Share

Tanda tanda pertanda

Author: Ransti
last update Huling Na-update: 2024-10-31 23:55:27

Bab 6: Tanda-Tanda Pertanda

Malam semakin larut, namun ketegangan di hati Arjuna tak kunjung reda. Dia duduk di kamarnya, dikelilingi oleh kegelapan yang hanya diterangi oleh lampu meja kecil. Mimpi-mimpi aneh terus menghantuinya, dan saat ini, perasaan aneh itu semakin kuat. Dia merasa seolah ada sesuatu yang bergetar di dalam dirinya, memanggilnya.

Arjuna menutup matanya dan berusaha menenangkan pikirannya. Namun, bayangan-bayangan dari mimpi malam lalu kembali menghantuinya. Dia melihat medan perang yang luas, darah yang mengalir, dan sosoknya sendiri berdiri di tengah semua itu—seorang pejuang yang penuh kemarahan.

“Kenapa ini terus terjadi?” gumamnya pelan, merasakan keringat dingin mengalir di pelipisnya. Kekuatan yang tidak dikenal itu seolah berjuang untuk bangkit, dan Arjuna merasa terjebak di antara dua dunia.

Di luar, suara derak pintu terdengar. Livia muncul di ambang pintu. “Arjuna? Apa kau baik-baik saja?” tanyanya dengan nada khawatir. Kecemasan di wajahnya membuat Arjuna merasa sedikit lebih tenang.

“Aku hanya sedikit… bingung,” jawabnya jujur, memandang Livia dengan penuh perhatian. “Mimpi-mimpiku semakin aneh. Aku merasa seolah ada sesuatu yang mengincar kita.”

Livia melangkah masuk, duduk di tepi tempat tidur. “Mungkin kita harus mencari lebih banyak informasi. Jika Profesor Budi mengatakan bahwa ada kekuatan kuno yang bangkit, mungkin itu berarti kita perlu bersiap.”

Arjuna mengangguk. “Aku harus belajar lebih banyak tentang siapa diriku yang sebenarnya, dan apa yang terjadi di dalam diriku.”

Namun, saat mereka berbicara, Arjuna merasakan getaran lain, lebih kuat. Dia berdiri dan berjalan menuju jendela, melihat ke luar. Suasana malam yang tenang tiba-tiba terasa gelap dan mencekam. “Ada sesuatu di luar sana,” bisiknya, menatap ke arah hutan di pinggiran kota.

Di hutan itu, bayangan-bayangan tampak bergerak. Arjuna merasakan ketakutan menyelimuti, tetapi ada pula rasa penasaran yang menggelora. “Kita harus pergi ke sana,” katanya, merasa tergerak oleh sesuatu yang tak bisa dijelaskan.

“Ke mana?” tanya Livia, bingung.

“Ke hutan. Aku merasa… sesuatu memanggilku.”

Livia menatapnya ragu. “Tapi itu berbahaya, Arjuna! Kita tidak tahu apa yang ada di sana.”

“Aku harus melakukannya. Mungkin ini satu-satunya cara untuk menemukan jawaban tentang mimpiku,” jawabnya dengan keyakinan baru.

Setelah beberapa saat, Livia akhirnya setuju. “Baiklah, tapi kita tidak pergi sendirian. Kita harus mengajak teman-teman yang lain.”

Mereka memutuskan untuk mengajak Sarah, Dani, dan Bima. Saat mereka berkumpul di luar, suasana semakin mencekam. Dani, yang terlihat pucat, terus memeriksa sekeliling. “Kita benar-benar akan pergi ke hutan? Ini gila!” ujarnya.

“Jangan khawatir, Dani. Kita tidak akan pergi jauh, hanya melihat apa yang terjadi di sana,” jawab Dani, berusaha memberikan semangat.

Setelah berkumpul, mereka melangkah menuju hutan. Kegelapan menyelimuti mereka saat lampu senter mereka menerangi jalan setapak yang dipenuhi dedaunan. Suasana menjadi semakin aneh; suara-suara malam terasa lebih nyaring, seolah mengamati langkah mereka.

“Apakah kalian merasakan itu?” tanya Sarah, tiba-tiba berhenti. “Sepertinya ada yang mengawasi kita.”

