Dengan tergesa Bu Ranti memasuki kantor menantunya. Dia tidak memperdulikan apa yang dikatakan salah seorang karyawan jika Bagas saat ini sedang ada tamu. Wanita itu masuk ke dalam ruangan Bagas tanpa mengetuk pintu.
Tak hanya Bagas yang terkejut, Bu Ranti juga dibuat shock dengan pemandangan yang ada di depannya. Bagaimana tidak, saat ini dia sedang melihat menantunya memangku seorang wanita cantik di atas kursi kerjanya.
"Apa yang sedang kalian lakukan?"
Bagas segera mendorong tubuh Luna, dia berdiri dan berjalan mendekati mertuanya.
"Semuanya tidak seperti yang Ibu lihat. Tadi dia hampir jatuh dan Saya menolongnya."
Bagas terlihat gugup, sedangkan Luna hanya diam dan bersikap santai seolah tidak ada yang terjadi.
"Mataku tidak buta, jadi jangan membohongiku." Bu Ranti mendekati Luna, dia menarik lengan wanita itu.
"Keluar dari sini. Jangan mengganggu suami orang lagi, dasar jalang!"
"Aku tidak akan pergi, Tante. Karena ku bekerja di sini." Luna melepaskan tangannya dari cengkeraman Bu Ranti dengan kasar, membuat Ibu Amiera itu hampir saja terjatuh.
"Kamu membawa wanita ini kerja di sini?" tanya Bu Ranti pada sang menantu.
"Dia memang bekerja di sini, Bu. Jadi jangan membuat keributan lagi, malu."
Bu Ranti terkekeh.
"Kamu malu dengan apa yang terjadi sekarang. Tapi saat kamu memangku wanita jalang ini tadi kamu tak merasa malu sedikitpun. Bahkan kamu terlihat sangat menyukainya." Bu Ranti mengeraskan suaranya, mungkin dia sengaja agar ada yang mendengar perkataannya.
"Bu, tolong jaga sikap. Anda mertua saya, tapi di sini tempat kerja. Jangan bertindak keterlaluan!" Bagas mendekati mertuanya, berusaha membuat wanita itu keluar dari ruangannya. Tapi dia kembali dikejutkan dengan kedatangan Karin yang sudah berdiri di ambang pintu.
"Apa yang terjadi, kenapa kamu mengusir Tante Ranti?" tanya Karin pada Bagas.
"Kebetulan kamu datang. Katakan pada Tante, apa wanita ini yang Bagas bawa ke rumah?" Bu Ranti langsung menunjuk ke arah Luna yang masih berdiri santai.
"Iya, Tante. Dia wanita itu," jawab Karin pelan.
Bu Ranti langsung tersenyum getir setelah mendengar jawaban Karin. Wanita itu menatap Luna dan Bagas bergantian. Tanpa banyak bicara dia pun beranjak pergi. Tapi baru beberapa langkah, wanita itu berhenti dan menoleh ke arah menantunya.
"Jika kamu tidak lagi menginginkan anakku, maka ceraikan dia. Setelah itu kamu bebas melakukan apapun yang kamu mau." Setelah berkata demikian, wanita itu pun pergi dan tak menoleh sedikitpun ke belakang.
Sementara itu, di kediaman Bagas. Amiera kini sedang bermain dengan putrinya. Mereka terlihat sangat asyik. Saling canda dan ceria. Tapi wajah keduanya langsung berubah menjadi tegang saat mendengar suara mertuanya yang sedang berteriak memanggil namanya.
"Kamu tunggu di sini, Ibu akan temui nenek." Amiera memberikan boneka pada Amel lalu segera berdiri dan menuju ke ruang tamu.
Kedatangan Amiera langsung mendapatkan tatapan tajam dari sang mertua. Tapi Amiera sama sekali tidak terkejut karena dia memang selalu mendapatkan tatapan seperti saat bertemu dengan mertuanya.
"Kamu lagi ngapain, dari tadi aku panggil kenapa baru datang?" bentak Ibu Bagas.
"Maaf, Bu. Tadi saya sedang bermain dengan Amel, jadi tidak mendengar saat Ibu memanggil," jawab Amiera.
"Tidak dengar atau kamu memang malas?"
"Sungguh, Bu. Aku sama sekali tidak mendengarnya," jawab Amiera.
Ibu Bagas menghela nafas kasar. Wanita itu lalu melemparkan dua kantong belanjaan ke lantai.
"Masaklah makanan yang enak. Hari ini Luna pertama kali bekerja, jadi harus dirayakan," ucap Ibu Bagas.
