Tak pernah terbayangkan oleh Han, bahwa hidupnya telah berakhir dengan mengenaskan. Banyak pertanyaan yang berlalu-lalang di kepalanya. Bagaimana nasib dirinya selanjutnya?
Di dalam kegelapan yang tak terhingga, Han mengambang di udara. Ia mencoba membuka mata, menatap kedua tangannya. Tubuhnya tidak merasa panas ataupun dingin. Namun, hatinya tak merasa tenang karena masih memikirkan utang dan masalah yang belum diselesaikannya.“Apa ini neraka?” Han membatin dengan wajah murung. “Tidak kusangka, hidupku bad ending.”Perlahan muncul tawa dari Han, lalu berangsur menjadi isak tangis. Tiba-tiba dari arah tak diketahui, muncul suara orang lain dengan bahasa yang tidak pernah Han dengar sebelumnya.“Kpe de enu, loluto. Egbo nie vie.” (Bertahanlah, Sayang. Kurang sedikit lagi)“Eh ... apa?” Han berhenti menangis dan pandangannya mencari sumber suara itu.“Eveam nuto ... edze abe nyemegate nu xoe o vie.” (Sakit sekali ... aku sepertinya tidak sanggup lagi.)Han semakin bingung tentang apa yang tengah terjadi saat ini. Jawaban di mana dirinya sekarang belum ia dapatkan. Bahkan, kini dihadapkan dengan bahasa seorang pria dan perempuan yang tidak dimengerti olehnya.Mendadak Han merasakan tubuhnya ada sesuatu yang mendorong ke depan. Kekuatannya tak cukup untuk melawan dorongan tersebut. Tepat di hadapan muncul sebuah titik cahaya kecil yang terang, lalu berubah menjadi besar. Ia menyilangkan kedua tangan ke depan dan menerobos cahaya terang dengan kecepatan tinggi.“Aarggghh ...,” teriak Han dengan memejamkan mata.Alangkah terkejutnya Han saat membuka mata. Kini ia berada di sebuah rumah yang terbuat dari kayu. Saat kepalanya masih mencerna semuanya, tubuhnya serasa ada yang mengangkatnya.“Sedang di mana aku ini? Kenapa aku diangkat?” tanya Han dalam hati.Seketika pikiran Han langsung buyar, kedua matanya menangkap seseorang tepat di hadapannya. Tampak sosok pria berambut perak dan berkulit putih pucat yang sedang mengangkatnya. Walaupun berkulit pucat, pria tersebut cukup bugar. Tubuhnya berotot terbungkus baju putih dan celana panjang abu-abu.Han termenung, memandangi mata merah milik pria di depannya. Ia mengabaikan tindakan konyol yang dilakukan oleh si pria untuk membuatnya tertawa. Perhatiannya hanya tertuju pada kedua tanduk kecil berwarna hitam di dahi pria tersebut.“Tanduk? Apakah kamu malaikat yang akan menghukumku?” Han bertanya-tanya, tetapi tak dapat mengeluarkan suaranya.Kemudian tubuh Han diarahkan ke dalam rangkulan seorang wanita berparas cantik rupawan yang fisiknya tidak jauh berbeda dari pria sebelumnya. Perbedaannya ialah wanita itu memiliki beberapa bagian tubuh milik manusia perempuan pada umumnya.Han berusaha mencerna kata-kata mereka, tetapi nihil. Bahasa yang digunakan berbeda dengannya. Namun, walaupun tampang mereka menyeramkan, apapun yang mereka katakan, Han merasa kehangatan di dekat mereka.“Jadi ... kalian bukan malaikat pencabut nyawa? Masa iblis? Tapi ... entah kenapa, aku merasakan ... kalian seperti ... orang tua.”“Mawuli, aleke woayo mia vi?” tanya si pria. (Mawuli, akan dinamakan siapa anak kita?)“Kafui, Le nubabla si wo esime miede mia noewo zi gbato nu la, matso nko ne be ... Han.” Si wanita menjawab dengan wajah merona. (Kafui, sesuai kesepakatan saat di awal hamil, aku ingin menamainya ,,, Han)Sebuah senyuman terpampang di wajah mereka berdua, lalu saling memberikan kecupan satu sama lain.