Dengan tergesa Bu Ranti memasuki kantor menantunya. Dia tidak memperdulikan apa yang dikatakan salah seorang karyawan jika Bagas saat ini sedang ada tamu. Wanita itu masuk ke dalam ruangan Bagas tanpa mengetuk pintu.
Tak hanya Bagas yang terkejut, Bu Ranti juga dibuat shock dengan pemandangan yang ada di depannya. Bagaimana tidak, saat ini dia sedang melihat menantunya memangku seorang wanita cantik di atas kursi kerjanya.
"Apa yang sedang kalian lakukan?"
Bagas segera mendorong tubuh Luna, dia berdiri dan berjalan mendekati mertuanya.
"Semuanya tidak seperti yang Ibu lihat. Tadi dia hampir jatuh dan Saya menolongnya."
Bagas terlihat gugup, sedangkan Luna hanya diam dan bersikap santai seolah tidak ada yang terjadi.
"Mataku tidak buta, jadi jangan membohongiku." Bu Ranti mendekati Luna, dia menarik lengan wanita itu.
"Keluar dari sini. Jangan mengganggu suami orang lagi, dasar jalang!"
"Aku tidak akan pergi, Tante. Karena ku bekerja di sini." Luna melepaskan tangannya dari cengkeraman Bu Ranti dengan kasar, membuat Ibu Amiera itu hampir saja terjatuh.
"Kamu membawa wanita ini kerja di sini?" tanya Bu Ranti pada sang menantu.
"Dia memang bekerja di sini, Bu. Jadi jangan membuat keributan lagi, malu."
Bu Ranti terkekeh.
"Kamu malu dengan apa yang terjadi sekarang. Tapi saat kamu memangku wanita jalang ini tadi kamu tak merasa malu sedikitpun. Bahkan kamu terlihat sangat menyukainya." Bu Ranti mengeraskan suaranya, mungkin dia sengaja agar ada yang mendengar perkataannya.
"Bu, tolong jaga sikap. Anda mertua saya, tapi di sini tempat kerja. Jangan bertindak keterlaluan!" Bagas mendekati mertuanya, berusaha membuat wanita itu keluar dari ruangannya. Tapi dia kembali dikejutkan dengan kedatangan Karin yang sudah berdiri di ambang pintu.
"Apa yang terjadi, kenapa kamu mengusir Tante Ranti?" tanya Karin pada Bagas.
"Kebetulan kamu datang. Katakan pada Tante, apa wanita ini yang Bagas bawa ke rumah?" Bu Ranti langsung menunjuk ke arah Luna yang masih berdiri santai.
"Iya, Tante. Dia wanita itu," jawab Karin pelan.
Bu Ranti langsung tersenyum getir setelah mendengar jawaban Karin. Wanita itu menatap Luna dan Bagas bergantian. Tanpa banyak bicara dia pun beranjak pergi. Tapi baru beberapa langkah, wanita itu berhenti dan menoleh ke arah menantunya.
"Jika kamu tidak lagi menginginkan anakku, maka ceraikan dia. Setelah itu kamu bebas melakukan apapun yang kamu mau." Setelah berkata demikian, wanita itu pun pergi dan tak menoleh sedikitpun ke belakang.
Sementara itu, di kediaman Bagas. Amiera kini sedang bermain dengan putrinya. Mereka terlihat sangat asyik. Saling canda dan ceria. Tapi wajah keduanya langsung berubah menjadi tegang saat mendengar suara mertuanya yang sedang berteriak memanggil namanya.
"Kamu tunggu di sini, Ibu akan temui nenek." Amiera memberikan boneka pada Amel lalu segera berdiri dan menuju ke ruang tamu.
Kedatangan Amiera langsung mendapatkan tatapan tajam dari sang mertua. Tapi Amiera sama sekali tidak terkejut karena dia memang selalu mendapatkan tatapan seperti saat bertemu dengan mertuanya.
"Kamu lagi ngapain, dari tadi aku panggil kenapa baru datang?" bentak Ibu Bagas.
"Maaf, Bu. Tadi saya sedang bermain dengan Amel, jadi tidak mendengar saat Ibu memanggil," jawab Amiera.
"Tidak dengar atau kamu memang malas?"
"Sungguh, Bu. Aku sama sekali tidak mendengarnya," jawab Amiera.