Arjuna mengangguk, merasakan getaran di udara. “Kita tidak sendiri,” katanya, suaranya bergetar. “Kita harus berhati-hati.”

Saat mereka semakin dalam memasuki hutan, Arjuna melihat cahaya samar di antara pepohonan. “Ke sana!” serunya, menunjuk ke arah cahaya. Tanpa berpikir panjang, mereka melanjutkan langkah.

Ketika mendekati cahaya itu, mereka menemukan sebuah clearing kecil. Di tengahnya, terdapat sebuah altar kuno yang dikelilingi batu-batu besar. Arjuna merasa sesuatu di dalam dirinya bergetar. “Ini… ini tempatnya,” katanya, seolah terhipnotis.

“Mau melakukan apa di sini?” tanya Livia, cemas.

“Aku harus menyentuhnya,” jawab Arjuna, melangkah maju. Ketika telapak tangannya menyentuh batu altar, energi mengalir ke dalam dirinya, seolah menyatu dengan kekuatan yang selama ini terpendam.

Seketika, visinya dipenuhi dengan gambar-gambar dari masa lalu: Arjuna, sebagai Ares, bertarung di medan perang, melawan musuh yang tak terhitung jumlahnya. Dia merasakan kemarahan, kehilangan, dan kekuatan yang luar biasa. Semua ini adalah bagian dari dirinya yang terpendam.

Namun, saat Arjuna tenggelam dalam penglihatan itu, sesuatu yang gelap muncul dari balik bayangan pepohonan. Sebuah sosok besar, dengan tatapan tajam, mengamati mereka. “Kalian seharusnya tidak berada di sini,” suara beratnya menggema.

Arjuna menoleh, jantungnya berdegup kencang. “Siapa kau?” tanyanya, berusaha menahan ketakutan.

Sosok itu melangkah maju, wajahnya tersembunyi di balik hood. “Aku adalah penjaga kekuatan ini. Dan kalian telah mengganggu sesuatu yang seharusnya tidak kalian sentuh.”

Teman-teman Arjuna terdiam, ketakutan memenuhi udara. Mereka terjebak di antara dua dunia, dan ancaman kini tampak semakin dekat. Arjuna merasa kekuatan Ares bergolak di dalam dirinya, siap untuk bangkit. Dia tahu, pertarungan tidak dapat dihindari.

--

Malam di hutan semakin kelam, menyelimuti segalanya dalam kegelapan yang mencekam. Arjuna dan teman-temannya berdiri dalam posisi siap, merasakan energi jahat yang menyelimuti area tersebut. Sosok misterius yang berdiri di hadapan mereka adalah penguasa kegelapan, yang diketahui memiliki kekuatan lebih besar dari yang bisa mereka bayangkan.

“Kau telah melanggar batas, manusia,” suara sosok itu berat dan penuh ancaman. “Aku di sini untuk menghancurkanmu dan mengambil apa yang menjadi milikku.”

Arjuna menatap tajam, mencoba menunjukkan keberanian meskipun ketakutan mulai merayap ke dalam dirinya. “Kami tidak akan membiarkanmu melukai siapa pun! ” teriaknya, berusaha mempertahankan semangatnya.

Tanpa peringatan, sosok itu mengangkat tangannya, menciptakan bola energi gelap yang meluncur ke arah mereka. “Berlindung!” teriak Livia, tetapi sudah terlambat. Energi itu menghantam mereka dengan kekuatan yang luar biasa.

Arjuna terjatuh ke tanah, merasakan tubuhnya terhimpit. Sebuah rasa sakit yang luar biasa menjalar dari lengan kanannya. Dia melihat dengan ngeri saat tangannya hancur, seolah-olah terputus dari tubuhnya. Rasa sakit itu begitu menyakitkan, dan pandangannya mulai kabur.

“Arjuna!” jeritan Livia menggema di telinga Arjuna, tetapi dia tidak bisa merespons. Dalam kegelapan, Arjuna merasakan kesadarannya mulai pudar. Semua suara di sekitarnya menjadi samar, dan dia terjatuh ke dalam kegelapan.

Dalam keheningan itu, Arjuna mendengar suara yang dalam dan menggelegar. “Aku adalah Ares, dewa perang. Bangkitlah, anakku!” Suara itu menggema di dalam pikirannya, membangkitkan kekuatan yang selama ini terpendam.

