Bab 5: Ancaman Muncul
Di dunia yang gelap dan lembap, Sven duduk di singgasana megahnya, dikelilingi oleh bayangan yang menunggu perintahnya. Dengan tatapan dingin, dia memandang ke arah cermin ajaib yang memantulkan gambaran kehidupan di atas permukaan—dunia manusia yang penuh dengan kekacauan dan kerentanan. Saat matanya tertuju pada Arjuna, dia merasakan getaran yang berbeda, seolah kekuatan kuno yang lama terpendam mulai bangkit. “Sven, dia akan segera bangkit,” bisik salah satu pengikutnya, memperlihatkan wajah ketakutan. “Arjuna Mahendra. Ia adalah Ares.” Sven tersenyum sinis. “Aku sudah menunggu saat ini. Kekuatan Arjuna harus dihancurkan sebelum dia bisa mengancam kekuasaanku. Dan Livia… dia akan menjadi alat yang sempurna untuk menarik Arjuna ke dalam perangkapku.” Di dunia manusia, Arjuna merasakan ketegangan di sekelilingnya. Setelah percakapan dengan Livia dan teman-temannya, dia merasa ada sesuatu yang lebih besar sedang menunggu. Dia tidak tahu bahwa Sven, musuh yang mengincar kekuatannya, sudah mengetahui keberadaannya. Dalam pertemuan berikutnya, Arjuna berkumpul dengan teman-temannya di sebuah kafe kecil di Yogyakarta. Wajah-wajah mereka terlihat cemas. Dani, yang biasanya ceria, kali ini hanya bisa duduk diam, tatapannya kosong. “Ada sesuatu yang tidak beres, Arjuna. Seperti ada ancaman yang mengintai,” ujarnya, suaranya bergetar. Sarah, yang duduk di sampingnya, menambahkan, “Aku merasakan hal yang sama. Semua ini terasa… aneh.” “Benar. Kita harus waspada,” kata Livia, menatap Arjuna dengan perhatian. “Kau yang paling tahu tentang mimpi-mimpimu. Apa kau merasa ada yang mendekat?” Arjuna menggelengkan kepala. “Aku tidak tahu. Tapi aku merasa ada yang tidak beres. Mimpi-mimpiku semakin intens. Seolah ada sesuatu yang mengincar kita.” Sementara itu, Sven memantau dari jauh, merencanakan langkah-langkahnya. Dia memanggil beberapa pengikutnya. “Persiapkan semua yang dibutuhkan. Kita akan membuat Arjuna merasa terpojok, dan Livia akan menjadi baitnya.” Di dalam kegelapan, Sven merencanakan untuk menyuruh anak buahnya menyamar sebagai manusia biasa. Mereka akan menyusup ke kehidupan Arjuna, menggali informasi tentang kekuatannya dan menunggu saat yang tepat untuk melancarkan serangan. “Biarkan mereka merasakan ketakutan. Kita akan membuat mereka terpisah dan mengacaukan pikiran mereka,” Sven berkomentar dengan nada sinis. Kembali ke dunia manusia, Arjuna merasakan lonjakan energi yang tidak bisa dijelaskan. Di dalam hatinya, dia tahu bahwa ancaman yang lebih besar sedang mendekat. Dia harus bersiap menghadapi apa pun yang datang, sekaligus melindungi Livia dan teman-temannya dari bahaya yang akan menghantui mereka. “Teman-teman, kita harus berhati-hati. Kita tidak tahu siapa yang bisa dipercaya saat ini,” ujar Arjuna dengan tegas. “Aku akan melakukan apa pun untuk melindungi kalian.” Namun, dalam hati Arjuna, dia mulai meragukan kemampuannya. Ketika dia menatap Livia, dia merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar cinta di antara mereka. Sesuatu yang akan mengubah segalanya. --- Di dalam kafe kecil yang biasanya ramai, suasana hari itu terasa tegang. Arjuna dan teman-temannya duduk melingkar, mengobrol dengan suara pelan. Wajah-wajah mereka menunjukkan kekhawatiran yang tidak biasa. Dani, yang biasanya ceria, kini tampak pucat dan gelisah. “Arjuna, kau terlihat sangat stres. Apa yang terjadi? Mimpimu masih menghantuimu?” tanya Sarah, mencoba menenangkan teman-temannya. Arjuna mengangguk perlahan. “Ya, dan mimpi itu semakin aneh. Sepertinya ada sesuatu yang sedang menunggu di luar sana. Sesuatu yang bisa membahayakan kita.” Dani, pria berkacamata yang dikenal sebagai kutu buku, tampak semakin tidak nyaman. “Kau