Dasar jalang, apa kamu sengaja ingin menggoda suamiku, Hah?" bentak Amiera.
Luna terlihat cuek, dia berdiri dan hendak pergi. Tapi tangannya di cekal oleh Amiera.
"Kenapa kamu tidak menjawab, apa kamu bisu?"
"Aku kemari hanya ingin mengantarkan kopi. Apa itu salah, bukankah seharusnya kamu berterima kasih karena sudah melakukan tugasmu?” Luna tersenyum sinis dan melepaskan tangan Amiera dari lengannya. Dia seolah tak peduli dengan kemarahan wanita itu.
"Mengantarkan kopi, dengan pakaian seperti ini?" Amiera menarik baju Luna dan tersenyum sinis.
"Apa salahnya dengan bajuku, bukankah aku sangat cantik dengan baju ini. Iyakan, Mas?" Lina mendekati Bagus dan tersenyum. Membuat pria itu terpesona.
"Iya, kamu sangat cantik," jawab Bagas tanpa sadar.
"Brengsek, kamu memang lelaki brengsek." Amiera marah mendengar jawaban suaminya, dia pun berlari keluar dari ruangan itu dan menabrak Luna kasar.
Luna pun hampir saja jatuh, tapi tubuh wanita itu segera di tangkap oleh Bagas. Adegan itu semakin membuat Amiera marah, tapi justru menjadikan Bagas semakin tak bisa menahan hasratnya.
Dia menatap bibir merah Luna, dengan naluri kelelakiannya dia justru membayangalan melumat bibir seksi itu.
Bagas pun terlena dalam lamunanya, hingga dia dikejutkan dengan sebuah Vas bunga yang melayang ke arahnya. Untung saja dia sempat menghindar, kalau tidak kepalanya pasti terluka terkena Vas bunga tersebut.
Prang
Vas bunga itu jatuh ke lantai. Bagas pun segera menjauhkan tubuhnya dari Luna. Sementara Luna sendiri hanya tersenyum.
"Kalian berdua memang sama-sama biadab. Tidak tahu diri." Amiera mengamuk, dia melempar apapun yang ada di dekatnya, membuat Luna ketakutan dan segera berlari menuju kamarnya. Sedangkan Bagas, dia sibuk mencari celah untuk menenangkan sang istri.
"Tenanglah, Ra. Aku tadi hanya khilaf sesaat, aku janji hal itu tidak akan terulang lagi." Bagas segera memeluk istrinya, dia tahu benar bagaimana caranya menenangkan wanita itu.
"Khilaf katamu, Mas. Di depanku saja kamu hampir menciumnya, apalagi di belakangku. Aku tidak tahu apa yang sudah kalian lakukan," ucap Amiera Sambil menangis tersedu.
"Maafkan aku, sungguh ini adalah kali pertama dan terakhir aku melakukan itu. Aku janji." Bagas mengangkat dua jarinya dan menatap Amiera dengan penuh kesungguhan, membuat wanita itu luluh.
"Tapi rasa sakit ini tidak akan semudah itu hilang, Mas. Aku tidak akan pernah memaafkanmu jika kamu tidak mengusir wanita itu dari sini. Jelas dia tadi sedang merayumu," ucap Amiera.
"Aku janji tidak akan dekat-dekat dengannya. Tapi aku tidak bisa mengusirnya dari sini. Besok Ibu akan datang, jika kita mengusirnya, pasti Ibu akan marah padamu.”
"Tapi, Mas. Dia merayumu, bahkan kamu sudah masuk kedalam rayuannya. Seandainya tidak ada aku, pasti kamu dan dia sudah ...
Amiera tidak berani meneruskan kalimatnya. Dia bahkan tidak berani membayangkan apa yang terjadi jika tadi dia tidak datang.