Ibu Bagas menghela nafas kasar. Wanita itu lalu melemparkan dua kantong belanjaan ke lantai.
"Masaklah makanan yang enak. Hari ini Luna pertama kali bekerja, jadi harus dirayakan," ucap Ibu Bagas.
Amiera terpaku, dadanya terasa sesak. Dia ingat benar dulu saat ulang tahun Amel yang pertama, Ibu mertuanya sangat melarang dia dan Bagas untuk merayakan. Pemborosan katanya, tapi sekarang Ibu mertuanya itu malah ingin merayakan hari pertama kerja untuk Luna yang jelas adalah orang luar.
"Kenapa Ibu tiba-tiba murah hati. Apa tidak takut pemborosan." Amiera duduk di kursi, membuka belanjaan yang tadi dibawa oleh mertuanya.
"Diamlah, jangan banyak bicara. Kamu tinggal masak, gak keluar duit ini. kenapa cerewet sekali."
Amiera tidak menjawab. Wanita itu asyik menurunkan belanjaan dan menaruhnya di atas meja. Di sana ada daging sapi, daging ayam, udang, cumi, sayur dan juga beberapa buah yang biasanya tidak diperbolehkan untuk Amiera beli.
"Terimakasih Ibu sudah berbelanja. Saya akan menaruhnya di kulkas." Amiera kembali memasukkan semua belanjaan ke dalam kantong dan membawanya menuju ke arah kulkas.
"Aku menyuruhmu untuk memasak sekarang. Kenapa malah kamu masukkan ke dalam kulkas?" tanya Ibu Bagas kesal.
"Maaf, Bu. Hari ini saya tidak bisa memasak. Ada urusan penting di luar. Kalau memang Ibu mau masak ya silahkan!"
Amiera menutup pintu kulkas , dia lalu beranjak dari dapur. Tapi baru beberapa langkah, lengannya di cekal oleh Ibu mertuanya.
"Urusan apa yang penting. Palingan kamu hanya akan ke rumah Ibumu dan ngerumpi," ucap mertua Amiera.
"Maaf, Bu. Tolong lepaskan tangan saya. Saya buru-buru!"
"Aku tidak akan melepaskannya tanganmu. Kecuali kamu mau masak." Ibu Bagas menyeret Amiera kembali di dapur. Wanita itu ingin memaksa Amiera untuk masak.
"Lepaskan saya, Bu. Saya tidak bisa masak, mungkin lebih baik ibu rayakan saja di restoran. Mas Bagas pasti akan menuruti perkataan Ibu." Amiera berontak, berusaha melepaskan tangan mertuanya.
"Tidak bisa, aku sudah terlanjur belanja. Rugi dong kalau aku harus keluar uang lagi untuk biaya makan."
Amiera menghela nafas panjang.
"Kalau begitu, lebih baik Ibu saja yang masak. Aku tidak akan mau, jadi jangan diharapkan." Amiera beranjak pergi, diiringi panggilan dan tatapan penuh kekesalan dari sang mertua, tapi wanita itu tidak peduli. Dia tidak ingin merendahkan dir lagi.
Tentu saja Amiera tidak terima dengan perlakuan mertuanya. Biasanya dia selalu patuh, apapun yang ingin dilakukan oleh mertuanya selalu dia penuhi. Hanya saja kali ini dia tidak akan melakukannya. Memasak untuk wanita yang jelas-jelas sudah menggoda suaminya. Rasanya akan jadi konyol dan memalukan jika dia melakukannya.
“Dasar wanita tidak tahu diri. Hidup enak, uang tinggal minta tapi gak tahu diuntung.” Amiera masih mendengar mertuanya terus menggerutu. Bahkan dia juga membanting sesuatu dari dapur, tapi kali ini dia tak mau berbalik dan menghibur mertuanya. Dia justru masuk ke dalam kamar dan segera menggendong anaknya. Wanita itu mengganti baju Amel dan juga dirinya.
Tatapan mata sang anak membuat hati wanita itu kembali teriris. Tatapan itu seoalh bertanya mengapa neneknya begitu tidak menyayanginya. Mengapa dia tidak diperlakukan baik oleh Ibu dari Ayahnya. Tapi Amel belum mengerti, Amieralah yang harus menanggung semuanya sendirian.
