Share

Part 4.

Dengan tergesa Bu Ranti memasuki kantor menantunya. Dia tidak memperdulikan apa yang dikatakan salah seorang karyawan jika Bagas saat ini sedang ada tamu. Wanita itu masuk ke dalam ruangan Bagas tanpa mengetuk pintu.

Tak hanya Bagas yang terkejut, Bu Ranti juga dibuat shock dengan pemandangan yang ada di depannya. Bagaimana tidak, saat ini dia sedang melihat menantunya memangku seorang wanita cantik di atas kursi kerjanya. 

"Apa yang sedang kalian lakukan?" 

Bagas segera mendorong tubuh Luna, dia berdiri dan berjalan mendekati mertuanya.

"Semuanya tidak seperti yang Ibu lihat. Tadi dia hampir jatuh dan Saya menolongnya."

Bagas terlihat gugup, sedangkan Luna hanya diam dan bersikap santai seolah tidak ada yang terjadi.

"Mataku tidak buta, jadi jangan membohongiku." Bu Ranti mendekati Luna, dia menarik lengan wanita itu.

"Keluar dari sini. Jangan mengganggu suami orang lagi, dasar jalang!" 

"Aku tidak akan pergi, Tante. Karena ku bekerja di sini." Luna melepaskan tangannya dari cengkeraman Bu Ranti dengan kasar, membuat Ibu Amiera itu hampir saja terjatuh.

"Kamu membawa wanita ini kerja di sini?" tanya Bu Ranti  pada sang menantu.

"Dia memang bekerja di sini, Bu. Jadi jangan membuat keributan lagi, malu." 

Bu Ranti terkekeh. 

"Kamu malu dengan apa yang terjadi sekarang. Tapi saat kamu memangku wanita jalang ini tadi kamu tak merasa malu sedikitpun. Bahkan kamu terlihat sangat menyukainya." Bu Ranti mengeraskan suaranya, mungkin dia sengaja agar ada yang mendengar perkataannya. 

"Bu, tolong jaga sikap. Anda mertua saya, tapi di sini tempat kerja. Jangan bertindak keterlaluan!" Bagas mendekati mertuanya, berusaha membuat wanita itu keluar dari ruangannya. Tapi dia kembali dikejutkan dengan kedatangan Karin yang sudah berdiri di ambang pintu.

"Apa yang terjadi, kenapa kamu mengusir Tante Ranti?" tanya Karin pada Bagas.

"Kebetulan kamu datang. Katakan pada Tante, apa wanita ini yang Bagas bawa ke rumah?" Bu Ranti langsung menunjuk ke arah Luna yang masih berdiri santai. 

"Iya, Tante. Dia wanita itu," jawab Karin pelan. 

Bu Ranti langsung tersenyum getir setelah mendengar jawaban Karin. Wanita itu menatap Luna dan Bagas bergantian. Tanpa banyak bicara dia pun beranjak pergi. Tapi baru beberapa langkah, wanita itu berhenti dan menoleh ke arah menantunya.

"Jika kamu tidak lagi menginginkan anakku, maka ceraikan dia. Setelah itu kamu bebas melakukan apapun yang kamu mau."  Setelah berkata demikian, wanita itu pun pergi dan  tak menoleh sedikitpun ke belakang. 

Sementara itu, di kediaman Bagas. Amiera kini sedang bermain dengan putrinya. Mereka terlihat sangat asyik. Saling canda dan ceria. Tapi wajah keduanya langsung berubah menjadi tegang saat mendengar suara mertuanya yang sedang berteriak memanggil namanya.

"Kamu tunggu di sini, Ibu akan temui nenek." Amiera memberikan boneka pada Amel lalu segera berdiri dan menuju ke ruang tamu. 

Kedatangan Amiera langsung mendapatkan tatapan tajam dari sang mertua. Tapi Amiera sama sekali tidak terkejut karena dia memang selalu mendapatkan tatapan seperti saat bertemu dengan mertuanya. 

"Kamu lagi ngapain, dari tadi aku panggil kenapa baru datang?" bentak Ibu Bagas.

"Maaf, Bu. Tadi saya sedang bermain dengan Amel, jadi tidak mendengar saat Ibu memanggil," jawab Amiera. 

"Tidak dengar atau kamu memang malas?" 

"Sungguh, Bu. Aku sama sekali tidak mendengarnya,"   jawab Amiera.

Ibu Bagas menghela nafas kasar. Wanita itu lalu melemparkan dua kantong belanjaan ke lantai. 