“Han? Aku tidak salah dengar, kan?”Han sedikit mulai memahami apa yang telah terjadi dengan dirinya. Dugaannya sekarang adalah ia telah terlahir kembali menjadi anak seorang pasutri yang memiliki kelainan fisik yang berbeda dengan manusia pada umumnya.“Sepertinya aku diberi kesempatan kedua. Ya, tak masalah aku anak siapa, akan kujalani hidup dengan baik kehidupan baruku.”***Di suatu tempat yang minim pencahayaan, di dalam gua yang terdalam, tampak seorang pria dengan jubah lusuh tengah duduk bersandar dinding gua. Tubuhnya berkulit putih, bola matanya berwarna hitam. Tak memiliki tanduk di dahinya, layaknya manusia asli.Angin kencang dari luar masuk ke dalam gua, menabrak berbatuan sehingga menimbulkan suara nyaring, seolah-olah sedang berbicara pada pria tersebut.“Seperti itu. Baiklah,” ucap pria berjubah lusuh dengan lirih.Seketika angin yang aneh tersebut pergi dari sana. Menghilang dengan kemisteriusannya.Pria tersebut lalu bangkit, berjalan terhuyung-huyung menuju ke mulut gua. Seakan telah lama di dalam gua, kedua matanya berusaha beradaptasi dengan sinar matahari. Kini tubuhnya terlihat jelas terkena cahaya. Sebagian wajahnya dipenuhi oleh kumis dan janggut yang memanjang.Ia menghirup napas dalam-dalam dan mengembuskannya. Matanya mengelilingi pemandangan di hadapannya. Sebuah lembah yang asri terbentang luas dengan perpohonan berukuran sangat besar-besar.Pria tersebut mengulurkan tangan lurus ke depan seraya mengucapkan kata, seperti merapal mantra,“Demi mata langit yang mengawasi bumi, pinjamkanlah cahayamu untuk menerangi jalan yang gelap. Deteksi."Setelah itu muncul lingkaran yang dipenuhi simbol-simbol, bercahaya biru muda menyebar lurus. Beberapa detik kemudian ia tersenyum, merasa yang dicari telah ditemukan.“Akhirnya,” kata si pria menurunkan tangannya, “anak pembebas telah lahir.”Semenjak kejadian kecelakaan di dunia sebelumnya, Han telah pasrah dengan nasibnya di dunia akhirat. Sedikit bimbang tentang utang-utangnya, tetapi di sisi lain ia merasa lega karena telah menyelamatkan nyawa anak kecil. Jika boleh sedikit egois, ia ingin membuat tawaran untuk keringanan siksaannya dengan perbuatan mulia di saat akhir hidupnya.Namun, sebelum itu terjadi, entah kenapa Han terlahir kembali menjadi bayi yang bukan manusia, melainkan bayi ras Phantom. Sebuah makhluk yang sering disebut hantu di dunia ini. Ia mulai membiasakan diri hidup sebagai ras yang baru ia ketahui dalam hidupnya. Kebanyakan orang-orangnya memiliki ciri fisik yang sama. Berkulit putih pucat dan ada tanduk di dahi setiap orang.Awalnya Han mengira orang tua dan dirinya adalah orang yang memiliki kelainan fisik, rupanya ia keliru tentang pandangan itu. Ketika ia sering dibawa oleh Mawuli—ibu kandung Han saat ini—pergi berbelanja ke pasar yang tidak jauh dari rumah, alangkah terkejut dirinya bahwa bukan
