Sejak pertemuannya dengan Han waktu itu, hidup Shiva mulai berubah. Ia menyelesaikan tugas rumah untuk mengumpulkan kayu kecil di hutan dekat rumahnya dengan cepat. Dalam perjalanan pulang, terkadang dirinya mengamati beberapa tumbuhan yang dapat dijadikan obat herbal. Mengingat dengan benar informasi seputar tanaman yang diberitahukan oleh Han.
Setelah semua tugas rumah selesai, ia menuju ke rumah Han yang berada di bagian timur desa. Wajahnya berseri dengan senyuman yang lebar. Karena suasana hatinya membaik, sesekali melompat kecil saat berjalan.Sampai di depan pagar rumah Han, dirinya tidak langsung masuk dan bertemu. Ia mengintip dari balik celah pagar yang terbuat dari kayu. Sesuai perkiraannya, jadwal hari ini Han latihan pedang. Dan benar saja, di sana Han sedang berlatih dengan ayahnya.Sebuah ujung pedang milik Han meluncur lurus ke arah ayahnya. Dengan sigap, sang ayah menghindar dari serangan Han. Melihat ada kesempatan, Kafui melancarkan serangan balik. Beberapa hunusan pedang melayang. Han tidak tinggal diam, ia berusaha keras menangkis semua serangan dan berhasil.Shiva sedari tadi menyaksikan Han beradu pedang. Ia membeku, terbuai dalam kekaguman Han yang bertambah kuat. Ditambah Han berlatih tanpa baju sehingga memperlihatkan otot-otot yang sedikit membentuk, membuat wajah Shiva memerah. Ia tidak menyadari dirinya dapat dilihat dari tempat Han berada.Kafui menghentikan serangan, mengatur napas dan menancapkan ujung pedang ke tanah. Ia sedikit kagum dengan perkembangan Han. Meskipun mengetahui anaknya tak dapat menggunakan sihir karena tidak memiliki mana, ia menaruh harapan besar pada anaknya itu.“Kamu semakin bertambah kuat ya,” ucap Kafui tersenyum kecil.Masih dengan napas terengah-engah, Han merespon seraya mengangguk. “Ini karena berkat latihan yang Ayah berikan.”Han melirik ke arah tempat Shiva mengintip. Ia menyadari keberadaan gadis lugu itu yang sedari tadi mematung menyaksikan latihan pedang. Ada rasa ingin menyapanya, tetapi ini masih dalam waktu pelatihan, jadi Han mengurungkannya.Berpikir bahwa anaknya sedang tidak fokus dalam latihan karena ada teman yang menunggu, maka Kafui menyudahi latihan lebih awal.“Kita sudahi latihan hari ini,” ujar Kafui sembari menyarungkan pedangnya ke dalam sarung pedang.Han menyerngit dan bertanya, “Tidak apa-apa, Yah? Ini masih banyak waktu sampai sore.”“Kekuatan dan staminamu sudah bertambah ... jadi menurut Ayah, cukup latihannya.” Kafui mendekat ke arah Han dan menggoda. “Lagian ... kamu sudah ditunggu kekasihmu.”Han hanya menyengit dan membatin. “Apakah orang tua boleh berkata seperti itu ke anaknya yang baru berumur 10 tahun? Di duniaku dulu anak kecil dilarang pacaran loh.”“Ayah kembali dulu ke rumah ya, jangan pulang terlalu petang.” Kafui berjalan meninggalkan Han.“Baik, Yah.”Han menyarungkan pedangnya, menggantungkan pedang ke samping pinggang. Ia melangkah menuju Shiva. Terlihat wajah gadis itu berseri dengan kedua mata yang bulat besar.“Kamu di sini sudah lama? kenapa tidak masuk, Shiva?” tanya Han.Shiva menjawab dengan pipi memerah. “A-aku ... tidak ingin mengganggu latihanmu.”“Tenang saja, tidak mengganggu kok. Hari ini mau bermain apa?”“Entahlah, Aku tidak tau.” Shiva menggelengkan kepala.