Amiera terpaku, dadanya terasa sesak. Dia ingat benar dulu saat ulang tahun Amel yang pertama, Ibu mertuanya sangat melarang dia dan Bagas untuk merayakan. Pemborosan katanya, tapi sekarang Ibu mertuanya itu malah ingin merayakan hari pertama kerja untuk Luna yang jelas adalah orang luar.
"Kenapa Ibu tiba-tiba murah hati. Apa tidak takut pemborosan." Amiera duduk di kursi, membuka belanjaan yang tadi dibawa oleh mertuanya.
"Diamlah, jangan banyak bicara. Kamu tinggal masak, gak keluar duit ini. kenapa cerewet sekali."
Amiera tidak menjawab. Wanita itu asyik menurunkan belanjaan dan menaruhnya di atas meja. Di sana ada daging sapi, daging ayam, udang, cumi, sayur dan juga beberapa buah yang biasanya tidak diperbolehkan untuk Amiera beli.
"Terimakasih Ibu sudah berbelanja. Saya akan menaruhnya di kulkas." Amiera kembali memasukkan semua belanjaan ke dalam kantong dan membawanya menuju ke arah kulkas.
"Aku menyuruhmu untuk memasak sekarang. Kenapa malah kamu masukkan ke dalam kulkas?" tanya Ibu Bagas kesal.
"Maaf, Bu. Hari ini saya tidak bisa memasak. Ada urusan penting di luar. Kalau memang Ibu mau masak ya silahkan!"
Amiera menutup pintu kulkas , dia lalu beranjak dari dapur. Tapi baru beberapa langkah, lengannya di cekal oleh Ibu mertuanya.
"Urusan apa yang penting. Palingan kamu hanya akan ke rumah Ibumu dan ngerumpi," ucap mertua Amiera.
"Maaf, Bu. Tolong lepaskan tangan saya. Saya buru-buru!"
"Aku tidak akan melepaskannya tanganmu. Kecuali kamu mau masak." Ibu Bagas menyeret Amiera kembali di dapur. Wanita itu ingin memaksa Amiera untuk masak.
"Lepaskan saya, Bu. Saya tidak bisa masak, mungkin lebih baik ibu rayakan saja di restoran. Mas Bagas pasti akan menuruti perkataan Ibu." Amiera berontak, berusaha melepaskan tangan mertuanya.
"Tidak bisa, aku sudah terlanjur belanja. Rugi dong kalau aku harus keluar uang lagi untuk biaya makan."
Amiera menghela nafas panjang.
"Kalau begitu, lebih baik Ibu saja yang masak. Aku tidak akan mau, jadi jangan diharapkan." Amiera beranjak pergi, diiringi panggilan dan tatapan penuh kekesalan dari sang mertua, tapi wanita itu tidak peduli. Dia tidak ingin merendahkan dir lagi.
Tentu saja Amiera tidak terima dengan perlakuan mertuanya. Biasanya dia selalu patuh, apapun yang ingin dilakukan oleh mertuanya selalu dia penuhi. Hanya saja kali ini dia tidak akan melakukannya. Memasak untuk wanita yang jelas-jelas sudah menggoda suaminya. Rasanya akan jadi konyol dan memalukan jika dia melakukannya.
“Dasar wanita tidak tahu diri. Hidup enak, uang tinggal minta tapi gak tahu diuntung.” Amiera masih mendengar mertuanya terus menggerutu. Bahkan dia juga membanting sesuatu dari dapur, tapi kali ini dia tak mau berbalik dan menghibur mertuanya. Dia justru masuk ke dalam kamar dan segera menggendong anaknya. Wanita itu mengganti baju Amel dan juga dirinya.
Tatapan mata sang anak membuat hati wanita itu kembali teriris. Tatapan itu seoalh bertanya mengapa neneknya begitu tidak menyayanginya. Mengapa dia tidak diperlakukan baik oleh Ibu dari Ayahnya. Tapi Amel belum mengerti, Amieralah yang harus menanggung semuanya sendirian.
“Ayo kita pergi, Nak.” Amel menyambar tas selempang yang ada di meja lalu beranjak keluar dari rumah. Ada kekhawatiran di wajah wanita cantik berkulit sawo matang itu. Meski dia tidak tahu apa yabg saat ini membuatnya khawatir, tapi dia punya firasat jika ibunya sedang tidak baik-baik saja.
