Bab 3: Pertemuan dengan Livia
Hari-hari berlalu, dan mimpi Arjuna semakin intens. Setiap malam, sosok wanita misterius itu terus menghantuinya, membangkitkan rasa penasaran yang tak terpadamkan. Di siang hari, ia merasa terjebak antara kehidupan sehari-hari dan kenangan samar yang tampak lebih nyata dalam mimpinya. Suatu hari, saat berada di kantin kampus, Arjuna duduk bersama Bima dan Sarah. Mereka bercakap-cakap tentang tugas kuliah ketika pandangan Arjuna teralihkan. Di sudut ruangan, ia melihat seorang gadis duduk sendirian, tenggelam dalam sebuah buku. Rambut panjangnya yang lurus berkilau di bawah sinar matahari, membingkai wajahnya yang oval dan cerah. Livia Pratama memiliki mata cokelat gelap yang dalam, mencerminkan ketenangan namun juga misteri. Ia mengenakan sweater sederhana dan jeans, tetapi tetap terlihat menarik dengan aura kecerdasannya. “Siapa itu?” Arjuna bertanya, tidak bisa mengalihkan pandangannya. Bima mengikuti arah pandangnya dan tersenyum. “Oh, itu Livia Pratama. Dia sering duduk sendiri, tapi sebenarnya sangat baik dan cerdas.” Arjuna merasa jantungnya berdebar. Ada sesuatu yang menarik tentang Livia—sesuatu yang membuatnya ingin mendekat. Ia berusaha mengatur napas dan mengumpulkan keberanian. “Aku ingin mengenalnya,” ucapnya, suaranya hampir berbisik. Dengan tekad, Arjuna berdiri dan melangkah menuju Livia. Saat mendekat, ia bisa melihat ekspresi serius di wajahnya, seolah dunia di sekelilingnya menghilang. Begitu ia berada di hadapan Livia, Arjuna merasakan campuran rasa canggung dan harapan. “Eh, hai,” sapanya, berusaha terdengar santai meskipun hatinya bergetar. Livia menoleh, matanya yang cerah menatapnya dengan dingin. “Oh, hai,” jawabnya, suaranya datar. Tidak ada senyum hangat yang biasanya ia harapkan. “Aku Arjuna. Aku lihat kamu membaca. Buku apa yang kamu baca?” tanyanya, mencoba memulai percakapan. “Ini tentang sastra klasik,” jawab Livia sambil mengalihkan pandangannya kembali ke bukunya, seolah Arjuna tidak terlalu menarik perhatiannya. Arjuna merasa sedikit kecewa, tetapi ia tidak ingin menyerah. “Keren. Aku tidak begitu tahu tentang sastra, tapi sepertinya menarik. Apa ada yang bisa kamu rekomendasikan?” Livia mengangkat bahu, tampak tidak tertarik. “Banyak. Tapi mungkin kamu lebih baik bertanya kepada orang lain.” Mendengar jawaban dinginnya, Arjuna merasa hatinya sedikit tertekan. Namun, ada sesuatu dalam tatapan Livia yang membuatnya ingin menggali lebih dalam. “Oke, mungkin kita bisa ngobrol setelah kelas. Aku… senang berbicara denganmu,” katanya, berusaha untuk tetap positif. Livia meliriknya sekilas sebelum kembali ke bukunya. “Kita lihat saja,” jawabnya tanpa menambah kata. Setelah beberapa saat, bel berbunyi menandakan waktu kelas berikutnya. Arjuna merasa campur aduk antara harapan dan kekecewaan. “Ya… sampai jumpa,” katanya, meski tidak yakin apakah dia ingin bertemu Livia lagi. Kembali ke rumah kosnya, Arjuna tidak bisa berhenti memikirkan Livia. Meskipun sikapnya dingin, ada sesuatu yang membuatnya penasaran. Dalam hatinya, ia tahu bahwa ada lebih dari sekadar keinginan untuk mengenal Livia. Malam itu, saat Arjuna terlelap, ia tidak bisa memprediksi apa yang akan datang. Dalam mimpinya, sosok wanita yang ia lihat sebelumnya kembali muncul, tetapi kali ini, dia tidak sendirian. Livia berdiri di sampingnya, menatapnya dengan penuh harapan. “Arjuna, kita harus pergi. Ini semua ada hubungannya dengan kita,” ucap Livia dengan suara lembut, meski wajahnya menunjukkan ketidakpastian. Arjuna merasa bingung. “Apa maksudmu? Siapa