Pagi ini Han melakukan rutinitas seperti biasa. Setelah membantu sang ibu menyelesaikan tugas rumah, Han berlatih ilmu pedang yang diajarkan oleh ayahnya. Jika ibu Han memiliki kelebihan dalam kecerdasan, maka ayah Han mempunyai kelebihan di kekuatan.Bisa dibilang sang ayah adalah orang paling ahli dalam ilmu seni pedang di desanya yang bernama Smohill. Dengan tubuh tegap berdiri dan memiliki otot yang sedang, membuat ia dapat bergerak dengan lincah dan kuat. Bahkan, Kafui beserta kawannya sering mengalahkan monster yang mendekat ke desa dengan ilmu seni pedang.Di bawah dahan pohon, Han duduk memeluk lutut memerhatikan ayahnya yang sedang menunjukkan beberapa jurus berpedang. Matanya terpaku pada hunusan dari pedang bermata dua milik ayahnya. Setiap hunusan pedang yang dilancarkan, selalu ada angin yang keluar. Seakan-akan dapat menembakkan serangan jarak jauh menggunakan gelombang angin.“Bagaimana ... kamu sudah paham?” tanya Kafui seraya mengatur napas.Seketika Han tersadar dari
Han menyuruh Shiva berjalan mengikutinya. Bukan menuju desa, melainkan ke atas bukit tujuan awal Han. Ia memperkirakan bahwa mereka berdua akan bertemu dengan anak-anak perundung di desa, maka ia memutuskan untuk tidak kembali ke sana dulu dan menunggu hingga situasi dingin.Sampai di atas bukit, Han berjalan menuju satu pohon besar yang rindang. Ia mengatur napas karena berjalan menaiki bukit. Melirik ke arah Shiva yang terlihat terengah-engah. Dirinya dapat memaklumi kondisi fisik anak perempuan jika disuruh berlari lalu berjalan menanjak.Dari sini Han dapat melihat desanya dengan jelas. Ia bahkan telah menemukan rumahnya yang berada di bagian kanan penglihatannya. Sepanjang mata memandang, dinding kubah yang transparan mengelilingi, seakan-akan mengunci dirinya, desa, dan semua yang ada di dalamnya. Sehingga tidak dapat menyentuh atau tidak dapat disentuh oleh dunia luar.Kemudian ia mengalihkan pandangannya ke sumber teriakan yang tadi membuat bulu kuduk berdiri. Memikirkan ada mo
Sejak pertemuannya dengan Han waktu itu, hidup Shiva mulai berubah. Ia menyelesaikan tugas rumah untuk mengumpulkan kayu kecil di hutan dekat rumahnya dengan cepat. Dalam perjalanan pulang, terkadang dirinya mengamati beberapa tumbuhan yang dapat dijadikan obat herbal. Mengingat dengan benar informasi seputar tanaman yang diberitahukan oleh Han.Setelah semua tugas rumah selesai, ia menuju ke rumah Han yang berada di bagian timur desa. Wajahnya berseri dengan senyuman yang lebar. Karena suasana hatinya membaik, sesekali melompat kecil saat berjalan.Sampai di depan pagar rumah Han, dirinya tidak langsung masuk dan bertemu. Ia mengintip dari balik celah pagar yang terbuat dari kayu. Sesuai perkiraannya, jadwal hari ini Han latihan pedang. Dan benar saja, di sana Han sedang berlatih dengan ayahnya.Sebuah ujung pedang milik Han meluncur lurus ke arah ayahnya. Dengan sigap, sang ayah menghindar dari serangan Han. Melihat ada kesempatan, Kafui melancarkan serangan balik. Beberapa hunusan p
Terbangun di suatu tempat yang asing, pandangan Han mulai mengelilingi penjuru tempat ia berdiri. Wajahnya mulai cemas karena baru sadar dirinya tidak berada di kamarnya. Ia menatap langit yang berwarna merah, tetapi matahari di atas lebih berwarna merah.Han menggerakkan kaki di atas hamparan rumput yang layu. Ia tak tau kenapa dirinya berada di tempat menyeramkan ini. Pikirannya saat ini hanya mau mengikuti langkah yang mengarahkan entah ke mana. Hingga matanya terbelalak ketika sampai di tujuan.Ia terdiam beberapa saat di depan mulut gua yang mirip gua di desanya. Awalnya ia berpikir begitu, tetapi setelah dilihat-lihat, itu benar-benar gua yang berada di desanya.“Bagaimana bisa terjadi seperti ini?” tanya Han yang mulai berkeringat.Perasaannya semakin tak karuan. Ia bingung kenapa berada di sini. Ingatan terakhirnya ialah berada di atas bukit bersama Shiva. Saat itu juga ia baru tersadar akan keberadaan Shiva yang tidak diketahuinya.“Shiva. Di mana kamu, Shiva? Shiva!” teriak H
