Bab 8: Awal Sebuah Pelatihan
Pagi di rumah sakit terasa lebih cerah, namun suasana hati Arjuna dan teman-temannya masih terjebak dalam bayangan kejadian di hutan. Rasa trauma dan ketakutan itu terus menghantui mereka, namun hidup mereka harus terus berlanjut. Setelah semua pemeriksaan selesai, dokter akhirnya mengizinkan Arjuna dan teman-temannya untuk pulang dengan syarat tetap melakukan kontrol rutin. Namun, ada yang berbeda pada Arjuna. Setelah kunjungan Pak Budi semalam, pikirannya penuh dengan pertanyaan yang tak terjawab, tentang kekuatan yang tiba-tiba muncul, dan tanggung jawab yang mulai ia rasakan di pundaknya. Ia tahu dirinya tidak bisa lari lagi—apa pun yang terjadi, ia harus menghadapi takdirnya. Saat dalam perjalanan pulang, Arjuna berjanji pada dirinya sendiri untuk menemui Pak Budi dan mencari tahu lebih dalam tentang kekuatan yang ada di dalam dirinya. *** Keesokan harinya, Arjuna berdiri di depan rumah Pak Budi, merasa sedikit ragu. Rumah tersebut berada di kawasan yang cukup terpencil dan dikelilingi oleh kebun yang tampak alami, seolah terlindung dari hiruk pikuk kota. Ia mengetuk pintu, dan tak lama kemudian, Pak Budi membukanya dengan senyuman. "Akhirnya kamu datang juga, Juna," ujar Pak Budi sambil mempersilakannya masuk. Arjuna mengangguk, merasa campuran antara rasa hormat dan penasaran. Mereka duduk di ruang tamu yang sederhana namun terasa nyaman, dipenuhi dengan buku-buku tua dan benda-benda spiritual. Tanpa basa-basi, Arjuna memulai percakapan. "Pak, tolong jelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada saya. Di hutan itu… saya tidak tahu apa yang terjadi, tapi ada sesuatu yang berbeda dalam diri saya," ucap Arjuna dengan nada serius. Pak Budi menghela napas pelan, seolah menyiapkan diri untuk membuka sebuah rahasia besar. "Arjuna, kamu adalah salah satu yang terpilih. Di dalam dirimu, ada kekuatan yang besar—kekuatan yang berasal dari Dewa Ares, dewa perang dan kemarahan," ungkapnya. Arjuna terdiam, berusaha mencerna penjelasan Pak Budi. "Dewa Ares? Jadi, saya ini… semacam titisan dewa?" "Benar," Pak Budi mengangguk. "Namun, menjadi titisan Ares bukan berarti kamu akan selalu memiliki kendali atas kekuatan itu. Kamu perlu belajar mengendalikannya, atau kekuatan itu akan mengendalikanmu. Jika kamu tidak berhati-hati, kemarahan bisa menguasaimu dan membawa kehancuran," lanjut Pak Budi dengan nada tegas. Arjuna mengingat kembali kejadian di hutan, saat ia merasakan kemarahan yang tak terkendali, bahkan hampir merusak semua di sekitarnya. Kini ia paham, bahwa kekuatan itu bukan sekadar berkah, tapi juga kutukan jika tidak dikendalikan dengan baik. "Jadi, apa yang harus saya lakukan, Pak?" tanyanya, merasa lebih bertekad dari sebelumnya. Pak Budi tersenyum tipis. "Mulai hari ini, saya akan melatihmu. Ini akan menjadi perjalanan panjang dan penuh tantangan, tapi jika kamu siap, maka kita akan memulai pelatihanmu." **Hari-Hari Pelatihan Dimulai** Beberapa hari berlalu sejak pertemuan itu. Arjuna mulai menjalani latihan intensif di bawah bimbingan Pak Budi. Setiap pagi, ia datang ke rumah Pak Budi, dan mereka melakukan berbagai latihan fisik dan mental untuk melatih kontrol emosinya. Pak Budi mengajarkan