Bab 7: Setelah Kejatuhan
Suara sirine mengiringi kedatangan polisi dan tim penyelamat yang menyusuri hutan, menembus malam yang kini sunyi setelah pertempuran hebat. Area sekitar tampak rusak parah—tanah retak, pepohonan tumbang, dan beberapa bagian hutan tampak terbakar. Para petugas yang baru tiba takjub melihat pemandangan ini, tak menyangka kekacauan sebesar itu bisa terjadi di tengah hutan. Di salah satu titik, Arjuna dan teman-temannya tergeletak dalam keadaan tidak sadarkan diri. Tubuh mereka terlihat lelah dan penuh luka akibat benturan, namun mereka masih bernapas. Setelah memeriksa mereka satu per satu, tim penyelamat segera membawa mereka ke rumah sakit. *** Keesokan harinya, Arjuna mulai siuman di kamar rumah sakit, meski kondisinya masih lemah. Tak lama kemudian, dua orang polisi berpakaian formal masuk ke ruangan Arjuna. Kedua polisi ini bernama *Komisaris Agus*, seorang pria berperawakan besar dengan janggut yang mulai memutih, dan *Inspektur Rani*, seorang wanita tinggi dengan rambut sebahu dan tatapan tajam. Komisaris Agus membuka percakapan dengan suara yang dalam namun tenang. "Selamat pagi, Arjuna. Saya Komisaris Agus, dan ini Inspektur Rani. Kami dari kepolisian dan ingin bertanya sedikit tentang kejadian yang terjadi di hutan malam kemarin," ujarnya sambil duduk di samping tempat tidur Arjuna. Arjuna menelan ludah, menatap kedua polisi itu. "Ya, Pak. Saya... saya tidak ingat banyak," jawabnya ragu, sambil mencoba mencari alasan yang masuk akal. Inspektur Rani, dengan tatapan yang tak kalah tajam, menambahkan, "Kami mendapat laporan tentang kerusakan besar di hutan. Ada indikasi bekas ledakan dan kerusakan seperti akibat gempa. Apa yang sebenarnya kalian lakukan di sana?" Arjuna menghela napas, mencoba tetap tenang. "Kami hanya... awalnya pergi untuk eksplorasi. Tapi... ada tanah yang longsor dan membuat kami semua terjatuh. Saat itu gelap, dan kami panik," jawabnya dengan suara datar, berharap alasan itu bisa diterima. Kedua polisi bertukar pandang, tampak tidak sepenuhnya yakin dengan penjelasan Arjuna. "Baiklah, kami akan memeriksa kembali laporan ini," ujar Komisaris Agus akhirnya. “Tapi jika ada yang ingin kamu tambahkan, atau jika kamu ingat detail lainnya, beri tahu kami.” Arjuna mengangguk pelan. "Tentu, Pak." *** Di sisi lain, kondisi Livia, Dani, dan Bima masih belum sadar. Mereka berada di ruang perawatan lain, dijaga oleh beberapa suster. Sarah, yang berada di ruangan yang sama dengan Livia, hanya bisa menatap tempatnya dari tempat tidurnya. Wajahnya tampak pucat, namun ada keteguhan di dalamnya. Luka-luka yang ia alami terlihat di beberapa bagian tubuhnya, memperlihatkan betapa hebatnya pertempuran yang mereka alami. Sarah berusaha tersenyum untuk memberi semangat kepada Livia, meski dalam hatinya ia merasa cemas. Pada sore harinya, Ratna datang menjenguk Arjuna setelah mendengar kabar kondisi temannya. Ketika melihat Arjuna, wajahnya penuh kecemasan. "Arjuna, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kalian semua terluka begini?" tanyanya cemas. Arjuna hanya menggeleng lemah. "Nanti saja, Ratna. Yang penting sekarang kita semua selamat," jawabnya sambil berusaha tersenyum tipis. Ratna kemudian menghubungi orang tua Arjuna serta orang tua teman-temannya yang lain, memberi tahu mereka kondisi anak-anak mereka. *** Di ruangan yang sama dengan Livia, Helena, sahabat Livia, baru saja tiba dengan raut wajah penuh kekhawatiran setelah mendapat kabar dari Ratna. Helena memiliki perawakan tinggi, rambut hitam panjang tergerai, dan sorot mata tajam yang memancarkan keteguhan hati. Pakaian kasual yang