"Percayalah padaku, Mas pasti akan membentengi diri. Hanya kamu yang ada di hatiku, hanya kamu dan anak kita." Bagas mencium kening istrinya, dia pun menggendong Amiera dan membawanya ke kamar. Setelah itu, dia melakukan hubungan suami istri, hanya saja bayangan tubuh Luna selalu terlintas di mata Bagas. Bahkan saat berhubungan dengan sang istri, lelaki itu membayangkan jika yang sedang dia gagahi adalah Luna.
"Mas, apa sebenarnya kamu lupa hari ini hari apa?" tanya Amiera saat mereka selesai melakukan hubungan suami istri.
Bagas terdiam, dia memang lupa. Tapi dia berpura-pura tenang agar istrinya tidak tahu.
"Hari ini hari, Jum'at. Memangnya kenapa?" tanya Bagas.
Amiera menghela nafas panjang. Dia sudah menduga jika suaminya lupa tentang hari ulang tahun pernikahan mereka. Karena setiap tahun, pria itu memang tidak pernah mengingatnya. Bahkan ulang tahun dia dan anaknya saja tak pernah ingat.
"Hari ini ulang tahun pernikahan kita, Mas. Tapi kamu malah membawa wanita lain ke rumah."
Bagas terdiam, memikirkan alasan agar istrinya tidak marah.
"Maafkan aku, Dek. Kamu tahu sendiri kan kalau suamimu ini sangat sibuk. Jangankan ulang tahun pernikahan, ulang tahuku sendiri saja aku tak ingat," ucap Bagas sambil mengusap rambut sang istri.
"Padahal aku sengaja menitipkan Amel ke rumah Ibu, biar kita ada waktu berdua. Tapi kamu malah bawa wanita itu kemari."
"Maaf, Dek. Tapi jangan ungkit lagi soal Luna. Sungguh aku dan dia tidak memiliki hubungan apapun. Aku melakukannya demi Ibu." Bagas menatap wajah sang istri, merayu agar wanita itu tidak lagi marah padanya.
Menghadapi sikap lembut sang suami, Amiera pun luluh. Wanita itu tersenyum bahagia dan terlelap dalam pelukan sang suami. Dia tidak tahu jika dalam otak suaminya saat ini dipenuhi dengan bayangan wanita seksi yang tadi hampir saja dia cium.
Pagi harinya, Amiera bangun dan menyiapkan sarapan untuk sang suami. Hari ini dia membuat masakan spesial kesukaan Bagas. Ada sup ayam, perkedel kentang dan sambal terasi.
"Wah, mbak Amiera rajin sekali. Pagi-pagi sudah memasak, seperti pembantu saja," ucap Luna langsung duduk di meja makan.
"Aku adalah seorang istri, tentu sudah menjadi tugasku untuk masak untuk suami," jawab Amiera ketus.
"Apa bedanya dengan pembantu?" Luna terkekeh sinis sambil mengambil perkedel yang ada di atas piring.
"Banyak perbedaannya, tapi wanita sepertimu tidak akan pernah mengerti. Soalnya yang kamu besarkan hanya dadamu saja. Otakmu tidak bekerja." Amiera kesal, dia menaruh gelas di atas meja dengan kasar. Hal itu mengundang perhatian Bagas yang baru saja datang.
"Ada apa sih, kenapa pagi-pagi sudah marah?" tanya Bagas sambil melirik ke arah Luna.
"Wanita ini mengataiku seperti pembantu, bagaimana aku tidak marah?" Amiera menunjuk ke arah Luna, dia berharap suaminya akan membelanya.
"Sudahlah, tidak baik ribut pagi-pagi. Aku yakin Luna juga tidak bermaksud begitu. Lebih baik kita duduk dan makan!"
Bagas menarik tangan istrinya untuk duduk di kursi yang ada di sampingnya. Tapi dia tetap melirik ke arah Luna yang terlihat santai, seolah dia tidak peduli dengan apa yang dikatakan Amiera. Dalam hati dia terus memuji kecantikan wanita itu.