Ketika kesadarannya kembali, Arjuna merasakan sesuatu yang berbeda. Sebuah kekuatan baru mengalir melalui tubuhnya. Dia membuka matanya, dan cahaya terang menyilaukan, membuatnya terangkat dari tanah. Tangannya yang hancur mulai pulih, dan rasa sakit itu perlahan-lahan menghilang.

“Tidak mungkin!” sosok misterius itu terkejut, mundur beberapa langkah. “Kau… kau bangkit!”

“Sekarang, aku adalah Ares!” Arjuna mengeluarkan suara yang dalam, energik, dan penuh wibawa. Cahaya yang menyelimutinya semakin terang, dan sosok itu tidak bisa mengalihkan tatapannya.

Arjuna meluncurkan serangan pertama, sebuah gelombang energi yang menghantam sosok itu dengan kekuatan yang luar biasa. Pertarungan semakin intens, setiap serangan Arjuna disertai dengan kekuatan yang menggetarkan tanah. Livia, Dani, Bima, dan Sarah yang sebelumnya terkapar di tanah merasakan aliran energi Ares mengalir melalui mereka, menghidupkan kembali semangat juang mereka.

“Arjuna, kita bisa melakukannya!” teriak Livia, matanya berkilau penuh harapan. Bersama-sama, mereka bangkit dari keterpurukan.

Namun, saat Arjuna terus melancarkan serangan, sosok misterius itu mencoba melawan. Dia mengeluarkan serangan balik, energi gelap yang berputar dan mengancam keselamatan teman-teman Arjuna. “Kekuatanmu akan menjadi kutukanmu, Ares!” teriaknya.

Dengan semangat yang membara, Arjuna memfokuskan semua energi yang dimilikinya. Dia tahu ini adalah saatnya untuk mengakhiri pertempuran ini. Dengan satu ayunan tangan yang kuat, dia menciptakan gelombang cahaya yang menghancurkan segala sesuatu di hadapannya.

Sosok misterius itu terlempar ke belakang, terhuyung-huyung sebelum akhirnya jatuh ke tanah. “Ini belum berakhir!” teriaknya, sebelum menghilang dalam kegelapan.

Arjuna terengah-engah, tetapi kini dia merasakan kelegaan. Namun, saat dirinya meresapi kemenangan itu, tubuhnya terasa semakin berat, seolah-olah energi yang tadi menyala kini menghilang tiba-tiba. Cahaya yang semula menyelimutinya perlahan meredup, dan rasa lelah menyerang seluruh tubuhnya.

Di sekelilingnya, teman-temannya satu per satu jatuh tak sadarkan diri, kelelahan setelah mengerahkan seluruh tenaga dalam pertempuran tadi.

Arjuna mencoba tetap terjaga, tetapi pandangannya semakin kabur, dan kekuatan terakhirnya menghilang. Perlahan-lahan, dia pun jatuh ke tanah, tidak sadarkan diri, bersama teman-temannya yang tergeletak di sekitar. Kegelapan malam kembali menyelimuti hutan, membawa kesunyian setelah pertempuran besar itu.

---

Kaugnay na kabanata

  • Reinkarnasi Sang Dewa Perang   Setelah Kejatuhan

    Bab 7: Setelah KejatuhanSuara sirine mengiringi kedatangan polisi dan tim penyelamat yang menyusuri hutan, menembus malam yang kini sunyi setelah pertempuran hebat. Area sekitar tampak rusak parah—tanah retak, pepohonan tumbang, dan beberapa bagian hutan tampak terbakar. Para petugas yang baru tiba takjub melihat pemandangan ini, tak menyangka kekacauan sebesar itu bisa terjadi di tengah hutan.Di salah satu titik, Arjuna dan teman-temannya tergeletak dalam keadaan tidak sadarkan diri. Tubuh mereka terlihat lelah dan penuh luka akibat benturan, namun mereka masih bernapas. Setelah memeriksa mereka satu per satu, tim penyelamat segera membawa mereka ke rumah sakit.***Keesokan harinya, Arjuna mulai siuman di kamar rumah sakit, meski kondisinya masih lemah. Tak lama kemudian, dua orang polisi berpakaian formal masuk ke ruangan Arjuna. Kedua polisi ini bernama *Komisaris Agus*, seorang pria berperawakan besar dengan janggut yang mulai memutih, dan *Inspektur Rani*, seorang wanita tingg