kita?” “Semua ini. Ares, peperangan, mimpi-mimpi ini. Kita memiliki ikatan yang lebih dari sekadar kebetulan,” jawab Livia, dan saat itu, bayangan kegelapan mengelilingi mereka. Dia terbangun dengan napas berat, tubuhnya bergetar. Dalam hatinya, ia tahu bahwa ada sesuatu yang lebih besar yang menghubungkan mereka. Arjuna bertekad untuk mencari tahu lebih dalam tentang mimpi dan hubungannya dengan Livia. Keesokan harinya, saat bertemu Livia di kampus, Arjuna merasa dorongan untuk berbicara tentang mimpi-mimpinya. “Livia, aku… ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu.” “Apa itu?” Livia tampak penasaran, tetapi nada suaranya tetap dingin. “Aku terus bermimpi tentang Ares, dewa perang. Dan dalam mimpiku, ada kamu. Seperti kita memiliki hubungan yang lebih dalam. Apa menurutmu ini aneh?” tanyanya, suaranya sedikit ragu. Livia menatapnya dengan skeptis, alisnya sedikit terangkat. “Kamu aneh, tahu? Mimpi tentang dewa perang? Ini terdengar seperti cerita dalam film atau novel,” katanya dengan nada sarkastis. Arjuna merasa sedikit tersingkir oleh komentarnya. “Tapi ini terasa nyata bagiku. Aku tidak tahu harus bagaimana menjelaskannya,” ucapnya, hatinya sedikit terluka. “Mungkin kamu harus mencari tahu lebih banyak tentang dirimu sendiri sebelum berbicara tentang hal-hal seperti itu,” Livia menjawab, tetap dengan ekspresi dingin. Namun, ada kilatan rasa ingin tahunya yang terlihat sejenak di matanya. Arjuna merasakan jantungnya berdebar. Dia menyadari bahwa langkah yang diambilnya mungkin akan membawa mereka pada sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. --- Setelah percakapan singkat yang membuat Arjuna merasa canggung, ia berusaha mengalihkan pikirannya dari pertemuannya dengan Livia. Meskipun pernyataan dingin Livia terus membayangi benaknya, ia tidak bisa menahan rasa penasaran yang semakin membara. Apa sebenarnya yang terjadi antara mereka? Kenapa Livia bisa muncul dalam mimpinya? Hari-hari berlalu dengan cepat, dan Arjuna kembali fokus pada kehidupannya di kampus. Ia masih menjalani rutinitas yang sama, tetapi ada sesuatu yang berbeda. Setiap kali ia melewati ruang kelas tempat Livia berada, ia merasa semangatnya terbangun. Mimpinya tentang Ares dan Livia semakin sering menghampirinya, dengan detail yang semakin jelas. Dalam mimpi, ia melihat pertempuran epik, bunyi pedang beradu, dan cahaya yang menyilaukan. Namun, selalu ada Livia di sampingnya, meski ia tidak mengerti sepenuhnya mengapa. Suatu sore, setelah kelas berakhir, Arjuna memutuskan untuk menunggu Livia di luar ruang kelasnya. Ia merasa bertekad untuk mendekatinya lagi. Ia ingin tahu lebih banyak tentang gadis misterius ini, dan ada dorongan yang tak tertahankan untuk menggali lebih dalam. Ketika pintu ruang kelas terbuka, Arjuna melihat Livia keluar, tampak sibuk dengan buku-bukunya. Dia tampak sedikit terkejut saat melihat Arjuna berdiri menunggu. “Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Livia, suaranya tidak secerah sebelumnya. “Aku hanya… ingin menanyakan lebih banyak tentang buku yang kamu baca. Aku pikir mungkin kita bisa berdiskusi,” jawab Arjuna, berusaha menjaga nada suaranya santai. Livia menatapnya dengan keraguan. “Kenapa kamu begitu tertarik? Aku rasa banyak orang lain yang bisa kamu ajak bicara.” Arjuna merasa sedikit tertekan, tetapi ia tidak ingin menyerah. “Karena aku merasa ada yang spesial dari kamu, Livia. Mungkin aku memang aneh, tapi aku ingin tahu lebih banyak tentang dirimu. Terutama setelah… kamu muncul dalam mimpiku.” Livia terdiam sejenak, tampak