"Mas Bagas benar, lebih baik makan daripada ngomel gak jelas." Luna mengambil piring Bagas dan menuangkan nasi, dia juga menambahkan lauk di atas piring.
"Lancang sekali kamu, aku ada di sini dan kamu mengambilkan suamiku nasi?" Amiera berdiri dan hendak mendekati Luna, tapi tangannya di cekal oleh Bagas.
"Sudahlah, hanya masalah kecil. Jangan di perpanjang!" ucap Bagas.
Amiera diam, tapi dia mengambil piring yang ada di depan suaminya. Wanita itu membuang makanan yang ada dalam piring itu ke tempat sampah.
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Bagas bingung.
"Aku akan mengambilkan makanan baru untukmu. Makanan tadi sudah terkontaminasi dengan racun," ucap Amiera lalu mengambil nasi dan lauk pauk untuk suaminya.
"Apa maksudmu. Apa kamu kira aku akan meracuni Mas Bagas?" Luna tentu saja tidak terima, kali ini dia terpancing dan dibuat kesal oleh perkataan Amiera.
"Ya, kamu itu adalah racun.
Seharusnya kamu tidak datang kemari," jawab Amiera dengan santai, dia senang karena sudah membalas perlakuan tidak sopan dari Luna.
"Mas, kalau memang istrimu tidak suka aku di sini. Lebih baik aku pergi, aku tidak akan tahan jika dia terus menghinaku." Luna berdiri dan hendak pergi, tapi tangannya langsung di cekal oleh Bagas.
"Sudahlah, Amiera tidak bermaksud seperti itu. Dia hanya tidak terbiasa saja denganmu," ucap Bagas.
"Aku tidak akan terbiasa, Mas." Amiera tidak mau kalah, dia juga menunjukkan sikap yang tak bersahabat. Hal itu membuat Bagas pusing harus bagaimana.
"Kalau kamu tidak akan terbiasa, maka lebih baik kamu saja yang pergi dari rumah ini. Biarkan Bagas tinggal di sini dengan Luna!" Tiba-tiba mertua Amiera muncul dan langsung menatap Amiera tajam.
Ibu ... Amiera terlihat panik dengan kedatangan mertuanya yang tiba-tiba. Wanita itu segera berdiri dan menghampiri mertuanya, meraih tangan wanita tua itu dan hendak mengajaknya untuk duduk, tapi dengan cepat wanita tua itu melepaskan tangannya. Bahkan wanita itu langsung menghampiri Luna dan mengabaikan menantunya. "Nak, apa wanita itu menyakitimu?" tanya Ibu Bagas langsung memeluk Luna. "Sepertinya dia tidak menyukaiku, Tante," jawab Luna dengan nada manja. "Tidak penting dia menyukaimu atau tidak. Dia tidak memiliki hak apapun di rumah ini. Jadi kamu tidak usah pedulikan sikapnya." Ibu Bagas melepaskan pelukannya, dia lalu meminta Luna kembali duduk. Bahkan kali ini, Wanita itu meminta Luna duduk di samping anaknya. "Kenapa kamu masih berdiri di situ, cepat duduk dan makan. Mulai hari ini Luna adalah tamu di rumah ini, kamu harus memperlakukannya dengan baik." Ibu Bagas membentak Amiera yang masih terpaku. Dia mengisyaratkan menantunya itu untuk duduk di sampingnya. Amier