ia kenakan menambah kesan sederhana, namun ada kehangatan dalam dirinya yang membuat orang lain merasa nyaman. Melihat sahabatnya terbaring lemah di ranjang rumah sakit, ia tak bisa menahan rasa cemas yang begitu dalam. "Livia..." panggil Helena, menghampiri dan menggenggam tangan Livia erat. Livia, yang masih lemah, membuka matanya dan tersenyum tipis. "Helena... Kamu datang," ujarnya dengan suara pelan. Helena menatap Sarah di ranjang sebelah dan memberi senyuman lembut kepadanya sebelum kembali menatap Livia. "Aku baru dengar kabarnya, Liv. Apa yang sebenarnya terjadi?" Livia menunduk, menghindari menjelaskan kejadian yang sebenarnya terjadi di hutan. “Hanya kecelakaan kecil. Aku dan teman-temanku akan segera baik-baik saja, jangan khawatir,” jawabnya mencoba menenangkan Helena. *** Di kamar lain, Bima mulai tersadar dari pingsannya, merasakan tubuhnya masih lemas dan beberapa bagian tubuh terasa nyeri. Ia mengingat dengan jelas betapa mencekamnya kejadian di hutan dan bagaimana Arjuna terlihat sangat terpukul. Dalam keadaan setengah sadar, Bima menyadari bahwa Arjuna merasa sangat bersalah karena telah mengajak mereka semua ke hutan yang akhirnya membuat mereka terluka. Sementara itu, Arjuna, yang masih berada dalam interogasi, berusaha menjawab setiap pertanyaan yang diajukan polisi tanpa mengungkapkan kejadian sebenarnya. Tatapan penyidik penuh dengan rasa curiga, tetapi Arjuna tetap teguh pada alibinya. "Kami hanya jalan-jalan, lalu kecelakaan kecil terjadi. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan," ucapnya berusaha meyakinkan petugas. Namun, di dalam dirinya, Arjuna merasakan penyesalan yang mendalam. "Jika aku tidak mengajak mereka, mungkin semua ini tidak akan terjadi," pikirnya. Pandangan itu terus mengganggunya, menyadari bahwa ia hampir membahayakan nyawa sahabat-sahabatnya. Di luar, malam semakin larut. Hawa dingin merayap masuk melalui celah jendela, membawa ketenangan yang seolah menenangkan suasana rumah sakit. Suasana sunyi kembali menyelimuti ruang-ruang rumah sakit, sementara tanda-tanda kecurigaan polisi terus mengintai di sekitar Arjuna dan teman-temannya. Kejadian di hutan itu mungkin akan menjadi rahasia yang mereka simpan erat, namun tanda-tanda kegelapan yang baru saja mereka alami menjadi pertanda akan bahaya yang lebih besar yang mungkin mengintai mereka di masa depan. *** Malam semakin larut ketika Arjuna kembali ke kamar rawatnya setelah interogasi. Meski tubuhnya lelah dan luka-lukanya belum sepenuhnya pulih, pikirannya masih terpaku pada kejadian di hutan. Setiap ingatan yang muncul membawa rasa bersalah yang begitu dalam. Ia merasa bertanggung jawab atas kondisi teman-temannya, terutama Livia, yang kini masih terbaring lemah di ruangan yang sama dengan Sarah. Ketika rasa kantuk mulai menguasainya, Arjuna dikejutkan oleh suara ketukan pelan di pintu kamarnya. Saat pintu terbuka, tampak sosok *Pak Budi*, dosennya yang selalu tampak tenang namun penuh misteri. Dengan wajah penuh ketulusan, Pak Budi menghampiri ranjang Arjuna dan mengangguk kecil sebagai sapaan. "Arjuna, saya dengar kamu dan teman-temanmu mengalami kecelakaan di hutan," ujar Pak Budi dengan nada rendah namun penuh perhatian. Arjuna menatapnya dengan campuran rasa kaget dan penasaran. "Ya, Pak... Kami... kami hanya eksplorasi biasa, tapi ada hal-hal yang... sulit dijelaskan," jawab Arjuna, menunduk, merasa bahwa dosennya itu mungkin tahu lebih banyak dari yang ia perlihatkan. Pak Budi mengangguk pelan, seolah sudah menduga jawaban Arjuna. "Saya paham, Juna. Di dunia ini, ada banyak hal yang tak selalu bisa kita lihat dan