merenung. “Kamu benar-benar aneh, Arjuna. Mimpi tentang Ares? Kenapa tidak ada orang lain yang melakukannya? Mungkin kamu butuh waktu untuk merenung.” Arjuna merasa hatinya tertekan. “Tapi aku tidak bisa mengabaikan ini. Ada sesuatu yang lebih dalam, aku yakin.” Dengan nada sinis, Livia menjawab, “Kadang hal-hal seperti ini memang muncul, tetapi bukan berarti itu berarti apa-apa. Mimpi hanya mimpi, kan?” Merasa dihadapkan pada sikap skeptisnya, Arjuna mencoba mencari cara untuk menarik perhatiannya. “Apa kamu tidak merasa aneh? Seperti ada sesuatu yang menghubungkan kita? Mungkin kita ditakdirkan untuk bertemu.” Livia menggelengkan kepala, senyumnya kembali datar. “Arjuna, kamu harus realistis. Kita hanya dua orang biasa. Tidak ada yang spesial dari itu.” Mendengar tanggapannya, Arjuna merasa sedikit putus asa. Namun, ada kilatan di matanya yang membuatnya yakin bahwa ada lebih dari sekadar kebetulan. “Tapi aku ingin percaya, Livia. Aku merasa kita bisa saling membantu. Mungkin kita bisa menggali lebih dalam tentang mimpiku ini bersama-sama?” Senyum dingin Livia sedikit mereda, tetapi ia tetap skeptis. “Baiklah, jika itu yang kamu inginkan. Tapi aku tidak yakin seberapa jauh kita bisa pergi dengan ini. Ini terdengar seperti kisah dalam novel.” Arjuna merasa sedikit lega. Meskipun Livia masih terlihat ragu, ada sedikit kemajuan. “Terima kasih. Mungkin kita bisa memulai dengan membahas tentang sastra yang kamu baca. Aku ingin tahu lebih banyak.” Mereka mulai berjalan bersama ke arah kantin, di mana mereka bisa berbincang lebih nyaman. Dalam perjalanan, Arjuna mencuri pandang ke arah Livia. Dia menyadari bahwa gadis ini, meskipun dingin, memiliki daya tarik yang sulit dijelaskan. Saat mereka tiba di kantin, Arjuna merasakan suasana menjadi lebih hangat. Meskipun Livia bersikap dingin, ia dapat merasakan sedikit ketertarikan yang mulai tumbuh di antara mereka. Mereka berbagi ide dan pendapat tentang buku-buku yang mereka baca, meskipun Livia tetap mengeluarkan komentar sinis yang membuat Arjuna tersenyum. “Jadi, kalau kamu berpikir bahwa kita memiliki hubungan, kita harus mencari tahu lebih dalam tentang siapa kita sebenarnya,” Livia berkata dengan nada serius, meskipun ada sedikit kelucuan di wajahnya. Arjuna merasa terinspirasi. “Aku setuju. Mari kita lakukan itu. Aku ingin menemukan lebih banyak tentang Ares, dan mungkin bisa membantuku memahami mimpi-mimpiku.” Ketika mereka melanjutkan diskusi, Arjuna merasa jalinan koneksi di antara mereka semakin kuat. Meski Livia masih bersikap dingin, ada secercah harapan bahwa ia bisa memahami lebih dalam tentang gadis yang membuatnya terpesona. Malam harinya, Arjuna terbaring di ranjang, memikirkan pertemuannya dengan Livia. Ia merasa seperti tengah berada di ambang sesuatu yang besar. Mimpi tentang Ares dan kenangan samar tentang masa lalunya terus menghantuinya, tetapi kini ia merasa sedikit lebih tenang. Livia bisa menjadi kunci untuk memahami semua ini, dan ia bertekad untuk menggali lebih dalam. Ketika ia terlelap, bayangan Livia muncul lagi. Dalam mimpinya, mereka berdiri di tengah medan perang, dikelilingi oleh cahaya dan suara pertarungan. Livia menatapnya, dan dalam tatapannya, Arjuna merasakan keberanian yang mengalir dalam dirinya. “Kita harus siap, Arjuna. Ini baru permulaan,” ucap Livia, dan saat itu, Arjuna terbangun, siap menghadapi apa pun yang menantinya. ---Bab 4: Ingatan yang Tersembunyi Hari berikutnya, Arjuna terbangun dengan semangat baru. Mimpinya semalam masih segar dalam ingatannya, membangkitkan rasa