Bab 9: Kekuatan Tersembunyi
Pagi itu, suasana di kaki gunung begitu sunyi. Arjuna berdiri di hadapan Pak Budi, menatap ke arah hutan lebat yang melingkupi mereka. Udara terasa dingin menusuk, namun ada perasaan hangat di sekitar mereka, seolah energi tak kasatmata menyelimuti tempat itu. Pak Budi menatapnya dengan sorot penuh kebijaksanaan, wajahnya tenang dan tegas, menyiratkan kedalaman ilmu yang belum sepenuhnya Arjuna pahami. "Arjuna, apa kau tahu mengapa aku mengajakmu ke sini?" tanya Pak Budi dengan suara pelan, namun mantap. Arjuna menggeleng, masih belum memahami sepenuhnya alasan pelatihan ini. "Pak Budi, saya kira ini hanya untuk melatih fisik saya. Tapi, sekarang... saya merasa ada yang lebih besar dari itu." Pak Budi tersenyum samar. "Betul sekali. Ini bukan hanya soal kekuatan fisik. Yang kau hadapi nanti akan jauh lebih besar dan lebih berbahaya. Kekuatan yang kau miliki harus seimbang dengan ketenangan batinBab 10: Sang Penjaga Abadi Suasana malam itu sangat sunyi, hanya angin yang menyentuh dedaunan dengan lembut. Setelah latihan panjang yang melelahkan, Arjuna dan Pak Budi duduk di bawah pohon besar, menikmati kesunyian. Namun, ada sesuatu yang tak tertahankan di hati Arjuna, sesuatu yang membuatnya penasaran selama ini. “Pak,” Arjuna membuka pembicaraan, suaranya hampir tenggelam di tengah hening malam. “Apakah… apakah Eyang Semar benar-benar ada? Dan… kalau boleh tahu, apakah beliau sudah… mati atau masih hidup?” Pak Budi tersenyum samar, lalu menatap Arjuna dengan pandangan yang dalam. “Eyang Semar,” katanya pelan, “beliau tidak hidup, tapi juga tidak mati. Beliau mencapai moksa, melebur bersama semesta. Ia adalah penjaga yang abadi. Ada banyak yang mengikuti jejaknya, banyak tokoh besar di Nusantara yang telah melakukan moksa seperti beliau. Prabu Siliwangi, Patih Gajah Mada—mereka semua hidup di dalam tanah ini, menjaga dan merawatnya
Bab 11: Arjuna VS Genderuwo Setelah percakapan mendalam antara Arjuna dan sosok Semar di dalam penglihatan, ia kembali ke kenyataan di tempat latihan bersama Pak Budi. Arjuna masih terguncang oleh pengalaman tersebut, tapi kini di hatinya tumbuh tekad yang kuat. Momen itu memperdalam pemahaman Arjuna tentang tanggung jawabnya sebagai pelindung. Pak Budi, yang melihat perubahan dalam diri Arjuna, mengangguk dengan penuh pengertian. Tanpa banyak kata, ia mengeluarkan sebilah Kris kuno dari dalam tasnya. Pak Budi menjelaskan bahwa Kris tersebut adalah simbol keberanian yang diwariskan dari masa lampau. Kris ini bukan sekadar senjata, tetapi juga membawa semangat para leluhur yang pernah berjuang melindungi Nusantara. *** Malam semakin larut, dan suasana di sekitar mulai berubah. Angin bertiup kencang, menimbulkan suara-suara aneh dari pepohonan. Pak Budi tiba-tiba berhenti dan menatap tajam ke arah kegelapan hutan. Dia merasakan keberadaan makhluk gaib, yang sudah lama mengintai mere