"Masaklah makanan yang enak. Hari ini  Luna pertama kali bekerja, jadi harus dirayakan," ucap Ibu Bagas.

Amiera terpaku, dadanya terasa sesak. Dia ingat benar dulu saat ulang tahun Amel yang pertama, Ibu mertuanya sangat melarang dia dan Bagas untuk merayakan. Pemborosan katanya, tapi sekarang Ibu mertuanya itu malah ingin merayakan hari pertama kerja untuk Luna yang jelas adalah orang luar.

"Kenapa Ibu tiba-tiba murah hati. Apa tidak takut pemborosan." Amiera duduk di kursi, membuka belanjaan yang tadi dibawa oleh mertuanya.

"Diamlah, jangan banyak bicara. Kamu tinggal masak, gak keluar duit ini. kenapa cerewet sekali." 

Amiera tidak menjawab. Wanita itu asyik menurunkan belanjaan dan menaruhnya di atas meja. Di sana ada daging sapi, daging ayam, udang, cumi, sayur dan juga beberapa buah yang biasanya tidak diperbolehkan untuk Amiera beli. 

"Terimakasih Ibu sudah berbelanja. Saya  akan menaruhnya di kulkas." Amiera kembali memasukkan semua belanjaan ke dalam kantong dan membawanya menuju ke arah kulkas.

"Aku menyuruhmu untuk memasak sekarang. Kenapa malah kamu masukkan ke dalam kulkas?" tanya Ibu Bagas kesal.

"Maaf, Bu. Hari ini saya tidak  bisa memasak. Ada urusan penting di luar. Kalau memang Ibu mau masak ya silahkan!" 

Amiera menutup pintu kulkas , dia lalu beranjak dari dapur. Tapi baru beberapa langkah, lengannya di cekal oleh Ibu mertuanya.

"Urusan apa yang penting. Palingan kamu hanya akan ke rumah Ibumu dan ngerumpi," ucap mertua Amiera. 

"Maaf, Bu. Tolong lepaskan tangan saya. Saya buru-buru!" 

"Aku tidak akan melepaskannya tanganmu. Kecuali kamu mau masak." Ibu Bagas menyeret Amiera kembali di dapur. Wanita itu ingin memaksa Amiera untuk masak.

"Lepaskan saya, Bu.  Saya tidak bisa masak, mungkin lebih baik ibu rayakan saja di restoran. Mas Bagas pasti akan menuruti perkataan Ibu." Amiera berontak, berusaha melepaskan tangan mertuanya. 

"Tidak bisa, aku sudah terlanjur belanja. Rugi dong kalau aku harus keluar uang lagi untuk  biaya makan." 

Amiera menghela nafas panjang. 

"Kalau begitu, lebih baik Ibu saja yang masak. Aku tidak akan mau, jadi jangan diharapkan." Amiera beranjak pergi, diiringi panggilan dan tatapan penuh kekesalan dari sang mertua, tapi wanita itu tidak peduli. Dia tidak ingin merendahkan dir lagi.

Tentu saja Amiera tidak terima dengan perlakuan mertuanya. Biasanya dia selalu patuh, apapun yang ingin dilakukan oleh mertuanya selalu dia penuhi. Hanya saja kali ini dia tidak akan melakukannya. Memasak untuk wanita yang jelas-jelas sudah menggoda suaminya. Rasanya akan jadi konyol dan memalukan jika dia melakukannya. 

 “Dasar wanita tidak tahu diri. Hidup enak, uang tinggal minta tapi gak tahu diuntung.” Amiera masih mendengar mertuanya terus menggerutu. Bahkan dia juga membanting sesuatu dari dapur, tapi kali ini dia tak mau berbalik dan menghibur mertuanya. Dia justru masuk ke dalam kamar dan segera menggendong anaknya. Wanita itu mengganti baju Amel dan juga dirinya. 

Tatapan mata sang anak membuat hati wanita itu kembali teriris. Tatapan itu seoalh bertanya  mengapa neneknya begitu tidak menyayanginya.  Mengapa dia tidak diperlakukan baik oleh Ibu dari Ayahnya. Tapi Amel belum mengerti, Amieralah yang harus menanggung semuanya sendirian.

“Ayo kita pergi, Nak.” Amel menyambar tas selempang yang ada di meja lalu beranjak keluar dari rumah. Ada kekhawatiran di wajah wanita cantik berkulit sawo matang itu. Meski dia tidak tahu apa yabg saat ini membuatnya khawatir, tapi dia punya firasat jika ibunya sedang tidak baik-baik saja.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status