ingin tahunya untuk mencari tahu lebih banyak tentang hubungannya dengan Livia. Ia bertekad untuk tidak hanya memahami mimpinya, tetapi juga untuk menggali lebih dalam ke dalam diri Livia, gadis yang semakin mengisi pikirannya. Sesampainya di kampus, Arjuna segera merasakan suasana yang berbeda. Teman-teman kampusnya, terutama Bima, Sarah, dan Dani, tampak saling berbisik sambil melirik ke arahnya. Rasa ingin tahunya makin meningkat, tetapi ia tahu bahwa fokusnya saat ini adalah Livia. Ia berharap bisa menemukan waktu untuk bertemu dengannya dan melanjutkan pencarian mereka. Bima, teman dekatnya yang selalu ceria dan penuh energi, menghampiri Arjuna dengan senyuman lebar. “Eh, Arjuna! Apa kabar? Kemarin kita lihat kamu sama Livia. Kalian ada urusan penting ya?” tanyanya dengan nada penasaran. “Tidak ada yang penting,” jawab
Bab 5: Ancaman Muncul Di dunia yang gelap dan lembap, Sven duduk di singgasana megahnya, dikelilingi oleh bayangan yang menunggu perintahnya. Dengan tatapan dingin, dia memandang ke arah cermin ajaib yang memantulkan gambaran kehidupan di atas permukaan—dunia manusia yang penuh dengan kekacauan dan kerentanan. Saat matanya tertuju pada Arjuna, dia merasakan getaran yang berbeda, seolah kekuatan kuno yang lama terpendam mulai bangkit. “Sven, dia akan segera bangkit,” bisik salah satu pengikutnya, memperlihatkan wajah ketakutan. “Arjuna Mahendra. Ia adalah Ares.” Sven tersenyum sinis. “Aku sudah menunggu saat ini. Kekuatan Arjuna harus dihancurkan sebelum dia bisa mengancam kekuasaanku. Dan Livia… dia akan menjadi alat yang sempurna untuk menarik Arjuna ke dalam perangkapku.” Di dunia manusia, Arjuna merasakan ketegangan di sekelilingnya. Setelah percakapan dengan Livia dan teman-temannya, dia merasa ada sesuatu yang lebih besar sedang menunggu. Dia tidak tahu bahwa Sven, musuh
Bab 6: Tanda-Tanda Pertanda Malam semakin larut, namun ketegangan di hati Arjuna tak kunjung reda. Dia duduk di kamarnya, dikelilingi oleh kegelapan yang hanya diterangi oleh lampu meja kecil. Mimpi-mimpi aneh terus menghantuinya, dan saat ini, perasaan aneh itu semakin kuat. Dia merasa seolah ada sesuatu yang bergetar di dalam dirinya, memanggilnya. Arjuna menutup matanya dan berusaha menenangkan pikirannya. Namun, bayangan-bayangan dari mimpi malam lalu kembali menghantuinya. Dia melihat medan perang yang luas, darah yang mengalir, dan sosoknya sendiri berdiri di tengah semua itu—seorang pejuang yang penuh kemarahan. “Kenapa ini terus terjadi?” gumamnya pelan, merasakan keringat dingin mengalir di pelipisnya. Kekuatan yang tidak dikenal itu seolah berjuang untuk bangkit, dan Arjuna merasa terjebak di antara dua dunia. Di luar, suara derak pintu terdengar. Livia muncul di ambang pintu. “Arjuna? Apa kau baik-baik saja?” tanyanya dengan nada khawatir. Kecemasan di wajahnya memb
Bab 7: Setelah KejatuhanSuara sirine mengiringi kedatangan polisi dan tim penyelamat yang menyusuri hutan, menembus malam yang kini sunyi setelah pertempuran hebat. Area sekitar tampak rusak parah—tanah retak, pepohonan tumbang, dan beberapa bagian hutan tampak terbakar. Para petugas yang baru tiba takjub melihat pemandangan ini, tak menyangka kekacauan sebesar itu bisa terjadi di tengah hutan.Di salah satu titik, Arjuna dan teman-temannya tergeletak dalam keadaan tidak sadarkan diri. Tubuh mereka terlihat lelah dan penuh luka akibat benturan, namun mereka masih bernapas. Setelah memeriksa mereka satu per satu, tim penyelamat segera membawa mereka ke rumah sakit.***Keesokan harinya, Arjuna mulai siuman di kamar rumah sakit, meski kondisinya masih lemah. Tak lama kemudian, dua orang polisi berpakaian formal masuk ke ruangan Arjuna. Kedua polisi ini bernama *Komisaris Agus*, seorang pria berperawakan besar dengan janggut yang mulai memutih, dan *Inspektur Rani*, seorang wanita tingg