“Ayo kita ke bukit itu lagi!” kata Han sambil berlari ke arah bukit.Shiva mengangguk dan segera menyusul Han yang telah pergi lebih dulu.Cuaca hari ini sangat bersahabat, cerah dan sejuk. Dua anak berlari melewati lahan gandum yang tidak lama lagi akan siap dipanen. Han berlari sembari mengulurkan tangan kirinya, sengaja menabrakkan ke gandum. Shiva meniru yang dilakukan Han, senyum mengembang lebar di wajah gadis yang sedang berbunga-bunga itu.Setelah sampai di atas bukit, Han dan Shiva bernaung di bawah pohon yang rindang. Mereka mengobrol banyak hal tentang hari ini. Sesekali gelak tawa muncul dari kedua anak itu.Beberapa menit kemudian, mereka berdua terdiam sembari menatap langit yang tertutup oleh kubah kaca. Shiva teringat hal yang pernah diceritakan oleh Han.“Han ...,” panggil Shiva.“Iya, Shiva. Ada apa?” Han menoleh ke arah Shiva.“Apa kamu masih berpikir ingin keluar dari kubah kaca ini?”“Tentu, cuma aku masih belum tau caranya,” jawab Han. “Apa kamu tau?”Shiva menggeleng manja. “Belum tau.”“Asal-usul kubah kaca ini juga masih misteri. Bahkan, si tua Colan yang sudah berumur 100 tahun lebih tidak tau kenapa kita di dalamnya.”Shiva bingung ingin merespon apa. Pengetahuan yang dimiliki sedikit, membuatnya tak bisa berkata-kata. Tidak ingin berdiam terlalu lama, ia lalu melontarkan sebuah pertanyaan.“Andai, jika kamu tau cara untuk keluar dari kubah ini dan berhasil keluar ... maukah kamu mengajakku bersamamu?”Han tak langsung menjawab, ia tertegun sesaat, matanya saling bertemu dengan mata milik Shiva.“Aku minta maaf jika ini terdengar egois, tetapi aku benar-benar ingin selalu bersamamu,” lanjut Shiva dengan pipi merona.Wajah Han memerah. Ia bingung ingin menanggapi keinginan dari seorang gadis di dekatnya itu.“Apa kamu benar-benar ingin ... pergi keluar dari kubah ini dan menjelajahi dunia luar ... bersamaku?” tanya Han.Shiva mengangguk dengan senyum tipis.“Baiklah kalau begitu.”Mendengar jawaban tersebut, Shiva sangat bahagia. Ia lalu melompat ke atas tubuh Han dan memeluk erat-erat.Terbangun di suatu tempat yang asing, pandangan Han mulai mengelilingi penjuru tempat ia berdiri. Wajahnya mulai cemas karena baru sadar dirinya tidak berada di kamarnya. Ia menatap langit yang berwarna merah, tetapi matahari di atas lebih berwarna merah.Han menggerakkan kaki di atas hamparan rumput yang layu. Ia tak tau kenapa dirinya berada di tempat menyeramkan ini. Pikirannya saat ini hanya mau mengikuti langkah yang mengarahkan entah ke mana. Hingga matanya terbelalak ketika sampai di tujuan.Ia terdiam beberapa saat di depan mulut gua yang mirip gua di desanya. Awalnya ia berpikir begitu, tetapi setelah dilihat-lihat, itu benar-benar gua yang berada di desanya.“Bagaimana bisa terjadi seperti ini?” tanya Han yang mulai berkeringat.Perasaannya semakin tak karuan. Ia bingung kenapa berada di sini. Ingatan terakhirnya ialah berada di atas bukit bersama Shiva. Saat itu juga ia baru tersadar akan keberadaan Shiva yang tidak diketahuinya.“Shiva. Di mana kamu, Shiva? Shiva!” teriak H