Sepanjang perjalanan ke rumah Ibunya, Ameira terlihat gelisah. Tadi Karin mengirim pesan padanya dan mengatakan jika Ibunya datang ke kantor Bagas. Jadi sekarang dia merasa khawatir, takut Ibunya terlampau marah dan mempengaruhi kesehatannya. Memang sudah beberapa bulan ini kesehatan Bu Ranti menurun. Dokter mengatakan Jika Ibu Amiera itu mengalami komplikasi darah tinggi dan lambung akut. Sampai di depan rumah sang ibu, Amiera pun segera menuju pintu. Wanita itu semakin terlihat khawatir saat pintu terkunci dari dalam dan sang Ibu tak kunjung membukakan pintu."Bu, buka pintunya. Ini Amiera.” Amiera terus mengetuk pintu dengan wajah panik. Wanita cantik bertubuh langsing itu mengintip dari jendela, matanya terbelalak saat melihat Ibunya tergeletak di lantai. Dia pun berteriak, meminta tolong pada warga agar membuka pintu rumahnya dengan paksa. Tak lama, pintu terbuka dan Bu Ranti langsung di bawa ke rumah sakit. Amiera hanya bisa menangis dan memanggil sang Ibu. Dalam hati dia ha
Dengan tergesa Bagas mengemas pakaian ke dalam koper. Wajah panik terlihat jelas, dia pun buru-buru menyeret koper keluar rumah."Mau kemana kamu, Nak?" tanya Ibu Bagas saat melihat anaknya memasukkan koper ke dalam mobil."Aku ada kerjaan keluar kota, Bu." Bagas langsung naik ke dalam mobil tanpa peduli pada tatapan sang ibu."Keluar kota dengan siapa. Kenapa kamu tidak mengajak Luna?" Ibu Bagas menahan pintu mobil dan menatap putranya."Bu, ini urusan kantor. Untuk apa aku harus mengajak Luna. Lagipula, ini tidak ada hubungannya dengan dia." "Dia kan bisa bantu kamu nanti." ibu Bagas seolah ingin memaksa anaknya untuk mengajak Luna."Bu, tolong jangan buat urusan semakin runyam. Aku terburu-buru.” Bagas memalingkan wajahnya, berharap Ibunya tahu jika dia tidak bisa memenuhi keinginan sang Ibu.Ibu Bagas menghela nafas panjang dan menutup pintu mobil dengan kesal. Sedangkan Bagas, dia langsung menghidupkan mesin mobilnya dan segera pergi. "Ada apa, Tante. Kenapa terlihat kesal be
"Jangan menangis, Ra. Jangan berpikir yang terlalu jauh." Satria mendekati Amiera yang terus menangis. Berusaha menghibur wanita itu agar tidak terlalu memikirkan apa yang tadi dia dengar. "Aku kehilangan orang tuaku. Tapi di luaran sana suamiku entah bersama dengan wanita mana." Satria menghela nafas panjang. Jujur dalam hati dia juga kesal dengan apa yang tadi dia dengar. "Tunggu saja sampai suamimu pulang, tanyakan padanya baik-baik," ucap Satria.Amiera mengusap air matanya. Wanita itu bangkit dan menatap Satria."Terimakasih untuk hari ini. Kamu sudah banyak membantuku," "Tidak perlu berterimakasih, aku senang melakukan ini untukmu." Satria tersenyum, hatinya merasa sangat bahagia di tatap oleh wanita yang selalu dia kagumi semenjak SMA."Tapi setelah ini, tolong jangan menemui ku lagi. Aku tidak mau orang berpikir macam-macam tentang kita," ucap Amiera.Satria terpaku sesaat. Kata-kata yang di ucapkan Amiera sedikit menyinggung perasaannya, tapi lelaki itu tetap berusaha te
Part 8 Rayuan Sang pelakor bayaran Karin membawa Amel kekamar Amiera. Wanita itu langsung meletakkan Amel yang sedang tidur di atas ranjang. Amiera hanya diam, wanita itu menatap sahabatnya lekat.“Kamu kenapa, Ra. Kenapa menatapku begitu?”“Tidak ada, aku hanya merasa sangat beruntung karena memiliki sahabat yang sangat baik dan pengertian sepertimu.” Amiera berjalan mendekati ranjang, menatap sendu ke arah putrinya dan mengusap kepalanya dengan lembut.“Lebih baik kamu istirahat. Hari sudah larut” ucap Karin lalu membalikkan badan dan hendak pergi.“Rin. Jika aku pernah memiliki salah, tolong maafkanlah.” Amiera menatap punggung sahabatnya, mata wanita itu terlihat berkaca-kaca.Karin tampak bingung.“Apa di antara kita ada masalah, Ra?” Karin kembali mendekati Amiera dan menatap sahabatnya lekat. Hati wanita itu mulai tidak tenang.“Aku tidak merasa ada masalah, aku hanya takut kamu yang memilikinya,” jawab Amiera. Karin semakin bingung. Dia terus menatap sahabatnya dengan segud