Setelah membulatkan tekad, Han lalu mempersiapkan semua yang diperlukan. Ia pernah membaca beberapa buku milik keluarganya, tentang informasi segala monster yang ada di dunia ini. Namun, perhatiannya lebih memusatkan ke bagian monster yang kurang lebih memiliki fisik seperti dalam mimpinya.Han membuat perlengkapan berupa cincin, jimat, dan kalung. Setiap benda tersebut memiliki atribut yang memberikan kemampuan, ketahanan fisik ataupun sihir, dan sedikit menambah kekuatan.Kini ia berada di depan mulut gua. Belum masuk ke dalam sana, insting yang dimiliki dari tiap Phantom sudah aktif dan memperingatkan bahaya di hadapannya. Han menelan ludah, memberanikan diri masuk ke dalam. Tangan kirinya memegang obor, tangan satunya didekatkan ke kantong yang menggantung di pinggangnya.Kondisi gua yang gelap dan sedikit licin, membuat Han harus berhati-hati. Apalagi ditambah ancaman dari sosok yang berada di dalam gua, semua kemungkinan terburuk dapat terjadi.Baru melakukan perjalanan sampai
Han tak sanggup menutupi ekspresi wajahnya. Mulutnya sedikit terbuka karena mendengar sesuatu yang belum diterima oleh akalnya. Dirinya masih belum bisa menerima apa yang dikatakan oleh sosok kegelapan itu. “Kamu berdusta, kan?” tanya Han penuh keraguan.“Untuk apa aku berdusta?” Sosok kegelapan itu menatap tajam mata Han. “Aku juga ingin segera keluar dari sini...”Tak langsung merespon, Han terdiam sejenak. Ia berusaha untuk tidak berpikir di depan makhluk yang dapat membaca pikiran. Setelah beberapa saat suasana di sana menjadi sunyi, sosok tersebut melanjutkan kata.“Dan bertemu dengannya,” imbuh sosok kegelapan itu dengan lirih.Meskipun Han tidak dapat membaca pikiran apalagi perasaan, sisa-sisa sisi kemanusiaannya membuat hatinya berempati. Sekilas dirinya mengingat kehidupannya di dunia sebelumnya saat dirinya masih hidup. Kemudian ia mengeluarkan suara untuk menghilangkan suasana canggung.“Bertemu dengan siapa?”Ada jeda sebelum sosok kegelapan tersebut menjawab pertanyaan
"Shiva, kumohon berhenti!"Sekuat tenaga Han mengejar Shiva, tetapi ia tak dapat menyusulnya. Berkali-kali ia meneriaki nama perempuan itu, berharap mau berhenti dan mendengarkan penjelasannya.Secara kebetulan, di tengah jalan Kafui melihat Shiva dikejar oleh Han. Merasa ada yang tidak benar, Kafui menghadang Shiva."Ada apa, Shiva?" tanya Kafui dengan raut wajah cemas.Shiva tak langsung menyahut. Dengan terisak-isak ia menatap Kafui dan berkata, " Han ... ingin mem-bunuh ... semua orang."Mata kafui melebar ketika mendengar perkataan itu. Dirinya mencoba menduga-duga maksud dari anak perempuan di hadapannya. Akan tetapi, hatinya ingin mendapat jawaban pasti dari Han. Ia mengalihkan pandangannya ke arah Han yang baru tiba."Han apa barusan kamu dari gua?" tanya kafui dengan nada menekan.Han mencoba mengatur napasnya. Karena takut, ia menatap mata ayahnya sekilas lalu menundukkan kepala.Amarah sekaligus kekecewaan tak sanggup lagi dibendung oleh Kafui. Wajah pria itu berubah merah