Bab 12: Memori yang TersembunyiPagi itu, Arjuna terbangun dengan perasaan yang masih campur aduk. Tubuhnya terasa sedikit lebih baik setelah malam penuh kejadian di hutan, namun pikirannya masih dihantui oleh sosok Genderuwo dan kekuatan dahsyat yang tiba-tiba bangkit dalam dirinya. Tak ada satu pun yang benar-benar masuk akal, dan ia tahu ini bukan hal yang bisa ia tanyakan pada sembarang orang, kecuali pada Pak Budi.Setibanya di kampus, Arjuna berjalan menuju kelas dengan perasaan was-was. Belum sempat ia masuk, suara akrab memanggilnya dari belakang. Dani, dengan raut wajah yang sedikit khawatir, berlari menghampirinya.“Jun! Kemana saja, sih? Kita semua udah khawatir banget,” ucap Dani, menepuk bahunya.Arjuna tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan kegalauan dalam dirinya. “Maaf, Dan. Ada urusan mendadak semalam.”Dani mengerutkan kening, namun tak bertanya lebih lanjut. Bersamaan dengan itu, Livia lewat bersama beberapa
Bab 12: Pertemuan Tak Terduga Suasana kafe kampus sore itu cukup tenang. Hanya terdengar obrolan samar di sekitar, berpadu dengan aroma kopi yang khas, menenangkan pikiran Arjuna. Ia duduk sendirian di pojok ruangan, matanya menerawang ke luar jendela. Bayang-bayang pengalaman berat bersama Pak Budi dan pertemuan tak terduganya dengan Eyang Semar masih melekat dalam benaknya. Bagi Arjuna, banyak hal berubah sejak ia menyadari siapa dirinya sebenarnya — reinkarnasi dari Ares, dewa perang yang melegenda. Namun, bersama kesadaran itu pula, tanggung jawab besar terasa semakin menghimpitnya. Kini, ia bukan hanya mahasiswa biasa, tapi seorang pelindung yang terikat pada sesuatu yang lebih besar dari dirinya. Pikirannya terputus ketika suara tawa dari arah pintu masuk mengalihkan perhatiannya. Ia mengangkat kepala, melihat teman-teman dekatnya, Bayu, Dani, Ratna, dan Sarah, baru saja memasuki kafe. Mereka membawa en
**Bab 13: Tanda-Tanda Bahaya** Keesokan harinya, suasana di kampus tampak seperti biasanya — hiruk-pikuk para mahasiswa yang berlalu-lalang, suara riuh canda tawa di sudut-sudut lorong, dan wajah-wajah lelah yang tampak sibuk dengan tumpukan tugas. Namun, di dalam benak Arjuna, semua terasa berbeda. Sejak pertemuannya dengan Banyu kemarin, ia merasa ada sesuatu yang mengganjal, seakan sosok itu menyimpan maksud tersembunyi yang tidak bisa ia abaikan begitu saja. Arjuna berjalan menyusuri koridor menuju ruang kelasnya. Bayu dan Dani sudah menunggu di sana, berbincang-bincang dengan santai seperti biasa. Saat melihat Arjuna datang, mereka melambaikan tangan dan menyuruhnya cepat-cepat mendekat. "Juna, sini, bro!" panggil Bayu dengan senyum lebarnya. "Ada kabar menarik nih!" Arjuna mengerutkan alis dan mempercepat langkahnya. "Apa sih? Kok kalian semangat banget?" Dani mengangkat bahunya sambil tertawa. "Ternyat
Bab 14: Awal dari Konflik Setelah percakapan dengan Pak Budi, Arjuna semakin berhati-hati terhadap Banyu. Ia mulai membatasi interaksinya dan mengamati dari jauh, berusaha mencari tahu lebih dalam tentang mahasiswa baru ini. Namun, sikap Banyu yang terus mendekati teman-temannya membuat Arjuna merasa terpojok, seolah Banyu perlahan-lahan menyusup ke dalam kehidupannya. Di sisi lain, Banyu tampak semakin akrab dengan teman-teman Arjuna. Bayu, Dani, Ratna, dan Sarah mulai sering mengajak Banyu bergabung dalam aktivitas mereka, dan Banyu selalu hadir dengan senyum ramahnya. Ketika Arjuna melihat mereka tertawa bersama, ia merasakan ada kecemasan yang sulit dijelaskan. Meskipun ia tidak memiliki bukti konkret, ia yakin ada maksud tersembunyi di balik keramahan Banyu. Suatu hari setelah perkuliahan, Banyu mendatangi Arjuna di lorong kampus. “Juna, kamu ngga ada waktu buat ngobrol lagi, ya? Kamu sibuk banget akhir-akhir ini,”