Bab 8: Awal Sebuah Pelatihan Pagi di rumah sakit terasa lebih cerah, namun suasana hati Arjuna dan teman-temannya masih terjebak dalam bayangan kejadian di hutan. Rasa trauma dan ketakutan itu terus menghantui mereka, namun hidup mereka harus terus berlanjut. Setelah semua pemeriksaan selesai, dokter akhirnya mengizinkan Arjuna dan teman-temannya untuk pulang dengan syarat tetap melakukan kontrol rutin. Namun, ada yang berbeda pada Arjuna. Setelah kunjungan Pak Budi semalam, pikirannya penuh dengan pertanyaan yang tak terjawab, tentang kekuatan yang tiba-tiba muncul, dan tanggung jawab yang mulai ia rasakan di pundaknya. Ia tahu dirinya tidak bisa lari lagi—apa pun yang terjadi, ia harus menghadapi takdirnya. Saat dalam perjalanan pulang, Arjuna berjanji pada dirinya sendiri untuk menemui Pak Budi dan mencari tahu lebih dalam tentang kekuatan yang ada di dalam dirinya. *** Keesokan harinya, Arjuna berdiri di depan rumah Pak Budi, merasa sedikit ragu. Rumah tersebut berada di kawa
Bab 9: Kekuatan Tersembunyi Pagi itu, suasana di kaki gunung begitu sunyi. Arjuna berdiri di hadapan Pak Budi, menatap ke arah hutan lebat yang melingkupi mereka. Udara terasa dingin menusuk, namun ada perasaan hangat di sekitar mereka, seolah energi tak kasatmata menyelimuti tempat itu. Pak Budi menatapnya dengan sorot penuh kebijaksanaan, wajahnya tenang dan tegas, menyiratkan kedalaman ilmu yang belum sepenuhnya Arjuna pahami. "Arjuna, apa kau tahu mengapa aku mengajakmu ke sini?" tanya Pak Budi dengan suara pelan, namun mantap. Arjuna menggeleng, masih belum memahami sepenuhnya alasan pelatihan ini. "Pak Budi, saya kira ini hanya untuk melatih fisik saya. Tapi, sekarang... saya merasa ada yang lebih besar dari itu." Pak Budi tersenyum samar. "Betul sekali. Ini bukan hanya soal kekuatan fisik. Yang kau hadapi nanti akan jauh lebih besar dan lebih berbahaya. Kekuatan yang kau miliki harus seimbang dengan ketenangan batin
Bab 10: Sang Penjaga Abadi Suasana malam itu sangat sunyi, hanya angin yang menyentuh dedaunan dengan lembut. Setelah latihan panjang yang melelahkan, Arjuna dan Pak Budi duduk di bawah pohon besar, menikmati kesunyian. Namun, ada sesuatu yang tak tertahankan di hati Arjuna, sesuatu yang membuatnya penasaran selama ini. “Pak,” Arjuna membuka pembicaraan, suaranya hampir tenggelam di tengah hening malam. “Apakah… apakah Eyang Semar benar-benar ada? Dan… kalau boleh tahu, apakah beliau sudah… mati atau masih hidup?” Pak Budi tersenyum samar, lalu menatap Arjuna dengan pandangan yang dalam. “Eyang Semar,” katanya pelan, “beliau tidak hidup, tapi juga tidak mati. Beliau mencapai moksa, melebur bersama semesta. Ia adalah penjaga yang abadi. Ada banyak yang mengikuti jejaknya, banyak tokoh besar di Nusantara yang telah melakukan moksa seperti beliau. Prabu Siliwangi, Patih Gajah Mada—mereka semua hidup di dalam tanah ini, menjaga dan merawatnya
