Bab 1: Mimpi yang terasa nyata
Arjuna Mahendra terbangun di rumah kontrakannya yang sederhana di pinggiran Yogyakarta. Ia duduk di tepi tempat tidur, menggosokkan kedua tangannya ke wajahnya yang tampak letih. Tubuhnya jangkung dengan bahu yang lebar, menunjukkan fisik yang kuat, meski wajahnya sering tampak lelah. Rambut hitamnya berantakan, dan matanya yang gelap memiliki tatapan tajam yang seolah menyimpan berbagai rahasia. Ia terlihat seperti pemuda biasa, namun ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat orang di sekitarnya terkadang merasa ada hal misterius yang tersembunyi. Setelah berdiam sejenak, Arjuna meraih cangkir kopi yang ia siapkan tadi malam dan menatap ke luar jendela. Di pagi yang hening itu, ia bisa melihat sinar matahari perlahan-lahan mulai menerangi halaman belakang. Ada ketenangan dalam rutinitas paginya ini, membuatnya sejenak lupa dengan tugas akhir yang mulai mendekati tenggat waktu. Hidupnya berjalan biasa, tanpa gangguan, dan ia menikmatinya seperti ini. Setelah bersiap, Arjuna mengambil tasnya dan bergegas menuju kampus. Di sana, selain menjalani kuliah, ia bekerja paruh waktu di perpustakaan universitas. Tempat ini bukan hanya sekadar tempat kerja baginya; ia menemukan kedamaian di antara tumpukan buku tua, dan bekerja di sini memberinya waktu untuk melarikan diri dari kebisingan hidup di luar. Setibanya di perpustakaan, ia langsung bertemu dengan Dr. Haris Santoso, dosennya sekaligus atasannya di perpustakaan. Dr. Haris adalah pria paruh baya dengan perawakan tinggi dan tubuh kurus, mengenakan kacamata bundar yang membuatnya tampak seperti sosok intelektual yang tenang. Rambutnya sudah mulai beruban, namun sorot matanya tajam dan penuh perhatian, mencerminkan kecintaannya pada ilmu pengetahuan. "Selamat pagi, Jun," sapa Dr. Haris sambil tersenyum tipis. Suaranya lembut dan tenang, memiliki nada yang menenangkan. "Selamat pagi, Pak Haris," balas Arjuna sambil meletakkan tasnya di meja. Dr. Haris menyerahkan tumpukan buku pada Arjuna. “Ini untuk disusun kembali. Dan, bagaimana kabar tugas akhir kamu?” Arjuna tersenyum malu. “Masih berjuang, Pak. Belum menemukan referensi yang cukup kuat untuk mendukung argumen saya.” Dr. Haris mengangguk, memperhatikan Arjuna dengan ekspresi bijaksana. “Jangan terburu-buru. Penelitian adalah proses, dan kadang hasilnya muncul di saat-saat yang tidak terduga. Luangkan waktu untuk benar-benar memahami kisah dan konteks tokoh-tokoh sejarah yang kamu pelajari.” Arjuna menunduk, merenungkan kata-kata tersebut. Ia memang sangat tertarik pada sejarah, terutama kisah-kisah para pahlawan dan mitologi kuno. Bagi Arjuna, ada sesuatu yang magis dalam cerita tentang para tokoh legendaris, sesuatu yang membuatnya merasa terhubung tanpa alasan yang jelas. Saat ia kembali mengerjakan tugasnya di perpustakaan, ia sesekali melirik buku-buku tentang mitologi yang tersusun rapi di rak. Ada buku tentang pertempuran kuno, tentang dewa-dewa dari berbagai kebudayaan, dan kisah para pahlawan yang melampaui batas manusia biasa. Ia merasa ada keterikatan misterius dengan cerita-cerita ini, terutama pada tokoh-tokoh yang berjuang di medan perang. Meskipun ia tidak pernah benar-benar memikirkannya, perasaan itu selalu muncul setiap kali ia menyentuh buku tentang peperangan atau melihat gambar senjata-senjata kuno. Sore harinya, usai bekerja, Arjuna memutuskan untuk mampir ke warung langganannya, sebuah tempat makan kecil yang selalu ramai di sore hari. Di warung itu, ia memesan nasi goreng dan teh manis kesukaannya. Pemilik