Share

Setelah Kejatuhan

Bab 7: Setelah Kejatuhan

Suara sirine mengiringi kedatangan polisi dan tim penyelamat yang menyusuri hutan, menembus malam yang kini sunyi setelah pertempuran hebat. Area sekitar tampak rusak parah—tanah retak, pepohonan tumbang, dan beberapa bagian hutan tampak terbakar. Para petugas yang baru tiba takjub melihat pemandangan ini, tak menyangka kekacauan sebesar itu bisa terjadi di tengah hutan.

Di salah satu titik, Arjuna dan teman-temannya tergeletak dalam keadaan tidak sadarkan diri. Tubuh mereka terlihat lelah dan penuh luka akibat benturan, namun mereka masih bernapas. Setelah memeriksa mereka satu per satu, tim penyelamat segera membawa mereka ke rumah sakit.

***

Keesokan harinya, Arjuna mulai siuman di kamar rumah sakit, meski kondisinya masih lemah. Tak lama kemudian, dua orang polisi berpakaian formal masuk ke ruangan Arjuna. Kedua polisi ini bernama *Komisaris Agus*, seorang pria berperawakan besar dengan janggut yang mulai memutih, dan *Inspektur Rani*, seorang wanita tinggi dengan rambut sebahu dan tatapan tajam.

Komisaris Agus membuka percakapan dengan suara yang dalam namun tenang. "Selamat pagi, Arjuna. Saya Komisaris Agus, dan ini Inspektur Rani. Kami dari kepolisian dan ingin bertanya sedikit tentang kejadian yang terjadi di hutan malam kemarin," ujarnya sambil duduk di samping tempat tidur Arjuna.

Arjuna menelan ludah, menatap kedua polisi itu. "Ya, Pak. Saya... saya tidak ingat banyak," jawabnya ragu, sambil mencoba mencari alasan yang masuk akal.

Inspektur Rani, dengan tatapan yang tak kalah tajam, menambahkan, "Kami mendapat laporan tentang kerusakan besar di hutan. Ada indikasi bekas ledakan dan kerusakan seperti akibat gempa. Apa yang sebenarnya kalian lakukan di sana?"

Arjuna menghela napas, mencoba tetap tenang. "Kami hanya... awalnya pergi untuk eksplorasi. Tapi... ada tanah yang longsor dan membuat kami semua terjatuh. Saat itu gelap, dan kami panik," jawabnya dengan suara datar, berharap alasan itu bisa diterima.

Kedua polisi bertukar pandang, tampak tidak sepenuhnya yakin dengan penjelasan Arjuna. "Baiklah, kami akan memeriksa kembali laporan ini," ujar Komisaris Agus akhirnya. “Tapi jika ada yang ingin kamu tambahkan, atau jika kamu ingat detail lainnya, beri tahu kami.”

Arjuna mengangguk pelan. "Tentu, Pak."

***

Di sisi lain, kondisi Livia, Dani, dan Bima masih belum sadar. Mereka berada di ruang perawatan lain, dijaga oleh beberapa suster. Sarah, yang berada di ruangan yang sama dengan Livia, hanya bisa menatap tempatnya dari tempat tidurnya. Wajahnya tampak pucat, namun ada keteguhan di dalamnya. Luka-luka yang ia alami terlihat di beberapa bagian tubuhnya, memperlihatkan betapa hebatnya pertempuran yang mereka alami. Sarah berusaha tersenyum untuk memberi semangat kepada Livia, meski dalam hatinya ia merasa cemas.

Pada sore harinya, Ratna datang menjenguk Arjuna setelah mendengar kabar kondisi temannya. Ketika melihat Arjuna, wajahnya penuh kecemasan. "Arjuna, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kalian semua terluka begini?" tanyanya cemas.