“Ayo kita pergi, Nak.” Amel menyambar tas selempang yang ada di meja lalu beranjak keluar dari rumah. Ada kekhawatiran di wajah wanita cantik berkulit sawo matang itu. Meski dia tidak tahu apa yabg saat ini membuatnya khawatir, tapi dia punya firasat jika ibunya sedang tidak baik-baik saja.
Sepanjang perjalanan ke rumah Ibunya, Ameira terlihat gelisah. Tadi Karin mengirim pesan padanya dan mengatakan jika Ibunya datang ke kantor Bagas. Jadi sekarang dia merasa khawatir, takut Ibunya terlampau marah dan mempengaruhi kesehatannya. Memang sudah beberapa bulan ini kesehatan Bu Ranti menurun. Dokter mengatakan Jika Ibu Amiera itu mengalami komplikasi darah tinggi dan lambung akut. Sampai di depan rumah sang ibu, Amiera pun segera menuju pintu. Wanita itu semakin terlihat khawatir saat pintu terkunci dari dalam dan sang Ibu tak kunjung membukakan pintu."Bu, buka pintunya. Ini Amiera.” Amiera terus mengetuk pintu dengan wajah panik. Wanita cantik bertubuh langsing itu mengintip dari jendela, matanya terbelalak saat melihat Ibunya tergeletak di lantai. Dia pun berteriak, meminta tolong pada warga agar membuka pintu rumahnya dengan paksa. Tak lama, pintu terbuka dan Bu Ranti langsung di bawa ke rumah sakit. Amiera hanya bisa menangis dan memanggil sang Ibu. Dalam hati dia ha
Dengan tergesa Bagas mengemas pakaian ke dalam koper. Wajah panik terlihat jelas, dia pun buru-buru menyeret koper keluar rumah."Mau kemana kamu, Nak?" tanya Ibu Bagas saat melihat anaknya memasukkan koper ke dalam mobil."Aku ada kerjaan keluar kota, Bu." Bagas langsung naik ke dalam mobil tanpa peduli pada tatapan sang ibu."Keluar kota dengan siapa. Kenapa kamu tidak mengajak Luna?" Ibu Bagas menahan pintu mobil dan menatap putranya."Bu, ini urusan kantor. Untuk apa aku harus mengajak Luna. Lagipula, ini tidak ada hubungannya dengan dia." "Dia kan bisa bantu kamu nanti." ibu Bagas seolah ingin memaksa anaknya untuk mengajak Luna."Bu, tolong jangan buat urusan semakin runyam. Aku terburu-buru.” Bagas memalingkan wajahnya, berharap Ibunya tahu jika dia tidak bisa memenuhi keinginan sang Ibu.Ibu Bagas menghela nafas panjang dan menutup pintu mobil dengan kesal. Sedangkan Bagas, dia langsung menghidupkan mesin mobilnya dan segera pergi. "Ada apa, Tante. Kenapa terlihat kesal be
"Jangan menangis, Ra. Jangan berpikir yang terlalu jauh." Satria mendekati Amiera yang terus menangis. Berusaha menghibur wanita itu agar tidak terlalu memikirkan apa yang tadi dia dengar. "Aku kehilangan orang tuaku. Tapi di luaran sana suamiku entah bersama dengan wanita mana." Satria menghela nafas panjang. Jujur dalam hati dia juga kesal dengan apa yang tadi dia dengar. "Tunggu saja sampai suamimu pulang, tanyakan padanya baik-baik," ucap Satria.Amiera mengusap air matanya. Wanita itu bangkit dan menatap Satria."Terimakasih untuk hari ini. Kamu sudah banyak membantuku," "Tidak perlu berterimakasih, aku senang melakukan ini untukmu." Satria tersenyum, hatinya merasa sangat bahagia di tatap oleh wanita yang selalu dia kagumi semenjak SMA."Tapi setelah ini, tolong jangan menemui ku lagi. Aku tidak mau orang berpikir macam-macam tentang kita," ucap Amiera.Satria terpaku sesaat. Kata-kata yang di ucapkan Amiera sedikit menyinggung perasaannya, tapi lelaki itu tetap berusaha te