warung, Pak Joko, menyapanya dengan senyum ramah. Pak Joko adalah pria yang ramah dan ceria. Dengan tubuh sedikit gemuk dan wajah yang selalu tersenyum, ia memiliki kehangatan yang membuat siapa pun merasa nyaman di warungnya. Rambutnya mulai menipis, dan ada kerutan di sekitar matanya yang menunjukkan bahwa ia sering tertawa. “Makan seperti biasa, ya, Jun?” tanya Pak Joko sambil melirik Arjuna yang duduk di sudut. Arjuna mengangguk sambil tersenyum. “Iya, Pak. Seperti biasa.” Mereka berbincang sejenak tentang kehidupan sehari-hari, tentang kampus, dan tentang pelanggan lain yang sering datang ke warung tersebut. Saat makan, Arjuna menikmati suasana warung yang ramai, namun hatinya terasa ganjil. Belakangan ini, ia sering merasakan ada sesuatu yang tidak biasa dalam dirinya, seperti ada perasaan tertahan yang sulit ia pahami. Setelah makan, ia berjalan kaki kembali ke rumah. Saat malam mulai larut, Arjuna duduk di mejanya, membuka buku-buku yang dipinjam dari perpustakaan, dan mulai membaca. Di tengah kesunyian, ia merasa damai dan terlelap tanpa memikirkan hal-hal aneh yang terkadang mengusiknya. Namun, malam itu berbeda. Dalam tidurnya, Arjuna bermimpi. Ia berdiri di tengah medan perang, dengan pedang di tangannya. Tubuhnya penuh luka, namun ia tidak merasakan sakit—hanya adrenalin dan tekad yang menguasai dirinya. Di sekelilingnya, teriakan dan gemuruh pertempuran memenuhi udara. Dari kejauhan, terdengar suara seseorang memanggilnya, “Ares… kau adalah Ares…” Arjuna terbangun dengan napas tersengal-sengal, tubuhnya berkeringat. Hatinya berdegup kencang, dan meskipun ia mencoba menenangkan diri, nama itu—Ares—terngiang-ngiang di kepalanya. Nama itu terasa begitu akrab, seolah ia pernah memilikinya di suatu waktu, namun ia tidak tahu kapan. “Ini hanya mimpi,” bisiknya pada diri sendiri, berusaha menghilangkan rasa takut yang menggerayangi dirinya. Meski demikian, perasaan ganjil itu tetap menghantuinya. Keesokan harinya, Arjuna berusaha mengabaikan mimpinya dan melanjutkan hari seperti biasa. Namun, ada perasaan yang menggantung dalam hatinya, seolah mimpinya membawa pesan tersembunyi yang belum ia mengerti. Tanpa ingatan yang jelas, ia hanya bisa menganggapnya sebagai mimpi buruk. Hari itu, ketika ia bertemu kembali dengan Dr. Haris di perpustakaan, pandangan dosennya tampak menyelidik, seolah-olah ia mengetahui sesuatu. Meskipun Arjuna tak yakin, ia merasa ingin bertanya tentang mimpi-mimpinya, tentang perasaan aneh yang semakin sering menghampirinya, namun ia ragu. Dalam diam, Arjuna hanya bisa berharap bahwa hidupnya tetap berjalan seperti biasa. Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa kehidupannya sebentar lagi akan berubah—dan mimpi itu hanya permulaan dari segalanya. --- Mimpi aneh itu terus menghantui pikiran Arjuna sepanjang hari. Saat ia mengerjakan tugas-tugas di perpustakaan, ingatan tentang pertempuran dalam mimpinya terus saja muncul, mengganggu konsentrasi. Setiap kali ia menutup matanya sejenak, ia merasa seperti melihat kilatan-kilatan kejadian dari masa yang tidak ia kenali. Pemandangan pedang yang terhunus, bunyi dentingan logam, serta bayangan sosok misterius yang memanggil namanya… Ares. Tak tahan lagi, sore itu Arjuna memutuskan untuk mengunjungi seorang teman lama, Ratna, seorang mahasiswi yang dikenal dengan pengetahuannya tentang budaya dan mitologi kuno. Ratna adalah orang yang bisa ia ajak bicara jika ada hal yang mengganjal. Mereka berteman sejak awal kuliah, dan Ratna sering kali membantu Arjuna dalam penelitian tugas-tugasnya. Ratna