pahami, apalagi ketika kekuatan besar mulai bangkit di dalam dirimu," ucapnya, sambil memandang Arjuna dengan sorot mata yang menenangkan. Arjuna tertegun mendengar ucapan itu. "Pak, Anda... Anda tahu tentang ini?" tanyanya ragu-ragu. Pak Budi tersenyum tipis. "Lebih dari yang kamu bayangkan, Juna. Tidak ada yang kebetulan. Kamu punya peran besar, dan kekuatan itu akan terus tumbuh. Namun, kamu harus belajar mengendalikannya, atau kekuatan itu yang akan mengendalikanmu." Sejenak suasana hening, Arjuna hanya menatap Pak Budi, mencoba mencerna setiap kata yang disampaikan. “Kalau begitu… bagaimana caranya saya bisa memahami ini semua, Pak?” Pak Budi mendekat, meletakkan tangan di bahu Arjuna. “Untuk sekarang, fokuslah pada pemulihanmu dan teman-temanmu. Nanti, ketika waktunya tiba, saya akan membimbingmu. Yang pasti, kamu harus siap—perjalananmu baru dimulai.” Arjuna hanya bisa mengangguk pelan, menyadari betapa seriusnya situasi ini. Ia merasa bahwa kehidupannya kini memasuki fase baru yang penuh tantangan. *** Sementara itu, di ruangan lain, Sarah yang berada satu kamar dengan Livia mulai tersadar dari tidurnya. Ia menoleh dan melihat Livia yang terbaring di sebelahnya, masih tampak lemah namun berusaha tersenyum padanya. "Livia… kamu baik-baik saja?" bisik Sarah dengan suara pelan, suaranya masih terdengar lemah. Livia mengangguk kecil. "Iya, Sarah. Aku masih di sini… kita semua masih hidup. Itu yang terpenting," jawab Livia mencoba menenangkan Sarah, meskipun dirinya sendiri masih diliputi ketakutan akan kejadian di hutan. Sarah mengangguk, walaupun sorot matanya menunjukkan betapa trauma kejadian itu membekas dalam dirinya. Ia masih teringat dengan jelas bagaimana mereka semua hampir kehilangan nyawa. Namun, di balik ketakutannya, ada rasa penasaran yang begitu besar. "Liv… menurutmu apa yang sebenarnya terjadi di hutan itu? Apa itu semua… hanya kecelakaan?" Livia terdiam sejenak, pandangannya menerawang. "Aku sendiri tidak tahu, Sarah. Tapi aku yakin… kejadian itu bukan kebetulan," bisiknya, berusaha mengingat kembali perasaan aneh yang ia rasakan saat melihat Arjuna berubah. Meski samar, ia merasakan aura yang begitu kuat dan asing dari Arjuna saat itu. Mendengar jawaban Livia, Sarah semakin penasaran. "Arjuna… dia berubah, ya? Saat itu aku melihat sesuatu dalam dirinya, sesuatu yang… berbeda," ucapnya pelan, berusaha menata pikirannya yang kacau. Livia hanya bisa terdiam, enggan membahas lebih lanjut. Ia merasa bahwa ada banyak hal yang masih tersembunyi tentang Arjuna dan kekuatan yang ia miliki. Namun, satu hal yang pasti, kehadiran mereka di hutan telah membuka tabir misteri yang selama ini tidak mereka sadari. *** Keesokan paginya, suasana rumah sakit masih terasa tenang. Komisaris Agus dan Inspektur Rani kembali melakukan kunjungan untuk memeriksa kondisi para mahasiswa dan melanjutkan penyelidikan mereka. Mereka tahu bahwa ada sesuatu yang janggal, namun bukti yang mereka miliki masih terlalu sedikit untuk menyimpulkan apa yang sebenarnya terjadi. Di tengah ruangan, Arjuna menatap langit-langit sambil berpikir keras tentang perkataan Pak Budi semalam. Ia menyadari bahwa dirinya mungkin harus segera mempersiapkan diri menghadapi sesuatu yang lebih besar. Pandangan matanya kini penuh tekad; ia berjanji dalam hatinya untuk melindungi teman-temannya, apapun risikonya. Di lorong rumah sakit, terlihat Helena duduk di kursi, menunggu dengan cemas kabar terbaru tentang kondisi Livia dan Sarah. Ia teringat akan betapa dekatnya ia dengan Livia, dan tak mampu membayangkan jika sesuatu yang buruk menimpa sahabatnya itu. Sementara itu, Dani