Karin membawa Amel kekamar Amiera. Wanita itu langsung meletakkan Amel yang sedang tidur di atas ranjang. Amiera hanya diam, wanita itu menatap sahabatnya lekat. “Kamu kenapa, Ra. Kenapa menatapku begitu?” “Tidak ada, aku hanya merasa sangat beruntung karena memiliki sahabat yang sangat baik dan pengertian sepertimu.” Amiera berjalan mendekati ranjang, menatap sendu ke arah putrinya dan mengusap kepalanya dengan lembut. “Lebih baik kamu istirahat. Hari sudah larut” ucap Karin lalu membalikkan badan dan hendak pergi. “Rin. Jika aku pernah memiliki salah, tolong maafkanlah.” Amiera menatap punggung sahabatnya, mata wanita itu terlihat berkaca-kaca. Karin tampak bingung. “Apa di antara kita ada masalah, Ra?” Karin kembali mendekati Amiera dan menatap sahabatnya lekat. Hati wanita itu mulai tidak tenang. “Aku tidak merasa ada masalah, aku hanya takut kamu yang memilikinya,” jawab Amiera. Karin semakin bingung. Dia terus menatap sahabatnya dengan segudang tanya dalam hat
Part 9. Rayuan sang pelakor bayaran“Ibu akan tahu nanti,” jawab Bagas lalu beranjak pergi dengan cepat. Tidak peduli dengan Ibunya yang terus memanggilnya. Luna yang dari tadi bersembunyi di kamar mandi pun muncul dan mendekati Ibu Bagas. “Sudahlah, Tante. Jangan paksa Mas Bagas. Aku mungkin tidak cukup baik untuknya.” Luna menundukkan wajahnya, berpura-pura sedih dengan apa yang terjadi.Ibu Bagas bangkit dan mendekati Luna. Dia menggenggam tangan wanita itu dan berusaha untuk menghiburnya.“Kamu tidak usah khawatir. Siapapun wanita itu, dia tidak akan berhasil menikah dengan Bagas.”“Tapi Tante sudah dengar sendiri kalau Mas Bagas tidak akan menikah denganku, tapi dengan wanita lain.” Luna kembali menunjukkan wajah menyedihkan di depan Ibu Bagas, bahkan kali ini dia mengeluarkan airmata buayanya.“Aku tidak akan setuju. Bahas pasti akan menurut,” ucap Ibu Bagas tegas. Meyakinkan Luna hingga wanita itu pun diam-diam tersenyum. “Semoga saja Mas Bagas mendengarkan Tante.” Luna pun
Amiera sedang menyuapi anaknya sarapan. Dari pagi Amel terus merengek ingin bertemu dengan ayahnya. Tapi sudah berkali-kali di telepon, Bagas tidak mengangkatnya. Selain merasa kesal, Amiera juga kecewa. “Makanlah yang banyak, Nak.” Amiera terus membujuk putrinya. Tapi gadis kecil itu justru menutup mulut dengan kedua tangan mungilnya. “Eh, kenapa gadis cantik Paman gak mau makan?” Tiba- tiba Satria datang dan langsung duduk di samping Amel. “Gak mau makan, maunya Ayah,” ucap Amel dengan suara serak menahan tangisnya. Satria melihat ke arah Ameira sekilas. Dia mengambil alib makanan yang ada di tangan Amiera. “Makan dulu, ya. Nanti Paman kasih kamu hadiah,” bujuknya. Wajah Amel berubah ceria. Dia langsung membuka mulutnya. Satria menyuapi Amel hingga nasi yang ada di piring hampir habis, itu membuat Amiera berkaca-kaca. Seandainya, jika lelaki yabg begitu perhatian pada Amel itu adalah suaminya, dia pasti akan sangat bahagia. “Apa yang kamu lihat, Ra?” Satri
Bagas menghela nafas berkali-kali. Dia tidak habis pikir dengan perubahan sikap sang istri yang begitu besar. Dari yang biasanya penurut dan tak banyak bicara. Kini menjadi wanita yang susah untuk diajak bicara. Bahkan menurutnya, Amiera kini seolah sangat membenci dirinya. Lamunan Bagas buyar saat ponselnya berdering. Nama Luna terpampang di layar ponsel. Dia pun mengangkatnya, berbicara sebentar lalu memutuskan untuk pergi. Mobil yang dikemudikan Bagas belok ke sebuah rumah sang Ibu. Pria itu turun dengan tergesa. Dia langsung masuk ke rumah itu, di sana dia melihat Luna sedang memijat kaki Ibunya. “Bagaimana Ibu bisa jatuh?” tanya Bagas sambil duduk di dekat sang Ibu. “Ibu terpeleset, untungnya tidak apa-apa,” jawab Luna. Bags menatap sang Ibu, membuat wanita yang bernama Herawati itu kesal. “Aku benar-benar jatuh, aku tidak bohong kali ini,” ucapnya dengan serius. Bagas menghela nafas panjang. Selama dia menikah dengan Amiera, entah sudah berapa kali ibunya itu b