Arjuna hanya menggeleng lemah. "Nanti saja, Ratna. Yang penting sekarang kita semua selamat," jawabnya sambil berusaha tersenyum tipis. Ratna kemudian menghubungi orang tua Arjuna serta orang tua teman-temannya yang lain, memberi tahu mereka kondisi anak-anak mereka.

***

Di ruangan yang sama dengan Livia, Helena, sahabat Livia, baru saja tiba dengan raut wajah penuh kekhawatiran setelah mendapat kabar dari Ratna. Helena memiliki perawakan tinggi, rambut hitam panjang tergerai, dan sorot mata tajam yang memancarkan keteguhan hati. Pakaian kasual yang ia kenakan menambah kesan sederhana, namun ada kehangatan dalam dirinya yang membuat orang lain merasa nyaman. Melihat sahabatnya terbaring lemah di ranjang rumah sakit, ia tak bisa menahan rasa cemas yang begitu dalam.

"Livia..." panggil Helena, menghampiri dan menggenggam tangan Livia erat.

Livia, yang masih lemah, membuka matanya dan tersenyum tipis. "Helena... Kamu datang," ujarnya dengan suara pelan.

Helena menatap Sarah di ranjang sebelah dan memberi senyuman lembut kepadanya sebelum kembali menatap Livia. "Aku baru dengar kabarnya, Liv. Apa yang sebenarnya terjadi?"

Livia menunduk, menghindari menjelaskan kejadian yang sebenarnya terjadi di hutan. “Hanya kecelakaan kecil. Aku dan teman-temanku akan segera baik-baik saja, jangan khawatir,” jawabnya mencoba menenangkan Helena.

***

Di kamar lain, Bima mulai tersadar dari pingsannya, merasakan tubuhnya masih lemas dan beberapa bagian tubuh terasa nyeri. Ia mengingat dengan jelas betapa mencekamnya kejadian di hutan dan bagaimana Arjuna terlihat sangat terpukul. Dalam keadaan setengah sadar, Bima menyadari bahwa Arjuna merasa sangat bersalah karena telah mengajak mereka semua ke hutan yang akhirnya membuat mereka terluka.

Sementara itu, Arjuna, yang masih berada dalam interogasi, berusaha menjawab setiap pertanyaan yang diajukan polisi tanpa mengungkapkan kejadian sebenarnya. Tatapan penyidik penuh dengan rasa curiga, tetapi Arjuna tetap teguh pada alibinya. "Kami hanya jalan-jalan, lalu kecelakaan kecil terjadi. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan," ucapnya berusaha meyakinkan petugas.

Namun, di dalam dirinya, Arjuna merasakan penyesalan yang mendalam. "Jika aku tidak mengajak mereka, mungkin semua ini tidak akan terjadi," pikirnya. Pandangan itu terus mengganggunya, menyadari bahwa ia hampir membahayakan nyawa sahabat-sahabatnya.

Di luar, malam semakin larut. Hawa dingin merayap masuk melalui celah jendela, membawa ketenangan yang seolah menenangkan suasana rumah sakit. Suasana sunyi kembali menyelimuti ruang-ruang rumah sakit, sementara tanda-tanda kecurigaan polisi terus mengintai di sekitar Arjuna dan teman-temannya. Kejadian di hutan itu mungkin akan menjadi rahasia yang mereka simpan erat, namun tanda-tanda kegelapan yang baru saja mereka alami menjadi pertanda akan bahaya yang lebih besar yang mungkin mengintai mereka di masa depan.

***

Malam semakin larut ketika Arjuna kembali ke kamar rawatnya setelah interogasi. Meski tubuhnya lelah dan luka-lukanya belum sepenuhnya pulih, pikirannya masih terpaku pada kejadian di hutan. Setiap ingatan yang muncul membawa rasa bersalah yang begitu dalam. Ia merasa bertanggung jawab atas kondisi teman-temannya, terutama Livia, yang kini masih terbaring lemah di ruangan yang sama dengan Sarah.