**Bab 15: Perubahan yang Tak Terlihat** Livia menatap kosong ke luar jendela apartemennya, pikirannya melayang jauh. Udara sore yang cerah terasa begitu kontras dengan gejolak perasaan yang mengguncangnya. Arjuna—teman yang telah lama ia kenal—telah berubah begitu drastis. Bukan hanya penampilannya yang tampak semakin serius dan fokus, tetapi sikap dan perilakunya pun mulai berbeda. Livia merasa seolah-olah ada jarak yang tiba-tiba muncul di antara mereka. Meskipun Arjuna tidak pernah bersikap dingin, ada perasaan bahwa ia kini lebih tertutup, lebih terkendali. Livia tidak tahu bagaimana cara mendekatinya lagi. Setelah kejadian di rumah sakit, Livia tidak bisa lagi mengabaikan perasaan itu. Kepalanya masih terasa pusing dengan segala kejadian yang berlangsung begitu cepat. Arjuna yang tiba-tiba memiliki kekuatan yang begitu besar, kekhawatiran akan keselamatan teman-temannya, dan akhirnya pengungkapan tentang dirinya yang ternyata terhubung dengan dewa
**Bab 16: Bawahan Sven mulai Bergerak ** Suasana hutan terasa sunyi, hanya suara dedaunan yang tertiup angin serta kicauan burung yang sesekali terdengar. Di tengah-tengah ketenangan itu, Arjuna dan Pak Budi berdiri berhadapan di sebuah lapangan terbuka yang tersembunyi dari pandangan manusia. Tempat itu adalah lokasi yang selama ini digunakan Pak Budi untuk latihan spiritual dan meditasi. Dengan mata tertutup, Arjuna mencoba merasakan energi yang mengalir di sekelilingnya, sebagaimana diajarkan oleh gurunya. Pak Budi, yang terkenal dengan kekuatan Semar yang ia miliki, memperhatikan muridnya dengan tatapan penuh keyakinan. “Arjuna,” katanya tenang, “kekuatan yang kamu miliki bukan hanya sekadar warisan fisik, tapi juga spiritual. Kamu adalah perwujudan dari kekuatan dewa, tapi tanpa kedamaian dalam batinmu, kekuatan itu bisa menjadi senjata yang memakan dirimu sendiri.” Arjuna mengangguk, m
Bab 75: Di Balik Bayang Gunung Salak Gunung Salak menjulang megah di kejauhan, kabutnya melingkupi puncaknya seperti selimut rahasia yang menjaga misteri. Angin pegunungan yang dingin menyapu wajah Arjuna, Pak Budi, dan Sun Wukong saat mereka akhirnya tiba di kaki gunung. Matahari hampir tenggelam di ufuk barat, menyelimuti dunia dengan cahaya jingga yang menambah suasana menegangkan. “Di sini,” kata Pak Budi sambil berhenti di sebuah celah batu besar. “Ini pintu masuk ke jalur tersembunyi yang akan membawa kita ke tempat latihan berikutnya. Tapi kita harus berhati-hati. Jika Sven telah mengirim anteknya, mereka mungkin sudah memasang jebakan.” Arjuna mengangguk, matanya memindai sekitar dengan waspada. Ia merasa udara di sekitarnya lebih berat, seolah sesuatu yang tak kasatmata sedang mengintai mereka. “Rasakan itu?” Sun Wukong tiba-tiba berkata, menghentikan langkah mereka. Ia memegang tongkat emasnya dengan erat, matanya menyipit tajam. “Apa itu?” Arjuna bertanya, men
Bab 74: Di Ambang Badai Malam masih membalut hutan dengan keheningan ketika Arjuna, Pak Budi, dan Sun Wukong akhirnya memutuskan untuk beranjak dari tempat mereka. Udara malam dingin menusuk, dan hanya suara dedaunan yang bergesekan dengan angin menemani langkah mereka. Perasaan kosong melingkupi hati Arjuna setelah perpisahannya dengan Livia. Meskipun ia tahu keputusan itu adalah yang terbaik untuk keselamatan Livia, bayangannya tetap memenuhi pikirannya. Pak Budi berjalan di samping Arjuna, memecah keheningan. “Arjuna, aku tahu kau memikirkan Livia. Tapi, kau harus ingat, apa yang kita hadapi saat ini jauh lebih besar daripada yang kita bayangkan. Sven dan pasukannya tidak akan berhenti.” Sun Wukong mengangguk dari depan, menoleh sedikit ke belakang. “Bahkan jika kita berhasil melindungi Livia, musuh kita akan menemukan celah lain. Mereka akan terus mencoba. Itu sebabnya, kau harus mempersiapkan dirimu, tidak hanya secara fisik, tetapi juga mental.” Arjuna menghela napas
