Ibu ...
Amiera terlihat panik dengan kedatangan mertuanya yang tiba-tiba. Wanita itu segera berdiri dan menghampiri mertuanya, meraih tangan wanita tua itu dan hendak mengajaknya untuk duduk, tapi dengan cepat wanita tua itu melepaskan tangannya. Bahkan wanita itu langsung menghampiri Luna dan mengabaikan menantunya.
"Nak, apa wanita itu menyakitimu?" tanya Ibu Bagas langsung memeluk Luna.
"Sepertinya dia tidak menyukaiku, Tante," jawab Luna dengan nada manja.
"Tidak penting dia menyukaimu atau tidak. Dia tidak memiliki hak apapun di rumah ini. Jadi kamu tidak usah pedulikan sikapnya." Ibu Bagas melepaskan pelukannya, dia lalu meminta Luna kembali duduk. Bahkan kali ini, Wanita itu meminta Luna duduk di samping anaknya.
"Kenapa kamu masih berdiri di situ, cepat duduk dan makan. Mulai hari ini Luna adalah tamu di rumah ini, kamu harus memperlakukannya dengan baik." Ibu Bagas membentak Amiera yang masih terpaku. Dia mengisyaratkan menantunya itu untuk duduk di sampingnya.
Amiera hanya bisa menuruti. Dia tahu benar apa yang akan terjadi jika dia membantah. Tak hanya mertuanya yang akan bersikap kasar, tapi juga suaminya. Karena Bagas memang selalu menuruti apa yang di katakan oleh Ibunya.
Bagas dan Ibunya terus mengobrol dengan Luna sambil sarapan. Tapi mereka sama sekali tidak memperdulikan keberadaan Amiera di tempat itu. Hal itu membuat wanita itu merasa sedih. Dia tidak tahu apa salahnya hingga mertuanya tidak pernah menyukainya dari dulu.
Dulu dia mengira setelah ada Amel, mertuanya akan berubah. Tapi sayangnya itu hanyalah harapan yang sia-sia. Karena mertuanya juga sama sekali tidak pernah menyukai Amel. Bahkan menggendong cucunya pun dia tidak sudi.
"Cepat bereskan meja makan. Bagas dan aku akan mengajak Luna ke kantor." Ibu Bagas langsung berdiri dan menggandeng Luna. Di susul oleh Bagas.
"Mas ...
Amiera memanggil suaminya. Dia merasa harus membicarakan semuanya demi keutuhan rumah tangganya.
"Ada apa, Ra. Hari sudah siang, aku harus segera berangkat kerja.” Bagas membalikkan badan dan menatap istrinya.
"Apa Luna akan tinggal di sini. Apa dia tidak bisa ngontrak saja?" tanya Amiera sambil menatap wajah sang suami sendu. Harapan terakhirnya adalah sang suami, karena dia tidak akan bisa menentang keputusan mertuanya.
"Iya, tapi hanya sementara. Aku akan coba bujuk Ibu, jadi kamu gak usah khawatir," jawab Bagas sambil tersenyum. Meski sebenarnya dia sendiri juga tidak tahu sampai kapan Luna akan tetap tinggal di rumahnya, tapi dia berusaha menenangkan istrinya agar tidak terus merengek.
Amiera hanya mengangguk pelan, diiringi tatapannya yang sendu saat melihat ke arah Luna dan mertuanya.
Hati wanita itu terasa nyeri melihat pemandangan di depannya. Perlakuan mertuanya pada Luna berbeda sekali terhadapnya.
Amiera hanya bisa menatap kepergian mereka dengan hati pilu. Tanpa sadar air mata wanita itu menetes, tapi dia langsung mengusapnya. Dia tidak boleh menangis, hari ini dia akan datang ke rumah orang tuanya untuk menjemput sang putri. Jika dia terus menangis, ibunya pasti akan sangat khawatir.