teknik pernapasan dan meditasi, membantu Arjuna untuk fokus dan mengendalikan setiap ledakan emosi yang muncul. Pada hari ketiga pelatihan, Pak Budi membawanya ke sebuah tempat tersembunyi di belakang rumah—sebuah area lapang yang dikelilingi pohon-pohon tinggi. Di tengah lapangan itu terdapat lingkaran batu yang disusun dengan teliti. "Arjuna, tempat ini bukan sembarang tempat. Di sini, energi spiritual lebih kuat, dan kamu akan lebih mudah merasakan kekuatan yang ada di dalam dirimu," jelas Pak Budi sambil memintanya duduk di tengah lingkaran batu. Arjuna mengikuti instruksi Pak Budi, duduk bersila dan memejamkan mata. Perlahan, ia mulai merasakan energi hangat yang mengalir di seluruh tubuhnya. Namun, energi itu terasa liar, seolah ingin meledak keluar. "Fokus, Arjuna. Rasakan setiap energi yang mengalir dalam dirimu, tapi jangan biarkan ia mengendalikanmu. Kamu adalah tuannya," ujar Pak Budi dengan nada lembut namun tegas. Arjuna mencoba mengikuti petunjuk itu, berusaha mengendalikan energi yang ada di dalam dirinya. Meskipun awalnya sulit, ia mulai merasakan perbedaan—energi itu kini terasa lebih jinak, seperti binatang buas yang mulai tunduk pada pemiliknya. Namun, tiba-tiba, sebuah bayangan muncul di pikirannya. Sosok Livia yang terbaring di rumah sakit, lemah dan terluka akibat kejadian di hutan. Rasa bersalah yang membakar hatinya seketika memicu ledakan energi yang tak terkendali. Pak Budi segera menyadari perubahan itu. "Arjuna, kendalikan dirimu! Jangan biarkan kemarahan itu menguasaimu!" Namun, sudah terlambat. Arjuna membuka matanya dan berdiri, tatapannya kosong, sementara aura merah yang menyala-nyala mulai muncul di sekeliling tubuhnya. Pak Budi menatapnya dengan tegang, menyadari bahwa kali ini Arjuna benar-benar dikuasai oleh kekuatan Ares. Dengan suara rendah namun penuh ketegasan, Pak Budi mendekati Arjuna. "Jika kamu tidak bisa mengendalikannya, kamu harus belajar dengan cara yang lebih keras." Pak Budi lalu mengangkat tangannya, melafalkan mantra kuno yang segera menciptakan perisai energi di sekeliling lingkaran batu. Arjuna yang sudah dikuasai energi Ares mencoba melepaskan amarahnya, memukul perisai itu dengan kekuatan besar. Dentuman keras terdengar, namun perisai Pak Budi mampu menahan serangan Arjuna. Melihat bahwa usahanya gagal, Arjuna terdiam, terengah-engah dengan wajah penuh kemarahan. Perlahan, amarahnya mereda, dan ia mulai tersadar, menyadari bahwa dirinya baru saja kehilangan kendali. Pak Budi mendekatinya dengan senyuman yang penuh pengertian. "Inilah yang harus kamu pelajari, Arjuna. Kemarahan adalah kekuatan besar, namun jika kamu tidak bisa mengendalikannya, maka kekuatan itu akan menghancurkanmu." Arjuna menunduk, merasa malu atas ketidakmampuannya. Namun, di balik rasa malu itu, ada tekad yang semakin menguat. Ia tahu bahwa pelatihan ini tidak akan mudah, namun ia siap untuk terus mencoba, demi melindungi teman-temannya dan mencegah kejadian mengerikan seperti di hutan terulang kembali. *** Sementara itu, di tempat lain, Livia juga mulai merasakan perubahan pada dirinya. Setelah keluar dari rumah sakit, ia merasa ada sesuatu yang berbeda—sebuah intuisi yang semakin tajam, seolah ia bisa merasakan