“Cerai ?” Bagas terkejut dengan perkataan Meira. Dia sama sekali tidak menyangka wanita yang selama ini sangat takut ditinggalkan olehnya justru mengucapkan kata cerai.“Ya. Lebih baik kita cerai. Bersama pun tidak ada gunanya. Hanya saling menyakiti,” jawab amiera dengan mata memerah menahan tangis.Bagas terpaku. Selama ini dia selalu menginginkan perceraian. Dia ingin bersama Karin, tapi entah mengapa saat Amiera meminta cerai, hatinya terasa begitu sakit. “Apa kamu ingin bercerai karena dia?” Bagas menunjuk ke arah Satria yang sepertinya juga terkejut dengan apa yang diucapkan Amiera.“Apa kamu pikir seperti itu?” tanya Amiera sinis.“Ya, selama ini kamu tidak pernah seperti ini. Tapi setelah bertemu dengannya kamu berani meminta cerai dariku.” Amiera terkekeh.“Aku memang selama ini diam, tapi aku tidak buta. Aku menerima semuanya, tapi aku tetap merasa sakit.” Air mata Amiera mengalir deras di pipi. Dia langsung mengusapnya dengan kasar. Mengingat hari-hari sulit yang sudja
“Untuk apa kamu kemari?” teriak Karin.Bagas tidak langsung menjawab, pria itu mendekati Karin dan langsung memeluknya. “Jangan marah ya, sayang. Aku hanya tidak mau Luna menggugurkan anak itu,” ucapnya. “Aku kecewa padamu, kamu menyakitiku,” ucap Karin sambil terus berusaha untuk melepaskan pelukan Bagas. “Aku minta maaf, tapi menurutku kamu juga bersalah. Kenapa kamu meminta Luna untuk menggodaku?” ucap Bagas tanpa rasa bersalah.Karin yang marah pun langsung mendorong Bagas kasar.“Aku melakukan itu karena aku percaya kaku tidak alan mengkhianatimu. Tapi nyatanya kamu malah menghamili wanita jalang itu,” ucap Karin berapi-api. Wanita itu menunjuk ke arah Bagas dengan emosi menggebu-gebu. “Iya, tapi seharusnya kamu bilang dulu sama aku.” Bagas masih berusaha membela diri dan menyalahkan Karin. Karin semakin meradang mendengar perkataan Bagas. Wanita itu meraih vas bunga yang ada di meja lalu melemparnya ke arah Bagas. PrangPrangKarin terus melemparkan benda yang ada di deka
Amiera duduk termenung di ruang tamu. Wanita itu tidak memperdulikan ponselnya yang terus berdering. Dia merasa lelah menjalani kehidupan yang begitu sulit dan juga rumit. Dulu dia sangat berharap suaminya bisa mengejarnya, tapi sekarang dia justru merasa sangat risih. Ya, memang semua itu berubah dengan berjalannya waktu. Wanita mana yang tidak sedih dan kecewa jika berada di posisi Amiera saat ini.Bukan hanya berselingkuh dengan sahabatnya, tapi suaminya juga menghamili wanita lain. Sungguh sangat miris.“Kamu sedang memikirkan apa?” Tiba-tiba Satria berdiri di depannya dan membuyarkan semua lamunanya. “Sejak kapan kamu ada disini?” tanya Amiera sedikit terkejut. Dia sama sekali tidak menyadari kehadiran Satria.“Sudah dari tadi. Tapi kamu sedang asyik melamun jadi tidak menyadarinya.” Satria duduk di sofa dan menatap Amiera.“Maaf,” ucap Amiera.“Tidak masalah. Tapi kamu sedang memikirkan apa, apakah memikirkan Bagas?” Amiera tidak menjawab. Sebagai wanita, dia tahu benar jik
BrakKarin menendang pintu kamar dengan kasar meski tak terkunci. Dia kesal karena mendengar apa yang akan dilakukan Bagas pada Amiera. Dia bukan peduli pada sahabatnya, tapi dia marah dan cemburu karena Bagas membawa Amiera ke kamar.“Bagus, kaku memang benar-benar berani mempermainkan aku “ teriak Karin.Wanita itu mendekati Bagas, menarik pria itu untuk menjauhi Amiera.“Pergilah, jangan pernah lagi mendekati bagas,” ucap Karin pada Amiera.Bagas sendiri terlihat panik. “Aku tidak pernah mendekati sampah, karena ku bukan lalat,” ucap Amiera lalu beranjak pergi. “Ra, kamu tidak boleh pergi. Kaku harus tetap di sini bersamaku,” Bagas melepaskan tangan Karin dan ingin mengejar Amiera, tapi kembali dihentikan oleh Karin. “Kalau kamu berani pergi, kita akan benar-benar putus,” ancam Karin dengan suara lantang.Bagas berhenti seketika, pria itu hanya melihat Amiera pergi menjauh dan meninggalkan rumah.“Rin, tidak bisakah kita hidup bertiga. Kamu dan amiera selama ini berteman dekat.