dan Bima yang baru saja siuman, saling menatap penuh kelegaan, walau rasa cemas masih tergurat jelas di wajah mereka. Di tengah kebersamaan mereka, satu hal terasa jelas—sebuah perasaan tak terucap bahwa kehidupan mereka telah berubah. Kejadian di hutan meninggalkan bekas yang tak mudah hilang, menyadarkan mereka akan keberadaan kekuatan yang lebih besar dari yang mereka bayangkan. *** Malamnya, ketika suasana rumah sakit mulai sepi, Arjuna menyempatkan diri untuk berjalan menuju kamar Livia dan Sarah. Sesampainya di depan pintu, ia ragu sejenak, namun kemudian mengetuk perlahan. Pintu terbuka, dan ia mendapati Livia yang masih terbaring, sementara Sarah tertidur lelap di ranjang sebelah. Livia tersenyum lemah saat melihat Arjuna. "Kamu datang…," bisiknya. Arjuna mengangguk pelan dan duduk di kursi samping tempat tidurnya. “Maaf, Liv. Aku… aku merasa bersalah. Ini semua salahku… aku yang mengajak kalian ke hutan,” ucapnya dengan suara serak, menundukkan kepala. Livia menatapnya dengan penuh pengertian. "Arjuna… jangan menyalahkan dirimu. Semua yang terjadi mungkin sudah takdir kita. Aku yakin kamu tidak pernah berniat mencelakakan kami," ujarnya, berusaha menenangkan Arjuna meskipun dalam hatinya masih tersisa trauma. Arjuna menghela napas panjang, merasa sedikit lega mendengar kata-kata Livia. Namun, ia juga tahu bahwa untuk melindungi teman-temannya, ia harus segera memahami kekuatan yang ada di dalam dirinya. Ia tak ingin kejadian serupa terulang. Setelah berbincang sejenak, Arjuna pamit kembali ke kamarnya. Namun, di sepanjang perjalanan kembali, hatinya dipenuhi tekad yang bulat. Kejadian di hutan telah membuka babak baru dalam hidupnya—babak di mana ia harus menghadapi kekuatan yang jauh lebih besar dan tanggung jawab yang lebih berat. Ia sadar, ini baru awal dari perjalanan panjang yang penuh rintangan.Bab 8: Awal Sebuah Pelatihan Pagi di rumah sakit terasa lebih cerah, namun suasana hati Arjuna dan teman-temannya masih terjebak dalam bayangan kejadian di hutan. Rasa trauma dan ketakutan itu terus menghantui mereka, namun hidup mereka harus terus berlanjut. Setelah semua pemeriksaan selesai, dokter akhirnya mengizinkan Arjuna dan teman-temannya untuk pulang dengan syarat tetap melakukan kontrol rutin. Namun, ada yang berbeda pada Arjuna. Setelah kunjungan Pak Budi semalam, pikirannya penuh dengan pertanyaan yang tak terjawab, tentang kekuatan yang tiba-tiba muncul, dan tanggung jawab yang mulai ia rasakan di pundaknya. Ia tahu dirinya tidak bisa lari lagi—apa pun yang terjadi, ia harus menghadapi takdirnya. Saat dalam perjalanan pulang, Arjuna berjanji pada dirinya sendiri untuk menemui Pak Budi dan mencari tahu lebih dalam tentang kekuatan yang ada di dalam dirinya. *** Keesokan harinya, Arjuna berdiri di depan rumah Pak Budi, merasa sedikit ragu. Rumah tersebut berada di kawa
Bab 9: Kekuatan Tersembunyi Pagi itu, suasana di kaki gunung begitu sunyi. Arjuna berdiri di hadapan Pak Budi, menatap ke arah hutan lebat yang melingkupi mereka. Udara terasa dingin menusuk, namun ada perasaan hangat di sekitar mereka, seolah energi tak kasatmata menyelimuti tempat itu. Pak Budi menatapnya dengan sorot penuh kebijaksanaan, wajahnya tenang dan tegas, menyiratkan kedalaman ilmu yang belum sepenuhnya Arjuna pahami. "Arjuna, apa kau tahu mengapa aku mengajakmu ke sini?" tanya Pak Budi dengan suara pelan, namun mantap. Arjuna menggeleng, masih belum memahami sepenuhnya alasan pelatihan ini. "Pak Budi, saya kira ini hanya untuk melatih fisik saya. Tapi, sekarang... saya merasa ada yang lebih besar dari itu." Pak Budi tersenyum samar. "Betul sekali. Ini bukan hanya soal kekuatan fisik. Yang kau hadapi nanti akan jauh lebih besar dan lebih berbahaya. Kekuatan yang kau miliki harus seimbang dengan ketenangan batin