Dengan tergesa Bu Ranti memasuki kantor menantunya. Dia tidak memperdulikan apa yang dikatakan salah seorang karyawan jika Bagas saat ini sedang ada tamu. Wanita itu masuk ke dalam ruangan Bagas tanpa mengetuk pintu. Tak hanya Bagas yang terkejut, Bu Ranti juga dibuat shock dengan pemandangan yang ada di depannya. Bagaimana tidak, saat ini dia sedang melihat menantunya memangku seorang wanita cantik di atas kursi kerjanya. "Apa yang sedang kalian lakukan?" Bagas segera mendorong tubuh Luna, dia berdiri dan berjalan mendekati mertuanya. "Semuanya tidak seperti yang Ibu lihat. Tadi dia hampir jatuh dan Saya menolongnya." Bagas terlihat gugup, sedangkan Luna hanya diam dan bersikap santai seolah tidak ada yang terjadi. "Mataku tidak buta, jadi jangan membohongiku." Bu Ranti mendekati Luna, dia menarik lengan wanita itu. "Keluar dari sini. Jangan mengganggu suami orang lagi, dasar jalang!" "Aku tidak akan pergi, Tante. Karena ku bekerja di sini." Luna melepaskan tangannya dari c
Sepanjang perjalanan ke rumah Ibunya, Ameira terlihat gelisah. Tadi Karin mengirim pesan padanya dan mengatakan jika Ibunya datang ke kantor Bagas. Jadi sekarang dia merasa khawatir, takut Ibunya terlampau marah dan mempengaruhi kesehatannya. Memang sudah beberapa bulan ini kesehatan Bu Ranti menurun. Dokter mengatakan Jika Ibu Amiera itu mengalami komplikasi darah tinggi dan lambung akut. Sampai di depan rumah sang ibu, Amiera pun segera menuju pintu. Wanita itu semakin terlihat khawatir saat pintu terkunci dari dalam dan sang Ibu tak kunjung membukakan pintu."Bu, buka pintunya. Ini Amiera.” Amiera terus mengetuk pintu dengan wajah panik. Wanita cantik bertubuh langsing itu mengintip dari jendela, matanya terbelalak saat melihat Ibunya tergeletak di lantai. Dia pun berteriak, meminta tolong pada warga agar membuka pintu rumahnya dengan paksa. Tak lama, pintu terbuka dan Bu Ranti langsung di bawa ke rumah sakit. Amiera hanya bisa menangis dan memanggil sang Ibu. Dalam hati dia ha
Dengan tergesa Bagas mengemas pakaian ke dalam koper. Wajah panik terlihat jelas, dia pun buru-buru menyeret koper keluar rumah."Mau kemana kamu, Nak?" tanya Ibu Bagas saat melihat anaknya memasukkan koper ke dalam mobil."Aku ada kerjaan keluar kota, Bu." Bagas langsung naik ke dalam mobil tanpa peduli pada tatapan sang ibu."Keluar kota dengan siapa. Kenapa kamu tidak mengajak Luna?" Ibu Bagas menahan pintu mobil dan menatap putranya."Bu, ini urusan kantor. Untuk apa aku harus mengajak Luna. Lagipula, ini tidak ada hubungannya dengan dia." "Dia kan bisa bantu kamu nanti." ibu Bagas seolah ingin memaksa anaknya untuk mengajak Luna."Bu, tolong jangan buat urusan semakin runyam. Aku terburu-buru.” Bagas memalingkan wajahnya, berharap Ibunya tahu jika dia tidak bisa memenuhi keinginan sang Ibu.Ibu Bagas menghela nafas panjang dan menutup pintu mobil dengan kesal. Sedangkan Bagas, dia langsung menghidupkan mesin mobilnya dan segera pergi. "Ada apa, Tante. Kenapa terlihat kesal be
"Jangan menangis, Ra. Jangan berpikir yang terlalu jauh." Satria mendekati Amiera yang terus menangis. Berusaha menghibur wanita itu agar tidak terlalu memikirkan apa yang tadi dia dengar. "Aku kehilangan orang tuaku. Tapi di luaran sana suamiku entah bersama dengan wanita mana." Satria menghela nafas panjang. Jujur dalam hati dia juga kesal dengan apa yang tadi dia dengar. "Tunggu saja sampai suamimu pulang, tanyakan padanya baik-baik," ucap Satria.Amiera mengusap air matanya. Wanita itu bangkit dan