tahu, di kampus ada banyak cerita aneh belakangan ini. Teman-temanku mulai membicarakan sosok misterius yang muncul di malam hari. Mereka bilang ada yang mengawasi kita… seolah ada hantu yang mengintai.” Saat pembicaraan berlangsung, Ratna, sahabat lama Arjuna, tiba-tiba muncul. Dengan senyum ceria, dia berusaha meringankan suasana. “Apa kalian bercanda tentang hantu? Ini pasti hanya mitos kampus!” Namun, ketika dia melihat wajah-wajah tegang itu, dia segera mengubah nada bicaranya. “Tapi… mungkin ada yang benar juga. Beberapa dari teman sekelas kita mulai berbicara tentang penampakan aneh di hutan belakang kampus. Mereka bilang ada suara-suara misterius di malam hari.” Arjuna merasakan ketegangan di dalam dadanya. “Itu membuatku semakin cemas. Aku merasa ada sesuatu yang lebih besar sedang mengincar kita.” Livia menatap Arjuna dengan tatapan penuh perhatian. “Kau pernah menceritakan tentang mimpimu padaku, Arjuna. Apa kau yakin tidak ada yang ingin kau ungkapkan kepada kami?” “Karena mimpi-mimpiku terasa sangat nyata. Seolah mengingatkan aku tentang sesuatu yang penting,” jawab Arjuna dengan tegas. “Aku merasa terhubung dengan kekuatan yang tidak aku pahami.” Ratna kemudian mencengkeram lengan Arjuna, “Jadi, kau merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar mimpi? Mungkin ada yang mengawasi kita dari kegelapan?” Dani, semakin ketakutan, berbisik, “Aku bahkan tidak bisa tidur. Setiap kali aku menutup mata, aku merasa ada yang mengintip dari balik tirai.” Sementara itu, di dunia bawah, Sven memerintahkan anak buahnya untuk menyamar sebagai mahasiswa di kampus Arjuna. “Biarkan mereka merasa terancam. Kita akan menciptakan kekacauan di antara mereka dan mengambil Livia. Dia adalah kunci untuk menguasai Arjuna.” Dengan rencana yang matang, para pengikut Sven mulai menyusup ke dalam kelompok Arjuna, berusaha mendapatkan kepercayaan sambil terus memantau gerak-gerik mereka. Dalam hening malam, mereka siap untuk melancarkan serangan. Kembali ke kafe, Arjuna mengawasi sekelilingnya dengan cermat, merasa seolah ada mata yang mengawasi mereka. Ketika malam semakin larut, dia berbicara dengan tegas, “Kita harus waspada. Jika ada sesuatu yang terjadi, jangan ragu untuk menghubungiku.” Mereka semua mengangguk, tetapi di dalam hati Arjuna, dia merasakan tekanan yang semakin berat. Dia tahu bahwa kekuatan yang mengalir dalam dirinya bukan hanya anugerah, tetapi juga tanggung jawab yang harus dia pikul. --- Ketegangan di kafe semakin terasa saat mereka melanjutkan pembicaraan. Sarah, yang biasanya optimis, kini tampak ragu. “Bagaimana jika semua ini hanya imajinasi kita? Mungkin kita hanya terpengaruh cerita yang beredar di kampus.” Arjuna menggelengkan kepala. “Tidak, ini lebih dari sekadar imajinasi. Aku merasakannya di dalam diriku. Setiap kali aku tidur, mimpi itu terasa semakin nyata, seolah memperingatkan aku tentang sesuatu yang buruk akan terjadi.” Dani, yang duduk di sudut dengan tangan gemetar, tiba-tiba menimpali. “Tapi, jika ada sesuatu yang mengintai kita, bagaimana kita bisa melawannya? Kita hanya manusia biasa.” “Karena kita bersatu, kita bisa melawan. Kita harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dan melindungi satu sama lain,” jawab Livia, menatap Arjuna dengan keyakinan. Tak lama kemudian, Ratna mengeluarkan ponselnya dan mulai mencari informasi. “Aku ingat mendengar tentang seorang profesor di kampus yang mengerti tentang hal-hal supernatural. Mungkin kita bisa berbicara dengannya.” Arjuna mengernyit. “Apakah itu aman? Kita tidak tahu siapa yang bisa kita percayai.” Namun, Ratna sudah mengetik dan menunjukkan kepada mereka sebuah nama. “Profesor Budi. Dia mengajar tentang mitologi dan legenda. Mungkin