Part 9. Rayuan sang pelakor bayaran“Ibu akan tahu nanti,” jawab Bagas lalu beranjak pergi dengan cepat. Tidak peduli dengan Ibunya yang terus memanggilnya. Luna yang dari tadi bersembunyi di kamar mandi pun muncul dan mendekati Ibu Bagas. “Sudahlah, Tante. Jangan paksa Mas Bagas. Aku mungkin tidak cukup baik untuknya.” Luna menundukkan wajahnya, berpura-pura sedih dengan apa yang terjadi.Ibu Bagas bangkit dan mendekati Luna. Dia menggenggam tangan wanita itu dan berusaha untuk menghiburnya.“Kamu tidak usah khawatir. Siapapun wanita itu, dia tidak akan berhasil menikah dengan Bagas.”“Tapi Tante sudah dengar sendiri kalau Mas Bagas tidak akan menikah denganku, tapi dengan wanita lain.” Luna kembali menunjukkan wajah menyedihkan di depan Ibu Bagas, bahkan kali ini dia mengeluarkan airmata buayanya.“Aku tidak akan setuju. Bahas pasti akan menurut,” ucap Ibu Bagas tegas. Meyakinkan Luna hingga wanita itu pun diam-diam tersenyum. “Semoga saja Mas Bagas mendengarkan Tante.” Luna pun
Amiera sedang menyuapi anaknya sarapan. Dari pagi Amel terus merengek ingin bertemu dengan ayahnya. Tapi sudah berkali-kali di telepon, Bagas tidak mengangkatnya. Selain merasa kesal, Amiera juga kecewa. “Makanlah yang banyak, Nak.” Amiera terus membujuk putrinya. Tapi gadis kecil itu justru menutup mulut dengan kedua tangan mungilnya. “Eh, kenapa gadis cantik Paman gak mau makan?” Tiba- tiba Satria datang dan langsung duduk di samping Amel. “Gak mau makan, maunya Ayah,” ucap Amel dengan suara serak menahan tangisnya. Satria melihat ke arah Ameira sekilas. Dia mengambil alib makanan yang ada di tangan Amiera. “Makan dulu, ya. Nanti Paman kasih kamu hadiah,” bujuknya. Wajah Amel berubah ceria. Dia langsung membuka mulutnya. Satria menyuapi Amel hingga nasi yang ada di piring hampir habis, itu membuat Amiera berkaca-kaca. Seandainya, jika lelaki yabg begitu perhatian pada Amel itu adalah suaminya, dia pasti akan sangat bahagia. “Apa yang kamu lihat, Ra?” Satri
Part 1Hari ini adalah tanggal 4 Agustus, di mana hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan Amira dan Bagas yang ke3. Amiera yang sengaja menunggu kedatangan suaminya pun berdandan cantik. Hari ini dia bertekad ingin memperbaiki hubungan mereka yang selama beberapa bulan ini memang sudah agak renggang. Deru suara mobil langsung membuat Amira bangkit dan segera membuka pintu. Dia tersenyum melihat suaminya turun dari dalam mobil. Tapi senyum itu pun seketika pudar saat dia melihat seorang wanita cantik juga turun dari mobil yang sama dengan suaminya. "Kenapa kamu belum tidur, ini sudah sangat larut?" tanya Bagas tanpa ekspresi."Aku sedang menunggumu, Mas." Amiera melirik ke arah wanita yang berdiri di samping suaminya."Oh iya, di adalah Luna. Selama sebulan kedepan dia akan tinggal di sini," ucap Bagas lalu menggandeng wanita itu masuk ke dalam rumah. Dia bahkan tidak mempedulikan istrinya yang terpaku, terkejut dengan apa yang di katakan oleh suaminya."Tunggu, Mas. Kenapa dia
Dasar jalang, apa kamu sengaja ingin menggoda suamiku, Hah?" bentak Amiera.Luna terlihat cuek, dia berdiri dan hendak pergi. Tapi tangannya di cekal oleh Amiera. "Kenapa kamu tidak menjawab, apa kamu bisu?" "Aku kemari hanya ingin mengantarkan kopi. Apa itu salah, bukankah seharusnya kamu berterima kasih karena sudah melakukan tugasmu?” Luna tersenyum sinis dan melepaskan tangan Amiera dari lengannya. Dia seolah tak peduli dengan kemarahan wanita itu."Mengantarkan kopi, dengan pakaian seperti ini?" Amiera menarik baju Luna dan tersenyum sinis."Apa salahnya dengan bajuku, bukankah aku sangat cantik dengan baju ini. Iyakan, Mas?" Lina mendekati Bagus dan tersenyum. Membuat pria itu terpesona."Iya, kamu sangat cantik," jawab Bagas tanpa sadar. "Brengsek, kamu memang lelaki brengsek." Amiera marah mendengar jawaban suaminya, dia pun berlari keluar dari ruangan itu dan menabrak Luna kasar. Luna pun hampir saja jatuh, tapi tubuh wanita itu segera di tangkap oleh Bagas. Adegan itu s