tinggal di asrama putri yang berjarak beberapa blok dari perpustakaan kampus. Saat Arjuna tiba, ia mendapati Ratna sedang duduk di meja belajar, dikelilingi oleh buku-buku tebal dan secangkir kopi yang sudah hampir habis. Wajah Ratna tampak penuh perhatian, dengan alis tebalnya yang sering kali berkerut ketika ia sedang membaca serius. Berambut panjang dan berkulit sawo matang, ia memiliki penampilan khas seorang perempuan Jawa dengan sorot mata yang tajam dan cerdas. “Arjuna? Tumben mampir ke sini, ada apa?” tanya Ratna sambil tersenyum, melirik ke arah Arjuna yang masuk ke kamar asramanya. Arjuna tersenyum tipis. “Ada hal yang mengganggu pikiranku, Ratna. Aku… akhir-akhir ini sering bermimpi tentang hal-hal aneh. Tentang perang, pedang, dan… ada yang memanggilku dengan nama Ares.” Ratna terdiam sejenak, memandang Arjuna dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. “Ares? Seperti dewa perang dalam mitologi Yunani itu?” Arjuna mengangguk. “Aku tidak tahu kenapa, tapi rasanya begitu nyata. Rasanya seperti… aku pernah berada di sana, di medan perang itu.” Ratna menarik napas panjang, wajahnya serius. “Arjuna, nama Ares bukan nama yang sembarangan. Ia adalah dewa perang dalam mitologi Yunani, dikenal karena kekejamannya di medan tempur. Jika kamu merasa ada keterikatan dengan nama itu, mungkin saja ada sesuatu yang mencoba mengingatkanmu pada sesuatu, entah itu dari masa lalu atau sesuatu yang lebih dalam.” Arjuna tertawa kecil, meski hatinya masih gelisah. “Aku tahu ini terdengar bodoh. Mungkin cuma mimpi yang terlalu realistis.” Namun, Ratna tidak ikut tertawa. “Tidak, Jun. Aku pernah mendengar cerita tentang orang-orang yang mengalami kilasan ingatan dari masa lalu, atau bahkan masa yang berbeda. Di beberapa budaya, mereka percaya pada reinkarnasi atau keterhubungan jiwa. Mungkin kamu mengalami sesuatu yang serupa.” Perkataan Ratna membuat Arjuna berpikir. Ia tak pernah percaya pada hal-hal supranatural, namun mimpi-mimpinya terasa begitu nyata, seolah mengisyaratkan sesuatu. --- Setelah perbincangannya dengan Ratna, Arjuna kembali ke rumah kosnya di daerah Malioboro. Malam semakin larut, namun pikirannya tidak bisa berhenti mencerna segala hal yang baru saja mereka bahas. Ratna, dengan pengetahuannya yang luas, membuatnya mulai mempertanyakan segala sesuatu tentang mimpi-mimpinya—tentang arti di balik sosok Ares. Saat tengah merenung, Arjuna duduk di meja belajarnya, memandang langit malam melalui jendela. Lampu kota Yogyakarta berkilauan di kejauhan, dan angin sepoi-sepoi mengalir masuk melalui jendela yang terbuka. Suasana malam itu terasa tenang, namun jauh di dalam hatinya, ada kegelisahan yang mengendap-endap. Tepat saat ia hendak beranjak tidur, kilasan gambar kembali muncul di pikirannya—pedang yang berkilauan di bawah sinar matahari, sosok prajurit yang mengenakan baju zirah, dan darah yang berceceran di medan perang. Ia merasa seolah-olah sedang menyaksikan potongan ingatan yang tak dikenalnya, seperti adegan dari kehidupan orang lain. Keesokan harinya, Arjuna mencoba melupakan semuanya dan menjalani hari seperti biasa, tetapi rasa gelisah tetap bertahan. Ia tak menyadari bahwa perjalanan menuju masa lalunya baru saja dimulai, dan takdir sebagai Ares tengah menantinya di tempat yang belum terjamah oleh ingatannya. ---Bab 2: Mimpi yang Mengganggu Arjuna terbangun di tengah malam dengan napas terengah-engah. Mimpi itu kembali—kali ini lebih jelas dan nyata. Ia bisa merasakan setiap luka dan suara dari pertempuran yang terjadi dalam mimpinya, membuat