Bab 73: Perpisahan di Bawah Cahaya Bulan Arjuna, Livia, Sun Wukong, dan Pak Budi duduk di sekitar api unggun kecil yang mereka buat di tengah hutan. Malam itu, bintang-bintang bertaburan di langit, dan keheningan hutan terasa menenangkan setelah hari yang penuh dengan pertempuran. Arjuna sedang memeriksa luka di lengannya, sementara Livia duduk di sampingnya, tampak cemas. “Luka itu tidak terlalu dalam, kan?” tanya Livia, suaranya dipenuhi kekhawatiran. Arjuna tersenyum menenangkan. “Hanya goresan kecil. Aku sudah terbiasa dengan hal seperti ini.” Pak Budi yang duduk tak jauh dari mereka mengangguk. “Tubuhmu mungkin kuat, tapi hati-hati, Arjuna. Luka kecil bisa menjadi masalah besar jika kau mengabaikannya.” Sun Wukong yang sedang membersihkan tongkat emasnya tertawa kecil. “Semar benar, meskipun aku rasa kau cukup keras kepala untuk tidak mendengarkannya.” Livia menghela napas, lalu menoleh ke Arjuna. “Kau harus lebih berhati-hati. Aku tidak tahu apa yang akan kulaku
Bab 72: Kesadaran yang Membuka Kebenaran Hutan sunyi, hanya suara hembusan angin yang terdengar di antara pepohonan tinggi. Setelah pertempuran yang berat, suasana tegang telah berubah menjadi keheningan. Pak Budi dan Sun Wukong berdiri berdekatan, keduanya tampak berbicara dengan Arjuna. “Arjuna,” kata Pak Budi, suaranya lembut namun tegas, “kau harus segera mempersiapkan diri. Sven tidak akan tinggal diam setelah kehilangan pasukan seperti ini.” Sun Wukong mengangguk setuju, tongkat emasnya yang besar berdiri tegak di sampingnya. “Benar. Perang ini baru saja dimulai. Sven akan mengirim yang lebih kuat, yang lebih ganas. Tapi dengan kerja keras, kau bisa menghadapi mereka.” Arjuna mendengarkan dengan serius, pikirannya masih dipenuhi bayangan pertempuran sebelumnya. Ia tahu ini bukan akhir, melainkan awal dari sesuatu yang jauh lebih besar. Namun, sebelum ia bisa menjawab, terdengar suara lembut dari dalam pondok. “Arjuna…?” Mata Arjuna melebar. Ia segera berbalik dan berl
Bab 71: Kembali ke Istana Kegelapan Malam terasa semakin gelap di dunia bawah, atmosfer dingin dan menyesakkan menyelimuti lorong panjang yang berujung pada istana megah milik Sven. Kyle, dengan tubuh penuh luka dan darah yang mengering, berjalan tertatih-tatih melewati penjaga yang hanya menatapnya tanpa berani memberikan bantuan. Perasaan kalah membakar hatinya, tapi ia menepis semua rasa sakit itu, bertekad melaporkan kegagalan ini pada Sven. Setelah berjam-jam perjalanan penuh rasa sakit, Kyle akhirnya tiba di aula utama istana. Cahaya temaram dari obor di sepanjang dinding menambah suasana suram. Namun, sebelum ia bisa melangkah lebih jauh, suara tawa dingin yang ia kenal baik menggema dari salah satu sudut ruangan. Ragnar, yang kini berdiri dengan tubuh tegap dan tanpa bekas luka, menatap Kyle dengan tatapan penuh ejekan. “Kyle,” ucapnya, suaranya sarat dengan sarkasme. “Apa yang terjadi padamu? Kau terlihat seperti tikus basah yang baru saja dilempar keluar dari neraka.”
