Bab 2: Mimpi yang Mengganggu
Arjuna terbangun di tengah malam dengan napas terengah-engah. Mimpi itu kembali—kali ini lebih jelas dan nyata. Ia bisa merasakan setiap luka dan suara dari pertempuran yang terjadi dalam mimpinya, membuat tubuhnya penuh dengan keringat dingin. Namun saat mencoba mengingatnya, segalanya kabur begitu saja. Pagi harinya, Arjuna berusaha menenangkan diri, seolah tidak terjadi apa-apa. Namun, tatapan kosong dan wajah lelahnya justru menarik perhatian teman-teman kampusnya. Saat ia memasuki ruang kelas, beberapa teman dekatnya mulai menyadari perubahan pada dirinya. “Ada apa, Jun? Kamu kelihatan seperti zombie,” tanya Bima, teman sekampusnya yang selalu bersemangat. Bima memiliki tubuh tinggi dengan rambut acak-acakan, dan selalu memakai jaket denim favoritnya ke kampus. Tatapan khawatir tampak jelas di matanya. Arjuna mencoba tersenyum, meski lelah. “Ah, nggak apa-apa, Bim. Cuma lagi sering kebangun tengah malam,” jawabnya sambil menguap. “Serius, kamu nggak kelihatan baik-baik aja,” tambah Sarah, seorang teman kampusnya yang sering membantunya dalam mengerjakan tugas. Sarah berpenampilan rapi, dengan rambut pendek dan senyum ramah, namun kali ini ia tampak serius. “Kamu kelihatan kayak kurang tidur beberapa hari ini.” “Kalau butuh teman cerita, bilang aja, Jun,” sahut Dani, pria berkacamata yang selalu membawa buku ke mana pun pergi. Dengan wajah serius, Dani memandang Arjuna seolah sedang mencoba mencari tahu ada apa di balik kelelahan sahabatnya itu. Arjuna hanya mengangguk kecil, merasa enggan untuk menjelaskan tentang mimpinya yang aneh. Bagaimana mungkin ia menjelaskan bahwa setiap malam ia merasa seperti terjebak dalam perang yang tidak ia mengerti? Ketika istirahat siang tiba, Arjuna memutuskan untuk menemui Ratna di perpustakaan. Ratna, teman yang ia percaya, mungkin satu-satunya orang yang bisa ia ajak bicara tentang mimpinya. Di tengah-tengah lorong buku, Ratna menunggunya dengan senyum tipis, rambut panjangnya diikat rapi. Begitu melihat kondisi Arjuna, senyuman Ratna memudar. “Jun, kamu baik-baik saja? Kamu kelihatan sangat lelah.” “Aku nggak tahu, Rat. Mimpi-mimpi ini semakin nyata, seperti aku benar-benar berada di sana. Aku merasa kelelahan, bahkan meski hanya tertidur beberapa jam,” jawab Arjuna dengan nada lelah. Ratna memperhatikan Arjuna sejenak, wajahnya menunjukkan keprihatinan yang dalam. “Ceritakan padaku, mungkin ada yang bisa kita cari tahu bersama. Ingatanku tentang mitologi mungkin bisa membantu.” Arjuna menceritakan semua yang ia alami, tentang suara yang memanggilnya dengan nama "Ares," medan perang yang luas, dan perasaan yang muncul setiap kali ia berada dalam mimpi itu. Ratna menyimak dengan seksama, sesekali mengangguk seolah memahami sesuatu. “Jun, mungkin ini bukan sekadar mimpi. Di beberapa budaya, mimpi bisa menjadi jembatan ke masa lalu atau dimensi lain,” kata Ratna akhirnya. “Mungkin kamu terhubung dengan sesuatu yang lebih besar.” Arjuna memandang Ratna dengan rasa tak percaya. “Apa kamu benar-benar yakin?” “Yakin atau nggak, yang jelas mimpi-mimpimu ini sudah mengganggu hidupmu, Jun. Mungkin mencari tahu lebih banyak bisa membantu,” jawab Ratna sambil menyodorkan beberapa