tubuhnya penuh dengan keringat dingin. Namun saat mencoba mengingatnya, segalanya kabur begitu saja. Pagi harinya, Arjuna berusaha menenangkan diri, seolah tidak terjadi apa-apa. Namun, tatapan kosong dan wajah lelahnya justru menarik perhatian teman-teman kampusnya. Saat ia memasuki ruang kelas, beberapa teman dekatnya mulai menyadari perubahan pada dirinya. “Ada apa, Jun? Kamu kelihatan seperti zombie,” tanya Bima, teman sekampusnya yang selalu bersemangat. Bima memiliki tubuh tinggi dengan rambut acak-acakan, dan selalu memakai jaket denim favoritnya ke kampus. Tatapan khawatir tampak jelas di matanya. Arjuna mencoba tersenyum, meski lelah. “Ah, nggak apa-apa, Bim. Cuma lagi sering kebangun tengah malam,” jawabnya sambil menguap. “Serius, ka
Bab 3: Pertemuan dengan Livia Hari-hari berlalu, dan mimpi Arjuna semakin intens. Setiap malam, sosok wanita misterius itu terus menghantuinya, membangkitkan rasa penasaran yang tak terpadamkan. Di siang hari, ia merasa terjebak antara kehidupan sehari-hari dan kenangan samar yang tampak lebih nyata dalam mimpinya. Suatu hari, saat berada di kantin kampus, Arjuna duduk bersama Bima dan Sarah. Mereka bercakap-cakap tentang tugas kuliah ketika pandangan Arjuna teralihkan. Di sudut ruangan, ia melihat seorang gadis duduk sendirian, tenggelam dalam sebuah buku. Rambut panjangnya yang lurus berkilau di bawah sinar matahari, membingkai wajahnya yang oval dan cerah. Livia Pratama memiliki mata cokelat gelap yang dalam, mencerminkan ketenangan namun juga misteri. Ia mengenakan sweater sederhana dan jeans, tetapi tetap terlihat menarik dengan aura kecerdasannya. “Siapa itu?” Arjuna bertanya, tidak bisa mengalihkan pandangannya. Bima mengikuti arah pandangnya dan tersenyum. “Oh, itu Liv
Bab 4: Ingatan yang Tersembunyi Hari berikutnya, Arjuna terbangun dengan semangat baru. Mimpinya semalam masih segar dalam ingatannya, membangkitkan rasa ingin tahunya untuk mencari tahu lebih banyak tentang hubungannya dengan Livia. Ia bertekad untuk tidak hanya memahami mimpinya, tetapi juga untuk menggali lebih dalam ke dalam diri Livia, gadis yang semakin mengisi pikirannya. Sesampainya di kampus, Arjuna segera merasakan suasana yang berbeda. Teman-teman kampusnya, terutama Bima, Sarah, dan Dani, tampak saling berbisik sambil melirik ke arahnya. Rasa ingin tahunya makin meningkat, tetapi ia tahu bahwa fokusnya saat ini adalah Livia. Ia berharap bisa menemukan waktu untuk bertemu dengannya dan melanjutkan pencarian mereka. Bima, teman dekatnya yang selalu ceria dan penuh energi, menghampiri Arjuna dengan senyuman lebar. “Eh, Arjuna! Apa kabar? Kemarin kita lihat kamu sama Livia. Kalian ada urusan penting ya?” tanyanya dengan nada penasaran. “Tidak ada yang penting,” jawab
Bab 5: Ancaman Muncul Di dunia yang gelap dan lembap, Sven duduk di singgasana megahnya, dikelilingi oleh bayangan yang menunggu perintahnya. Dengan tatapan dingin, dia memandang ke arah cermin ajaib yang memantulkan gambaran kehidupan di atas permukaan—dunia manusia yang penuh dengan kekacauan dan kerentanan. Saat matanya tertuju pada Arjuna, dia merasakan getaran yang berbeda, seolah kekuatan kuno yang lama terpendam mulai bangkit. “Sven, dia akan segera bangkit,” bisik salah satu pengikutnya, memperlihatkan wajah ketakutan. “Arjuna Mahendra. Ia adalah Ares.” Sven tersenyum sinis. “Aku sudah menunggu saat ini. Kekuatan Arjuna harus dihancurkan sebelum dia bisa mengancam kekuasaanku. Dan Livia… dia akan menjadi alat yang sempurna untuk menarik Arjuna ke dalam perangkapku.” Di dunia manusia, Arjuna merasakan ketegangan di sekelilingnya. Setelah percakapan dengan Livia dan teman-temannya, dia merasa ada sesuatu yang lebih besar sedang menunggu. Dia tidak tahu bahwa Sven, musuh