dia bisa memberikan penjelasan tentang mimpi dan sosok misterius ini.” Setelah mendiskusikan rencana untuk menemui Profesor Budi, mereka memutuskan untuk segera pergi. Saat mereka meninggalkan kafe, Arjuna merasakan angin dingin menyapu wajahnya. Dia berhenti sejenak, mengawasi sekeliling, mencoba merasakan adanya ancaman. “Kenapa kau berhenti?” tanya Livia, sedikit khawatir. “Aku hanya merasa… seperti ada yang mengawasi kita,” jawab Arjuna, matanya berkilau dengan rasa cemas. Mereka melanjutkan langkah, tetapi ketegangan di antara mereka tetap ada. Di tengah jalan, Arjuna teringat dengan peringatan dari mimpi-mimpinya. Ada sosok gelap yang terus mengikutinya, seolah menanti saat yang tepat untuk menyerang. Sementara itu, di dunia bawah, Sven duduk di singgasana dengan ekspresi dingin. Dia merasakan kekuatan Ares semakin mendekat. “Dia tidak akan bisa menghindar dariku. Kita akan membuatnya merasakan ketakutan sejati,” katanya kepada anak buahnya. “Siapkan diri kalian. Kita harus menyerang sebelum dia menyadari potensi sejatinya.” Kembali ke Arjuna dan teman-temannya, mereka mencapai gedung tempat Profesor Budi mengajar. Dengan ragu, mereka menaiki tangga menuju ruangan profesor. “Apa kau yakin kita harus melakukan ini?” tanya Dani, masih terlihat ketakutan. “Kita tidak punya pilihan. Kita perlu jawaban,” jawab Arjuna, bertekad. Sesampainya di depan pintu, Ratna mengetuk dengan lembut. Tak lama kemudian, suara dari dalam terdengar. “Masuklah!” Mereka membuka pintu dan menemukan Profesor Budi, seorang pria paruh baya dengan rambut beruban dan mata tajam yang terlihat penuh kebijaksanaan. “Selamat datang. Apa yang bisa saya bantu?” tanyanya, melihat wajah-wajah tegang di depan. Arjuna maju ke depan, berusaha menyampaikan kekhawatirannya. “Kami… kami mengalami mimpi aneh dan mendengar cerita tentang sosok misterius. Kami ingin tahu apakah Anda bisa membantu kami.” Profesor Budi memandangi mereka, lalu mengangguk. “Mimpi adalah jendela ke alam bawah sadar kita. Terkadang, mereka mencerminkan ketakutan dan ancaman yang kita hadapi. Namun, ada kalanya mimpi itu bisa menjadi peringatan.” “Peringatan tentang apa?” tanya Livia, bersemangat. “Mungkin ada sesuatu yang sedang mengincar kalian, sesuatu yang memiliki hubungan dengan kekuatan kuno. Kekuatan yang belum sepenuhnya hilang,” jawab profesor dengan nada serius. Arjuna merasakan jantungnya berdegup kencang. “Kekuatan kuno? Apa itu berarti ada sesuatu dari masa lalu yang kembali?” “Ya, jika yang kalian rasakan adalah kembalinya kekuatan tersebut, maka kalian harus bersiap. Kekuatan itu bisa membawa bencana,” Profesor Budi memperingatkan. Mendengar itu, Arjuna merasa beban di pundaknya semakin berat. “Apa yang harus kami lakukan?” “Pelajari kekuatan itu, temukan cara untuk mengendalikannya. Dan yang terpenting, tetap bersatu. Ancaman akan semakin dekat,” jawab profesor, menatap mereka dengan serius. Setelah mendiskusikan rencana mereka, Arjuna dan teman-temannya keluar dari ruangan dengan pikiran yang penuh. Ancaman nyata kini menggantung di atas mereka, dan mereka harus bersiap untuk menghadapi apa pun yang akan datang. Saat mereka berjalan pulang, Arjuna merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar ancaman di depan mereka. Dia merasa, kembalinya kekuatan Ares di dalam dirinya bukan hanya membawa bahaya, tetapi juga harapan. ---Bab 6: Tanda-Tanda Pertanda Malam semakin larut, namun ketegangan di hati Arjuna tak kunjung reda. Dia duduk di kamarnya, dikelilingi oleh kegelapan yang hanya diterangi oleh lampu meja kecil. Mimpi-mimpi aneh terus menghantuinya, dan saat ini, perasaan aneh itu semakin kuat. Dia merasa seolah ada sesuatu yang bergetar di dalam dirinya, memanggilnya. Arjuna