buku mitologi yang ia ambil dari rak. “Kamu mungkin bisa menemukan petunjuk di sini.” Malam itu, Arjuna membawa pulang buku-buku dari perpustakaan, berharap bisa menemukan jawaban. Namun begitu ia mulai membaca, rasa kantuk menguasainya, dan tanpa sadar ia terlempar lagi ke dalam medan perang yang sama. --- Malam itu, Arjuna terlelap di meja belajarnya, dikelilingi oleh tumpukan buku mitologi. Begitu matanya terpejam, mimpi yang sama kembali menghampirinya. Kali ini, ia berdiri di tengah medan perang yang lebih luas, di mana suara pertempuran berderu mengelilinginya. Asap hitam mengisi udara, dan aroma besi berkarat menyengat hidungnya. Di depannya, sekelompok prajurit bersenjata lengkap berbaris, wajah mereka terhiasi dengan rasa takut dan ketidakpastian. “Bangkitlah, Ares!” suara yang tegas kembali memanggilnya, menggetarkan seluruh tubuhnya. Arjuna merasa ada sesuatu yang menuntutnya untuk maju, seakan ia ditakdirkan untuk memimpin pasukan ini. Namun, saat ia melangkah maju, wajah-wajah yang dikenalnya muncul dalam bayangan—teman-teman kampusnya, Ratna, bahkan keluarganya. Dengan sekuat tenaga, ia mencoba membebaskan diri dari pertempuran ini. Arjuna merasakan dorongan yang kuat, tetapi ia tahu bahwa hidup di dunia nyata lebih penting daripada mengikuti bayangan masa lalu. Ia berteriak, “TIDAK!” dan tiba-tiba, semuanya menjadi gelap. Ia terbangun dengan tubuh menggigil, peluh dingin membasahi kemejanya. Jam di dinding menunjukkan pukul dua pagi. Suasana sekelilingnya sunyi, namun kegelisahan masih mengganggu pikirannya. Mimpi itu terasa lebih mengikat, seolah ada sesuatu yang ia inginkan tetapi tidak bisa ia jangkau. Keesokan paginya, Arjuna bertekad untuk mencari tahu lebih banyak tentang dirinya dan mimpi-mimpinya. Di kelas, ia memutuskan untuk memperhatikan pelajaran dengan lebih baik, berharap bahwa pengetahuan baru dapat memberikan pencerahan. Namun, meski guru sedang menjelaskan topik yang menarik, pikirannya selalu kembali ke pertempuran dalam mimpinya. Setelah kelas, Arjuna bertemu dengan Bima dan Sarah di kantin. Mereka sedang berbincang-bincang dan terlihat senang, namun Arjuna tidak bisa merasakan kebahagiaan itu. Bima segera menyadari perubahannya. “Kamu masih nggak baik-baik saja, Jun? Kami bisa membantu kalau ada yang mengganggu.” Sarah menambahkan, “Iya, Jun. Kita semua teman di sini. Jangan ragu untuk cerita.” Arjuna menggeleng, berusaha menutupi kegelisahan yang menggerogoti hatinya. “Aku cuma butuh waktu. Mungkin aku butuh istirahat.” Setelah menghabiskan waktu bersama mereka, Arjuna kembali ke perpustakaan. Kali ini, ia mencari lebih dalam tentang mitologi dan kisah-kisah Ares. Ia membuka buku demi buku, mencoba menemukan petunjuk. Setiap kali ia menemukan gambar atau cerita tentang Ares, hatinya berdebar kencang, seolah ada ikatan yang tak terputus antara dirinya dan dewa perang tersebut. Saat membaca, Arjuna menemukan satu hal yang menarik perhatian: Ares dikenal karena sifatnya yang penuh amarah dan kekuatan yang tak tertandingi, namun ia juga memiliki sisi yang lebih mendalam—seperti kecintaannya pada dewi cinta, Aphrodite. Dalam konteks ini, Arjuna merasakan adanya dualitas yang mirip dalam dirinya; antara keinginan