Bab 6: Tanda-Tanda Pertanda Malam semakin larut, namun ketegangan di hati Arjuna tak kunjung reda. Dia duduk di kamarnya, dikelilingi oleh kegelapan yang hanya diterangi oleh lampu meja kecil. Mimpi-mimpi aneh terus menghantuinya, dan saat ini, perasaan aneh itu semakin kuat. Dia merasa seolah ada sesuatu yang bergetar di dalam dirinya, memanggilnya. Arjuna menutup matanya dan berusaha menenangkan pikirannya. Namun, bayangan-bayangan dari mimpi malam lalu kembali menghantuinya. Dia melihat medan perang yang luas, darah yang mengalir, dan sosoknya sendiri berdiri di tengah semua itu—seorang pejuang yang penuh kemarahan. “Kenapa ini terus terjadi?” gumamnya pelan, merasakan keringat dingin mengalir di pelipisnya. Kekuatan yang tidak dikenal itu seolah berjuang untuk bangkit, dan Arjuna merasa terjebak di antara dua dunia. Di luar, suara derak pintu terdengar. Livia muncul di ambang pintu. “Arjuna? Apa kau baik-baik saja?” tanyanya dengan nada khawatir. Kecemasan di wajahnya memb
Bab 7: Setelah KejatuhanSuara sirine mengiringi kedatangan polisi dan tim penyelamat yang menyusuri hutan, menembus malam yang kini sunyi setelah pertempuran hebat. Area sekitar tampak rusak parah—tanah retak, pepohonan tumbang, dan beberapa bagian hutan tampak terbakar. Para petugas yang baru tiba takjub melihat pemandangan ini, tak menyangka kekacauan sebesar itu bisa terjadi di tengah hutan.Di salah satu titik, Arjuna dan teman-temannya tergeletak dalam keadaan tidak sadarkan diri. Tubuh mereka terlihat lelah dan penuh luka akibat benturan, namun mereka masih bernapas. Setelah memeriksa mereka satu per satu, tim penyelamat segera membawa mereka ke rumah sakit.***Keesokan harinya, Arjuna mulai siuman di kamar rumah sakit, meski kondisinya masih lemah. Tak lama kemudian, dua orang polisi berpakaian formal masuk ke ruangan Arjuna. Kedua polisi ini bernama *Komisaris Agus*, seorang pria berperawakan besar dengan janggut yang mulai memutih, dan *Inspektur Rani*, seorang wanita tingg
Bab 8: Awal Sebuah Pelatihan Pagi di rumah sakit terasa lebih cerah, namun suasana hati Arjuna dan teman-temannya masih terjebak dalam bayangan kejadian di hutan. Rasa trauma dan ketakutan itu terus menghantui mereka, namun hidup mereka harus terus berlanjut. Setelah semua pemeriksaan selesai, dokter akhirnya mengizinkan Arjuna dan teman-temannya untuk pulang dengan syarat tetap melakukan kontrol rutin. Namun, ada yang berbeda pada Arjuna. Setelah kunjungan Pak Budi semalam, pikirannya penuh dengan pertanyaan yang tak terjawab, tentang kekuatan yang tiba-tiba muncul, dan tanggung jawab yang mulai ia rasakan di pundaknya. Ia tahu dirinya tidak bisa lari lagi—apa pun yang terjadi, ia harus menghadapi takdirnya. Saat dalam perjalanan pulang, Arjuna berjanji pada dirinya sendiri untuk menemui Pak Budi dan mencari tahu lebih dalam tentang kekuatan yang ada di dalam dirinya. *** Keesokan harinya, Arjuna berdiri di depan rumah Pak Budi, merasa sedikit ragu. Rumah tersebut berada di kawa
