, itu benar-benar gua yang berada di desanya.“Bagaimana bisa terjadi seperti ini?” tanya Han yang mulai berkeringat.Perasaannya semakin tak karuan. Ia bingung kenapa berada di sini. Ingatan terakhirnya ialah berada di atas bukit bersama Shiva. Saat itu juga ia baru tersadar akan keberadaan Shiva yang tidak diketahuinya.“Shiva. Di mana kamu, Shiva? Shiva!” teriak H
Setelah membulatkan tekad, Han lalu mempersiapkan semua yang diperlukan. Ia pernah membaca beberapa buku milik keluarganya, tentang informasi segala monster yang ada di dunia ini. Namun, perhatiannya lebih memusatkan ke bagian monster yang kurang lebih memiliki fisik seperti dalam mimpinya.Han membuat perlengkapan berupa cincin, jimat, dan kalung. Setiap benda tersebut memiliki atribut yang memberikan kemampuan, ketahanan fisik ataupun sihir, dan sedikit menambah kekuatan.Kini ia berada di depan mulut gua. Belum masuk ke dalam sana, insting yang dimiliki dari tiap Phantom sudah aktif dan memperingatkan bahaya di hadapannya. Han menelan ludah, memberanikan diri masuk ke dalam. Tangan kirinya memegang obor, tangan satunya didekatkan ke kantong yang menggantung di pinggangnya.Kondisi gua yang gelap dan sedikit licin, membuat Han harus berhati-hati. Apalagi ditambah ancaman dari sosok yang berada di dalam gua, semua kemungkinan terburuk dapat terjadi.Baru melakukan perjalanan sampai
Han tak sanggup menutupi ekspresi wajahnya. Mulutnya sedikit terbuka karena mendengar sesuatu yang belum diterima oleh akalnya. Dirinya masih belum bisa menerima apa yang dikatakan oleh sosok kegelapan itu. “Kamu berdusta, kan?” tanya Han penuh keraguan.“Untuk apa aku berdusta?” Sosok kegelapan itu menatap tajam mata Han. “Aku juga ingin segera keluar dari sini...”Tak langsung merespon, Han terdiam sejenak. Ia berusaha untuk tidak berpikir di depan makhluk yang dapat membaca pikiran. Setelah beberapa saat suasana di sana menjadi sunyi, sosok tersebut melanjutkan kata.“Dan bertemu dengannya,” imbuh sosok kegelapan itu dengan lirih.Meskipun Han tidak dapat membaca pikiran apalagi perasaan, sisa-sisa sisi kemanusiaannya membuat hatinya berempati. Sekilas dirinya mengingat kehidupannya di dunia sebelumnya saat dirinya masih hidup. Kemudian ia mengeluarkan suara untuk menghilangkan suasana canggung.“Bertemu dengan siapa?”Ada jeda sebelum sosok kegelapan tersebut menjawab pertanyaan