untuk berjuang dan kebutuhan untuk mencintai. Malam berikutnya, Arjuna kembali bermimpi. Namun kali ini, mimpi itu tidak hanya tentang perang. Di tengah pertempuran, muncul sosok wanita dengan wajah lembut dan tatapan penuh kasih. Seolah-olah ia adalah cahaya di tengah kegelapan yang melingkupi Arjuna. Wanita itu memanggil namanya dengan lembut, “Arjuna…” Dia terbangun dengan napas cepat. Siapa wanita itu? Kenapa ia merasa ada hubungan yang kuat dengan sosok tersebut? Ia merasa seolah ada dua bagian dalam dirinya—satu yang ingin terjun ke dalam pertempuran dan satu lagi yang mendambakan ketenangan dan cinta. Pikiran-pikiran ini mengganggu Arjuna sepanjang hari. Saat ia kembali bertemu dengan Ratna, ia merasa perlu untuk berbagi pengalaman tersebut. “Rat, aku melihat seseorang dalam mimpiku. Seorang wanita. Aku merasa seperti dia memanggilku,” ungkap Arjuna dengan nada serius. “Wanita? Mungkin itu adalah representasi dari sisi lembut dalam dirimu, atau mungkin seseorang yang penting dalam hidupmu,” jawab Ratna, terlihat antusias. “Cobalah untuk lebih fokus pada perasaan itu. Mungkin dia bisa membantumu menemukan jawaban atas mimpi-mimpimu.” Arjuna mengangguk, meski masih merasa bingung. Ia memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang wanita dalam mimpinya. Mungkin, kehadirannya adalah kunci untuk mengungkap misteri yang mengelilingi hidupnya dan menuntunnya pada jalan yang benar. Dengan tekad baru, Arjuna kembali ke rumah kosnya malam itu, bersiap untuk menyelami lebih dalam mimpi-mimpinya, berharap akan menemukan jawaban yang selama ini ia cari. Sebuah petualangan baru menantinya, dan ia bertekad untuk menggali lebih dalam, meskipun itu berarti menghadapi kegelapan yang selama ini menghantuinya. ---Bab 3: Pertemuan dengan Livia Hari-hari berlalu, dan mimpi Arjuna semakin intens. Setiap malam, sosok wanita misterius itu terus menghantuinya, membangkitkan rasa penasaran yang tak terpadamkan. Di siang hari, ia merasa terjebak antara kehidupan sehari-hari dan kenangan samar yang tampak lebih nyata dalam mimpinya. Suatu hari, saat berada di kantin kampus, Arjuna duduk bersama Bima dan Sarah. Mereka bercakap-cakap tentang tugas kuliah ketika pandangan Arjuna teralihkan. Di sudut ruangan, ia melihat seorang gadis duduk sendirian, tenggelam dalam sebuah buku. Rambut panjangnya yang lurus berkilau di bawah sinar matahari, membingkai wajahnya yang oval dan cerah. Livia Pratama memiliki mata cokelat gelap yang dalam, mencerminkan ketenangan namun juga misteri. Ia mengenakan sweater sederhana dan jeans, tetapi tetap terlihat menarik dengan aura kecerdasannya. “Siapa itu?” Arjuna bertanya, tidak bisa mengalihkan pandangannya. Bima mengikuti arah pandangnya dan tersenyum. “Oh, itu Liv