Bab 9: Kekuatan Tersembunyi Pagi itu, suasana di kaki gunung begitu sunyi. Arjuna berdiri di hadapan Pak Budi, menatap ke arah hutan lebat yang melingkupi mereka. Udara terasa dingin menusuk, namun ada perasaan hangat di sekitar mereka, seolah energi tak kasatmata menyelimuti tempat itu. Pak Budi menatapnya dengan sorot penuh kebijaksanaan, wajahnya tenang dan tegas, menyiratkan kedalaman ilmu yang belum sepenuhnya Arjuna pahami. "Arjuna, apa kau tahu mengapa aku mengajakmu ke sini?" tanya Pak Budi dengan suara pelan, namun mantap. Arjuna menggeleng, masih belum memahami sepenuhnya alasan pelatihan ini. "Pak Budi, saya kira ini hanya untuk melatih fisik saya. Tapi, sekarang... saya merasa ada yang lebih besar dari itu." Pak Budi tersenyum samar. "Betul sekali. Ini bukan hanya soal kekuatan fisik. Yang kau hadapi nanti akan jauh lebih besar dan lebih berbahaya. Kekuatan yang kau miliki harus seimbang dengan ketenangan batin
Bab 65: Perang yang Mendekat Hening menggantung di antara medan perang yang baru saja menjadi saksi kehancuran. Arjuna berdiri di tengah puing-puing, tubuhnya menggigil oleh sisa adrenalin yang masih mengalir deras. Kemenangan melawan Ragnar adalah bukti kekuatannya, tetapi juga pengingat akan bahaya yang lebih besar: Sven. Livia mendekatinya, wajahnya penuh kelegaan sekaligus kekhawatiran. Ia menggenggam tangan Arjuna dengan erat, seolah takut kehilangan dia lagi. “Arjuna, kau tahu ini belum selesai, kan?” Arjuna menatapnya, matanya yang biasanya tenang kini dipenuhi tekad. “Aku tahu, Livia. Sven sedang menunggu. Dia tidak akan tinggal diam setelah Ragnar kalah.” Malam itu, di perkemahan kecil yang mereka dirikan di pinggir hutan, Arjuna duduk di depan api unggun yang menyala redup. Livia tertidur di sisinya, kelelahan setelah hari yang panjang. Namun, pikiran Arjuna terus berputar. Ia tahu Sven adalah ancaman yang jauh lebih besar daripada Ragnar. Sven adalah penguasa
Bab 64: Keputusan yang Tak Terhindarkan Suara dentingan senjata masih menggema di udara saat pertarungan antara Arjuna dan Ragnar mencapai puncaknya. Setiap gerakan mereka menciptakan ledakan energi yang mengguncang tanah, menghancurkan pepohonan, dan membuat udara bergetar. Namun, meski telah menggunakan kekuatan Ares yang mengalir di dalam dirinya, Arjuna merasakan tekanan yang luar biasa. Ragnar bukanlah lawan sembarangan; ia bertarung dengan presisi mematikan dan kekuatan luar biasa, seperti predator yang bermain-main dengan mangsanya sebelum memberikan pukulan terakhir. Livia berdiri di kejauhan, menggenggam tangan di depan dadanya dengan wajah penuh kecemasan. Ia ingin berteriak, ingin memberikan dukungan kepada Arjuna, tetapi suaranya tertahan oleh rasa takut yang mencekam. Ia tahu bahwa dirinya tidak bisa berbuat apa-apa. Ragnar adalah monster, kekuatan yang jauh melampaui batas manusia biasa. Namun, ia juga tahu bahwa Arjuna adalah satu-satunya harapan yang mereka mil
Bab 63: Bayangan yang Semakin Menggelap Malam itu menjadi saksi bagaimana Arjuna bertempur mati-matian melawan bayangan gelap yang mencoba membawa Livia. Cahaya biru dari kristal di tangannya mulai meredup, namun ia tetap berdiri dengan tubuh penuh luka. Nafasnya memburu, tapi matanya menyala dengan tekad. “Livia, kau harus pergi sekarang!” Arjuna berteriak sambil menahan satu bayangan yang menyerangnya dengan cakar hitam yang tajam. Livia memandangnya dengan mata penuh kekhawatiran. “Aku tidak akan meninggalkanmu, Arjuna!” Namun, sebelum Livia sempat melangkah, salah satu bayangan melesat cepat ke arahnya. “Tidak!” Arjuna melompat ke depan, mengayunkan tinjunya yang berselimut cahaya biru. Bayangan itu hancur seketika, tetapi sisanya semakin agresif, mengepung mereka berdua. “Ini bukan pertarungan yang bisa kita menangkan,” suara Ares bergema dalam pikiran Arjuna. **“Kita harus mundur sementara, atau kau akan kehilangan segalanya!”** “Lalu aku harus pergi ke mana?