Bab 70: Bantuan dari Langit dan Bumi Malam itu terasa seperti sebuah mimpi buruk yang tak berkesudahan. Di tengah kehancuran pondok kecil yang kini tak lebih dari puing-puing, Arjuna berdiri dengan tubuh penuh luka, memegang tombak dengan tangan gemetar. Kyle dan anak buahnya berdiri di hadapannya, penuh percaya diri meski beberapa dari mereka telah terluka. Kyle melangkah maju, senyumnya sinis. "Kau telah mencoba melawan, Arjuna, tapi ini adalah akhirnya. Tidak ada lagi yang bisa kau lakukan." Namun, sebelum Kyle dapat melancarkan serangannya, suara gemuruh menggelegar dari langit. Angin kencang menerjang, memadamkan api yang membakar hutan di sekitar mereka. Langit berubah gelap, dan kilat-kilat petir saling bersahutan, menciptakan pemandangan yang menggetarkan hati. Tiba-tiba, sebuah bayangan besar meluncur dari balik awan hitam. Tongkat emas raksasa berkilauan turun dari langit seperti meteor dan menghantam tubuh Damos dengan kekuatan luar biasa. Tidak ada waktu untuk Damos
Bab 69: Serangan di Malam yang Tenang Arjuna dan Livia menikmati malam yang tenang di sebuah pondok kecil di tengah hutan, jauh dari keramaian dan hiruk pikuk kota. Udara malam terasa segar, ditemani suara gemerisik dedaunan yang bergerak lembut ditiup angin. Setelah peristiwa berat yang mereka alami, malam itu menjadi momen singkat untuk melepaskan beban yang mereka tanggung bersama. Livia, dengan tatapan lembut, menatap ke luar jendela, sementara Arjuna duduk di kursi dekat perapian. Mereka berbincang ringan tentang masa depan—tentang kemungkinan yang masih jauh dari jangkauan, tetapi tetap memberi mereka harapan kecil untuk terus bertahan. Namun, kedamaian itu tidak berlangsung lama. Di kejauhan, bayangan gelap menyelinap di antara pepohonan. Kyle dan timnya telah tiba, bergerak seperti pemburu yang mengintai mangsanya. Mereka tahu betul bahwa pondok kecil itu adalah tempat persembunyian Arjuna dan Livia. Kyle berdiri di depan pasukannya: Lyra, Damos, Eryon, dan Velri
Bab 68: Rencana dalam Kegelapan Di dalam ruang tak bercahaya di benteng Sven, Kyle berdiri dengan tangan terlipat di belakang punggungnya, menatap peta yang terbentang di atas meja batu besar. Sekelilingnya, keheningan menggantung tegang, hanya dipecahkan oleh suara langkah berat ketika empat sosok memasuki ruangan satu per satu. Lyra, dengan rambut putih yang tampak membara seperti api, mendekati meja dengan gerakan anggun. Matanya yang berkilauan memancarkan keyakinan akan kekuatannya. Di belakangnya, Damos melangkah masuk dengan suara gemuruh, tubuh berbatu raksasanya hampir menyentuh langit-langit ruangan. Eryon, makhluk tanpa wajah yang tubuhnya bergerak seperti bayangan cair, muncul dari kegelapan tanpa suara, hanya meninggalkan getaran samar di udara. Terakhir, Velric memasuki ruangan, baju zirah hitam berlumuran darahnya memantulkan cahaya redup dari obor. Ia berjalan dengan ketenangan seorang ksatria yang tahu betul kekuatannya tak tertandingi. “Jadi, inilah merek
Bab 67: Luka yang Menorehkan Harga Diri Ruangan tempat Ragnar berbaring sunyi, hanya suara detak jarum jam di dinding yang menjadi pengiring waktu. Luka di tubuhnya belum sepenuhnya sembuh, meskipun perban yang membalut dada dan lengannya sudah diganti berkali-kali. Aroma obat memenuhi udara, menyatu dengan dinginnya lantai batu. Di luar, awan gelap menyelimuti langit, membuat suasana semakin muram. Ragnar mengerang pelan, mencoba mengangkat tubuhnya dari ranjang sempit yang ia tempati. Setiap gerakan kecil memicu rasa sakit tajam di otot dan tulangnya. Kekalahan dari Arjuna menjadi beban yang lebih berat daripada luka-luka fisiknya. Bukan hanya kekalahan itu melukai tubuhnya, tetapi juga egonya yang selama ini ia anggap tak tergoyahkan. Pintu ruangan terbuka perlahan, menciptakan suara berderit yang memecah keheningan. Kyle muncul dari balik pintu, wajahnya terlihat santai, tetapi tatapan matanya seperti elang yang mengamati mangsanya. Ia membawa secangkir kopi yang masih men