kehadiran energi aneh di sekitarnya. Meskipun ia tidak memahami sepenuhnya, ada dorongan kuat untuk mencari tahu lebih dalam tentang apa yang sebenarnya terjadi pada Arjuna dan rahasia di balik kekuatan misterius itu. Pada suatu sore, saat ia berjalan pulang dari kampus, ia bertemu dengan Helena yang menunggunya di pintu apartemen. Helena tampak serius, tatapannya penuh kekhawatiran. "Liv, aku dengar kamu dan teman-temanmu mengalami hal aneh di hutan itu… Aku khawatir tentang kamu," ujar Helena dengan nada cemas. Livia tersenyum tipis, berusaha meyakinkan sahabatnya. "Tenang, Helena. Aku baik-baik saja. Hanya sedikit bingung dengan apa yang terjadi, tapi aku akan mencari tahu." Helena menatapnya lekat, seolah bisa merasakan bahwa sahabatnya itu menyembunyikan sesuatu. "Kalau ada apa-apa, kamu tahu kan aku selalu ada untukmu?" Livia mengangguk, merasakan kehangatan persahabatan mereka yang begitu tulus. Meski tidak semua hal bisa ia ceritakan pada Helena, ia merasa tenang dengan kehadiran sahabatnya di sisinya. Namun, dalam hati, Livia tahu bahwa ia tidak bisa mengabaikan intuisi yang semakin kuat. Ia merasa bahwa perannya dalam misteri ini belum selesai, dan dirinya mungkin akan terlibat lebih jauh dari yang ia bayangkan. *** Suasana sore di pelataran terbuka yang digunakan untuk latihan terasa sunyi. Di hadapan Arjuna, Pak Budi mulai mengajarkan beberapa teknik dasar untuk mengendalikan energi dalam dirinya. Setelah memahami dasar-dasar meditasi yang menghubungkan batinnya dengan kekuatan yang tersimpan, Pak Budi bersiap untuk membuka akses lebih dalam terhadap potensi Arjuna. Pak Budi mulai mengucapkan mantra dalam bahasa Jawa kuno, suaranya lirih namun penuh dengan wibawa. Setiap kata yang keluar dari bibirnya seperti mengandung energi yang mendalam, seolah memanggil kekuatan dari alam semesta. "Sang Dewata agung, tumekaa ing jagad... bukakna dalan kawicaksanan kang sejati..." Ucapan-ucapan itu terasa begitu sakral, seolah membuka sebuah jalan rahasia yang tidak dapat dijangkau oleh sembarang orang. Di tempat lain, Sven memperhatikan bola kristalnya dengan penuh konsentrasi. Biasanya, benda itu memberikan gambaran yang jernih dari apapun yang dia ingin awasi, namun kali ini, bayangan di dalam bola tampak kabur, terganggu oleh aliran energi yang tidak dikenal. Sven merasakan sebuah kekuatan yang kuat menghalangi pengamatannya. "Pak Budi," gumamnya dengan raut wajah serius. Dia menyadari bahwa orang yang sedang melatih Arjuna ini memiliki kekuatan yang luar biasa, bahkan cukup kuat untuk menghalangi sihir pengawasannya. "Dasar menyebalkan!" Merasa frustrasi, Sven memutuskan untuk memerintahkan anggota-anggotanya yang sedang menyamar sebagai mahasiswa di universitas. "Segera ambil tindakan," perintahnya dengan nada tajam, "Kita harus menghentikan pelatihannya, atau setidaknya mencari tahu lebih banyak tentang kekuatan pria tua itu." Sementara itu, di pelataran, mantra Pak Budi berlanjut. Udara di sekitar mereka mulai bergetar halus, memberikan tanda bahwa sesuatu yang besar tengah terjadi. Arjuna merasakan energinya membesar, dan kesadarannya mulai terbuka terhadap hal-hal yang sebelumnya terasa asing. Setiap mantra yang diucapkan Pak Budi