Bab 62: Awan Gelap yang Menggantung Arjuna duduk di sisi tempat tidurnya, menatap jendela yang terbuka lebar. Angin pagi berembus lembut, tetapi ada sesuatu yang berat menggantung di udara. Mimpi yang baru saja dialaminya masih membekas kuat, seperti sebuah luka yang sulit sembuh. Livia sudah kembali tidur, tubuhnya terbungkus selimut hangat. Melihatnya dalam keadaan damai seperti itu membuat hati Arjuna terasa lega, tetapi pikirannya tetap kacau. Ia tahu Sven sedang merencanakan sesuatu. Mimpi itu bukan sekadar gambaran acak, melainkan sebuah pesan—peringatan tentang apa yang akan datang. Ia merasakan kehadiran Ares di dalam dirinya, membara seperti api yang siap membakar. **"Kau merasa itu nyata karena memang nyata,"** suara Ares terdengar, bergema di benaknya. **"Apa maksudmu?"** balas Arjuna dalam pikirannya. **"Mimpi itu bukan hanya pesan, tetapi sebuah celah kecil ke dalam rencana mereka. Sven ingin mematahkanmu sebelum pertarungan yang sebenarnya dimulai. Kau tidak bis
Bab 61: Rencana Gelap di Dunia Bawah Kedalaman dunia bawah selalu sunyi, tetapi bukan sunyi yang tenang—melainkan sunyi yang memekakkan, seolah-olah seluruh dunia itu menyembunyikan jeritan yang tidak pernah selesai. Di sebuah istana besar yang berdiri di atas lautan lava yang mendidih, Sven duduk di takhta hitamnya, wajahnya memancarkan kebencian yang mendalam. Di hadapannya berdiri Ragnar, bawahannya yang paling setia, tetapi juga yang paling kejam. “Semuanya berjalan sesuai rencana,” Ragnar membuka pembicaraan dengan suara penuh keyakinan. “Teman-teman Arjuna sudah kita singkirkan. Sekarang dia hanya memiliki Livia, satu-satunya kelemahan yang tersisa.” Sven tersenyum tipis, senyum yang tidak menunjukkan kegembiraan, melainkan ancaman. “Kehilangan mereka sudah cukup untuk mengguncangnya, tetapi tidak cukup untuk menghancurkannya sepenuhnya. Aku ingin dia tidak hanya kehilangan orang-orang yang ia cintai, tetapi juga kehilangan dirinya sendiri. Kau tahu apa yang harus kita l
Bab 60: Sebuah Kebenaran yang Tak TerelakkanArjuna terduduk di tepi tempat tidurnya, matanya menerawang jauh ke luar jendela kamar. Udara pagi terasa dingin, tetapi pikirannya berkecamuk seperti badai. Kenangan dari latihan panjang bersama para dewa masih terpatri jelas dalam benaknya. Ia ingat dengan detail setiap langkah, setiap pukulan, dan setiap pesan yang mereka berikan. Namun, di dunia nyata, semua itu terasa seperti lenyap begitu saja—hanya sekejap dalam tidur malam. Ia mengepalkan tangan, merasakan denyut jari-jarinya. Meski tubuhnya berada di kamar ini, ia merasa ada sesuatu yang hilang, sebuah keutuhan yang belum kembali. Matanya melirik ke arah Livia, yang berdiri di dapur kecil mereka, dengan sabar menuangkan teh ke dalam cangkir. Suara kecil dari air yang dituangkan terdengar menenangkan, tetapi di dalam hatinya, ada kegelisahan yang tak terelakkan. Livia berjalan mendekat, membawa secangkir teh hangat. “Ini, minumlah. Semoga bisa membantu menenangkanmu,” katanya sa
