Share

Reinkarnasi Sang Dewa Perang
Reinkarnasi Sang Dewa Perang
Penulis: Ransti

Mimpi yang terasa nyata

Bab 1: Mimpi yang terasa nyata

Arjuna Mahendra terbangun di rumah kontrakannya yang sederhana di pinggiran Yogyakarta. Ia duduk di tepi tempat tidur, menggosokkan kedua tangannya ke wajahnya yang tampak letih. Tubuhnya jangkung dengan bahu yang lebar, menunjukkan fisik yang kuat, meski wajahnya sering tampak lelah. Rambut hitamnya berantakan, dan matanya yang gelap memiliki tatapan tajam yang seolah menyimpan berbagai rahasia. Ia terlihat seperti pemuda biasa, namun ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat orang di sekitarnya terkadang merasa ada hal misterius yang tersembunyi.

Setelah berdiam sejenak, Arjuna meraih cangkir kopi yang ia siapkan tadi malam dan menatap ke luar jendela. Di pagi yang hening itu, ia bisa melihat sinar matahari perlahan-lahan mulai menerangi halaman belakang. Ada ketenangan dalam rutinitas paginya ini, membuatnya sejenak lupa dengan tugas akhir yang mulai mendekati tenggat waktu. Hidupnya berjalan biasa, tanpa gangguan, dan ia menikmatinya seperti ini.

Setelah bersiap, Arjuna mengambil tasnya dan bergegas menuju kampus. Di sana, selain menjalani kuliah, ia bekerja paruh waktu di perpustakaan universitas. Tempat ini bukan hanya sekadar tempat kerja baginya; ia menemukan kedamaian di antara tumpukan buku tua, dan bekerja di sini memberinya waktu untuk melarikan diri dari kebisingan hidup di luar.

Setibanya di perpustakaan, ia langsung bertemu dengan Dr. Haris Santoso, dosennya sekaligus atasannya di perpustakaan. Dr. Haris adalah pria paruh baya dengan perawakan tinggi dan tubuh kurus, mengenakan kacamata bundar yang membuatnya tampak seperti sosok intelektual yang tenang. Rambutnya sudah mulai beruban, namun sorot matanya tajam dan penuh perhatian, mencerminkan kecintaannya pada ilmu pengetahuan.

"Selamat pagi, Jun," sapa Dr. Haris sambil tersenyum tipis. Suaranya lembut dan tenang, memiliki nada yang menenangkan.

"Selamat pagi, Pak Haris," balas Arjuna sambil meletakkan tasnya di meja.

Dr. Haris menyerahkan tumpukan buku pada Arjuna. “Ini untuk disusun kembali. Dan, bagaimana kabar tugas akhir kamu?”

Arjuna tersenyum malu. “Masih berjuang, Pak. Belum menemukan referensi yang cukup kuat untuk mendukung argumen saya.”

Dr. Haris mengangguk, memperhatikan Arjuna dengan ekspresi bijaksana. “Jangan terburu-buru. Penelitian adalah proses, dan kadang hasilnya muncul di saat-saat yang tidak terduga. Luangkan waktu untuk benar-benar memahami kisah dan konteks tokoh-tokoh sejarah yang kamu pelajari.”

Arjuna menunduk, merenungkan kata-kata tersebut. Ia memang sangat tertarik pada sejarah, terutama kisah-kisah para pahlawan dan mitologi kuno. Bagi Arjuna, ada sesuatu yang magis dalam cerita tentang para tokoh legendaris, sesuatu yang membuatnya merasa terhubung tanpa alasan yang jelas.

Saat ia kembali mengerjakan tugasnya di perpustakaan, ia sesekali melirik buku-buku tentang mitologi yang tersusun rapi di rak. Ada buku tentang pertempuran kuno, tentang dewa-dewa dari berbagai kebudayaan, dan kisah para pahlawan yang melampaui batas manusia biasa. Ia merasa ada keterikatan misterius dengan cerita-cerita ini, terutama pada tokoh-tokoh yang berjuang di medan perang. Meskipun ia tidak pernah benar-benar memikirkannya, perasaan itu selalu muncul setiap kali ia menyentuh buku tentang peperangan atau melihat gambar senjata-senjata kuno.