Bagas segera melarikan Luna ke rumah sakit. Pria itu terlihat begitu khawatir. Meski dia tidak mencintai Luna, tapi janin yang dikandung wanita itu adalah anaknya. Pria itu bernafas lega saat dokter mengatakan jika anaknya baik-baik saja. Setengah jam kemudian, Bu Hera datang dengan tergesa. Wanita itu langsung mendekati Bagas yang baru saja keluar dari ruang rawat. PlakSatu tamparan langsung mendarat di pipi Bagas. “Lelaki kurang ajar, tidak bertanggung jawab,” umpat Bu Hera sambil menunjuk ke arah putranya.“Bu, aku tidak sengaja,” ucap bagas sambil memegangi pipinya yang terasa panas. “Apa kamu begitu bodoh. Menjaga wanita hamil saja tidak bisa?” “Bu, aku benar-benar tidak sengaja mendorongnya.”Bu Hera tidak mempedulikan pembelaan putranyq, wanita tua itu mendorong anaknya menjauh dari pintu. “Awas saja jika terjadi hal buruk pada Luna dan bayinya,” ancamnya sebelum masuk ke dalam ruangan.Bags hanya bisa menghela nafas dan duduk di bangku yang ada di lorong rumah sakit.
“Ka- kamu hamil?”Bagas terkejut setelah membaca hasil USG di tangannya. Tangan pria itu gemetar, tidak percaya dengan apa yang dia baca.“Ya, aku hamil anakmu, Mas. Jadi kamu harus segera menikahiku ,” ucap Luna dengan wajah sendu.Mendengar semua itu, tentu saja Karin sangat murka. Bagaimana tidak, selama ini dialah yang membayar Luna agar merusak rumah tangga Bagas dengan Amiera agar dia bisa segera menikah dengan Bagas. Tapi siapa yang sangka jika wanita itu justru akan mengkhianati dirinya.PlakKarin menampar Luna dan membuat wanita itu terkejut dan sontak memegangi pipinya. “Berani sekali, siapa dirimu hingga berani meminta Bagas untuk menikahimu?” “Aku adalah Luna, wanita yang sudah dia tiduri dan mengandung anaknya. Jadi wajar jika dia menikahiku,” jawab Kuna lantang.“Jangan tidak tahu diri, kamu hanyalah pelakor bayaran.”Karin mencengkram bahu Luna kasar, wanita itu benar-benar emosi.Luna terkekeh, dia melepaskan tangan Karin dari bahunya dengan kasar.“Bayaran atau bu
Bagas mondar-mandir mencari keberadaan Amel. Dia sesekali mengomel karena tidak kunjung menemukan keberadaan anaknya. Entah sudah berapa tempat dia kunjungi, tapi tak menemukan Satria dan juga putrinya. Karena terlalu capek, dia pun duduk di sebuah trotoar dan menatap sekitar. Tanpa disangka, matanya menangkap sosok Amel yang sedang bermain dengan Satria di taman tak jauh dari tempatnya duduk.Dengan langkah tergesa, Bagas mendekati mereka. Dia menarik Amel dan memeluknya.“Ayo pulang dengan Ayah, jangan bicara dengan orang asing lagi.” Bagas menggendong Amel dan melangkah pergi meninggalkan Satria.“Amel tidak mau pergi. Amel ingin main dengan Om Satria,” ucap Amel sambil berontak, dia berusaha turun dari gendongan sang Ayah. “Ayah akan menemanimu main, ayah akan membelikanmu banyak mainan dan cemilan. Tapi kamu harus jauhi dia,” ucap Bagas sambil melirik ke arah Satria yang kini sedang berjalan ke arahnya.“Tidak bisakah kamu berbicara baik-baik. Jangan menakuti Amel.” Satria men
