Share

Part 2. Godaan pelakor

Dasar jalang, apa kamu sengaja ingin menggoda suamiku, Hah?" bentak Amiera.

Luna terlihat cuek, dia berdiri dan hendak pergi. Tapi tangannya di cekal oleh Amiera. 

"Kenapa kamu tidak menjawab, apa kamu bisu?" 

"Aku kemari hanya ingin mengantarkan kopi. Apa itu salah, bukankah seharusnya kamu berterima kasih karena sudah  melakukan tugasmu?” Luna tersenyum sinis dan melepaskan tangan Amiera dari lengannya. Dia seolah tak peduli dengan kemarahan wanita itu.

"Mengantarkan kopi, dengan pakaian seperti ini?" Amiera menarik baju Luna dan tersenyum sinis.

"Apa salahnya dengan bajuku, bukankah aku sangat cantik dengan baju ini. Iyakan, Mas?" Lina mendekati Bagus dan tersenyum. Membuat pria itu terpesona.

"Iya, kamu sangat cantik," jawab Bagas tanpa sadar. 

"Brengsek, kamu memang lelaki brengsek." Amiera marah mendengar jawaban suaminya, dia pun berlari keluar dari ruangan itu dan menabrak Luna kasar. 

Luna pun hampir saja jatuh, tapi tubuh wanita itu segera di tangkap oleh Bagas. Adegan itu semakin membuat Amiera marah, tapi justru menjadikan Bagas semakin tak bisa menahan hasratnya.

 Dia menatap bibir merah Luna, dengan naluri kelelakiannya dia justru membayangalan  melumat bibir seksi itu. 

Bagas pun terlena dalam lamunanya, hingga dia dikejutkan dengan sebuah Vas bunga yang melayang ke arahnya. Untung saja dia sempat menghindar, kalau tidak kepalanya pasti terluka terkena Vas bunga tersebut.

Prang

Vas bunga itu jatuh ke lantai. Bagas pun segera menjauhkan tubuhnya dari Luna. Sementara Luna sendiri hanya tersenyum.

"Kalian berdua memang sama-sama biadab. Tidak tahu diri." Amiera mengamuk, dia melempar apapun yang ada di dekatnya, membuat Luna ketakutan dan segera berlari menuju kamarnya. Sedangkan Bagas, dia sibuk mencari celah untuk menenangkan sang istri. 

"Tenanglah, Ra. Aku tadi hanya khilaf sesaat, aku janji hal itu tidak akan terulang lagi." Bagas segera memeluk istrinya, dia tahu benar bagaimana caranya menenangkan wanita itu.

"Khilaf katamu, Mas. Di depanku saja kamu hampir menciumnya, apalagi di belakangku. Aku tidak tahu apa yang sudah kalian lakukan," ucap Amiera Sambil menangis tersedu.

"Maafkan aku, sungguh ini adalah kali pertama dan terakhir aku melakukan itu. Aku janji." Bagas mengangkat dua jarinya dan menatap Amiera dengan penuh kesungguhan, membuat wanita itu luluh.

"Tapi rasa sakit ini tidak akan semudah itu hilang, Mas. Aku tidak akan pernah memaafkanmu jika kamu tidak mengusir wanita itu dari sini. Jelas dia tadi sedang merayumu," ucap Amiera.

"Aku janji tidak akan dekat-dekat dengannya. Tapi aku tidak bisa mengusirnya dari sini. Besok Ibu akan datang, jika kita mengusirnya, pasti Ibu akan marah padamu.”

"Tapi, Mas. Dia merayumu, bahkan kamu sudah masuk kedalam rayuannya. Seandainya tidak ada aku, pasti kamu dan dia sudah ...

Amiera tidak berani meneruskan kalimatnya. Dia bahkan tidak berani membayangkan apa yang terjadi jika tadi dia tidak datang. 

"Percayalah padaku, Mas pasti akan membentengi diri. Hanya kamu yang ada di hatiku, hanya kamu dan anak kita." Bagas mencium kening istrinya, dia pun menggendong Amiera dan membawanya ke kamar. Setelah itu, dia melakukan hubungan suami istri, hanya saja bayangan tubuh Luna selalu terlintas di mata Bagas. Bahkan saat berhubungan dengan sang istri, lelaki itu membayangkan jika yang sedang dia gagahi adalah Luna.

"Mas, apa sebenarnya  kamu lupa hari ini hari apa?" tanya Amiera saat mereka selesai melakukan hubungan suami istri.

Bagas terdiam, dia memang lupa. Tapi dia berpura-pura tenang agar istrinya tidak tahu.

"Hari ini hari, Jum'at. Memangnya kenapa?" tanya Bagas.

Amiera menghela nafas panjang. Dia sudah menduga jika suaminya lupa tentang hari ulang tahun pernikahan mereka. Karena setiap tahun, pria itu memang tidak pernah mengingatnya. Bahkan ulang tahun dia dan anaknya saja tak pernah ingat. 

"Hari ini ulang tahun pernikahan kita, Mas. Tapi kamu malah membawa wanita lain ke rumah." 