Bab 11: Arjuna VS Genderuwo Setelah percakapan mendalam antara Arjuna dan sosok Semar di dalam penglihatan, ia kembali ke kenyataan di tempat latihan bersama Pak Budi. Arjuna masih terguncang oleh pengalaman tersebut, tapi kini di hatinya tumbuh tekad yang kuat. Momen itu memperdalam pemahaman Arjuna tentang tanggung jawabnya sebagai pelindung. Pak Budi, yang melihat perubahan dalam diri Arjuna, mengangguk dengan penuh pengertian. Tanpa banyak kata, ia mengeluarkan sebilah Kris kuno dari dalam tasnya. Pak Budi menjelaskan bahwa Kris tersebut adalah simbol keberanian yang diwariskan dari masa lampau. Kris ini bukan sekadar senjata, tetapi juga membawa semangat para leluhur yang pernah berjuang melindungi Nusantara. *** Malam semakin larut, dan suasana di sekitar mulai berubah. Angin bertiup kencang, menimbulkan suara-suara aneh dari pepohonan. Pak Budi tiba-tiba berhenti dan menatap tajam ke arah kegelapan hutan. Dia merasakan keberadaan makhluk gaib, yang sudah lama mengintai mere
Bab 81: Ujian Waktu dan Bayangan Masa Lalu Arena kosmik berputar seperti pusaran dimensi tanpa akhir. Arjuna berdiri di tengahnya, tubuhnya diliputi rasa lelah yang menusuk, tetapi tekadnya tetap membara. Pak Budi dan Sun Wukong berdiri tak jauh darinya, memperhatikan dengan cermat persiapan ujian berikutnya. “Ujian waktu adalah ujian terakhir sebelum kau sepenuhnya layak disebut pewaris kekuatan para dewa,” kata Sun Wukong dengan suara berat. Pak Budi menambahkan, “Ini bukan sekadar perjalanan melawan elemen. Waktu adalah musuh yang tidak terlihat, yang bisa menghancurkan jiwa siapa pun.” Arjuna menarik napas dalam-dalam. Setelah semua yang ia lewati—kematian teman-temannya, kekacauan yang ditinggalkan Sven, serta kehilangan besar yang menghantam hatinya—ia tahu bahwa ujian ini mungkin yang paling berbahaya. “Jadi, apa yang harus aku lakukan?” tanya Arjuna sambil menatap lurus ke pusaran waktu yang berkilauan di depannya. “Kau harus melangkah ke dalam waktu itu sendiri,” j
Bab 80: Ujian Kekosongan Arena Kosmik kembali hening. Hanya gema napas Arjuna yang terdengar saat ia berdiri di tengah ruang tak berujung itu. Rasa lelah mulai menjalari tubuhnya setelah menghadapi dua elemen pertama, angin dan api. Namun, tekadnya tetap tak tergoyahkan. Ia tahu bahwa perjalanan ini belum berakhir, dan ujian yang lebih berat sedang menantinya. Sun Wukong berdiri di tepi arena, tongkat emasnya menciptakan suara ketukan pelan saat ia menyentuh lantai kaca hitam dengan ujung tongkatnya. Wajahnya serius, sebuah ekspresi yang jarang terlihat dari raja kera yang biasanya ceria. Pak Budi berdiri di sampingnya, tenang seperti biasa, namun sorot matanya penuh perhatian. "Elemen berikutnya akan benar-benar menguji inti jiwamu, Arjuna," kata Pak Budi, suaranya bergema lembut di dalam arena. "Ini bukan soal kekuatan fisik atau bahkan pengendalian energi semata. Ini tentang seberapa kuat hatimu menghadapi kehampaan
Bab 79: Awal Perjalanan Baru Keesokan paginya, langit di Alam Para Dewa dihiasi warna keemasan yang memukau, seperti lukisan hidup yang tak ada bandingannya di dunia fana. Sinar mentari lembut menyentuh setiap sudut istana, membawa ketenangan sekaligus kekuatan baru bagi siapa pun yang merasakannya. Arjuna berdiri di balkon kamarnya, mengenakan pakaian tempur ringan yang diberikan para dewa. Angin sejuk mengelus wajahnya, namun pikirannya jauh dari damai. Ia memikirkan kata-kata Amaterasu semalam. Bayangan Livia yang berlatih untuk menjadi lebih kuat terus menghantui benaknya. Di satu sisi, ia merasa bangga atas keberanian Livia, namun di sisi lain, ia khawatir. Livia adalah bagian terpenting dalam hidupnya, dan gagasan bahwa ia harus menghadapi bahaya membuat Arjuna tidak bisa tenang. “Sudah siap?” Suara Sun Wukong yang khas membuyarkan lamunan Arjuna. Ia menoleh dan mendapati sosok raja kera itu berdiri di depan pintu kamar, dengan tongkat emasnya yang bersandar di bahu.