menatap Satria."Terimakasih untuk hari ini. Kamu sudah banyak membantuku," "Tidak perlu berterimakasih, aku senang melakukan ini untukmu." Satria tersenyum, hatinya merasa sangat bahagia di tatap oleh wanita yang selalu dia kagumi semenjak SMA."Tapi setelah ini, tolong jangan menemui ku lagi. Aku tidak mau orang berpikir macam-macam tentang kita," ucap Amiera.Satria terpaku sesaat. Kata-kata yang di ucapkan Amiera sedikit menyinggung perasaannya, tapi lelaki itu tetap berusaha te
Karin membawa Amel kekamar Amiera. Wanita itu langsung meletakkan Amel yang sedang tidur di atas ranjang. Amiera hanya diam, wanita itu menatap sahabatnya lekat. “Kamu kenapa, Ra. Kenapa menatapku begitu?” “Tidak ada, aku hanya merasa sangat beruntung karena memiliki sahabat yang sangat baik dan pengertian sepertimu.” Amiera berjalan mendekati ranjang, menatap sendu ke arah putrinya dan mengusap kepalanya dengan lembut. “Lebih baik kamu istirahat. Hari sudah larut” ucap Karin lalu membalikkan badan dan hendak pergi. “Rin. Jika aku pernah memiliki salah, tolong maafkanlah.” Amiera menatap punggung sahabatnya, mata wanita itu terlihat berkaca-kaca. Karin tampak bingung. “Apa di antara kita ada masalah, Ra?” Karin kembali mendekati Amiera dan menatap sahabatnya lekat. Hati wanita itu mulai tidak tenang. “Aku tidak merasa ada masalah, aku hanya takut kamu yang memilikinya,” jawab Amiera. Karin semakin bingung. Dia terus menatap sahabatnya dengan segudang tanya dalam hat
Part 9. Rayuan sang pelakor bayaran“Ibu akan tahu nanti,” jawab Bagas lalu beranjak pergi dengan cepat. Tidak peduli dengan Ibunya yang terus memanggilnya. Luna yang dari tadi bersembunyi di kamar mandi pun muncul dan mendekati Ibu Bagas. “Sudahlah, Tante. Jangan paksa Mas Bagas. Aku mungkin tidak cukup baik untuknya.” Luna menundukkan wajahnya, berpura-pura sedih dengan apa yang terjadi.Ibu Bagas bangkit dan mendekati Luna. Dia menggenggam tangan wanita itu dan berusaha untuk menghiburnya.“Kamu tidak usah khawatir. Siapapun wanita itu, dia tidak akan berhasil menikah dengan Bagas.”“Tapi Tante sudah dengar sendiri kalau Mas Bagas tidak akan menikah denganku, tapi dengan wanita lain.” Luna kembali menunjukkan wajah menyedihkan di depan Ibu Bagas, bahkan kali ini dia mengeluarkan airmata buayanya.“Aku tidak akan setuju. Bahas pasti akan menurut,” ucap Ibu Bagas tegas. Meyakinkan Luna hingga wanita itu pun diam-diam tersenyum. “Semoga saja Mas Bagas mendengarkan Tante.” Luna pun
Amiera sedang menyuapi anaknya sarapan. Dari pagi Amel terus merengek ingin bertemu dengan ayahnya. Tapi sudah berkali-kali di telepon, Bagas tidak mengangkatnya. Selain merasa kesal, Amiera juga kecewa. “Makanlah yang banyak, Nak.” Amiera terus membujuk putrinya. Tapi gadis kecil itu justru menutup mulut dengan kedua tangan mungilnya. “Eh, kenapa gadis cantik Paman gak mau makan?” Tiba- tiba Satria datang dan langsung duduk di samping Amel. “Gak mau makan, maunya Ayah,” ucap Amel dengan suara serak menahan tangisnya. Satria melihat ke arah Ameira sekilas. Dia mengambil alib makanan yang ada di tangan Amiera. “Makan dulu, ya. Nanti Paman kasih kamu hadiah,” bujuknya. Wajah Amel berubah ceria. Dia langsung membuka mulutnya. Satria menyuapi Amel hingga nasi yang ada di piring hampir habis, itu membuat Amiera berkaca-kaca. Seandainya, jika lelaki yabg begitu perhatian pada Amel itu adalah suaminya, dia pasti akan sangat bahagia. “Apa yang kamu lihat, Ra?” Satri