Sore harinya, usai bekerja, Arjuna memutuskan untuk mampir ke warung langganannya, sebuah tempat makan kecil yang selalu ramai di sore hari. Di warung itu, ia memesan nasi goreng dan teh manis kesukaannya. Pemilik warung, Pak Joko, menyapanya dengan senyum ramah.

Pak Joko adalah pria yang ramah dan ceria. Dengan tubuh sedikit gemuk dan wajah yang selalu tersenyum, ia memiliki kehangatan yang membuat siapa pun merasa nyaman di warungnya. Rambutnya mulai menipis, dan ada kerutan di sekitar matanya yang menunjukkan bahwa ia sering tertawa. “Makan seperti biasa, ya, Jun?” tanya Pak Joko sambil melirik Arjuna yang duduk di sudut.

Arjuna mengangguk sambil tersenyum. “Iya, Pak. Seperti biasa.”

Mereka berbincang sejenak tentang kehidupan sehari-hari, tentang kampus, dan tentang pelanggan lain yang sering datang ke warung tersebut. Saat makan, Arjuna menikmati suasana warung yang ramai, namun hatinya terasa ganjil. Belakangan ini, ia sering merasakan ada sesuatu yang tidak biasa dalam dirinya, seperti ada perasaan tertahan yang sulit ia pahami.

Setelah makan, ia berjalan kaki kembali ke rumah. Saat malam mulai larut, Arjuna duduk di mejanya, membuka buku-buku yang dipinjam dari perpustakaan, dan mulai membaca. Di tengah kesunyian, ia merasa damai dan terlelap tanpa memikirkan hal-hal aneh yang terkadang mengusiknya.

Namun, malam itu berbeda.

Dalam tidurnya, Arjuna bermimpi. Ia berdiri di tengah medan perang, dengan pedang di tangannya. Tubuhnya penuh luka, namun ia tidak merasakan sakit—hanya adrenalin dan tekad yang menguasai dirinya. Di sekelilingnya, teriakan dan gemuruh pertempuran memenuhi udara. Dari kejauhan, terdengar suara seseorang memanggilnya, “Ares… kau adalah Ares…”

Arjuna terbangun dengan napas tersengal-sengal, tubuhnya berkeringat. Hatinya berdegup kencang, dan meskipun ia mencoba menenangkan diri, nama itu—Ares—terngiang-ngiang di kepalanya. Nama itu terasa begitu akrab, seolah ia pernah memilikinya di suatu waktu, namun ia tidak tahu kapan.

“Ini hanya mimpi,” bisiknya pada diri sendiri, berusaha menghilangkan rasa takut yang menggerayangi dirinya. Meski demikian, perasaan ganjil itu tetap menghantuinya.

Keesokan harinya, Arjuna berusaha mengabaikan mimpinya dan melanjutkan hari seperti biasa. Namun, ada perasaan yang menggantung dalam hatinya, seolah mimpinya membawa pesan tersembunyi yang belum ia mengerti. Tanpa ingatan yang jelas, ia hanya bisa menganggapnya sebagai mimpi buruk.

Hari itu, ketika ia bertemu kembali dengan Dr. Haris di perpustakaan, pandangan dosennya tampak menyelidik, seolah-olah ia mengetahui sesuatu. Meskipun Arjuna tak yakin, ia merasa ingin bertanya tentang mimpi-mimpinya, tentang perasaan aneh yang semakin sering menghampirinya, namun ia ragu. Dalam diam, Arjuna hanya bisa berharap bahwa hidupnya tetap berjalan seperti biasa. Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa kehidupannya sebentar lagi akan berubah—dan mimpi itu hanya permulaan dari segalanya.

---

Mimpi aneh itu terus menghantui pikiran Arjuna sepanjang hari. Saat ia mengerjakan tugas-tugas di perpustakaan, ingatan tentang pertempuran dalam mimpinya terus saja muncul, mengganggu konsentrasi. Setiap kali ia menutup matanya sejenak, ia merasa seperti melihat kilatan-kilatan kejadian dari masa yang tidak ia kenali. Pemandangan pedang yang terhunus, bunyi dentingan logam, serta bayangan sosok misterius yang memanggil namanya… Ares.