Bab 10: Sang Penjaga Abadi Suasana malam itu sangat sunyi, hanya angin yang menyentuh dedaunan dengan lembut. Setelah latihan panjang yang melelahkan, Arjuna dan Pak Budi duduk di bawah pohon besar, menikmati kesunyian. Namun, ada sesuatu yang tak tertahankan di hati Arjuna, sesuatu yang membuatnya penasaran selama ini. “Pak,” Arjuna membuka pembicaraan, suaranya hampir tenggelam di tengah hening malam. “Apakah… apakah Eyang Semar benar-benar ada? Dan… kalau boleh tahu, apakah beliau sudah… mati atau masih hidup?” Pak Budi tersenyum samar, lalu menatap Arjuna dengan pandangan yang dalam. “Eyang Semar,” katanya pelan, “beliau tidak hidup, tapi juga tidak mati. Beliau mencapai moksa, melebur bersama semesta. Ia adalah penjaga yang abadi. Ada banyak yang mengikuti jejaknya, banyak tokoh besar di Nusantara yang telah melakukan moksa seperti beliau. Prabu Siliwangi, Patih Gajah Mada—mereka semua hidup di dalam tanah ini, menjaga dan merawatnya
Bab 11: Arjuna VS Genderuwo Setelah percakapan mendalam antara Arjuna dan sosok Semar di dalam penglihatan, ia kembali ke kenyataan di tempat latihan bersama Pak Budi. Arjuna masih terguncang oleh pengalaman tersebut, tapi kini di hatinya tumbuh tekad yang kuat. Momen itu memperdalam pemahaman Arjuna tentang tanggung jawabnya sebagai pelindung. Pak Budi, yang melihat perubahan dalam diri Arjuna, mengangguk dengan penuh pengertian. Tanpa banyak kata, ia mengeluarkan sebilah Kris kuno dari dalam tasnya. Pak Budi menjelaskan bahwa Kris tersebut adalah simbol keberanian yang diwariskan dari masa lampau. Kris ini bukan sekadar senjata, tetapi juga membawa semangat para leluhur yang pernah berjuang melindungi Nusantara. *** Malam semakin larut, dan suasana di sekitar mulai berubah. Angin bertiup kencang, menimbulkan suara-suara aneh dari pepohonan. Pak Budi tiba-tiba berhenti dan menatap tajam ke arah kegelapan hutan. Dia merasakan keberadaan makhluk gaib, yang sudah lama mengintai mere
Bab 12: Memori yang TersembunyiPagi itu, Arjuna terbangun dengan perasaan yang masih campur aduk. Tubuhnya terasa sedikit lebih baik setelah malam penuh kejadian di hutan, namun pikirannya masih dihantui oleh sosok Genderuwo dan kekuatan dahsyat yang tiba-tiba bangkit dalam dirinya. Tak ada satu pun yang benar-benar masuk akal, dan ia tahu ini bukan hal yang bisa ia tanyakan pada sembarang orang, kecuali pada Pak Budi.Setibanya di kampus, Arjuna berjalan menuju kelas dengan perasaan was-was. Belum sempat ia masuk, suara akrab memanggilnya dari belakang. Dani, dengan raut wajah yang sedikit khawatir, berlari menghampirinya.“Jun! Kemana saja, sih? Kita semua udah khawatir banget,” ucap Dani, menepuk bahunya.Arjuna tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan kegalauan dalam dirinya. “Maaf, Dan. Ada urusan mendadak semalam.”Dani mengerutkan kening, namun tak bertanya lebih lanjut. Bersamaan dengan itu, Livia lewat bersama beberapa
Bab 12: Pertemuan Tak Terduga Suasana kafe kampus sore itu cukup tenang. Hanya terdengar obrolan samar di sekitar, berpadu dengan aroma kopi yang khas, menenangkan pikiran Arjuna. Ia duduk sendirian di pojok ruangan, matanya menerawang ke luar jendela. Bayang-bayang pengalaman berat bersama Pak Budi dan pertemuan tak terduganya dengan Eyang Semar masih melekat dalam benaknya. Bagi Arjuna, banyak hal berubah sejak ia menyadari siapa dirinya sebenarnya — reinkarnasi dari Ares, dewa perang yang melegenda. Namun, bersama kesadaran itu pula, tanggung jawab besar terasa semakin menghimpitnya. Kini, ia bukan hanya mahasiswa biasa, tapi seorang pelindung yang terikat pada sesuatu yang lebih besar dari dirinya. Pikirannya terputus ketika suara tawa dari arah pintu masuk mengalihkan perhatiannya. Ia mengangkat kepala, melihat teman-teman dekatnya, Bayu, Dani, Ratna, dan Sarah, baru saja memasuki kafe. Mereka membawa en