menambah kedalaman fokusnya, menguatkan keyakinan bahwa ia memiliki kemampuan untuk mengendalikan kekuatan Ares yang tersembunyi di dalam dirinya. Pak Budi tersenyum samar, menyadari bahwa ia berhasil melindungi mereka dari pengamatan lawan. "Lanjutkan fokusmu, Juna," ucapnya tenang, "Perjalananmu baru saja dimulai."Bab 9: Kekuatan Tersembunyi Pagi itu, suasana di kaki gunung begitu sunyi. Arjuna berdiri di hadapan Pak Budi, menatap ke arah hutan lebat yang melingkupi mereka. Udara terasa dingin menusuk, namun ada perasaan hangat di sekitar mereka, seolah energi tak kasatmata menyelimuti tempat itu. Pak Budi menatapnya dengan sorot penuh kebijaksanaan, wajahnya tenang dan tegas, menyiratkan kedalaman ilmu yang belum sepenuhnya Arjuna pahami. "Arjuna, apa kau tahu mengapa aku mengajakmu ke sini?" tanya Pak Budi dengan suara pelan, namun mantap. Arjuna menggeleng, masih belum memahami sepenuhnya alasan pelatihan ini. "Pak Budi, saya kira ini hanya untuk melatih fisik saya. Tapi, sekarang... saya merasa ada yang lebih besar dari itu." Pak Budi tersenyum samar. "Betul sekali. Ini bukan hanya soal kekuatan fisik. Yang kau hadapi nanti akan jauh lebih besar dan lebih berbahaya. Kekuatan yang kau miliki harus seimbang dengan ketenangan batin
Bab 10: Sang Penjaga Abadi Suasana malam itu sangat sunyi, hanya angin yang menyentuh dedaunan dengan lembut. Setelah latihan panjang yang melelahkan, Arjuna dan Pak Budi duduk di bawah pohon besar, menikmati kesunyian. Namun, ada sesuatu yang tak tertahankan di hati Arjuna, sesuatu yang membuatnya penasaran selama ini. “Pak,” Arjuna membuka pembicaraan, suaranya hampir tenggelam di tengah hening malam. “Apakah… apakah Eyang Semar benar-benar ada? Dan… kalau boleh tahu, apakah beliau sudah… mati atau masih hidup?” Pak Budi tersenyum samar, lalu menatap Arjuna dengan pandangan yang dalam. “Eyang Semar,” katanya pelan, “beliau tidak hidup, tapi juga tidak mati. Beliau mencapai moksa, melebur bersama semesta. Ia adalah penjaga yang abadi. Ada banyak yang mengikuti jejaknya, banyak tokoh besar di Nusantara yang telah melakukan moksa seperti beliau. Prabu Siliwangi, Patih Gajah Mada—mereka semua hidup di dalam tanah ini, menjaga dan merawatnya
Bab 11: Arjuna VS Genderuwo Setelah percakapan mendalam antara Arjuna dan sosok Semar di dalam penglihatan, ia kembali ke kenyataan di tempat latihan bersama Pak Budi. Arjuna masih terguncang oleh pengalaman tersebut, tapi kini di hatinya tumbuh tekad yang kuat. Momen itu memperdalam pemahaman Arjuna tentang tanggung jawabnya sebagai pelindung. Pak Budi, yang melihat perubahan dalam diri Arjuna, mengangguk dengan penuh pengertian. Tanpa banyak kata, ia mengeluarkan sebilah Kris kuno dari dalam tasnya. Pak Budi menjelaskan bahwa Kris tersebut adalah simbol keberanian yang diwariskan dari masa lampau. Kris ini bukan sekadar senjata, tetapi juga membawa semangat para leluhur yang pernah berjuang melindungi Nusantara. *** Malam semakin larut, dan suasana di sekitar mulai berubah. Angin bertiup kencang, menimbulkan suara-suara aneh dari pepohonan. Pak Budi tiba-tiba berhenti dan menatap tajam ke arah kegelapan hutan. Dia merasakan keberadaan makhluk gaib, yang sudah lama mengintai mere