menutup matanya dan berusaha menenangkan pikirannya. Namun, bayangan-bayangan dari mimpi malam lalu kembali menghantuinya. Dia melihat medan perang yang luas, darah yang mengalir, dan sosoknya sendiri berdiri di tengah semua itu—seorang pejuang yang penuh kemarahan. “Kenapa ini terus terjadi?” gumamnya pelan, merasakan keringat dingin mengalir di pelipisnya. Kekuatan yang tidak dikenal itu seolah berjuang untuk bangkit, dan Arjuna merasa terjebak di antara dua dunia. Di luar, suara derak pintu terdengar. Livia muncul di ambang pintu. “Arjuna? Apa kau baik-baik saja?” tanyanya dengan nada khawatir. Kecemasan di wajahnya memb
Bab 7: Setelah KejatuhanSuara sirine mengiringi kedatangan polisi dan tim penyelamat yang menyusuri hutan, menembus malam yang kini sunyi setelah pertempuran hebat. Area sekitar tampak rusak parah—tanah retak, pepohonan tumbang, dan beberapa bagian hutan tampak terbakar. Para petugas yang baru tiba takjub melihat pemandangan ini, tak menyangka kekacauan sebesar itu bisa terjadi di tengah hutan.Di salah satu titik, Arjuna dan teman-temannya tergeletak dalam keadaan tidak sadarkan diri. Tubuh mereka terlihat lelah dan penuh luka akibat benturan, namun mereka masih bernapas. Setelah memeriksa mereka satu per satu, tim penyelamat segera membawa mereka ke rumah sakit.***Keesokan harinya, Arjuna mulai siuman di kamar rumah sakit, meski kondisinya masih lemah. Tak lama kemudian, dua orang polisi berpakaian formal masuk ke ruangan Arjuna. Kedua polisi ini bernama *Komisaris Agus*, seorang pria berperawakan besar dengan janggut yang mulai memutih, dan *Inspektur Rani*, seorang wanita tingg
Bab 8: Awal Sebuah Pelatihan Pagi di rumah sakit terasa lebih cerah, namun suasana hati Arjuna dan teman-temannya masih terjebak dalam bayangan kejadian di hutan. Rasa trauma dan ketakutan itu terus menghantui mereka, namun hidup mereka harus terus berlanjut. Setelah semua pemeriksaan selesai, dokter akhirnya mengizinkan Arjuna dan teman-temannya untuk pulang dengan syarat tetap melakukan kontrol rutin. Namun, ada yang berbeda pada Arjuna. Setelah kunjungan Pak Budi semalam, pikirannya penuh dengan pertanyaan yang tak terjawab, tentang kekuatan yang tiba-tiba muncul, dan tanggung jawab yang mulai ia rasakan di pundaknya. Ia tahu dirinya tidak bisa lari lagi—apa pun yang terjadi, ia harus menghadapi takdirnya. Saat dalam perjalanan pulang, Arjuna berjanji pada dirinya sendiri untuk menemui Pak Budi dan mencari tahu lebih dalam tentang kekuatan yang ada di dalam dirinya. *** Keesokan harinya, Arjuna berdiri di depan rumah Pak Budi, merasa sedikit ragu. Rumah tersebut berada di kawa
Bab 9: Kekuatan Tersembunyi Pagi itu, suasana di kaki gunung begitu sunyi. Arjuna berdiri di hadapan Pak Budi, menatap ke arah hutan lebat yang melingkupi mereka. Udara terasa dingin menusuk, namun ada perasaan hangat di sekitar mereka, seolah energi tak kasatmata menyelimuti tempat itu. Pak Budi menatapnya dengan sorot penuh kebijaksanaan, wajahnya tenang dan tegas, menyiratkan kedalaman ilmu yang belum sepenuhnya Arjuna pahami. "Arjuna, apa kau tahu mengapa aku mengajakmu ke sini?" tanya Pak Budi dengan suara pelan, namun mantap. Arjuna menggeleng, masih belum memahami sepenuhnya alasan pelatihan ini. "Pak Budi, saya kira ini hanya untuk melatih fisik saya. Tapi, sekarang... saya merasa ada yang lebih besar dari itu." Pak Budi tersenyum samar. "Betul sekali. Ini bukan hanya soal kekuatan fisik. Yang kau hadapi nanti akan jauh lebih besar dan lebih berbahaya. Kekuatan yang kau miliki harus seimbang dengan ketenangan batin