**Bab 13: Tanda-Tanda Bahaya** Keesokan harinya, suasana di kampus tampak seperti biasanya — hiruk-pikuk para mahasiswa yang berlalu-lalang, suara riuh canda tawa di sudut-sudut lorong, dan wajah-wajah lelah yang tampak sibuk dengan tumpukan tugas. Namun, di dalam benak Arjuna, semua terasa berbeda. Sejak pertemuannya dengan Banyu kemarin, ia merasa ada sesuatu yang mengganjal, seakan sosok itu menyimpan maksud tersembunyi yang tidak bisa ia abaikan begitu saja. Arjuna berjalan menyusuri koridor menuju ruang kelasnya. Bayu dan Dani sudah menunggu di sana, berbincang-bincang dengan santai seperti biasa. Saat melihat Arjuna datang, mereka melambaikan tangan dan menyuruhnya cepat-cepat mendekat. "Juna, sini, bro!" panggil Bayu dengan senyum lebarnya. "Ada kabar menarik nih!" Arjuna mengerutkan alis dan mempercepat langkahnya. "Apa sih? Kok kalian semangat banget?" Dani mengangkat bahunya sambil tertawa. "Ternyat
Bab 14: Awal dari Konflik Setelah percakapan dengan Pak Budi, Arjuna semakin berhati-hati terhadap Banyu. Ia mulai membatasi interaksinya dan mengamati dari jauh, berusaha mencari tahu lebih dalam tentang mahasiswa baru ini. Namun, sikap Banyu yang terus mendekati teman-temannya membuat Arjuna merasa terpojok, seolah Banyu perlahan-lahan menyusup ke dalam kehidupannya. Di sisi lain, Banyu tampak semakin akrab dengan teman-teman Arjuna. Bayu, Dani, Ratna, dan Sarah mulai sering mengajak Banyu bergabung dalam aktivitas mereka, dan Banyu selalu hadir dengan senyum ramahnya. Ketika Arjuna melihat mereka tertawa bersama, ia merasakan ada kecemasan yang sulit dijelaskan. Meskipun ia tidak memiliki bukti konkret, ia yakin ada maksud tersembunyi di balik keramahan Banyu. Suatu hari setelah perkuliahan, Banyu mendatangi Arjuna di lorong kampus. “Juna, kamu ngga ada waktu buat ngobrol lagi, ya? Kamu sibuk banget akhir-akhir ini,”
Bab 75: Di Balik Bayang Gunung Salak Gunung Salak menjulang megah di kejauhan, kabutnya melingkupi puncaknya seperti selimut rahasia yang menjaga misteri. Angin pegunungan yang dingin menyapu wajah Arjuna, Pak Budi, dan Sun Wukong saat mereka akhirnya tiba di kaki gunung. Matahari hampir tenggelam di ufuk barat, menyelimuti dunia dengan cahaya jingga yang menambah suasana menegangkan. “Di sini,” kata Pak Budi sambil berhenti di sebuah celah batu besar. “Ini pintu masuk ke jalur tersembunyi yang akan membawa kita ke tempat latihan berikutnya. Tapi kita harus berhati-hati. Jika Sven telah mengirim anteknya, mereka mungkin sudah memasang jebakan.” Arjuna mengangguk, matanya memindai sekitar dengan waspada. Ia merasa udara di sekitarnya lebih berat, seolah sesuatu yang tak kasatmata sedang mengintai mereka. “Rasakan itu?” Sun Wukong tiba-tiba berkata, menghentikan langkah mereka. Ia memegang tongkat emasnya dengan erat, matanya menyipit tajam. “Apa itu?” Arjuna bertanya, men