Bab 12: Memori yang TersembunyiPagi itu, Arjuna terbangun dengan perasaan yang masih campur aduk. Tubuhnya terasa sedikit lebih baik setelah malam penuh kejadian di hutan, namun pikirannya masih dihantui oleh sosok Genderuwo dan kekuatan dahsyat yang tiba-tiba bangkit dalam dirinya. Tak ada satu pun yang benar-benar masuk akal, dan ia tahu ini bukan hal yang bisa ia tanyakan pada sembarang orang, kecuali pada Pak Budi.Setibanya di kampus, Arjuna berjalan menuju kelas dengan perasaan was-was. Belum sempat ia masuk, suara akrab memanggilnya dari belakang. Dani, dengan raut wajah yang sedikit khawatir, berlari menghampirinya.“Jun! Kemana saja, sih? Kita semua udah khawatir banget,” ucap Dani, menepuk bahunya.Arjuna tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan kegalauan dalam dirinya. “Maaf, Dan. Ada urusan mendadak semalam.”Dani mengerutkan kening, namun tak bertanya lebih lanjut. Bersamaan dengan itu, Livia lewat bersama beberapa
Bab 12: Pertemuan Tak Terduga Suasana kafe kampus sore itu cukup tenang. Hanya terdengar obrolan samar di sekitar, berpadu dengan aroma kopi yang khas, menenangkan pikiran Arjuna. Ia duduk sendirian di pojok ruangan, matanya menerawang ke luar jendela. Bayang-bayang pengalaman berat bersama Pak Budi dan pertemuan tak terduganya dengan Eyang Semar masih melekat dalam benaknya. Bagi Arjuna, banyak hal berubah sejak ia menyadari siapa dirinya sebenarnya — reinkarnasi dari Ares, dewa perang yang melegenda. Namun, bersama kesadaran itu pula, tanggung jawab besar terasa semakin menghimpitnya. Kini, ia bukan hanya mahasiswa biasa, tapi seorang pelindung yang terikat pada sesuatu yang lebih besar dari dirinya. Pikirannya terputus ketika suara tawa dari arah pintu masuk mengalihkan perhatiannya. Ia mengangkat kepala, melihat teman-teman dekatnya, Bayu, Dani, Ratna, dan Sarah, baru saja memasuki kafe. Mereka membawa en
**Bab 13: Tanda-Tanda Bahaya** Keesokan harinya, suasana di kampus tampak seperti biasanya — hiruk-pikuk para mahasiswa yang berlalu-lalang, suara riuh canda tawa di sudut-sudut lorong, dan wajah-wajah lelah yang tampak sibuk dengan tumpukan tugas. Namun, di dalam benak Arjuna, semua terasa berbeda. Sejak pertemuannya dengan Banyu kemarin, ia merasa ada sesuatu yang mengganjal, seakan sosok itu menyimpan maksud tersembunyi yang tidak bisa ia abaikan begitu saja. Arjuna berjalan menyusuri koridor menuju ruang kelasnya. Bayu dan Dani sudah menunggu di sana, berbincang-bincang dengan santai seperti biasa. Saat melihat Arjuna datang, mereka melambaikan tangan dan menyuruhnya cepat-cepat mendekat. "Juna, sini, bro!" panggil Bayu dengan senyum lebarnya. "Ada kabar menarik nih!" Arjuna mengerutkan alis dan mempercepat langkahnya. "Apa sih? Kok kalian semangat banget?" Dani mengangkat bahunya sambil tertawa. "Ternyat
Bab 14: Awal dari Konflik Setelah percakapan dengan Pak Budi, Arjuna semakin berhati-hati terhadap Banyu. Ia mulai membatasi interaksinya dan mengamati dari jauh, berusaha mencari tahu lebih dalam tentang mahasiswa baru ini. Namun, sikap Banyu yang terus mendekati teman-temannya membuat Arjuna merasa terpojok, seolah Banyu perlahan-lahan menyusup ke dalam kehidupannya. Di sisi lain, Banyu