Bagas mondar mandir di depan ruang ICU. Karin yang duduk di bangku pun menatap pria itu tidak suka.“Apa kamu sangat menyayangi anak dalam kandungan pelacur itu?” tanya Karin dengan nada sinis.Bagas menatap Karin tidak suka. “Kamu seorang wanita, seandainya ini terjadi padamu, bagaimana rasanya?”“Oh, jadi sekarang kamu membandingkan dia dengan aku. Apa dia pantas? Dia hanya wanita yang aku bayar untuk membuat Amiera pisah denganmu,” ucap Karin dengan mata berkaca-kaca.Bagas terpaku saat melihat mata Karin berkaca-kaca. “Aku tak bermaksud begitu, Rin. Aku hanya ingin semuanya berjalan dengan baik.” “Jadi kamu tidak ingin meninggalkan wanita itu?” tanya Karin dengan tatapan nanar.Bagas kembali terdiam. Kebimbangan kembali menghampirinya.Melihat Bagas hanya diam, Karin mengusap air mata yang mulai mengalir di pipinya. “Baik, jika memang kamu tidak akan meninggalkan wanita itu, maka aku yang akan pergi.” Karin membalikkan badan dan beranjak pergi.Melihat Karin menjauh, hati Bagas
“Terima kasih sudah membelaku,” ucap Amiera saat mereka sudah berada dalam mobil. “Tidak usah berterima kasih, kamu adalah calon istriku, sudah sewajarnya aku bela.” Satria tersenyum manis, dia mencondongkan tubuhnya ke arah Amiera dan membuat wanita itu terkejut dan salah tingkah.“Apa yang ingin kamu lakukan?” tanya Amiera dengan jantung yang berdegup kencang.q“Memakaikan sabuk pengaman,” ucap Satria sambil tersenyum.Amiera terdiam, dia mengira jika pria itu akan menciumnya, pipinya pun memerah.Satria menyalakan mobil dan segera mengantar Amiera pulang. Sedangkan Amiera, dia hanya diam sepanjang perjalanan. “Ra, bisakah kita menikah secepatnya?” tanya Satria saat Amiera akan turun dari mobilnya.“Apakah harus terburu-buru?” tanya Amiera sambil menundukkan kepala.“Aku takut kamu akan berubah pikiran dan meninggalkan aku.”Satria menatap wajah Amiera lekat, terlihat banyak harapan di wajah pria itu.“Tenanglah, aku bukanlah orang yang gampang berubah pikiran.” Amiera melepaska
Bagas berjalan keluar dari rumah Karin, pria itu mengusap wajahnya kasar. Dia bingung harus melakukan apa. Saat ini dia tidak ingin kehilangan Karin, tapi dia juga tidak mau menggugurkan anak yang dikandung Luna. Dengan enggan dia masuk ke dalam mobil dan menyalakannya. Dia tak ingin pulang, belum sanggup untuk menghadapi Luna dan juga Ibunya. Ada sedikit rasa bersalah dalam diri pria itu pada Luna. Meski tak ada perasaan apapun pada wanita itu, tapi dia pernah tidur dengannya dua kali. Mungkin perasaan tidak ada, tapi bayi dalam kandungan itu adalah darah dagingnya.Titt …Hampir saja Bagas menabrak pejalan kaki yang sedang menyeberang. Membuat pria itu terkejut dan ngerem mendadak.“Apa kamu buta, gak lihat kalau lampu merah?” bentak wanita yang hampir saja dia tabrak.“Kamu yang jalan sembarangan.” Bagas turun dari mobil dan menyeret wanita itu ke tepi jalan dengan kasar.“Dasar pria bajingan.” Wanita itu mendorong Bagas dengan sekuat tenaga, membuat Bagas emosi. “Katakan siapa