Bab 74: Di Ambang Badai Malam masih membalut hutan dengan keheningan ketika Arjuna, Pak Budi, dan Sun Wukong akhirnya memutuskan untuk beranjak dari tempat mereka. Udara malam dingin menusuk, dan hanya suara dedaunan yang bergesekan dengan angin menemani langkah mereka. Perasaan kosong melingkupi hati Arjuna setelah perpisahannya dengan Livia. Meskipun ia tahu keputusan itu adalah yang terbaik untuk keselamatan Livia, bayangannya tetap memenuhi pikirannya. Pak Budi berjalan di samping Arjuna, memecah keheningan. “Arjuna, aku tahu kau memikirkan Livia. Tapi, kau harus ingat, apa yang kita hadapi saat ini jauh lebih besar daripada yang kita bayangkan. Sven dan pasukannya tidak akan berhenti.” Sun Wukong mengangguk dari depan, menoleh sedikit ke belakang. “Bahkan jika kita berhasil melindungi Livia, musuh kita akan menemukan celah lain. Mereka akan terus mencoba. Itu sebabnya, kau harus mempersiapkan dirimu, tidak hanya secara fisik, tetapi juga mental.” Arjuna menghela napas
Bab 73: Perpisahan di Bawah Cahaya Bulan Arjuna, Livia, Sun Wukong, dan Pak Budi duduk di sekitar api unggun kecil yang mereka buat di tengah hutan. Malam itu, bintang-bintang bertaburan di langit, dan keheningan hutan terasa menenangkan setelah hari yang penuh dengan pertempuran. Arjuna sedang memeriksa luka di lengannya, sementara Livia duduk di sampingnya, tampak cemas. “Luka itu tidak terlalu dalam, kan?” tanya Livia, suaranya dipenuhi kekhawatiran. Arjuna tersenyum menenangkan. “Hanya goresan kecil. Aku sudah terbiasa dengan hal seperti ini.” Pak Budi yang duduk tak jauh dari mereka mengangguk. “Tubuhmu mungkin kuat, tapi hati-hati, Arjuna. Luka kecil bisa menjadi masalah besar jika kau mengabaikannya.” Sun Wukong yang sedang membersihkan tongkat emasnya tertawa kecil. “Semar benar, meskipun aku rasa kau cukup keras kepala untuk tidak mendengarkannya.” Livia menghela napas, lalu menoleh ke Arjuna. “Kau harus lebih berhati-hati. Aku tidak tahu apa yang akan kulaku
Bab 72: Kesadaran yang Membuka Kebenaran Hutan sunyi, hanya suara hembusan angin yang terdengar di antara pepohonan tinggi. Setelah pertempuran yang berat, suasana tegang telah berubah menjadi keheningan. Pak Budi dan Sun Wukong berdiri berdekatan, keduanya tampak berbicara dengan Arjuna. “Arjuna,” kata Pak Budi, suaranya lembut namun tegas, “kau harus segera mempersiapkan diri. Sven tidak akan tinggal diam setelah kehilangan pasukan seperti ini.” Sun Wukong mengangguk setuju, tongkat emasnya yang besar berdiri tegak di sampingnya. “Benar. Perang ini baru saja dimulai. Sven akan mengirim yang lebih kuat, yang lebih ganas. Tapi dengan kerja keras, kau bisa menghadapi mereka.” Arjuna mendengarkan dengan serius, pikirannya masih dipenuhi bayangan pertempuran sebelumnya. Ia tahu ini bukan akhir, melainkan awal dari sesuatu yang jauh lebih besar. Namun, sebelum ia bisa menjawab, terdengar suara lembut dari dalam pondok. “Arjuna…?” Mata Arjuna melebar. Ia segera berbalik dan berl
Bab 71: Kembali ke Istana Kegelapan Malam terasa semakin gelap di dunia bawah, atmosfer dingin dan menyesakkan menyelimuti lorong panjang yang berujung pada istana megah milik Sven. Kyle, dengan tubuh penuh luka dan darah yang mengering, berjalan tertatih-tatih melewati penjaga yang hanya menatapnya tanpa berani memberikan bantuan. Perasaan kalah membakar hatinya, tapi ia menepis semua rasa sakit itu, bertekad melaporkan kegagalan ini pada Sven. Setelah berjam-jam perjalanan penuh rasa sakit, Kyle akhirnya tiba di aula utama istana. Cahaya temaram dari obor di sepanjang dinding menambah suasana suram. Namun, sebelum ia bisa melangkah lebih jauh, suara tawa dingin yang ia kenal baik menggema dari salah satu sudut ruangan. Ragnar, yang kini berdiri dengan tubuh tegap dan tanpa bekas luka, menatap Kyle dengan tatapan penuh ejekan. “Kyle,” ucapnya, suaranya sarat dengan sarkasme. “Apa yang terjadi padamu? Kau terlihat seperti tikus basah yang baru saja dilempar keluar dari neraka.”