tampak semakin akrab dengan teman-teman Arjuna. Bayu, Dani, Ratna, dan Sarah mulai sering mengajak Banyu bergabung dalam aktivitas mereka, dan Banyu selalu hadir dengan senyum ramahnya. Ketika Arjuna melihat mereka tertawa bersama, ia merasakan ada kecemasan yang sulit dijelaskan. Meskipun ia tidak memiliki bukti konkret, ia yakin ada maksud tersembunyi di balik keramahan Banyu. Suatu hari setelah perkuliahan, Banyu mendatangi Arjuna di lorong kampus. “Juna, kamu ngga ada waktu buat ngobrol lagi, ya? Kamu sibuk banget akhir-akhir ini,”
**Bab 15: Perubahan yang Tak Terlihat** Livia menatap kosong ke luar jendela apartemennya, pikirannya melayang jauh. Udara sore yang cerah terasa begitu kontras dengan gejolak perasaan yang mengguncangnya. Arjuna—teman yang telah lama ia kenal—telah berubah begitu drastis. Bukan hanya penampilannya yang tampak semakin serius dan fokus, tetapi sikap dan perilakunya pun mulai berbeda. Livia merasa seolah-olah ada jarak yang tiba-tiba muncul di antara mereka. Meskipun Arjuna tidak pernah bersikap dingin, ada perasaan bahwa ia kini lebih tertutup, lebih terkendali. Livia tidak tahu bagaimana cara mendekatinya lagi. Setelah kejadian di rumah sakit, Livia tidak bisa lagi mengabaikan perasaan itu. Kepalanya masih terasa pusing dengan segala kejadian yang berlangsung begitu cepat. Arjuna yang tiba-tiba memiliki kekuatan yang begitu besar, kekhawatiran akan keselamatan teman-temannya, dan akhirnya pengungkapan tentang dirinya yang ternyata terhubung dengan dewa
Bab 83: Api Dendam yang Membara Arjuna berdiri terpaku di depan puing-puing rumah orang tuanya. Malam yang gelap terasa seperti neraka bagi dirinya. Bau hangus dari kayu yang terbakar masih tercium, bercampur dengan darah yang mengering di tanah. Tubuhnya gemetar, bukan karena ketakutan, melainkan oleh kemarahan yang membara. Pak Budi berdiri di sampingnya, tubuhnya penuh luka setelah pertarungan sengit melawan Kyle dan Ragnar. Meski berhasil melukai Kyle, kehadiran Ragnar yang mendadak mengubah segalanya. Kini, mereka hanya bisa berdiri di hadapan kehancuran, dengan dua tubuh tak bernyawa tergeletak di antara reruntuhan. “Arjuna...” Pak Budi mencoba berbicara, tetapi suaranya bergetar. Arjuna perlahan berlutut di samping tubuh kedua orang tuanya. Matanya menatap kosong ke arah mereka, sulit mempercayai apa yang baru saja terjadi. Ibunya, yang selalu menyambutnya dengan senyum hangat, kini terbaring diam dengan luka mendalam di dadanya. Ayahnya, yang selalu menjadi sosok pelindu
Bab 82: Darah di Bawah Langit Malam Di tengah kegelapan ruang bawah tanah yang dingin, Sven berdiri dengan angkuh di atas lantai batu yang berlumut. Kilatan cahaya biru dari bola kristal di tangannya memantulkan wajahnya yang penuh dengan kegetiran dan kebencian. Mata merahnya menatap tajam pusaran dimensi dalam bola tersebut, menyaksikan Arjuna yang baru saja berhasil melewati ujian waktu bersama Sun Wukong dan Pak Budi. "Dia semakin kuat," gumam Sven dengan suara berat yang menggema di ruangan itu. Di sampingnya, berdiri sosok pria berotot dengan rambut pirang pendek dan wajah keras — Kyle, tangan kanan Sven yang terkenal tanpa ampun. Mata Kyle yang dingin memancarkan kekejaman yang sudah menjadi ciri khasnya. “Dia sudah melampaui ekspektasi kita,” lanjut Sven sambil mengepalkan tangan. "Tapi kekuatan yang besar tidak ada artinya kalau hati seseorang dihancurkan.” Kyle mengangguk tanpa ekspresi. “Apa perintahmu, Tuan Sven?” Sven tersenyum tipis, senyum yang lebih me