Bab 10: Sang Penjaga Abadi Suasana malam itu sangat sunyi, hanya angin yang menyentuh dedaunan dengan lembut. Setelah latihan panjang yang melelahkan, Arjuna dan Pak Budi duduk di bawah pohon besar, menikmati kesunyian. Namun, ada sesuatu yang tak tertahankan di hati Arjuna, sesuatu yang membuatnya penasaran selama ini. “Pak,” Arjuna membuka pembicaraan, suaranya hampir tenggelam di tengah hening malam. “Apakah… apakah Eyang Semar benar-benar ada? Dan… kalau boleh tahu, apakah beliau sudah… mati atau masih hidup?” Pak Budi tersenyum samar, lalu menatap Arjuna dengan pandangan yang dalam. “Eyang Semar,” katanya pelan, “beliau tidak hidup, tapi juga tidak mati. Beliau mencapai moksa, melebur bersama semesta. Ia adalah penjaga yang abadi. Ada banyak yang mengikuti jejaknya, banyak tokoh besar di Nusantara yang telah melakukan moksa seperti beliau. Prabu Siliwangi, Patih Gajah Mada—mereka semua hidup di dalam tanah ini, menjaga dan merawatnya
Bab 11: Arjuna VS Genderuwo Setelah percakapan mendalam antara Arjuna dan sosok Semar di dalam penglihatan, ia kembali ke kenyataan di tempat latihan bersama Pak Budi. Arjuna masih terguncang oleh pengalaman tersebut, tapi kini di hatinya tumbuh tekad yang kuat. Momen itu memperdalam pemahaman Arjuna tentang tanggung jawabnya sebagai pelindung. Pak Budi, yang melihat perubahan dalam diri Arjuna, mengangguk dengan penuh pengertian. Tanpa banyak kata, ia mengeluarkan sebilah Kris kuno dari dalam tasnya. Pak Budi menjelaskan bahwa Kris tersebut adalah simbol keberanian yang diwariskan dari masa lampau. Kris ini bukan sekadar senjata, tetapi juga membawa semangat para leluhur yang pernah berjuang melindungi Nusantara. *** Malam semakin larut, dan suasana di sekitar mulai berubah. Angin bertiup kencang, menimbulkan suara-suara aneh dari pepohonan. Pak Budi tiba-tiba berhenti dan menatap tajam ke arah kegelapan hutan. Dia merasakan keberadaan makhluk gaib, yang sudah lama mengintai mere
Bab 12: Memori yang TersembunyiPagi itu, Arjuna terbangun dengan perasaan yang masih campur aduk. Tubuhnya terasa sedikit lebih baik setelah malam penuh kejadian di hutan, namun pikirannya masih dihantui oleh sosok Genderuwo dan kekuatan dahsyat yang tiba-tiba bangkit dalam dirinya. Tak ada satu pun yang benar-benar masuk akal, dan ia tahu ini bukan hal yang bisa ia tanyakan pada sembarang orang, kecuali pada Pak Budi.Setibanya di kampus, Arjuna berjalan menuju kelas dengan perasaan was-was. Belum sempat ia masuk, suara akrab memanggilnya dari belakang. Dani, dengan raut wajah yang sedikit khawatir, berlari menghampirinya.“Jun! Kemana saja, sih? Kita semua udah khawatir banget,” ucap Dani, menepuk bahunya.Arjuna tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan kegalauan dalam dirinya. “Maaf, Dan. Ada urusan mendadak semalam.”Dani mengerutkan kening, namun tak bertanya lebih lanjut. Bersamaan dengan itu, Livia lewat bersama beberapa
Bab 12: Pertemuan Tak Terduga Suasana kafe kampus sore itu cukup tenang. Hanya terdengar obrolan samar di sekitar, berpadu dengan aroma kopi yang khas, menenangkan pikiran Arjuna. Ia duduk sendirian di pojok ruangan, matanya menerawang ke luar jendela. Bayang-bayang pengalaman berat bersama Pak Budi dan pertemuan tak terduganya dengan Eyang Semar masih melekat dalam benaknya. Bagi Arjuna, banyak hal berubah sejak ia menyadari siapa dirinya sebenarnya — reinkarnasi dari Ares, dewa perang yang melegenda. Namun, bersama kesadaran itu pula, tanggung jawab besar terasa semakin menghimpitnya. Kini, ia bukan hanya mahasiswa biasa, tapi seorang pelindung yang terikat pada sesuatu yang lebih besar dari dirinya. Pikirannya terputus ketika suara tawa dari arah pintu masuk mengalihkan perhatiannya. Ia mengangkat kepala, melihat teman-teman dekatnya, Bayu, Dani, Ratna, dan Sarah, baru saja memasuki kafe. Mereka membawa en