    Huling Na-update : 2024-11-02
  • Reinkarnasi Sang Dewa Perang   Awal Sebuah Pelatihan

    Bab 8: Awal Sebuah Pelatihan Pagi di rumah sakit terasa lebih cerah, namun suasana hati Arjuna dan teman-temannya masih terjebak dalam bayangan kejadian di hutan. Rasa trauma dan ketakutan itu terus menghantui mereka, namun hidup mereka harus terus berlanjut. Setelah semua pemeriksaan selesai, dokter akhirnya mengizinkan Arjuna dan teman-temannya untuk pulang dengan syarat tetap melakukan kontrol rutin. Namun, ada yang berbeda pada Arjuna. Setelah kunjungan Pak Budi semalam, pikirannya penuh dengan pertanyaan yang tak terjawab, tentang kekuatan yang tiba-tiba muncul, dan tanggung jawab yang mulai ia rasakan di pundaknya. Ia tahu dirinya tidak bisa lari lagi—apa pun yang terjadi, ia harus menghadapi takdirnya. Saat dalam perjalanan pulang, Arjuna berjanji pada dirinya sendiri untuk menemui Pak Budi dan mencari tahu lebih dalam tentang kekuatan yang ada di dalam dirinya. *** Keesokan harinya, Arjuna berdiri di depan rumah Pak Budi, merasa sedikit ragu. Rumah tersebut berada di kawa

    Huling Na-update : 2024-11-03
  • Reinkarnasi Sang Dewa Perang   Kekuatan Tersembunyi

    Bab 9: Kekuatan Tersembunyi Pagi itu, suasana di kaki gunung begitu sunyi. Arjuna berdiri di hadapan Pak Budi, menatap ke arah hutan lebat yang melingkupi mereka. Udara terasa dingin menusuk, namun ada perasaan hangat di sekitar mereka, seolah energi tak kasatmata menyelimuti tempat itu. Pak Budi menatapnya dengan sorot penuh kebijaksanaan, wajahnya tenang dan tegas, menyiratkan kedalaman ilmu yang belum sepenuhnya Arjuna pahami. "Arjuna, apa kau tahu mengapa aku mengajakmu ke sini?" tanya Pak Budi dengan suara pelan, namun mantap. Arjuna menggeleng, masih belum memahami sepenuhnya alasan pelatihan ini. "Pak Budi, saya kira ini hanya untuk melatih fisik saya. Tapi, sekarang... saya merasa ada yang lebih besar dari itu." Pak Budi tersenyum samar. "Betul sekali. Ini bukan hanya soal kekuatan fisik. Yang kau hadapi nanti akan jauh lebih besar dan lebih berbahaya. Kekuatan yang kau miliki harus seimbang dengan ketenangan batin

    Huling Na-update : 2024-11-04
  • Reinkarnasi Sang Dewa Perang   Sang penjaga Abadi

    Bab 10: Sang Penjaga Abadi Suasana malam itu sangat sunyi, hanya angin yang menyentuh dedaunan dengan lembut. Setelah latihan panjang yang melelahkan, Arjuna dan Pak Budi duduk di bawah pohon besar, menikmati kesunyian. Namun, ada sesuatu yang tak tertahankan di hati Arjuna, sesuatu yang membuatnya penasaran selama ini. “Pak,” Arjuna membuka pembicaraan, suaranya hampir tenggelam di tengah hening malam. “Apakah… apakah Eyang Semar benar-benar ada? Dan… kalau boleh tahu, apakah beliau sudah… mati atau masih hidup?” Pak Budi tersenyum samar, lalu menatap Arjuna dengan pandangan yang dalam. “Eyang Semar,” katanya pelan, “beliau tidak hidup, tapi juga tidak mati. Beliau mencapai moksa, melebur bersama semesta. Ia adalah penjaga yang abadi. Ada banyak yang mengikuti jejaknya, banyak tokoh besar di Nusantara yang telah melakukan moksa seperti beliau. Prabu Siliwangi, Patih Gajah Mada—mereka semua hidup di dalam tanah ini, menjaga dan merawatnya

