Share

Pertemuan dengan Livia

Bab 3: Pertemuan dengan Livia

Hari-hari berlalu, dan mimpi Arjuna semakin intens. Setiap malam, sosok wanita misterius itu terus menghantuinya, membangkitkan rasa penasaran yang tak terpadamkan. Di siang hari, ia merasa terjebak antara kehidupan sehari-hari dan kenangan samar yang tampak lebih nyata dalam mimpinya.

Suatu hari, saat berada di kantin kampus, Arjuna duduk bersama Bima dan Sarah. Mereka bercakap-cakap tentang tugas kuliah ketika pandangan Arjuna teralihkan. Di sudut ruangan, ia melihat seorang gadis duduk sendirian, tenggelam dalam sebuah buku. Rambut panjangnya yang lurus berkilau di bawah sinar matahari, membingkai wajahnya yang oval dan cerah. Livia Pratama memiliki mata cokelat gelap yang dalam, mencerminkan ketenangan namun juga misteri. Ia mengenakan sweater sederhana dan jeans, tetapi tetap terlihat menarik dengan aura kecerdasannya.

“Siapa itu?” Arjuna bertanya, tidak bisa mengalihkan pandangannya.

Bima mengikuti arah pandangnya dan tersenyum. “Oh, itu Livia Pratama. Dia sering duduk sendiri, tapi sebenarnya sangat baik dan cerdas.”

Arjuna merasa jantungnya berdebar. Ada sesuatu yang menarik tentang Livia—sesuatu yang membuatnya ingin mendekat. Ia berusaha mengatur napas dan mengumpulkan keberanian. “Aku ingin mengenalnya,” ucapnya, suaranya hampir berbisik.

Dengan tekad, Arjuna berdiri dan melangkah menuju Livia. Saat mendekat, ia bisa melihat ekspresi serius di wajahnya, seolah dunia di sekelilingnya menghilang. Begitu ia berada di hadapan Livia, Arjuna merasakan campuran rasa canggung dan harapan.

“Eh, hai,” sapanya, berusaha terdengar santai meskipun hatinya bergetar.

Livia menoleh, matanya yang cerah menatapnya dengan dingin. “Oh, hai,” jawabnya, suaranya datar. Tidak ada senyum hangat yang biasanya ia harapkan.

“Aku Arjuna. Aku lihat kamu membaca. Buku apa yang kamu baca?” tanyanya, mencoba memulai percakapan.

“Ini tentang sastra klasik,” jawab Livia sambil mengalihkan pandangannya kembali ke bukunya, seolah Arjuna tidak terlalu menarik perhatiannya.

Arjuna merasa sedikit kecewa, tetapi ia tidak ingin menyerah. “Keren. Aku tidak begitu tahu tentang sastra, tapi sepertinya menarik. Apa ada yang bisa kamu rekomendasikan?”

Livia mengangkat bahu, tampak tidak tertarik. “Banyak. Tapi mungkin kamu lebih baik bertanya kepada orang lain.”

Mendengar jawaban dinginnya, Arjuna merasa hatinya sedikit tertekan. Namun, ada sesuatu dalam tatapan Livia yang membuatnya ingin menggali lebih dalam. “Oke, mungkin kita bisa ngobrol setelah kelas. Aku… senang berbicara denganmu,” katanya, berusaha untuk tetap positif.

Livia meliriknya sekilas sebelum kembali ke bukunya. “Kita lihat saja,” jawabnya tanpa menambah kata.

Setelah beberapa saat, bel berbunyi menandakan waktu kelas berikutnya. Arjuna merasa campur aduk antara harapan dan kekecewaan. “Ya… sampai jumpa,” katanya, meski tidak yakin apakah dia ingin bertemu Livia lagi.

Kembali ke rumah kosnya, Arjuna tidak bisa berhenti memikirkan Livia. Meskipun sikapnya dingin, ada sesuatu yang membuatnya penasaran. Dalam hatinya, ia tahu bahwa ada lebih dari sekadar keinginan untuk mengenal Livia.

Malam itu, saat Arjuna terlelap, ia tidak bisa memprediksi apa yang akan datang. Dalam mimpinya, sosok wanita yang ia lihat sebelumnya kembali muncul, tetapi kali ini, dia tidak sendirian. Livia berdiri di sampingnya, menatapnya dengan penuh harapan.