Setelah membulatkan tekad, Han lalu mempersiapkan semua yang diperlukan. Ia pernah membaca beberapa buku milik keluarganya, tentang informasi segala monster yang ada di dunia ini. Namun, perhatiannya lebih memusatkan ke bagian monster yang kurang lebih memiliki fisik seperti dalam mimpinya.Han membuat perlengkapan berupa cincin, jimat, dan kalung. Setiap benda tersebut memiliki atribut yang memberikan kemampuan, ketahanan fisik ataupun sihir, dan sedikit menambah kekuatan.Kini ia berada di depan mulut gua. Belum masuk ke dalam sana, insting yang dimiliki dari tiap Phantom sudah aktif dan memperingatkan bahaya di hadapannya. Han menelan ludah, memberanikan diri masuk ke dalam. Tangan kirinya memegang obor, tangan satunya didekatkan ke kantong yang menggantung di pinggangnya.Kondisi gua yang gelap dan sedikit licin, membuat Han harus berhati-hati. Apalagi ditambah ancaman dari sosok yang berada di dalam gua, semua kemungkinan terburuk dapat terjadi.Baru melakukan perjalanan sampai
Han tak sanggup menutupi ekspresi wajahnya. Mulutnya sedikit terbuka karena mendengar sesuatu yang belum diterima oleh akalnya. Dirinya masih belum bisa menerima apa yang dikatakan oleh sosok kegelapan itu. “Kamu berdusta, kan?” tanya Han penuh keraguan.“Untuk apa aku berdusta?” Sosok kegelapan itu menatap tajam mata Han. “Aku juga ingin segera keluar dari sini...”Tak langsung merespon, Han terdiam sejenak. Ia berusaha untuk tidak berpikir di depan makhluk yang dapat membaca pikiran. Setelah beberapa saat suasana di sana menjadi sunyi, sosok tersebut melanjutkan kata.“Dan bertemu dengannya,” imbuh sosok kegelapan itu dengan lirih.Meskipun Han tidak dapat membaca pikiran apalagi perasaan, sisa-sisa sisi kemanusiaannya membuat hatinya berempati. Sekilas dirinya mengingat kehidupannya di dunia sebelumnya saat dirinya masih hidup. Kemudian ia mengeluarkan suara untuk menghilangkan suasana canggung.“Bertemu dengan siapa?”Ada jeda sebelum sosok kegelapan tersebut menjawab pertanyaan
"Shiva, kumohon berhenti!"Sekuat tenaga Han mengejar Shiva, tetapi ia tak dapat menyusulnya. Berkali-kali ia meneriaki nama perempuan itu, berharap mau berhenti dan mendengarkan penjelasannya.Secara kebetulan, di tengah jalan Kafui melihat Shiva dikejar oleh Han. Merasa ada yang tidak benar, Kafui menghadang Shiva."Ada apa, Shiva?" tanya Kafui dengan raut wajah cemas.Shiva tak langsung menyahut. Dengan terisak-isak ia menatap Kafui dan berkata, " Han ... ingin mem-bunuh ... semua orang."Mata kafui melebar ketika mendengar perkataan itu. Dirinya mencoba menduga-duga maksud dari anak perempuan di hadapannya. Akan tetapi, hatinya ingin mendapat jawaban pasti dari Han. Ia mengalihkan pandangannya ke arah Han yang baru tiba."Han apa barusan kamu dari gua?" tanya kafui dengan nada menekan.Han mencoba mengatur napasnya. Karena takut, ia menatap mata ayahnya sekilas lalu menundukkan kepala.Amarah sekaligus kekecewaan tak sanggup lagi dibendung oleh Kafui. Wajah pria itu berubah merah
Kafui menyeret Han dengan kasar ke gudang belakang rumah mereka. Ia tanpa belas kasih melempar anak laki-lakinya dengan kencang ke sudut ruangan, sehingga tubuh Han menghantam beberapa benda dan berserakan ke lantai.Seperti kerasukan, Kafui memberikan beberapa tinju ke tubuh Han. Sementara Han hanya bisa terdiam dan merintih kesakitan saat menerima pukulan dari ayahnya.Sesaat kemudian masuk Masuk ibu Han dengan raut wajah panik. Ia bergegas menghampiri Han yang sudah terkapar di lantai. Air matanya tumpah saat menatap putranya dipenuhi luka lebam."Sudah berhenti! Ini anakmu, Kafui!" teriak Mawuli sembari merangkul Han.Kafui menghentikan amukannya. Ia mengatur napas dan mulai meredamkan amarahnya. Meskipun wajahnya masih merah, matanya berkaca-kaca ketika melihat anaknya tidak berdaya di hadapannya."Apa yang telah kulakukan?" Kafui membatin penuh penyesalan.Sementara di tempat lain, Shiva menangis di dalam kamar. Ia belum percaya dengan apa yang didengar. Hatinya merasa gelisah k