Tak tahan lagi, sore itu Arjuna memutuskan untuk mengunjungi seorang teman lama, Ratna, seorang mahasiswi yang dikenal dengan pengetahuannya tentang budaya dan mitologi kuno. Ratna adalah orang yang bisa ia ajak bicara jika ada hal yang mengganjal. Mereka berteman sejak awal kuliah, dan Ratna sering kali membantu Arjuna dalam penelitian tugas-tugasnya.

Ratna tinggal di asrama putri yang berjarak beberapa blok dari perpustakaan kampus. Saat Arjuna tiba, ia mendapati Ratna sedang duduk di meja belajar, dikelilingi oleh buku-buku tebal dan secangkir kopi yang sudah hampir habis. Wajah Ratna tampak penuh perhatian, dengan alis tebalnya yang sering kali berkerut ketika ia sedang membaca serius. Berambut panjang dan berkulit sawo matang, ia memiliki penampilan khas seorang perempuan Jawa dengan sorot mata yang tajam dan cerdas.

“Arjuna? Tumben mampir ke sini, ada apa?” tanya Ratna sambil tersenyum, melirik ke arah Arjuna yang masuk ke kamar asramanya.

Arjuna tersenyum tipis. “Ada hal yang mengganggu pikiranku, Ratna. Aku… akhir-akhir ini sering bermimpi tentang hal-hal aneh. Tentang perang, pedang, dan… ada yang memanggilku dengan nama Ares.”

Ratna terdiam sejenak, memandang Arjuna dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. “Ares? Seperti dewa perang dalam mitologi Yunani itu?”

Arjuna mengangguk. “Aku tidak tahu kenapa, tapi rasanya begitu nyata. Rasanya seperti… aku pernah berada di sana, di medan perang itu.”

Ratna menarik napas panjang, wajahnya serius. “Arjuna, nama Ares bukan nama yang sembarangan. Ia adalah dewa perang dalam mitologi Yunani, dikenal karena kekejamannya di medan tempur. Jika kamu merasa ada keterikatan dengan nama itu, mungkin saja ada sesuatu yang mencoba mengingatkanmu pada sesuatu, entah itu dari masa lalu atau sesuatu yang lebih dalam.”

Arjuna tertawa kecil, meski hatinya masih gelisah. “Aku tahu ini terdengar bodoh. Mungkin cuma mimpi yang terlalu realistis.”

Namun, Ratna tidak ikut tertawa. “Tidak, Jun. Aku pernah mendengar cerita tentang orang-orang yang mengalami kilasan ingatan dari masa lalu, atau bahkan masa yang berbeda. Di beberapa budaya, mereka percaya pada reinkarnasi atau keterhubungan jiwa. Mungkin kamu mengalami sesuatu yang serupa.”

Perkataan Ratna membuat Arjuna berpikir. Ia tak pernah percaya pada hal-hal supranatural, namun mimpi-mimpinya terasa begitu nyata, seolah mengisyaratkan sesuatu.

---

Setelah perbincangannya dengan Ratna, Arjuna kembali ke rumah kosnya di daerah Malioboro. Malam semakin larut, namun pikirannya tidak bisa berhenti mencerna segala hal yang baru saja mereka bahas. Ratna, dengan pengetahuannya yang luas, membuatnya mulai mempertanyakan segala sesuatu tentang mimpi-mimpinya—tentang arti di balik sosok Ares.

Saat tengah merenung, Arjuna duduk di meja belajarnya, memandang langit malam melalui jendela. Lampu kota Yogyakarta berkilauan di kejauhan, dan angin sepoi-sepoi mengalir masuk melalui jendela yang terbuka. Suasana malam itu terasa tenang, namun jauh di dalam hatinya, ada kegelisahan yang mengendap-endap.

Tepat saat ia hendak beranjak tidur, kilasan gambar kembali muncul di pikirannya—pedang yang berkilauan di bawah sinar matahari, sosok prajurit yang mengenakan baju zirah, dan darah yang berceceran di medan perang. Ia merasa seolah-olah sedang menyaksikan potongan ingatan yang tak dikenalnya, seperti adegan dari kehidupan orang lain.

Keesokan harinya, Arjuna mencoba melupakan semuanya dan menjalani hari seperti biasa, tetapi rasa gelisah tetap bertahan. Ia tak menyadari bahwa perjalanan menuju masa lalunya baru saja dimulai, dan takdir sebagai Ares tengah menantinya di tempat yang belum terjamah oleh ingatannya.

---

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status