Seminggu sudah berlalu, hari ini adalah hari di mana Bagas dan Luna menikah. Kediaman Bu Hera tampak ramai, karena mereka melaksanakan akad nikah di rumah.“Akhirnya kamu akan resmi menjadi bagian keluarga ini,” ucap Bu Hera sambil mengusap rambut Luna lembut. “Semua ini berkat kerja keras Ibu,” ucap Luna sambil bergelut manja di lengan Bu Hera.“Apapun keinginanmu, Ibu pasti akan berusaha untuk kabulkan.” Bu Hera tersenyum senang, dia pun membawa Luna untuk turun untuk melakukan ijab qabul.“Apa ijab qabul sudah bisa dimulai?” tanya penghulu pada Bagas.Bagas tidak menjawab, pria itu justru melamun. Entah apa yang saat ini dia pikirkan. “Pak, apakah sudah siap ijab?” penghulu kembali mengulangi pertanyaannya. “Sebentar, Pak.” Bagas berdiri dan meninggalkan ruangan itu, dia mengeluarkan ponsel dari sakunya dan menelepon seseorang. “Siapa yang kamu telepon?” tiba-tiba Bu Hera muncul di belakang Bagas.“Bu,kenapa kamu ada di sini?” Bagas terkejut dan langsung mematikan ponselnya.“
Bagas membuka matanya pelan, pria itu memegangi kepalanya. Matanya berbinar saat melihat ada Ameira di sana. ‘Ra, kamu disini?” Bagas langsung ingin memeluk Amiera, tapi wanita itu langsung menghindar. “Kalau kamu sudah sembuh, lebih baik kamu segera pulang. Ibu dan dua kekasihmu pasti kebingungan mencari,” ucap Amiera.Bagas terdiam “Kepalaku masih pusing,” ucapnya sambil memegang kepalanya. Bagas pun melihat ke arah lain, di sana dia melihat ada Satria. Wajah yang tadinya berbinar pun berubah kesal.“Kenapa kamu ada disini?” tanya Bagas sedikit ketus.“Seharusnya aku yang bertanya, kenapa kamu bisa ada di rumah orang tuaku?” Satria berdiri dan mendekat ke tempat tidur. “Orang tuamu?” Bagas terkejut, dia melihat ke arah Amiera, seolah ingin meminta wanita itu memberikan jawaban yang benar.Satria hanya mendengus kasar, kesal karena Bagas melihat ke arah wanita yang dia cintai. “Tidak usah bertanya pada Amiera, tanya saja pada ayah dan Ibuku, mereka siap memberi jawaban yang ben
Semakin hari, hubungan Amiera dan Satria semakin dekat. Keduanya sering pergi bersama, baik itu bersama Amel atau hanya berdua saja.Kedekatan mereka tentu saja membuat Bagas kesal. Pria itu semakin menyesal karena telah menyia-nyiakan Amiera. Menyesal karena baru menyadari betapa dia mencintai ibu dari anaknya setelah dia benar-benar kehilangan. Seperti halnya hari ini. Bagas pulang bekerja dan ingin menemui Amel. Tapi saat sampai di rumah Amiera, pria itu justru melihat Amiera sedang duduk di teras rumah bersama dengan Satria dan Amel. Mereka bercanda tawa layaknya keluarga kecil yang bahagia.Tangan Bagas mengepal, menahan nyeri dalam hatinya. Akhirnya dia memutuskan untuk pergi. Dia mengemudi dengan kecepatan tinggi.Brak …Tanpa sengaja Bagas menabrak gerobak mie ayam yang tiba-tiba menyeberang. Kepala pria itu berdarah karena membentur setir. “Ahh..Bagas memegang kepalanya, pria itu turun dari mobil dengan menahan kesakitan. “Apa Bapak baik-baik saja?” tanya Bagas pada Bap