    Huling Na-update : 2024-11-05
  • Reinkarnasi Sang Dewa Perang   Arjuna VS Genderuwo

    Bab 11: Arjuna VS Genderuwo Setelah percakapan mendalam antara Arjuna dan sosok Semar di dalam penglihatan, ia kembali ke kenyataan di tempat latihan bersama Pak Budi. Arjuna masih terguncang oleh pengalaman tersebut, tapi kini di hatinya tumbuh tekad yang kuat. Momen itu memperdalam pemahaman Arjuna tentang tanggung jawabnya sebagai pelindung. Pak Budi, yang melihat perubahan dalam diri Arjuna, mengangguk dengan penuh pengertian. Tanpa banyak kata, ia mengeluarkan sebilah Kris kuno dari dalam tasnya. Pak Budi menjelaskan bahwa Kris tersebut adalah simbol keberanian yang diwariskan dari masa lampau. Kris ini bukan sekadar senjata, tetapi juga membawa semangat para leluhur yang pernah berjuang melindungi Nusantara. *** Malam semakin larut, dan suasana di sekitar mulai berubah. Angin bertiup kencang, menimbulkan suara-suara aneh dari pepohonan. Pak Budi tiba-tiba berhenti dan menatap tajam ke arah kegelapan hutan. Dia merasakan keberadaan makhluk gaib, yang sudah lama mengintai mere

    Huling Na-update : 2024-11-06
  • Reinkarnasi Sang Dewa Perang   Memori yang Tersembunyi

    Bab 12: Memori yang TersembunyiPagi itu, Arjuna terbangun dengan perasaan yang masih campur aduk. Tubuhnya terasa sedikit lebih baik setelah malam penuh kejadian di hutan, namun pikirannya masih dihantui oleh sosok Genderuwo dan kekuatan dahsyat yang tiba-tiba bangkit dalam dirinya. Tak ada satu pun yang benar-benar masuk akal, dan ia tahu ini bukan hal yang bisa ia tanyakan pada sembarang orang, kecuali pada Pak Budi.Setibanya di kampus, Arjuna berjalan menuju kelas dengan perasaan was-was. Belum sempat ia masuk, suara akrab memanggilnya dari belakang. Dani, dengan raut wajah yang sedikit khawatir, berlari menghampirinya.“Jun! Kemana saja, sih? Kita semua udah khawatir banget,” ucap Dani, menepuk bahunya.Arjuna tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan kegalauan dalam dirinya. “Maaf, Dan. Ada urusan mendadak semalam.”Dani mengerutkan kening, namun tak bertanya lebih lanjut. Bersamaan dengan itu, Livia lewat bersama beberapa

    Huling Na-update : 2024-11-07
  • Reinkarnasi Sang Dewa Perang   Pertemuan tak terduga

    Bab 12: Pertemuan Tak Terduga Suasana kafe kampus sore itu cukup tenang. Hanya terdengar obrolan samar di sekitar, berpadu dengan aroma kopi yang khas, menenangkan pikiran Arjuna. Ia duduk sendirian di pojok ruangan, matanya menerawang ke luar jendela. Bayang-bayang pengalaman berat bersama Pak Budi dan pertemuan tak terduganya dengan Eyang Semar masih melekat dalam benaknya. Bagi Arjuna, banyak hal berubah sejak ia menyadari siapa dirinya sebenarnya — reinkarnasi dari Ares, dewa perang yang melegenda. Namun, bersama kesadaran itu pula, tanggung jawab besar terasa semakin menghimpitnya. Kini, ia bukan hanya mahasiswa biasa, tapi seorang pelindung yang terikat pada sesuatu yang lebih besar dari dirinya. Pikirannya terputus ketika suara tawa dari arah pintu masuk mengalihkan perhatiannya. Ia mengangkat kepala, melihat teman-teman dekatnya, Bayu, Dani, Ratna, dan Sarah, baru saja memasuki kafe. Mereka membawa en

    Huling Na-update : 2024-11-08
  • Reinkarnasi Sang Dewa Perang   Tanda tanda bahaya