“Arjuna, kita harus pergi. Ini semua ada hubungannya dengan kita,” ucap Livia dengan suara lembut, meski wajahnya menunjukkan ketidakpastian.

Arjuna merasa bingung. “Apa maksudmu? Siapa kita?”

“Semua ini. Ares, peperangan, mimpi-mimpi ini. Kita memiliki ikatan yang lebih dari sekadar kebetulan,” jawab Livia, dan saat itu, bayangan kegelapan mengelilingi mereka.

Dia terbangun dengan napas berat, tubuhnya bergetar. Dalam hatinya, ia tahu bahwa ada sesuatu yang lebih besar yang menghubungkan mereka. Arjuna bertekad untuk mencari tahu lebih dalam tentang mimpi dan hubungannya dengan Livia.

Keesokan harinya, saat bertemu Livia di kampus, Arjuna merasa dorongan untuk berbicara tentang mimpi-mimpinya. “Livia, aku… ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu.”

“Apa itu?” Livia tampak penasaran, tetapi nada suaranya tetap dingin.

“Aku terus bermimpi tentang Ares, dewa perang. Dan dalam mimpiku, ada kamu. Seperti kita memiliki hubungan yang lebih dalam. Apa menurutmu ini aneh?” tanyanya, suaranya sedikit ragu.

Livia menatapnya dengan skeptis, alisnya sedikit terangkat. “Kamu aneh, tahu? Mimpi tentang dewa perang? Ini terdengar seperti cerita dalam film atau novel,” katanya dengan nada sarkastis.

Arjuna merasa sedikit tersingkir oleh komentarnya. “Tapi ini terasa nyata bagiku. Aku tidak tahu harus bagaimana menjelaskannya,” ucapnya, hatinya sedikit terluka.

“Mungkin kamu harus mencari tahu lebih banyak tentang dirimu sendiri sebelum berbicara tentang hal-hal seperti itu,” Livia menjawab, tetap dengan ekspresi dingin. Namun, ada kilatan rasa ingin tahunya yang terlihat sejenak di matanya.

Arjuna merasakan jantungnya berdebar. Dia menyadari bahwa langkah yang diambilnya mungkin akan membawa mereka pada sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.

---

Setelah percakapan singkat yang membuat Arjuna merasa canggung, ia berusaha mengalihkan pikirannya dari pertemuannya dengan Livia. Meskipun pernyataan dingin Livia terus membayangi benaknya, ia tidak bisa menahan rasa penasaran yang semakin membara. Apa sebenarnya yang terjadi antara mereka? Kenapa Livia bisa muncul dalam mimpinya?

Hari-hari berlalu dengan cepat, dan Arjuna kembali fokus pada kehidupannya di kampus. Ia masih menjalani rutinitas yang sama, tetapi ada sesuatu yang berbeda. Setiap kali ia melewati ruang kelas tempat Livia berada, ia merasa semangatnya terbangun. Mimpinya tentang Ares dan Livia semakin sering menghampirinya, dengan detail yang semakin jelas. Dalam mimpi, ia melihat pertempuran epik, bunyi pedang beradu, dan cahaya yang menyilaukan. Namun, selalu ada Livia di sampingnya, meski ia tidak mengerti sepenuhnya mengapa.

Suatu sore, setelah kelas berakhir, Arjuna memutuskan untuk menunggu Livia di luar ruang kelasnya. Ia merasa bertekad untuk mendekatinya lagi. Ia ingin tahu lebih banyak tentang gadis misterius ini, dan ada dorongan yang tak tertahankan untuk menggali lebih dalam.

Ketika pintu ruang kelas terbuka, Arjuna melihat Livia keluar, tampak sibuk dengan buku-bukunya. Dia tampak sedikit terkejut saat melihat Arjuna berdiri menunggu.

“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Livia, suaranya tidak secerah sebelumnya.

“Aku hanya… ingin menanyakan lebih banyak tentang buku yang kamu baca. Aku pikir mungkin kita bisa berdiskusi,” jawab Arjuna, berusaha menjaga nada suaranya santai.

Livia menatapnya dengan keraguan. “Kenapa kamu begitu tertarik? Aku rasa banyak orang lain yang bisa kamu ajak bicara.”

Arjuna merasa sedikit tertekan, tetapi ia tidak ingin menyerah. “Karena aku merasa ada yang spesial dari kamu, Livia. Mungkin aku memang aneh, tapi aku ingin tahu lebih banyak tentang dirimu. Terutama setelah… kamu muncul dalam mimpiku.”