PrangBagas melempar vas bunga ke arah tembok. Pria itu benar-benar mengamuk setelah dia tahu jika Luna sengaja memberikan udang pada Amel dan itu adalah ide ibunya. Luna dan Bu Hera saling berpelukan. Selama ini, Bu Hera tidak pernah melihat anaknya semarah ini padanya. Dulu, semua yang dikatakan pria itu hanya menurut saja. Tapi sekarang semua kata-kata yang dia ucapkan sama sekali tidak di dengar oleh Bagas. “Kenapa Ibu tega melakukan ini, dia juga cucumu bukan?”“Dia bukan cucuku. Hanya anak yabg lahir dari rahim Luna lah yang aku akui sebagai cucu,” jawab Bu Hera.“Tapi Amel juga putrimu, Bu. Dalam dirinya mengalir darahku.” Bagas menatap sendu ibunya, seolah dia memohon pada wanita tua itu untuk memperlakukan Amel dengan baik.“Terserah, aku tidak peduli. Yang jelas cucuku hanya satu, yaitu anak dalam kandungan Luna. Jadi kaku harus segwra menikahinya.” Bu Hera menggandeng tangan Luna dan membawa wanita itu naik ke kamarnya. Sedangkan Bagas, pria itu hanya memijat kepalany
Bagas duduk di bangku yang ada di halaman rumah sakit. Pria itu merenungi apa yang dikatakan oleh mantan istrinya. Dia sadar jika selama ini dia tidak melaksanakan kewajiban sebagai Ayah ataupun suami. Rasa sesal yang mendalam dalam hati Bagas hanya bisa dia simpan. Karena semua itu kini tak ada gunanya lagi. Lelaki yang diinginkan Amiera untuk tetap disisinya bukan lagi dia. Ayah yang diinginkan oleh putrinya pun kini bukan lagi dirinya. Dalam kegundahan, dia dikejutkan dengan kedatangan Luna dan Ibunya. “Ngapain kamu di sini, Mas. Bagaimana keadaan amel?” tanya Luna.Bags menatap tidak suka pada dua wanita yang baru saja datang itu. “Untuk apa kalian kemari?” tanyanya. “Tentu saja kami ingin menjenguk Amel. Apakah dia baik-baika saja?” Luna langsung duduk di samping Bagas, wanita itu menggandeng lengan Bags manja. “Pulanglah, Amel sudah membaik,” ucap Bagas cuek. Bu Hera langsung melotot pada anaknya. Dia tidak terima calon menantu kesayangannya diperlakukan dingin seperti i
Amiera terus merapalkan do’a. Airmata wanita itu terus mengalir. Bagaimana tidak, sudah hampir 15 menit tapi dokter belum juga keluar. “Tenanglah, Amel anak yang kuat. Aku yakin dia akan baik-baik saja.” Satria mengusap punggung Amiera, menenangkan wanita itu agar tidak terlalu cemas. Padahal, dia sendiri sebenarnya juga sangat cemas.Meski bukan anak kandungnya, tapi Satria benar-benar sangat menyayangi gadis kecil itu. Amiera hanya bisa mengaggukkan kepala, menghela nafas dalam untuk menenangkan diri. “Dokter, bagaimana keadaan anakku?” tanya Amiera saat melihat dokter keluar.“Pasien sesak nafas karena alergi, tapi keadaannya sekarang sudah tidak apa-apa. Jangan khawatir.” Dokter itu langsung pergi setelah menjelaskan keadaan Amel.Amiera meneteskan airmata. Wanita itu merasa lega karena anaknya baik-baik saja. “Bukanlah Amel hanya alergi udang, kenapa dia bisa memakannya?” tahya Satria heran. Karena dia ataupun Ameira tentu tidak akan pernah memberikan udang pada anak itu. Am