Bab 4: Ingatan yang Tersembunyi Hari berikutnya, Arjuna terbangun dengan semangat baru. Mimpinya semalam masih segar dalam ingatannya, membangkitkan rasa ingin tahunya untuk mencari tahu lebih banyak tentang hubungannya dengan Livia. Ia bertekad untuk tidak hanya memahami mimpinya, tetapi juga untuk menggali lebih dalam ke dalam diri Livia, gadis yang semakin mengisi pikirannya. Sesampainya di kampus, Arjuna segera merasakan suasana yang berbeda. Teman-teman kampusnya, terutama Bima, Sarah, dan Dani, tampak saling berbisik sambil melirik ke arahnya. Rasa ingin tahunya makin meningkat, tetapi ia tahu bahwa fokusnya saat ini adalah Livia. Ia berharap bisa menemukan waktu untuk bertemu dengannya dan melanjutkan pencarian mereka. Bima, teman dekatnya yang selalu ceria dan penuh energi, menghampiri Arjuna dengan senyuman lebar. “Eh, Arjuna! Apa kabar? Kemarin kita lihat kamu sama Livia. Kalian ada urusan penting ya?” tanyanya dengan nada penasaran. “Tidak ada yang penting,” jawab
Bab 5: Ancaman Muncul Di dunia yang gelap dan lembap, Sven duduk di singgasana megahnya, dikelilingi oleh bayangan yang menunggu perintahnya. Dengan tatapan dingin, dia memandang ke arah cermin ajaib yang memantulkan gambaran kehidupan di atas permukaan—dunia manusia yang penuh dengan kekacauan dan kerentanan. Saat matanya tertuju pada Arjuna, dia merasakan getaran yang berbeda, seolah kekuatan kuno yang lama terpendam mulai bangkit. “Sven, dia akan segera bangkit,” bisik salah satu pengikutnya, memperlihatkan wajah ketakutan. “Arjuna Mahendra. Ia adalah Ares.” Sven tersenyum sinis. “Aku sudah menunggu saat ini. Kekuatan Arjuna harus dihancurkan sebelum dia bisa mengancam kekuasaanku. Dan Livia… dia akan menjadi alat yang sempurna untuk menarik Arjuna ke dalam perangkapku.” Di dunia manusia, Arjuna merasakan ketegangan di sekelilingnya. Setelah percakapan dengan Livia dan teman-temannya, dia merasa ada sesuatu yang lebih besar sedang menunggu. Dia tidak tahu bahwa Sven, musuh
Bab 6: Tanda-Tanda Pertanda Malam semakin larut, namun ketegangan di hati Arjuna tak kunjung reda. Dia duduk di kamarnya, dikelilingi oleh kegelapan yang hanya diterangi oleh lampu meja kecil. Mimpi-mimpi aneh terus menghantuinya, dan saat ini, perasaan aneh itu semakin kuat. Dia merasa seolah ada sesuatu yang bergetar di dalam dirinya, memanggilnya. Arjuna menutup matanya dan berusaha menenangkan pikirannya. Namun, bayangan-bayangan dari mimpi malam lalu kembali menghantuinya. Dia melihat medan perang yang luas, darah yang mengalir, dan sosoknya sendiri berdiri di tengah semua itu—seorang pejuang yang penuh kemarahan. “Kenapa ini terus terjadi?” gumamnya pelan, merasakan keringat dingin mengalir di pelipisnya. Kekuatan yang tidak dikenal itu seolah berjuang untuk bangkit, dan Arjuna merasa terjebak di antara dua dunia. Di luar, suara derak pintu terdengar. Livia muncul di ambang pintu. “Arjuna? Apa kau baik-baik saja?” tanyanya dengan nada khawatir. Kecemasan di wajahnya memb
Bab 7: Setelah KejatuhanSuara sirine mengiringi kedatangan polisi dan tim penyelamat yang menyusuri hutan, menembus malam yang kini sunyi setelah pertempuran hebat. Area sekitar tampak rusak parah—tanah retak, pepohonan tumbang, dan beberapa bagian hutan tampak terbakar. Para petugas yang baru tiba takjub melihat pemandangan ini, tak menyangka kekacauan sebesar itu bisa terjadi di tengah hutan.Di salah satu titik, Arjuna dan teman-temannya tergeletak dalam keadaan tidak sadarkan diri. Tubuh mereka terlihat lelah dan penuh luka akibat benturan, namun mereka masih bernapas. Setelah memeriksa mereka satu per satu, tim penyelamat segera membawa mereka ke rumah sakit.***Keesokan harinya, Arjuna mulai siuman di kamar rumah sakit, meski kondisinya masih lemah. Tak lama kemudian, dua orang polisi berpakaian formal masuk ke ruangan Arjuna. Kedua polisi ini bernama *Komisaris Agus*, seorang pria berperawakan besar dengan janggut yang mulai memutih, dan *Inspektur Rani*, seorang wanita tingg