    **Bab 13: Tanda-Tanda Bahaya** Keesokan harinya, suasana di kampus tampak seperti biasanya — hiruk-pikuk para mahasiswa yang berlalu-lalang, suara riuh canda tawa di sudut-sudut lorong, dan wajah-wajah lelah yang tampak sibuk dengan tumpukan tugas. Namun, di dalam benak Arjuna, semua terasa berbeda. Sejak pertemuannya dengan Banyu kemarin, ia merasa ada sesuatu yang mengganjal, seakan sosok itu menyimpan maksud tersembunyi yang tidak bisa ia abaikan begitu saja. Arjuna berjalan menyusuri koridor menuju ruang kelasnya. Bayu dan Dani sudah menunggu di sana, berbincang-bincang dengan santai seperti biasa. Saat melihat Arjuna datang, mereka melambaikan tangan dan menyuruhnya cepat-cepat mendekat. "Juna, sini, bro!" panggil Bayu dengan senyum lebarnya. "Ada kabar menarik nih!" Arjuna mengerutkan alis dan mempercepat langkahnya. "Apa sih? Kok kalian semangat banget?" Dani mengangkat bahunya sambil tertawa. "Ternyat

    Huling Na-update : 2024-11-09

Pinakabagong kabanata

  • Reinkarnasi Sang Dewa Perang   Di Balik Bayang Gunung Salak

    Bab 75: Di Balik Bayang Gunung Salak Gunung Salak menjulang megah di kejauhan, kabutnya melingkupi puncaknya seperti selimut rahasia yang menjaga misteri. Angin pegunungan yang dingin menyapu wajah Arjuna, Pak Budi, dan Sun Wukong saat mereka akhirnya tiba di kaki gunung. Matahari hampir tenggelam di ufuk barat, menyelimuti dunia dengan cahaya jingga yang menambah suasana menegangkan. “Di sini,” kata Pak Budi sambil berhenti di sebuah celah batu besar. “Ini pintu masuk ke jalur tersembunyi yang akan membawa kita ke tempat latihan berikutnya. Tapi kita harus berhati-hati. Jika Sven telah mengirim anteknya, mereka mungkin sudah memasang jebakan.” Arjuna mengangguk, matanya memindai sekitar dengan waspada. Ia merasa udara di sekitarnya lebih berat, seolah sesuatu yang tak kasatmata sedang mengintai mereka. “Rasakan itu?” Sun Wukong tiba-tiba berkata, menghentikan langkah mereka. Ia memegang tongkat emasnya dengan erat, matanya menyipit tajam. “Apa itu?” Arjuna bertanya, men

  • Reinkarnasi Sang Dewa Perang   Di Ambang Badai

    Bab 74: Di Ambang Badai Malam masih membalut hutan dengan keheningan ketika Arjuna, Pak Budi, dan Sun Wukong akhirnya memutuskan untuk beranjak dari tempat mereka. Udara malam dingin menusuk, dan hanya suara dedaunan yang bergesekan dengan angin menemani langkah mereka. Perasaan kosong melingkupi hati Arjuna setelah perpisahannya dengan Livia. Meskipun ia tahu keputusan itu adalah yang terbaik untuk keselamatan Livia, bayangannya tetap memenuhi pikirannya. Pak Budi berjalan di samping Arjuna, memecah keheningan. “Arjuna, aku tahu kau memikirkan Livia. Tapi, kau harus ingat, apa yang kita hadapi saat ini jauh lebih besar daripada yang kita bayangkan. Sven dan pasukannya tidak akan berhenti.” Sun Wukong mengangguk dari depan, menoleh sedikit ke belakang. “Bahkan jika kita berhasil melindungi Livia, musuh kita akan menemukan celah lain. Mereka akan terus mencoba. Itu sebabnya, kau harus mempersiapkan dirimu, tidak hanya secara fisik, tetapi juga mental.” Arjuna menghela napas