Bab 78: Ketenangan Sebelum Badai Setelah pertemuan panjang dengan para dewa, Arjuna merasa tubuh dan pikirannya lelah. Langkahnya berat saat ia mengikuti Sun Wukong dan Pak Budi melalui lorong-lorong megah di istana Alam Para Dewa. Dinding-dindingnya penuh ukiran indah, menceritakan kisah-kisah kuno tentang peperangan, cinta, dan pengorbanan. “Kau butuh istirahat,” kata Pak Budi lembut. “Pikiranmu harus jernih untuk apa yang akan datang.” Arjuna hanya mengangguk, terlalu lelah untuk menjawab. Mereka akhirnya tiba di sebuah kamar besar yang disediakan untuknya. Pintu besar dari kayu berukir terbuka dengan sendirinya saat mereka mendekat. Di dalamnya, ruangan itu memancarkan aura ketenangan. Tempat tidurnya besar, dihiasi kain sutra berwarna biru dan emas. Di sudut ruangan, sebuah jendela besar menghadap ke langit ungu Alam Para Dewa, memberikan pemandangan yang memukau. “Ini tempatmu untuk malam ini,” kata Sun Wukong sambil melirik sekeliling. “Manfaatkan waktumu. Besok,
Bab 77: Perjalanan ke Alam Para Dewa Pagi itu, udara di Gunung Salak terasa lebih segar dari biasanya. Sinar matahari menembus celah dedaunan, menciptakan pola-pola cahaya yang bergerak di atas tanah. Arjuna, Sun Wukong, dan Pak Budi berdiri di sebuah dataran terbuka, memandang ke arah timur di mana lembah hijau membentang jauh hingga ke cakrawala. Namun, meski pemandangan itu memukau, pikiran mereka tertuju pada sesuatu yang jauh lebih besar. “Kita harus bergerak sekarang,” ujar Sun Wukong, tongkat emasnya bersandar di bahunya. “Waktu adalah sesuatu yang tidak bisa kita sia-siakan, terutama ketika Sven mungkin sedang mempersiapkan langkah berikutnya.” Pak Budi mengangguk. Ia merapikan kain sarungnya, lalu memandang Arjuna dengan serius. “Alam para dewa bukan tempat sembarangan, Juna. Kau akan bertemu banyak entitas yang memiliki kekuatan jauh di luar nalar manusia. Tetapi, kita tidak punya pilihan. Untuk melawan Sven, kita membutuhkan aliansi yang lebih kuat.” Arjuna menat
Bab 76: Panggilan dari Puncak Kabut tebal semakin menyelimuti perjalanan mereka, membuat udara terasa berat dan mencekik. Sunyi yang mencekam hanya dipecahkan oleh langkah kaki mereka di atas tanah berbatu dan suara dedaunan yang bergesekan tertiup angin. Arjuna memimpin di depan, pandangannya tertuju pada puncak yang masih samar terlihat di kejauhan. Panggilan itu semakin kuat, tidak lagi berupa bisikan tetapi menjadi gema yang berdentam di dalam dirinya. “Puncaknya tidak jauh lagi,” kata Pak Budi sambil mengamati sekitar, meskipun nada suaranya penuh kehati-hatian. “Tapi kita harus tetap waspada. Energi di sini semakin kacau.” Arjuna mengangguk tanpa berkata apa-apa. Pikirannya terus tertuju pada suara yang seakan-akan berbicara langsung ke dalam jiwanya. Ada sesuatu yang menunggunya di sana, sesuatu yang bisa mengubah segalanya. Sun Wukong, yang berjalan di belakang, tiba-tiba menghentikan langkahnya. “Tunggu,” katanya tegas, mengangkat tongkatnya. Matanya menyipit, mena