Pria berjubah lusuh itu telah menumbangkan naga tanah yang kedua. Menggunakan jurus sama untuk mengalahkan monster sebelumnya. Ia menatap sebentar mayat monster yang dikalahkannya. Pikirannya merasa ada yang janggal."Jarang sekali bertemu dengan naga tanah berukuran sebesar ini, kenapa mereka ada di sekitar daerah ini?" tanya pria berjubah lusuh dan melanjutkan perjalanan.Mendadak langkah kakinya terhenti tatkala di depannya ada banyak naga tanah berukuran sama besar dari sebelumnya mulai menyembul dari bawah tanah satu persatu.Monster naga tanah itu mendekat kearah pria berjubah. Mereka mengelilingi pria berjubah lusuh dengan tatapan tajam dan haus darah. Seakan-akan ingin memangsa buruan di depan."Apa kalian serius?" Pria berjubah membuat kuda-kuda pertahanan. "Contoh dua kawan kalian yang sudah terbelah jadi dua, apa belum cukup membuat kalian paham?"Para naga tanah terlihat jelas tidak dapat mengerti peringatan dari pria berjubah. Atau bahkan, mereka tidak mau mendengarkan pe
Kubah transparan yang mengurung desa tempat tinggal ras Phantom sedikit sulit dijelaskan oleh nalar. Jika dari dalam kubah, orang di dalamnya dapat melihat dari sisi luar, tetapi tidak dapat keluar. Sedangkan di luar kubah, pihak sisi luar tidak dapat melihat ke dalam, tapi dapat masuk. Seakan-akan tidak ada penghalang untuk memasuki kubah.Dulu saat monster atau hewan buas yang tidak sengaja masuk ke dalam kubah, Kafui bersama teman-temannya mengusir, melawan, bahkan memburunya untuk diambil daging dan bagian yang berguna."Oi, Kafui! Ada kawanan mamut masuk ke kubah," ucap seorang pria berbadan besar."Kamu serius, Kren?" Wajah Kafui tampak sedikit tidak percaya.Pria yang berbadan lebih besar dari Kafui itu bernama Kren. Memiliki perawakan tinggi dengan tubuh gempal yang dominan lemak ketimbang otot. Tangan kanannya memegang pedang besar."Apa kamu tidak percaya dengan diriku? Teman seperjuangan dari kecil," ujar Kren dengan nada membanggakan diri.Kafui tertawa kecil sambil mengam
Pertarungan antara Kafui dengan teman-temannya berakhir cepat. Meskipun kalah jumlah, ia berhasil mengalahkan banyak orang seorang diri. Tubuhnya mengalami luka, tetapi tidak separah kawannya."Kena-pa ... kamu tidak mengakhiri kami, Kafui?" tanya Kren dengan mulut mengeluarkan darah.Kafui menatap Kren dan teman-temannya. "Kalian bukan musuhku.""Tapi kami berniat membunuh putramu," ucap Oden dengan kondisi terkapar di lantai."Kenapa kalian ingin menyerang anakku?" Kafui duduk di lantai dengan napas tersengal-sengal."Entahlah, aku tidak tau kenapa harus membunuh anakmu." Haelus menjawab sembari mengingat kembali apa yang telah terjadi.Kafui mengernyitkan alisnya. Ia menjadi bingung dengan jawaban dari kawannya. Hatinya merasa ada yang janggal.Beberapa saat kemudian masuk seorang pria. Menghampiri ketiga teman Kafui yang terbaring."Oh, Ayah Shiva. Anda datang tepat, ada yang ingin kutanyakan tentang apa yang tengah ter-." Ucapan Kafui terhenti saat tiba-tiba perutnya tertusuk ole