  • Reinkarnasi Sang Dewa Perang   Perpisahan di Bawah Cahaya Bulan

    Bab 73: Perpisahan di Bawah Cahaya Bulan Arjuna, Livia, Sun Wukong, dan Pak Budi duduk di sekitar api unggun kecil yang mereka buat di tengah hutan. Malam itu, bintang-bintang bertaburan di langit, dan keheningan hutan terasa menenangkan setelah hari yang penuh dengan pertempuran. Arjuna sedang memeriksa luka di lengannya, sementara Livia duduk di sampingnya, tampak cemas. “Luka itu tidak terlalu dalam, kan?” tanya Livia, suaranya dipenuhi kekhawatiran. Arjuna tersenyum menenangkan. “Hanya goresan kecil. Aku sudah terbiasa dengan hal seperti ini.” Pak Budi yang duduk tak jauh dari mereka mengangguk. “Tubuhmu mungkin kuat, tapi hati-hati, Arjuna. Luka kecil bisa menjadi masalah besar jika kau mengabaikannya.” Sun Wukong yang sedang membersihkan tongkat emasnya tertawa kecil. “Semar benar, meskipun aku rasa kau cukup keras kepala untuk tidak mendengarkannya.” Livia menghela napas, lalu menoleh ke Arjuna. “Kau harus lebih berhati-hati. Aku tidak tahu apa yang akan kulaku

  • Reinkarnasi Sang Dewa Perang   Kesadaran yang Membuka Kebenaran

    Bab 72: Kesadaran yang Membuka Kebenaran Hutan sunyi, hanya suara hembusan angin yang terdengar di antara pepohonan tinggi. Setelah pertempuran yang berat, suasana tegang telah berubah menjadi keheningan. Pak Budi dan Sun Wukong berdiri berdekatan, keduanya tampak berbicara dengan Arjuna. “Arjuna,” kata Pak Budi, suaranya lembut namun tegas, “kau harus segera mempersiapkan diri. Sven tidak akan tinggal diam setelah kehilangan pasukan seperti ini.” Sun Wukong mengangguk setuju, tongkat emasnya yang besar berdiri tegak di sampingnya. “Benar. Perang ini baru saja dimulai. Sven akan mengirim yang lebih kuat, yang lebih ganas. Tapi dengan kerja keras, kau bisa menghadapi mereka.” Arjuna mendengarkan dengan serius, pikirannya masih dipenuhi bayangan pertempuran sebelumnya. Ia tahu ini bukan akhir, melainkan awal dari sesuatu yang jauh lebih besar. Namun, sebelum ia bisa menjawab, terdengar suara lembut dari dalam pondok. “Arjuna…?” Mata Arjuna melebar. Ia segera berbalik dan berl

  • Reinkarnasi Sang Dewa Perang   Kembali ke Istana Kegelapan

    Bab 71: Kembali ke Istana Kegelapan Malam terasa semakin gelap di dunia bawah, atmosfer dingin dan menyesakkan menyelimuti lorong panjang yang berujung pada istana megah milik Sven. Kyle, dengan tubuh penuh luka dan darah yang mengering, berjalan tertatih-tatih melewati penjaga yang hanya menatapnya tanpa berani memberikan bantuan. Perasaan kalah membakar hatinya, tapi ia menepis semua rasa sakit itu, bertekad melaporkan kegagalan ini pada Sven. Setelah berjam-jam perjalanan penuh rasa sakit, Kyle akhirnya tiba di aula utama istana. Cahaya temaram dari obor di sepanjang dinding menambah suasana suram. Namun, sebelum ia bisa melangkah lebih jauh, suara tawa dingin yang ia kenal baik menggema dari salah satu sudut ruangan. Ragnar, yang kini berdiri dengan tubuh tegap dan tanpa bekas luka, menatap Kyle dengan tatapan penuh ejekan. “Kyle,” ucapnya, suaranya sarat dengan sarkasme. “Apa yang terjadi padamu? Kau terlihat seperti tikus basah yang baru saja dilempar keluar dari neraka.”

  • Reinkarnasi Sang Dewa Perang   Bantuan dari Langit dan Bumi

    Bab 70: Bantuan dari Langit dan Bumi Malam itu terasa seperti sebuah mimpi buruk yang tak berkesudahan. Di tengah kehancuran pondok kecil yang kini tak lebih dari puing-puing, Arjuna berdiri dengan tubuh penuh luka, memegang tombak dengan tangan gemetar. Kyle dan anak buahnya berdiri di hadapannya, penuh percaya diri meski beberapa dari mereka telah terluka. Kyle melangkah maju, senyumnya sinis. "Kau telah mencoba melawan, Arjuna, tapi ini adalah akhirnya. Tidak ada lagi yang bisa kau lakukan." Namun, sebelum Kyle dapat melancarkan serangannya, suara gemuruh menggelegar dari langit. Angin kencang menerjang, memadamkan api yang membakar hutan di sekitar mereka. Langit berubah gelap, dan kilat-kilat petir saling bersahutan, menciptakan pemandangan yang menggetarkan hati. Tiba-tiba, sebuah bayangan besar meluncur dari balik awan hitam. Tongkat emas raksasa berkilauan turun dari langit seperti meteor dan menghantam tubuh Damos dengan kekuatan luar biasa. Tidak ada waktu untuk Damos