Bab 81: Ujian Waktu dan Bayangan Masa Lalu Arena kosmik berputar seperti pusaran dimensi tanpa akhir. Arjuna berdiri di tengahnya, tubuhnya diliputi rasa lelah yang menusuk, tetapi tekadnya tetap membara. Pak Budi dan Sun Wukong berdiri tak jauh darinya, memperhatikan dengan cermat persiapan ujian berikutnya. “Ujian waktu adalah ujian terakhir sebelum kau sepenuhnya layak disebut pewaris kekuatan para dewa,” kata Sun Wukong dengan suara berat. Pak Budi menambahkan, “Ini bukan sekadar perjalanan melawan elemen. Waktu adalah musuh yang tidak terlihat, yang bisa menghancurkan jiwa siapa pun.” Arjuna menarik napas dalam-dalam. Setelah semua yang ia lewati—kematian teman-temannya, kekacauan yang ditinggalkan Sven, serta kehilangan besar yang menghantam hatinya—ia tahu bahwa ujian ini mungkin yang paling berbahaya. “Jadi, apa yang harus aku lakukan?” tanya Arjuna sambil menatap lurus ke pusaran waktu yang berkilauan di depannya. “Kau harus melangkah ke dalam waktu itu sendiri,” j
Bab 80: Ujian Kekosongan Arena Kosmik kembali hening. Hanya gema napas Arjuna yang terdengar saat ia berdiri di tengah ruang tak berujung itu. Rasa lelah mulai menjalari tubuhnya setelah menghadapi dua elemen pertama, angin dan api. Namun, tekadnya tetap tak tergoyahkan. Ia tahu bahwa perjalanan ini belum berakhir, dan ujian yang lebih berat sedang menantinya. Sun Wukong berdiri di tepi arena, tongkat emasnya menciptakan suara ketukan pelan saat ia menyentuh lantai kaca hitam dengan ujung tongkatnya. Wajahnya serius, sebuah ekspresi yang jarang terlihat dari raja kera yang biasanya ceria. Pak Budi berdiri di sampingnya, tenang seperti biasa, namun sorot matanya penuh perhatian. "Elemen berikutnya akan benar-benar menguji inti jiwamu, Arjuna," kata Pak Budi, suaranya bergema lembut di dalam arena. "Ini bukan soal kekuatan fisik atau bahkan pengendalian energi semata. Ini tentang seberapa kuat hatimu menghadapi kehampaan
Bab 79: Awal Perjalanan Baru Keesokan paginya, langit di Alam Para Dewa dihiasi warna keemasan yang memukau, seperti lukisan hidup yang tak ada bandingannya di dunia fana. Sinar mentari lembut menyentuh setiap sudut istana, membawa ketenangan sekaligus kekuatan baru bagi siapa pun yang merasakannya. Arjuna berdiri di balkon kamarnya, mengenakan pakaian tempur ringan yang diberikan para dewa. Angin sejuk mengelus wajahnya, namun pikirannya jauh dari damai. Ia memikirkan kata-kata Amaterasu semalam. Bayangan Livia yang berlatih untuk menjadi lebih kuat terus menghantui benaknya. Di satu sisi, ia merasa bangga atas keberanian Livia, namun di sisi lain, ia khawatir. Livia adalah bagian terpenting dalam hidupnya, dan gagasan bahwa ia harus menghadapi bahaya membuat Arjuna tidak bisa tenang. “Sudah siap?” Suara Sun Wukong yang khas membuyarkan lamunan Arjuna. Ia menoleh dan mendapati sosok raja kera itu berdiri di depan pintu kamar, dengan tongkat emasnya yang bersandar di bahu.