Ketika rasa kantuk mulai menguasainya, Arjuna dikejutkan oleh suara ketukan pelan di pintu kamarnya. Saat pintu terbuka, tampak sosok *Pak Budi*, dosennya yang selalu tampak tenang namun penuh misteri. Dengan wajah penuh ketulusan, Pak Budi menghampiri ranjang Arjuna dan mengangguk kecil sebagai sapaan.

"Arjuna, saya dengar kamu dan teman-temanmu mengalami kecelakaan di hutan," ujar Pak Budi dengan nada rendah namun penuh perhatian.

Arjuna menatapnya dengan campuran rasa kaget dan penasaran. "Ya, Pak... Kami... kami hanya eksplorasi biasa, tapi ada hal-hal yang... sulit dijelaskan," jawab Arjuna, menunduk, merasa bahwa dosennya itu mungkin tahu lebih banyak dari yang ia perlihatkan.

Pak Budi mengangguk pelan, seolah sudah menduga jawaban Arjuna. "Saya paham, Juna. Di dunia ini, ada banyak hal yang tak selalu bisa kita lihat dan pahami, apalagi ketika kekuatan besar mulai bangkit di dalam dirimu," ucapnya, sambil memandang Arjuna dengan sorot mata yang menenangkan.

Arjuna tertegun mendengar ucapan itu. "Pak, Anda... Anda tahu tentang ini?" tanyanya ragu-ragu.

Pak Budi tersenyum tipis. "Lebih dari yang kamu bayangkan, Juna. Tidak ada yang kebetulan. Kamu punya peran besar, dan kekuatan itu akan terus tumbuh. Namun, kamu harus belajar mengendalikannya, atau kekuatan itu yang akan mengendalikanmu."

Sejenak suasana hening, Arjuna hanya menatap Pak Budi, mencoba mencerna setiap kata yang disampaikan. “Kalau begitu… bagaimana caranya saya bisa memahami ini semua, Pak?”

Pak Budi mendekat, meletakkan tangan di bahu Arjuna. “Untuk sekarang, fokuslah pada pemulihanmu dan teman-temanmu. Nanti, ketika waktunya tiba, saya akan membimbingmu. Yang pasti, kamu harus siap—perjalananmu baru dimulai.”

Arjuna hanya bisa mengangguk pelan, menyadari betapa seriusnya situasi ini. Ia merasa bahwa kehidupannya kini memasuki fase baru yang penuh tantangan.

***

Sementara itu, di ruangan lain, Sarah yang berada satu kamar dengan Livia mulai tersadar dari tidurnya. Ia menoleh dan melihat Livia yang terbaring di sebelahnya, masih tampak lemah namun berusaha tersenyum padanya.

"Livia… kamu baik-baik saja?" bisik Sarah dengan suara pelan, suaranya masih terdengar lemah.

Livia mengangguk kecil. "Iya, Sarah. Aku masih di sini… kita semua masih hidup. Itu yang terpenting," jawab Livia mencoba menenangkan Sarah, meskipun dirinya sendiri masih diliputi ketakutan akan kejadian di hutan.

Sarah mengangguk, walaupun sorot matanya menunjukkan betapa trauma kejadian itu membekas dalam dirinya. Ia masih teringat dengan jelas bagaimana mereka semua hampir kehilangan nyawa. Namun, di balik ketakutannya, ada rasa penasaran yang begitu besar. "Liv… menurutmu apa yang sebenarnya terjadi di hutan itu? Apa itu semua… hanya kecelakaan?"

Livia terdiam sejenak, pandangannya menerawang. "Aku sendiri tidak tahu, Sarah. Tapi aku yakin… kejadian itu bukan kebetulan," bisiknya, berusaha mengingat kembali perasaan aneh yang ia rasakan saat melihat Arjuna berubah. Meski samar, ia merasakan aura yang begitu kuat dan asing dari Arjuna saat itu.