Sejak Satria mengungkapkan perasaannya, Amiera berusaha untuk menghindari pria itu. Bukan dia tidak menyukainya, hanya saja dia merasa jika dirinya tidak cukup pantas untuk Satria.Dia tahu benar jika Satria Kamajaya adalah putra tunggal dari Darmono Kamajaya. Orang kaya raya yang disegani di kota B. Itulah yang membuat dirinya tidak percaya diri.Menurutnya, Satria bisa mendapatkan wanita manapun yang dia inginkan dengan mudah. Lagipula, dia sudah bertekad untuk hidup sendiri setelah perceraian. Dia ingin fokus pada Amel.Amiera terus saja menyembunyikan diri dari Satria. Tak hanya dari Satria, dia juga tidak mau menemui Bagas. Hingga pada siang itu, pengacara yang dia tunjuk untuk menangani perceraiannya datang ke rumahnya dengan tergesa dan mengatakan jika berkas yang sudah di tandatangani di sobek oleh Bagas, wanita itu kesal dan segera mencari Ayah dari anaknya tersebut.Saat wanita itu masih kesal, ada suara ketukan dari arah pintu. Dengan enggan Amiera berjalan dan membukanya.
Mata Amiera membulat saat dia melihat ada sebuah truk melaju kencang ke arah Bagas. Dia ingin berlari, tapi matanya melihat sahabatnya sudah lebih dulu berlari. “Dasar pria gila!” teriak Karin. Wanita cantik itu menarik tangan Bagas dan akhirnya mereka berdua jatuh ke aspal bersamaan.“Lepaskan aku!” Bagas ingin berdiri tapi langsung di halangi oleh Karin. “Sebenarnya apa yang ada dalam otakmu saat ini. Kenapa kamu tiba-tiba ingin mati?” tanya Karin.Bagas diam, dia melirik ke arah Amiera yang tak jauh dari mereka. Begitu juga dengan Karin, wanita itu melihat ke arah Amiera yang hanya membisu ke arah mereka.Hati Karin sakit, dia benar-benar tidak menyangka jika Bagas akan melakukan itu demi Amiera.“Apa kamu bertengkar dengan Amiera?” tanya Karin.“Tidak.” Bagas berdiri, dia berjalan menjauh dari Karin dan mendekati Amiera. “Maafkan aku sekali ini. Aku janji akan memperlakukanmu dengan baik,” ucapnya. “Apa ada masalah dengan otakmu, Mas?” tanya Amiera. “Ra, tidakkah kamu melih
“Untuk apa kamu datang kemari?” tanya Amiera tanpa mempersilahkan luna duduk. Terlihat jelas kebencian di matanya. “Apakah kamu tidak ingin mempersilahkan aku duduk.” Luna melihat ke arah Amiera sinis. “Tidak, aku yakin kamu kemari tidak untuk duduk bukan. Jadi cepat katakan, apa yang kamu inginkan?” Luna tidak mempedulikan Amiera, dia duduk di sofa dan meletakkan tasnya di atas meja. “Aku sangat haus, bisakah aku minta minum,” ucapnya. “Tidak usah basa-basi. Cepat katakan apa maumu. Atau kalau tidak, cepatlah pergi.” Amiera sama sekali tidak peduli dengan permintaan Luna. Wanita cantik itu tetap berdiri dan menatap Luna tajam. “Baiklah, ternyata kamu sungguh sudah tidak sabar mendengar berita bagus dariku,” ucap Luna. “Cepat katakan!” bentak Amiera. “Tidak usah berteriak, aku tidak tuli.” luna berdiri dan menghampiri Amiera. “kamu tidak tuli, tapi kamu tidak tahu malu,” ucap Amiera dengan nada sinis. “Apa maksudmu?” “Apa perlu bertanya, apa kamu tidak merasa