Livia terdiam sejenak, tampak merenung. “Kamu benar-benar aneh, Arjuna. Mimpi tentang Ares? Kenapa tidak ada orang lain yang melakukannya? Mungkin kamu butuh waktu untuk merenung.”

Arjuna merasa hatinya tertekan. “Tapi aku tidak bisa mengabaikan ini. Ada sesuatu yang lebih dalam, aku yakin.”

Dengan nada sinis, Livia menjawab, “Kadang hal-hal seperti ini memang muncul, tetapi bukan berarti itu berarti apa-apa. Mimpi hanya mimpi, kan?”

Merasa dihadapkan pada sikap skeptisnya, Arjuna mencoba mencari cara untuk menarik perhatiannya. “Apa kamu tidak merasa aneh? Seperti ada sesuatu yang menghubungkan kita? Mungkin kita ditakdirkan untuk bertemu.”

Livia menggelengkan kepala, senyumnya kembali datar. “Arjuna, kamu harus realistis. Kita hanya dua orang biasa. Tidak ada yang spesial dari itu.”

Mendengar tanggapannya, Arjuna merasa sedikit putus asa. Namun, ada kilatan di matanya yang membuatnya yakin bahwa ada lebih dari sekadar kebetulan. “Tapi aku ingin percaya, Livia. Aku merasa kita bisa saling membantu. Mungkin kita bisa menggali lebih dalam tentang mimpiku ini bersama-sama?”

Senyum dingin Livia sedikit mereda, tetapi ia tetap skeptis. “Baiklah, jika itu yang kamu inginkan. Tapi aku tidak yakin seberapa jauh kita bisa pergi dengan ini. Ini terdengar seperti kisah dalam novel.”

Arjuna merasa sedikit lega. Meskipun Livia masih terlihat ragu, ada sedikit kemajuan. “Terima kasih. Mungkin kita bisa memulai dengan membahas tentang sastra yang kamu baca. Aku ingin tahu lebih banyak.”

Mereka mulai berjalan bersama ke arah kantin, di mana mereka bisa berbincang lebih nyaman. Dalam perjalanan, Arjuna mencuri pandang ke arah Livia. Dia menyadari bahwa gadis ini, meskipun dingin, memiliki daya tarik yang sulit dijelaskan.

Saat mereka tiba di kantin, Arjuna merasakan suasana menjadi lebih hangat. Meskipun Livia bersikap dingin, ia dapat merasakan sedikit ketertarikan yang mulai tumbuh di antara mereka. Mereka berbagi ide dan pendapat tentang buku-buku yang mereka baca, meskipun Livia tetap mengeluarkan komentar sinis yang membuat Arjuna tersenyum.

“Jadi, kalau kamu berpikir bahwa kita memiliki hubungan, kita harus mencari tahu lebih dalam tentang siapa kita sebenarnya,” Livia berkata dengan nada serius, meskipun ada sedikit kelucuan di wajahnya.

Arjuna merasa terinspirasi. “Aku setuju. Mari kita lakukan itu. Aku ingin menemukan lebih banyak tentang Ares, dan mungkin bisa membantuku memahami mimpi-mimpiku.”

Ketika mereka melanjutkan diskusi, Arjuna merasa jalinan koneksi di antara mereka semakin kuat. Meski Livia masih bersikap dingin, ada secercah harapan bahwa ia bisa memahami lebih dalam tentang gadis yang membuatnya terpesona.

Malam harinya, Arjuna terbaring di ranjang, memikirkan pertemuannya dengan Livia. Ia merasa seperti tengah berada di ambang sesuatu yang besar. Mimpi tentang Ares dan kenangan samar tentang masa lalunya terus menghantuinya, tetapi kini ia merasa sedikit lebih tenang. Livia bisa menjadi kunci untuk memahami semua ini, dan ia bertekad untuk menggali lebih dalam.

Ketika ia terlelap, bayangan Livia muncul lagi. Dalam mimpinya, mereka berdiri di tengah medan perang, dikelilingi oleh cahaya dan suara pertarungan. Livia menatapnya, dan dalam tatapannya, Arjuna merasakan keberanian yang mengalir dalam dirinya. “Kita harus siap, Arjuna. Ini baru permulaan,” ucap Livia, dan saat itu, Arjuna terbangun, siap menghadapi apa pun yang menantinya.

---

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status