Bab 75: Di Balik Bayang Gunung Salak Gunung Salak menjulang megah di kejauhan, kabutnya melingkupi puncaknya seperti selimut rahasia yang menjaga misteri. Angin pegunungan yang dingin menyapu wajah Arjuna, Pak Budi, dan Sun Wukong saat mereka akhirnya tiba di kaki gunung. Matahari hampir tenggelam di ufuk barat, menyelimuti dunia dengan cahaya jingga yang menambah suasana menegangkan. “Di sini,” kata Pak Budi sambil berhenti di sebuah celah batu besar. “Ini pintu masuk ke jalur tersembunyi yang akan membawa kita ke tempat latihan berikutnya. Tapi kita harus berhati-hati. Jika Sven telah mengirim anteknya, mereka mungkin sudah memasang jebakan.” Arjuna mengangguk, matanya memindai sekitar dengan waspada. Ia merasa udara di sekitarnya lebih berat, seolah sesuatu yang tak kasatmata sedang mengintai mereka. “Rasakan itu?” Sun Wukong tiba-tiba berkata, menghentikan langkah mereka. Ia memegang tongkat emasnya dengan erat, matanya menyipit tajam. “Apa itu?” Arjuna bertanya, men
Bab 74: Di Ambang Badai Malam masih membalut hutan dengan keheningan ketika Arjuna, Pak Budi, dan Sun Wukong akhirnya memutuskan untuk beranjak dari tempat mereka. Udara malam dingin menusuk, dan hanya suara dedaunan yang bergesekan dengan angin menemani langkah mereka. Perasaan kosong melingkupi hati Arjuna setelah perpisahannya dengan Livia. Meskipun ia tahu keputusan itu adalah yang terbaik untuk keselamatan Livia, bayangannya tetap memenuhi pikirannya. Pak Budi berjalan di samping Arjuna, memecah keheningan. “Arjuna, aku tahu kau memikirkan Livia. Tapi, kau harus ingat, apa yang kita hadapi saat ini jauh lebih besar daripada yang kita bayangkan. Sven dan pasukannya tidak akan berhenti.” Sun Wukong mengangguk dari depan, menoleh sedikit ke belakang. “Bahkan jika kita berhasil melindungi Livia, musuh kita akan menemukan celah lain. Mereka akan terus mencoba. Itu sebabnya, kau harus mempersiapkan dirimu, tidak hanya secara fisik, tetapi juga mental.” Arjuna menghela napas
Bab 73: Perpisahan di Bawah Cahaya Bulan Arjuna, Livia, Sun Wukong, dan Pak Budi duduk di sekitar api unggun kecil yang mereka buat di tengah hutan. Malam itu, bintang-bintang bertaburan di langit, dan keheningan hutan terasa menenangkan setelah hari yang penuh dengan pertempuran. Arjuna sedang memeriksa luka di lengannya, sementara Livia duduk di sampingnya, tampak cemas. “Luka itu tidak terlalu dalam, kan?” tanya Livia, suaranya dipenuhi kekhawatiran. Arjuna tersenyum menenangkan. “Hanya goresan kecil. Aku sudah terbiasa dengan hal seperti ini.” Pak Budi yang duduk tak jauh dari mereka mengangguk. “Tubuhmu mungkin kuat, tapi hati-hati, Arjuna. Luka kecil bisa menjadi masalah besar jika kau mengabaikannya.” Sun Wukong yang sedang membersihkan tongkat emasnya tertawa kecil. “Semar benar, meskipun aku rasa kau cukup keras kepala untuk tidak mendengarkannya.” Livia menghela napas, lalu menoleh ke Arjuna. “Kau harus lebih berhati-hati. Aku tidak tahu apa yang akan kulaku