Bab 70: Bantuan dari Langit dan Bumi Malam itu terasa seperti sebuah mimpi buruk yang tak berkesudahan. Di tengah kehancuran pondok kecil yang kini tak lebih dari puing-puing, Arjuna berdiri dengan tubuh penuh luka, memegang tombak dengan tangan gemetar. Kyle dan anak buahnya berdiri di hadapannya, penuh percaya diri meski beberapa dari mereka telah terluka. Kyle melangkah maju, senyumnya sinis. "Kau telah mencoba melawan, Arjuna, tapi ini adalah akhirnya. Tidak ada lagi yang bisa kau lakukan." Namun, sebelum Kyle dapat melancarkan serangannya, suara gemuruh menggelegar dari langit. Angin kencang menerjang, memadamkan api yang membakar hutan di sekitar mereka. Langit berubah gelap, dan kilat-kilat petir saling bersahutan, menciptakan pemandangan yang menggetarkan hati. Tiba-tiba, sebuah bayangan besar meluncur dari balik awan hitam. Tongkat emas raksasa berkilauan turun dari langit seperti meteor dan menghantam tubuh Damos dengan kekuatan luar biasa. Tidak ada waktu untuk Damos
Bab 69: Serangan di Malam yang Tenang Arjuna dan Livia menikmati malam yang tenang di sebuah pondok kecil di tengah hutan, jauh dari keramaian dan hiruk pikuk kota. Udara malam terasa segar, ditemani suara gemerisik dedaunan yang bergerak lembut ditiup angin. Setelah peristiwa berat yang mereka alami, malam itu menjadi momen singkat untuk melepaskan beban yang mereka tanggung bersama. Livia, dengan tatapan lembut, menatap ke luar jendela, sementara Arjuna duduk di kursi dekat perapian. Mereka berbincang ringan tentang masa depan—tentang kemungkinan yang masih jauh dari jangkauan, tetapi tetap memberi mereka harapan kecil untuk terus bertahan. Namun, kedamaian itu tidak berlangsung lama. Di kejauhan, bayangan gelap menyelinap di antara pepohonan. Kyle dan timnya telah tiba, bergerak seperti pemburu yang mengintai mangsanya. Mereka tahu betul bahwa pondok kecil itu adalah tempat persembunyian Arjuna dan Livia. Kyle berdiri di depan pasukannya: Lyra, Damos, Eryon, dan Velri
Bab 68: Rencana dalam Kegelapan Di dalam ruang tak bercahaya di benteng Sven, Kyle berdiri dengan tangan terlipat di belakang punggungnya, menatap peta yang terbentang di atas meja batu besar. Sekelilingnya, keheningan menggantung tegang, hanya dipecahkan oleh suara langkah berat ketika empat sosok memasuki ruangan satu per satu. Lyra, dengan rambut putih yang tampak membara seperti api, mendekati meja dengan gerakan anggun. Matanya yang berkilauan memancarkan keyakinan akan kekuatannya. Di belakangnya, Damos melangkah masuk dengan suara gemuruh, tubuh berbatu raksasanya hampir menyentuh langit-langit ruangan. Eryon, makhluk tanpa wajah yang tubuhnya bergerak seperti bayangan cair, muncul dari kegelapan tanpa suara, hanya meninggalkan getaran samar di udara. Terakhir, Velric memasuki ruangan, baju zirah hitam berlumuran darahnya memantulkan cahaya redup dari obor. Ia berjalan dengan ketenangan seorang ksatria yang tahu betul kekuatannya tak tertandingi. “Jadi, inilah merek
Bab 67: Luka yang Menorehkan Harga Diri Ruangan tempat Ragnar berbaring sunyi, hanya suara detak jarum jam di dinding yang menjadi pengiring waktu. Luka di tubuhnya belum sepenuhnya sembuh, meskipun perban yang membalut dada dan lengannya sudah diganti berkali-kali. Aroma obat memenuhi udara, menyatu dengan dinginnya lantai batu. Di luar, awan gelap menyelimuti langit, membuat suasana semakin muram. Ragnar mengerang pelan, mencoba mengangkat tubuhnya dari ranjang sempit yang ia tempati. Setiap gerakan kecil memicu rasa sakit tajam di otot dan tulangnya. Kekalahan dari Arjuna menjadi beban yang lebih berat daripada luka-luka fisiknya. Bukan hanya kekalahan itu melukai tubuhnya, tetapi juga egonya yang selama ini ia anggap tak tergoyahkan. Pintu ruangan terbuka perlahan, menciptakan suara berderit yang memecah keheningan. Kyle muncul dari balik pintu, wajahnya terlihat santai, tetapi tatapan matanya seperti elang yang mengamati mangsanya. Ia membawa secangkir kopi yang masih men