  • Reinkarnasi Sang Dewa Perang   Serangan di Malam yang Tenang

    Bab 69: Serangan di Malam yang Tenang Arjuna dan Livia menikmati malam yang tenang di sebuah pondok kecil di tengah hutan, jauh dari keramaian dan hiruk pikuk kota. Udara malam terasa segar, ditemani suara gemerisik dedaunan yang bergerak lembut ditiup angin. Setelah peristiwa berat yang mereka alami, malam itu menjadi momen singkat untuk melepaskan beban yang mereka tanggung bersama. Livia, dengan tatapan lembut, menatap ke luar jendela, sementara Arjuna duduk di kursi dekat perapian. Mereka berbincang ringan tentang masa depan—tentang kemungkinan yang masih jauh dari jangkauan, tetapi tetap memberi mereka harapan kecil untuk terus bertahan. Namun, kedamaian itu tidak berlangsung lama. Di kejauhan, bayangan gelap menyelinap di antara pepohonan. Kyle dan timnya telah tiba, bergerak seperti pemburu yang mengintai mangsanya. Mereka tahu betul bahwa pondok kecil itu adalah tempat persembunyian Arjuna dan Livia. Kyle berdiri di depan pasukannya: Lyra, Damos, Eryon, dan Velri

  • Reinkarnasi Sang Dewa Perang   Rencana dalam Kegelapan

    Bab 68: Rencana dalam Kegelapan Di dalam ruang tak bercahaya di benteng Sven, Kyle berdiri dengan tangan terlipat di belakang punggungnya, menatap peta yang terbentang di atas meja batu besar. Sekelilingnya, keheningan menggantung tegang, hanya dipecahkan oleh suara langkah berat ketika empat sosok memasuki ruangan satu per satu. Lyra, dengan rambut putih yang tampak membara seperti api, mendekati meja dengan gerakan anggun. Matanya yang berkilauan memancarkan keyakinan akan kekuatannya. Di belakangnya, Damos melangkah masuk dengan suara gemuruh, tubuh berbatu raksasanya hampir menyentuh langit-langit ruangan. Eryon, makhluk tanpa wajah yang tubuhnya bergerak seperti bayangan cair, muncul dari kegelapan tanpa suara, hanya meninggalkan getaran samar di udara. Terakhir, Velric memasuki ruangan, baju zirah hitam berlumuran darahnya memantulkan cahaya redup dari obor. Ia berjalan dengan ketenangan seorang ksatria yang tahu betul kekuatannya tak tertandingi. “Jadi, inilah merek

  • Reinkarnasi Sang Dewa Perang   Luka yang Menorehkan Harga Diri

    Bab 67: Luka yang Menorehkan Harga Diri Ruangan tempat Ragnar berbaring sunyi, hanya suara detak jarum jam di dinding yang menjadi pengiring waktu. Luka di tubuhnya belum sepenuhnya sembuh, meskipun perban yang membalut dada dan lengannya sudah diganti berkali-kali. Aroma obat memenuhi udara, menyatu dengan dinginnya lantai batu. Di luar, awan gelap menyelimuti langit, membuat suasana semakin muram. Ragnar mengerang pelan, mencoba mengangkat tubuhnya dari ranjang sempit yang ia tempati. Setiap gerakan kecil memicu rasa sakit tajam di otot dan tulangnya. Kekalahan dari Arjuna menjadi beban yang lebih berat daripada luka-luka fisiknya. Bukan hanya kekalahan itu melukai tubuhnya, tetapi juga egonya yang selama ini ia anggap tak tergoyahkan. Pintu ruangan terbuka perlahan, menciptakan suara berderit yang memecah keheningan. Kyle muncul dari balik pintu, wajahnya terlihat santai, tetapi tatapan matanya seperti elang yang mengamati mangsanya. Ia membawa secangkir kopi yang masih men

I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status