Mendengar jawaban Livia, Sarah semakin penasaran. "Arjuna… dia berubah, ya? Saat itu aku melihat sesuatu dalam dirinya, sesuatu yang… berbeda," ucapnya pelan, berusaha menata pikirannya yang kacau.

Livia hanya bisa terdiam, enggan membahas lebih lanjut. Ia merasa bahwa ada banyak hal yang masih tersembunyi tentang Arjuna dan kekuatan yang ia miliki. Namun, satu hal yang pasti, kehadiran mereka di hutan telah membuka tabir misteri yang selama ini tidak mereka sadari.

***

Keesokan paginya, suasana rumah sakit masih terasa tenang. Komisaris Agus dan Inspektur Rani kembali melakukan kunjungan untuk memeriksa kondisi para mahasiswa dan melanjutkan penyelidikan mereka. Mereka tahu bahwa ada sesuatu yang janggal, namun bukti yang mereka miliki masih terlalu sedikit untuk menyimpulkan apa yang sebenarnya terjadi.

Di tengah ruangan, Arjuna menatap langit-langit sambil berpikir keras tentang perkataan Pak Budi semalam. Ia menyadari bahwa dirinya mungkin harus segera mempersiapkan diri menghadapi sesuatu yang lebih besar. Pandangan matanya kini penuh tekad; ia berjanji dalam hatinya untuk melindungi teman-temannya, apapun risikonya.

Di lorong rumah sakit, terlihat Helena duduk di kursi, menunggu dengan cemas kabar terbaru tentang kondisi Livia dan Sarah. Ia teringat akan betapa dekatnya ia dengan Livia, dan tak mampu membayangkan jika sesuatu yang buruk menimpa sahabatnya itu. Sementara itu, Dani dan Bima yang baru saja siuman, saling menatap penuh kelegaan, walau rasa cemas masih tergurat jelas di wajah mereka.

Di tengah kebersamaan mereka, satu hal terasa jelas—sebuah perasaan tak terucap bahwa kehidupan mereka telah berubah. Kejadian di hutan meninggalkan bekas yang tak mudah hilang, menyadarkan mereka akan keberadaan kekuatan yang lebih besar dari yang mereka bayangkan.

***

Malamnya, ketika suasana rumah sakit mulai sepi, Arjuna menyempatkan diri untuk berjalan menuju kamar Livia dan Sarah. Sesampainya di depan pintu, ia ragu sejenak, namun kemudian mengetuk perlahan. Pintu terbuka, dan ia mendapati Livia yang masih terbaring, sementara Sarah tertidur lelap di ranjang sebelah.

Livia tersenyum lemah saat melihat Arjuna. "Kamu datang…," bisiknya.

Arjuna mengangguk pelan dan duduk di kursi samping tempat tidurnya. “Maaf, Liv. Aku… aku merasa bersalah. Ini semua salahku… aku yang mengajak kalian ke hutan,” ucapnya dengan suara serak, menundukkan kepala.

Livia menatapnya dengan penuh pengertian. "Arjuna… jangan menyalahkan dirimu. Semua yang terjadi mungkin sudah takdir kita. Aku yakin kamu tidak pernah berniat mencelakakan kami," ujarnya, berusaha menenangkan Arjuna meskipun dalam hatinya masih tersisa trauma.

Arjuna menghela napas panjang, merasa sedikit lega mendengar kata-kata Livia. Namun, ia juga tahu bahwa untuk melindungi teman-temannya, ia harus segera memahami kekuatan yang ada di dalam dirinya. Ia tak ingin kejadian serupa terulang.

Setelah berbincang sejenak, Arjuna pamit kembali ke kamarnya. Namun, di sepanjang perjalanan kembali, hatinya dipenuhi tekad yang bulat. Kejadian di hutan telah membuka babak baru dalam hidupnya—babak di mana ia harus menghadapi kekuatan yang jauh lebih besar dan tanggung jawab yang lebih berat.

Ia sadar, ini baru awal dari perjalanan panjang yang penuh rintangan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status