"Kamu harus bisa bertahan. Semua ini demi putrimu," gumam Amiera lalu kembali masuk ke dalam rumah. Wanita itu berganti pakaian dan segera menyambar tas selempang kesayangannya. Dia sudah memesan taksi online, jadi tak butuh waktu lama untuk sampai di rumah Ibunya.
Kedatangan Amiera langsung di sambut senyum dari putrinya. Kaki kecil gadis itu berlari menghampiri Amiera.
"Ibu sudah datang," ucap gadis kecil itu dengan terbata.
"Apakah Amel sudah kangen Ibu?" Amel menggendong anaknya dan mencium pipi gembul gadis kecil itu berkali-kali.
Dengan manja Amel pun mengangguk dan meletakkan kepalanya dalam dada sang Ibu. Hal itu tentu saja mengundang senyum penuh bahagia bagi Amiera.
"Kenapa kamu begitu cepat menjemputnya. Apakah acara kalian sudah selesai?" tanya Bu Ranti, Ibu Amiera.
"Sudah, Bu. Lagipula, aku tidak tenang jauh dari Amel," ucap Amiera lalu duduk di sofa.
"Tapi kamu dan Bagas memang butuh waktu untuk berdua. Aku lihat dia tidak terlalu perhatian padamu," ucap Bu Ranti sambil menundukkan kepala. Sebagai seorang Ibu, dia bukan tidak prihatian dengan kehidupan anaknya.
ibu Amiera tahu benar jika anaknya selalu menahan rasa sakit hati selama ini. Dia tahu bagaimana perlakuan Ibu Bagas pada putrinya. Bahkan dia sempat bertengkar dan meminta Amiera untuk bercerai dari Bagas. Hanya saja, Amiera memang tidak pernah mau bercerai.
Amiera selalu berkata jika dia tidak mau Amel kehilangan sosok ayah. Padahal Bu Ranti tahu, Bagas sendiri tidak pernah meluangkan waktunya untuk Amel. Bahkan saat Amel sakitpun pria itu cuek dan lebih memilih kerjaannya.
"Ibu sudah terlalu sering membahas ini. Berkali-kali juga Amiera katakan, akan bertahan demi Amel. Meski itu sangat menyakitkan," ucap Amiera penuh keyakinan.
Ingin rasanya Amiera bercerita pada sang Ibu jika Bagas membawa wanita lain pulang ke rumah. Tapi dia juga tidak ingin membuat Ibunya semakin khawatir dan semakin membenci mertua dan juga suaminya.
"Kamu masih muda, Nak. Meski kita tidak kaya, tapi Ibu masih sanggup memberi makan kamu dan Amel. Rasanya Ibu tidak rela jika kamu di perlakukan tidak adil oleh mereka. Seolah kamu di sana adalah sebuah beban," ucap Bu Ranti sambil menatap sang cucu.
"Ibumu benar, Ra. Seharusnya kamu pergi saja dari rumah itu." Sebuah suara perempuan menyela, mengejutkan Amiera dan Bu Ranti.
"Karin ...
Amiera tersenyum melihat kedatangan sahabatnya. Tapi dalam hati dia juga takut jika Karin akan mengatakan pada Ibunya tentang Luna. Tadi malam, Amiera sempat bercerita tentang Luna pada sahabatnya itu.
"Iya, ini aku. Apa kamu baik-baik saja?" tanya Karin lalu ikut duduk di sofa. Dia menatap Amiera penuh selidik.
"Tentu aku baik-baik saja, memangnya apa yang akan terjadi?" jawab Amiera gugup.
Karin menghela nafas panjang.
"Kamu akan tinggal satu atap dengan wanita lain dan kamu masih bertanya apa yabg akan terkadi?" Karin melirik ke arah Bu Ranti saat mengatakan itu, sepetinya dia ingin Ibu sahabatnya tau tentang apa yang terjadi saat ini.