Bab 78: Ketenangan Sebelum Badai Setelah pertemuan panjang dengan para dewa, Arjuna merasa tubuh dan pikirannya lelah. Langkahnya berat saat ia mengikuti Sun Wukong dan Pak Budi melalui lorong-lorong megah di istana Alam Para Dewa. Dinding-dindingnya penuh ukiran indah, menceritakan kisah-kisah kuno tentang peperangan, cinta, dan pengorbanan. “Kau butuh istirahat,” kata Pak Budi lembut. “Pikiranmu harus jernih untuk apa yang akan datang.” Arjuna hanya mengangguk, terlalu lelah untuk menjawab. Mereka akhirnya tiba di sebuah kamar besar yang disediakan untuknya. Pintu besar dari kayu berukir terbuka dengan sendirinya saat mereka mendekat. Di dalamnya, ruangan itu memancarkan aura ketenangan. Tempat tidurnya besar, dihiasi kain sutra berwarna biru dan emas. Di sudut ruangan, sebuah jendela besar menghadap ke langit ungu Alam Para Dewa, memberikan pemandangan yang memukau. “Ini tempatmu untuk malam ini,” kata Sun Wukong sambil melirik sekeliling. “Manfaatkan waktumu. Besok,
Bab 77: Perjalanan ke Alam Para Dewa Pagi itu, udara di Gunung Salak terasa lebih segar dari biasanya. Sinar matahari menembus celah dedaunan, menciptakan pola-pola cahaya yang bergerak di atas tanah. Arjuna, Sun Wukong, dan Pak Budi berdiri di sebuah dataran terbuka, memandang ke arah timur di mana lembah hijau membentang jauh hingga ke cakrawala. Namun, meski pemandangan itu memukau, pikiran mereka tertuju pada sesuatu yang jauh lebih besar. “Kita harus bergerak sekarang,” ujar Sun Wukong, tongkat emasnya bersandar di bahunya. “Waktu adalah sesuatu yang tidak bisa kita sia-siakan, terutama ketika Sven mungkin sedang mempersiapkan langkah berikutnya.” Pak Budi mengangguk. Ia merapikan kain sarungnya, lalu memandang Arjuna dengan serius. “Alam para dewa bukan tempat sembarangan, Juna. Kau akan bertemu banyak entitas yang memiliki kekuatan jauh di luar nalar manusia. Tetapi, kita tidak punya pilihan. Untuk melawan Sven, kita membutuhkan aliansi yang lebih kuat.” Arjuna menat
Bab 76: Panggilan dari Puncak Kabut tebal semakin menyelimuti perjalanan mereka, membuat udara terasa berat dan mencekik. Sunyi yang mencekam hanya dipecahkan oleh langkah kaki mereka di atas tanah berbatu dan suara dedaunan yang bergesekan tertiup angin. Arjuna memimpin di depan, pandangannya tertuju pada puncak yang masih samar terlihat di kejauhan. Panggilan itu semakin kuat, tidak lagi berupa bisikan tetapi menjadi gema yang berdentam di dalam dirinya. “Puncaknya tidak jauh lagi,” kata Pak Budi sambil mengamati sekitar, meskipun nada suaranya penuh kehati-hatian. “Tapi kita harus tetap waspada. Energi di sini semakin kacau.” Arjuna mengangguk tanpa berkata apa-apa. Pikirannya terus tertuju pada suara yang seakan-akan berbicara langsung ke dalam jiwanya. Ada sesuatu yang menunggunya di sana, sesuatu yang bisa mengubah segalanya. Sun Wukong, yang berjalan di belakang, tiba-tiba menghentikan langkahnya. “Tunggu,” katanya tegas, mengangkat tongkatnya. Matanya menyipit, mena
Bab 75: Di Balik Bayang Gunung Salak Gunung Salak menjulang megah di kejauhan, kabutnya melingkupi puncaknya seperti selimut rahasia yang menjaga misteri. Angin pegunungan yang dingin menyapu wajah Arjuna, Pak Budi, dan Sun Wukong saat mereka akhirnya tiba di kaki gunung. Matahari hampir tenggelam di ufuk barat, menyelimuti dunia dengan cahaya jingga yang menambah suasana menegangkan. “Di sini,” kata Pak Budi sambil berhenti di sebuah celah batu besar. “Ini pintu masuk ke jalur tersembunyi yang akan membawa kita ke tempat latihan berikutnya. Tapi kita harus berhati-hati. Jika Sven telah mengirim anteknya, mereka mungkin sudah memasang jebakan.” Arjuna mengangguk, matanya memindai sekitar dengan waspada. Ia merasa udara di sekitarnya lebih berat, seolah sesuatu yang tak kasatmata sedang mengintai mereka. “Rasakan itu?” Sun Wukong tiba-tiba berkata, menghentikan langkah mereka. Ia memegang tongkat emasnya dengan erat, matanya menyipit tajam. “Apa itu?” Arjuna bertanya, men