Bagas terdiam, memikirkan alasan agar istrinya tidak marah.

"Maafkan aku, Dek. Kamu tahu sendiri kan kalau suamimu ini sangat sibuk. Jangankan ulang tahun pernikahan, ulang tahuku sendiri saja aku tak ingat," ucap Bagas sambil mengusap rambut sang istri.

"Padahal aku sengaja menitipkan Amel ke rumah Ibu, biar kita ada waktu berdua. Tapi kamu malah bawa wanita itu kemari." 

"Maaf, Dek. Tapi jangan ungkit lagi soal Luna. Sungguh aku dan dia tidak memiliki hubungan apapun. Aku melakukannya demi Ibu." Bagas menatap wajah sang istri, merayu agar wanita itu tidak lagi marah padanya.

Menghadapi sikap lembut sang suami, Amiera pun luluh. Wanita itu tersenyum bahagia dan terlelap dalam pelukan sang suami. Dia tidak tahu jika dalam otak suaminya saat ini dipenuhi dengan bayangan wanita seksi yang tadi hampir saja dia cium. 

Pagi harinya, Amiera bangun dan menyiapkan sarapan untuk sang suami. Hari ini dia membuat masakan spesial kesukaan Bagas. Ada sup ayam, perkedel kentang dan sambal terasi. 

"Wah, mbak Amiera rajin sekali. Pagi-pagi sudah memasak, seperti pembantu saja," ucap Luna langsung duduk di meja makan. 

"Aku adalah seorang istri, tentu sudah menjadi tugasku untuk masak untuk suami," jawab Amiera ketus.

"Apa bedanya dengan pembantu?" Luna terkekeh sinis sambil mengambil perkedel yang ada di atas piring.

"Banyak perbedaannya, tapi wanita sepertimu tidak akan pernah mengerti. Soalnya yang kamu besarkan hanya dadamu saja. Otakmu tidak bekerja."  Amiera kesal, dia menaruh gelas di atas meja dengan kasar. Hal itu mengundang perhatian Bagas yang baru saja datang.

"Ada apa sih, kenapa pagi-pagi sudah marah?" tanya Bagas sambil melirik ke arah Luna.

"Wanita ini mengataiku seperti pembantu, bagaimana aku tidak marah?" Amiera menunjuk ke arah Luna, dia berharap suaminya akan membelanya. 

"Sudahlah, tidak baik ribut pagi-pagi. Aku yakin Luna juga tidak bermaksud begitu. Lebih baik kita duduk dan makan!" 

Bagas menarik tangan istrinya untuk duduk di kursi yang ada di sampingnya. Tapi dia tetap melirik ke arah Luna yang terlihat santai, seolah dia tidak peduli dengan apa yang dikatakan Amiera. Dalam hati dia terus memuji kecantikan wanita itu.

"Mas Bagas benar, lebih baik makan daripada ngomel gak jelas." Luna mengambil piring Bagas dan menuangkan nasi, dia juga menambahkan lauk di atas piring. 

"Lancang sekali kamu, aku ada di sini dan kamu mengambilkan suamiku nasi?" Amiera berdiri dan hendak mendekati Luna, tapi tangannya di cekal oleh Bagas. 

"Sudahlah, hanya masalah kecil. Jangan di perpanjang!" ucap Bagas. 

Amiera diam, tapi dia mengambil piring yang ada di depan suaminya. Wanita itu membuang makanan yang ada dalam piring itu ke tempat sampah.

"Apa yang kamu lakukan?" tanya Bagas bingung.

"Aku akan mengambilkan makanan baru untukmu. Makanan tadi sudah terkontaminasi dengan racun," ucap Amiera lalu mengambil nasi dan lauk pauk untuk suaminya.

"Apa maksudmu. Apa kamu kira aku akan meracuni Mas Bagas?" Luna tentu saja tidak terima, kali ini dia terpancing dan dibuat kesal oleh perkataan Amiera. 

"Ya, kamu itu adalah racun. 

Seharusnya kamu tidak datang kemari," jawab Amiera dengan santai, dia senang karena sudah membalas perlakuan tidak sopan dari Luna. 

"Mas, kalau memang istrimu tidak suka aku di sini. Lebih baik aku pergi, aku tidak akan tahan jika dia terus menghinaku." Luna berdiri dan hendak pergi, tapi tangannya langsung di cekal oleh Bagas. 

"Sudahlah, Amiera tidak bermaksud seperti itu. Dia hanya tidak terbiasa saja denganmu," ucap Bagas. 

"Aku tidak akan terbiasa, Mas." Amiera tidak mau kalah, dia juga menunjukkan sikap yang tak bersahabat. Hal itu membuat Bagas pusing harus bagaimana. 

"Kalau kamu tidak akan terbiasa, maka lebih baik kamu saja yang pergi dari rumah ini. Biarkan Bagas tinggal di sini dengan Luna!" Tiba-tiba mertua Amiera muncul dan langsung menatap Amiera tajam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status