"Apa yang kamu katakan, wanita siapa yang kamu maksud?" tanya Bu Ranti.
"Menantumu itu membawa wanita lain tinggal di rumah, apa Amiera belum cerita pada Tante?" tanya Karin.
Bu Ranti terpaku, dadanya terasa sesak mendengar apa yang di ucapkan Karin. Wanita itu menatap putrinya yang terlihat gugup. Dari sikap Amiera dia tahu benar, jika apa yang di katakan oleh Karin adalah benar dan dia tidak perlu menanyakan itu pada anaknya.
"Nak, apakah kamu masih ingin bertahan?" tanya Bu Ranti sendu.
"Aku yakin Mas Bagas tidak akan melewati batas, Bu. Biarkan aku bertahan," jawab Amiera pelan.
Bu Ranti tersenyum getir.
"Sebagai seorang Ibu, aku akan mendukung semua keputusanmu. Tapi, jika Bagas melakukan hal yang keterlaluan, Ibu juga punya hak untuk melindungimu," ucap Bu Ranti.
"Baiklah, Bu. Aku akan bawa Amel pulang. Ibu juga tidak usah khawatir, Mas Bagas berjanji akan mencarikan wanita itu kontrakan segera." Amiera tersenyum dan berusaha untuk menenangkan Ibunya. Wanita itu memberi isyarat pada Karin untuk pergi bersamanya.
Bu Ranti hanya bisa menatap kepergian anaknya. Sebenarnya dia sama sekali tidak percaya dengan menantunya, jadi dia putuskan untuk menemui Bagas secepatnya.
Dengan tergesa Bu Ranti memasuki kantor menantunya. Dia tidak memperdulikan apa yang dikatakan salah seorang karyawan jika Bagas saat ini sedang ada tamu. Wanita itu masuk ke dalam ruangan Bagas tanpa mengetuk pintu.Tak hanya Bagas yang terkejut, Bu Ranti juga dibuat shock dengan pemandangan yang ada di depannya. Bagaimana tidak, saat ini dia sedang melihat menantunya memangku seorang wanita cantik di atas kursi kerjanya. "Apa yang sedang kalian lakukan?" Bagas segera mendorong tubuh Luna, dia berdiri dan berjalan mendekati mertuanya."Semuanya tidak seperti yang Ibu lihat. Tadi dia hampir jatuh dan Saya menolongnya."Bagas terlihat gugup, sedangkan Luna hanya diam dan bersikap santai seolah tidak ada yang terjadi."Mataku tidak buta, jadi jangan membohongiku." Bu Ranti mendekati Luna, dia menarik lengan wanita itu."Keluar dari sini. Jangan mengganggu suami orang lagi, dasar jalang!" "Aku tidak akan pergi, Tante. Karena ku bekerja di sini." Luna melepaskan tangannya dari cengkera
Sepanjang perjalanan ke rumah Ibunya, Ameira terlihat gelisah. Tadi Karin mengirim pesan padanya dan mengatakan jika Ibunya datang ke kantor Bagas. Jadi sekarang dia merasa khawatir, takut Ibunya terlampau marah dan mempengaruhi kesehatannya. Memang sudah beberapa bulan ini kesehatan Bu Ranti menurun. Dokter mengatakan Jika Ibu Amiera itu mengalami komplikasi darah tinggi dan lambung akut. Sampai di depan rumah sang ibu, Amiera pun segera menuju pintu. Wanita itu semakin terlihat khawatir saat pintu terkunci dari dalam dan sang Ibu tak kunjung membukakan pintu."Bu, buka pintunya. Ini Amiera.” Amiera terus mengetuk pintu dengan wajah panik. Wanita cantik bertubuh langsing itu mengintip dari jendela, matanya terbelalak saat melihat Ibunya tergeletak di lantai. Dia pun berteriak, meminta tolong pada warga agar membuka pintu rumahnya dengan paksa. Tak lama, pintu terbuka dan Bu Ranti langsung di bawa ke rumah sakit. Amiera hanya bisa menangis dan memanggil sang Ibu. Dalam hati dia ha