Bab 8: Awal Sebuah Pelatihan Pagi di rumah sakit terasa lebih cerah, namun suasana hati Arjuna dan teman-temannya masih terjebak dalam bayangan kejadian di hutan. Rasa trauma dan ketakutan itu terus menghantui mereka, namun hidup mereka harus terus berlanjut. Setelah semua pemeriksaan selesai, dokter akhirnya mengizinkan Arjuna dan teman-temannya untuk pulang dengan syarat tetap melakukan kontrol rutin. Namun, ada yang berbeda pada Arjuna. Setelah kunjungan Pak Budi semalam, pikirannya penuh dengan pertanyaan yang tak terjawab, tentang kekuatan yang tiba-tiba muncul, dan tanggung jawab yang mulai ia rasakan di pundaknya. Ia tahu dirinya tidak bisa lari lagi—apa pun yang terjadi, ia harus menghadapi takdirnya. Saat dalam perjalanan pulang, Arjuna berjanji pada dirinya sendiri untuk menemui Pak Budi dan mencari tahu lebih dalam tentang kekuatan yang ada di dalam dirinya. *** Keesokan harinya, Arjuna berdiri di depan rumah Pak Budi, merasa sedikit ragu. Rumah tersebut berada di kawa
Bab 9: Kekuatan Tersembunyi Pagi itu, suasana di kaki gunung begitu sunyi. Arjuna berdiri di hadapan Pak Budi, menatap ke arah hutan lebat yang melingkupi mereka. Udara terasa dingin menusuk, namun ada perasaan hangat di sekitar mereka, seolah energi tak kasatmata menyelimuti tempat itu. Pak Budi menatapnya dengan sorot penuh kebijaksanaan, wajahnya tenang dan tegas, menyiratkan kedalaman ilmu yang belum sepenuhnya Arjuna pahami. "Arjuna, apa kau tahu mengapa aku mengajakmu ke sini?" tanya Pak Budi dengan suara pelan, namun mantap. Arjuna menggeleng, masih belum memahami sepenuhnya alasan pelatihan ini. "Pak Budi, saya kira ini hanya untuk melatih fisik saya. Tapi, sekarang... saya merasa ada yang lebih besar dari itu." Pak Budi tersenyum samar. "Betul sekali. Ini bukan hanya soal kekuatan fisik. Yang kau hadapi nanti akan jauh lebih besar dan lebih berbahaya. Kekuatan yang kau miliki harus seimbang dengan ketenangan batin
Bab 10: Sang Penjaga Abadi Suasana malam itu sangat sunyi, hanya angin yang menyentuh dedaunan dengan lembut. Setelah latihan panjang yang melelahkan, Arjuna dan Pak Budi duduk di bawah pohon besar, menikmati kesunyian. Namun, ada sesuatu yang tak tertahankan di hati Arjuna, sesuatu yang membuatnya penasaran selama ini. “Pak,” Arjuna membuka pembicaraan, suaranya hampir tenggelam di tengah hening malam. “Apakah… apakah Eyang Semar benar-benar ada? Dan… kalau boleh tahu, apakah beliau sudah… mati atau masih hidup?” Pak Budi tersenyum samar, lalu menatap Arjuna dengan pandangan yang dalam. “Eyang Semar,” katanya pelan, “beliau tidak hidup, tapi juga tidak mati. Beliau mencapai moksa, melebur bersama semesta. Ia adalah penjaga yang abadi. Ada banyak yang mengikuti jejaknya, banyak tokoh besar di Nusantara yang telah melakukan moksa seperti beliau. Prabu Siliwangi, Patih Gajah Mada—mereka semua hidup di dalam tanah ini, menjaga dan merawatnya