Bab 59: Latihan Terakhir Arjuna terjatuh dari langit, tubuhnya berputar dengan cepat di antara awan yang bergulung-gulung. Napasnya tersengal, tubuhnya terasa ringan tetapi pikirannya berat oleh segala hal yang baru saja ia alami. Di bawah sana, tanah semakin jelas terlihat, dan dalam hitungan detik, ia mendarat dengan lembut seperti disentuh oleh tangan tak terlihat. Ia mengedarkan pandangan, dan matanya membelalak ketika mengenali tempat itu. Sebuah ladang yang dipenuhi tanaman padi yang bergoyang pelan diterpa angin. Rumah kayu sederhana berdiri tak jauh dari sana, dan di depannya, seorang pria tua mengenakan kain lurik sedang duduk santai di bawah pohon beringin. “Pak Budi?” suara Arjuna bergetar. Pria itu menoleh, tersenyum dengan wajah yang dipenuhi keriput bijak. “Ah, akhirnya kamu tiba juga, Arjuna. Aku menunggumu cukup lama.” Arjuna berjalan mendekat, napasnya tertahan. Ia tidak percaya bahwa dewa terakhir yang ia temui adalah orang yang ia kenal dengan nama Se
Bab 58: Kilat Terakhir dari Olympus Langit di Olympus bergemuruh, diselimuti awan kelabu yang menggantung rendah seolah bersiap menghantarkan hujan badai. Petir menyambar setiap beberapa detik, menerangi kawasan luas penuh dengan kuil-kuil megah dan pilar-pilar marmer putih. Namun, di tengah kekuatan yang menggetarkan itu, hanya satu sosok yang mendominasi. Zeus. Dewa para dewa Yunani, raja Olympus, berdiri dengan tongkat petir di tangannya. Setiap detak jantungnya seolah menyatu dengan getaran dunia di sekitarnya. Aura kekuasaan yang memancar darinya cukup untuk membuat siapa pun, termasuk dewa-dewa lainnya, menunduk dalam ketakutan atau kekaguman. Namun, di hadapan Zeus, berdiri seorang manusia: Arjuna. Arjuna memandangi Zeus dengan penuh tekad. Ia telah melalui perjalanan panjang dan berat, melatih dirinya dengan para dewa terkuat dalam mitologi yang pernah ia dengar. Namun, kali ini, ia tahu ujian yang akan dihadapinya adalah puncak dari segalanya. “Kau telah belajar dar
Bab 57: Keanggunan dan Kebijaksanaan Hera Langit Gunung Olympus tampak seperti sebuah mahakarya seni, dengan warna biru yang membentang tanpa batas, dihiasi awan-awan putih lembut yang melayang perlahan. Di kejauhan, puncak-puncak gunung menjulang seperti penjaga abadi, dan di tengah lanskap yang memukau itu, berdiri sebuah bangunan megah yang memancarkan aura keagungan. Aula Hera. Arjuna berdiri di depan pintu besar aula itu, tubuhnya terasa kecil dibandingkan dengan ukuran bangunan yang menjulang. Ukiran-ukiran pada pintu menggambarkan berbagai kisah mitos, setiap detail memancarkan keindahan seni yang luar biasa. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya setelah pelatihan panjang bersama para dewa sebelumnya. Pintu besar itu terbuka dengan sendirinya, menghasilkan suara lembut namun menggetarkan hati. Arjuna melangkah masuk, dan ia segera disambut oleh suasana yang mencerminkan keanggunan dan ketegasan Hera. Dinding-dinding aula terbuat dari pualam putih, dihia