Dengan tergesa Bagas mengemas pakaian ke dalam koper. Wajah panik terlihat jelas, dia pun buru-buru menyeret koper keluar rumah."Mau kemana kamu, Nak?" tanya Ibu Bagas saat melihat anaknya memasukkan koper ke dalam mobil."Aku ada kerjaan keluar kota, Bu." Bagas langsung naik ke dalam mobil tanpa peduli pada tatapan sang ibu."Keluar kota dengan siapa. Kenapa kamu tidak mengajak Luna?" Ibu Bagas menahan pintu mobil dan menatap putranya."Bu, ini urusan kantor. Untuk apa aku harus mengajak Luna. Lagipula, ini tidak ada hubungannya dengan dia." "Dia kan bisa bantu kamu nanti." ibu Bagas seolah ingin memaksa anaknya untuk mengajak Luna."Bu, tolong jangan buat urusan semakin runyam. Aku terburu-buru.” Bagas memalingkan wajahnya, berharap Ibunya tahu jika dia tidak bisa memenuhi keinginan sang Ibu.Ibu Bagas menghela nafas panjang dan menutup pintu mobil dengan kesal. Sedangkan Bagas, dia langsung menghidupkan mesin mobilnya dan segera pergi. "Ada apa, Tante. Kenapa terlihat kesal be
"Jangan menangis, Ra. Jangan berpikir yang terlalu jauh." Satria mendekati Amiera yang terus menangis. Berusaha menghibur wanita itu agar tidak terlalu memikirkan apa yang tadi dia dengar. "Aku kehilangan orang tuaku. Tapi di luaran sana suamiku entah bersama dengan wanita mana." Satria menghela nafas panjang. Jujur dalam hati dia juga kesal dengan apa yang tadi dia dengar. "Tunggu saja sampai suamimu pulang, tanyakan padanya baik-baik," ucap Satria.Amiera mengusap air matanya. Wanita itu bangkit dan menatap Satria."Terimakasih untuk hari ini. Kamu sudah banyak membantuku," "Tidak perlu berterimakasih, aku senang melakukan ini untukmu." Satria tersenyum, hatinya merasa sangat bahagia di tatap oleh wanita yang selalu dia kagumi semenjak SMA."Tapi setelah ini, tolong jangan menemui ku lagi. Aku tidak mau orang berpikir macam-macam tentang kita," ucap Amiera.Satria terpaku sesaat. Kata-kata yang di ucapkan Amiera sedikit menyinggung perasaannya, tapi lelaki itu tetap berusaha te
Part 8 Rayuan Sang pelakor bayaran Karin membawa Amel kekamar Amiera. Wanita itu langsung meletakkan Amel yang sedang tidur di atas ranjang. Amiera hanya diam, wanita itu menatap sahabatnya lekat.“Kamu kenapa, Ra. Kenapa menatapku begitu?”“Tidak ada, aku hanya merasa sangat beruntung karena memiliki sahabat yang sangat baik dan pengertian sepertimu.” Amiera berjalan mendekati ranjang, menatap sendu ke arah putrinya dan mengusap kepalanya dengan lembut.“Lebih baik kamu istirahat. Hari sudah larut” ucap Karin lalu membalikkan badan dan hendak pergi.“Rin. Jika aku pernah memiliki salah, tolong maafkanlah.” Amiera menatap punggung sahabatnya, mata wanita itu terlihat berkaca-kaca.Karin tampak bingung.“Apa di antara kita ada masalah, Ra?” Karin kembali mendekati Amiera dan menatap sahabatnya lekat. Hati wanita itu mulai tidak tenang.“Aku tidak merasa ada masalah, aku hanya takut kamu yang memilikinya,” jawab Amiera. Karin semakin bingung. Dia terus menatap sahabatnya dengan segud
Part 9. Rayuan sang pelakor bayaran“Ibu akan tahu nanti,” jawab Bagas lalu beranjak pergi dengan cepat. Tidak peduli dengan Ibunya yang terus memanggilnya. Luna yang dari tadi bersembunyi di kamar mandi pun muncul dan mendekati Ibu Bagas. “Sudahlah, Tante. Jangan paksa Mas Bagas. Aku mungkin tidak cukup baik untuknya.” Luna menundukkan wajahnya, berpura-pura sedih dengan apa yang terjadi.Ibu Bagas bangkit dan mendekati Luna. Dia menggenggam tangan wanita itu dan berusaha untuk menghiburnya.“Kamu tidak usah khawatir. Siapapun wanita itu, dia tidak akan berhasil menikah dengan Bagas.”“Tapi Tante sudah dengar sendiri kalau Mas Bagas tidak akan menikah denganku, tapi dengan wanita lain.” Luna kembali menunjukkan wajah menyedihkan di depan Ibu Bagas, bahkan kali ini dia mengeluarkan airmata buayanya.“Aku tidak akan setuju. Bahas pasti akan menurut,” ucap Ibu Bagas tegas. Meyakinkan Luna hingga wanita itu pun diam-diam tersenyum. “Semoga saja Mas Bagas mendengarkan Tante.” Luna pun
Amiera sedang menyuapi anaknya sarapan. Dari pagi Amel terus merengek ingin bertemu dengan ayahnya. Tapi sudah berkali-kali di telepon, Bagas tidak mengangkatnya. Selain merasa kesal, Amiera juga kecewa. “Makanlah yang banyak, Nak.” Amiera terus membujuk putrinya. Tapi gadis kecil itu justru menutup mulut dengan kedua tangan mungilnya. “Eh, kenapa gadis cantik Paman gak mau makan?” Tiba- tiba Satria datang dan langsung duduk di samping Amel. “Gak mau makan, maunya Ayah,” ucap Amel dengan suara serak menahan tangisnya. Satria melihat ke arah Ameira sekilas. Dia mengambil alib makanan yang ada di tangan Amiera. “Makan dulu, ya. Nanti Paman kasih kamu hadiah,” bujuknya. Wajah Amel berubah ceria. Dia langsung membuka mulutnya. Satria menyuapi Amel hingga nasi yang ada di piring hampir habis, itu membuat Amiera berkaca-kaca. Seandainya, jika lelaki yabg begitu perhatian pada Amel itu adalah suaminya, dia pasti akan sangat bahagia. “Apa yang kamu lihat, Ra?” Satri
Part 1Hari ini adalah tanggal 4 Agustus, di mana hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan Amira dan Bagas yang ke3. Amiera yang sengaja menunggu kedatangan suaminya pun berdandan cantik. Hari ini dia bertekad ingin memperbaiki hubungan mereka yang selama beberapa bulan ini memang sudah agak renggang. Deru suara mobil langsung membuat Amira bangkit dan segera membuka pintu. Dia tersenyum melihat suaminya turun dari dalam mobil. Tapi senyum itu pun seketika pudar saat dia melihat seorang wanita cantik juga turun dari mobil yang sama dengan suaminya. "Kenapa kamu belum tidur, ini sudah sangat larut?" tanya Bagas tanpa ekspresi."Aku sedang menunggumu, Mas." Amiera melirik ke arah wanita yang berdiri di samping suaminya."Oh iya, di adalah Luna. Selama sebulan kedepan dia akan tinggal di sini," ucap Bagas lalu menggandeng wanita itu masuk ke dalam rumah. Dia bahkan tidak mempedulikan istrinya yang terpaku, terkejut dengan apa yang di katakan oleh suaminya."Tunggu, Mas. Kenapa dia