Share

Berduka

Dengan tergesa Bagas mengemas pakaian ke dalam koper. Wajah panik terlihat jelas, dia pun buru-buru menyeret koper keluar rumah.

"Mau kemana kamu, Nak?" tanya Ibu Bagas saat melihat anaknya memasukkan koper ke dalam mobil.

"Aku ada kerjaan keluar kota, Bu." Bagas langsung naik ke dalam mobil tanpa peduli pada tatapan sang ibu.

"Keluar kota dengan siapa. Kenapa kamu tidak mengajak Luna?" 

Ibu Bagas menahan pintu mobil dan menatap putranya.

"Bu, ini urusan kantor. Untuk apa aku harus mengajak Luna. Lagipula, ini tidak ada hubungannya dengan dia." 

"Dia kan bisa bantu kamu nanti." ibu Bagas  seolah ingin memaksa anaknya untuk mengajak Luna.

"Bu, tolong jangan buat urusan semakin runyam. Aku terburu-buru.” Bagas memalingkan wajahnya, berharap Ibunya tahu jika dia tidak bisa memenuhi keinginan sang Ibu.

Ibu Bagas menghela nafas panjang dan menutup pintu mobil dengan kesal. Sedangkan Bagas, dia langsung menghidupkan mesin mobilnya dan segera pergi. 

"Ada apa, Tante. Kenapa terlihat kesal begitu?" tanya Luna sambil berjalan mendekati Ibu Bagas. 

"Tante kesal dengan Bagas. Dia keluar kota, tapi dia tidak mengajakmu.”

"Tidak masalah, Tante. Mungkin Mas Bagas ada urusan penting. Nanti biar aku telepon dia." Luna mengusap bahu Ibu Bagas, berusaha membuat wanita itu tenang. Tapi dalam hatinya dia juga merasa kesal dan kecewa. Seharusnya hal ini adalah kesempatan bagus untuk merayu Bagas. 

"Kamu harus bisa menahlukan anak itu. Aku tidak mau dia terus saja terjebak dengan Meira yang tak berguna itu." Ibu Bagas meraih tangan Luna dan menggenggamnya, menatap wajah wanita cantik itu penuh harap.

Luna tersenyum senang, dalam hati dia merasa menang karena punya dukungan.

"Tante tenang saja, Luna akan berusaha."

"Tante akan mendukungmu. Katakan saja jika butuh bantuan." 

Luna menganggukkan kepala. Dia pun berpamitan dan pergi bekerja. 

Sementara di tempat lain, Amiera yang saat ini sedang gelisah karena tidak bisa menghubungi suaminya pun terus menatap ke arah ponsel. Dalam hati dia berharap lelaki yang dia cintai datang dan menghibur dirinya. Tidak butuh dia datang dan memeluknya, hanya butuh suaminya menelepon dan menanyakan keadaan Ibunya. Hanya saja yang dia inginkan tidak pernah terjadi. 

"Mas, kenapa kamu terus seperti ini?" Air mata Amiera tanpa sadar menetes. Dia benar-benar ingin mendapatkan perhatian dari sang suami di saat sulit seperti sekarang. Ini memang bukan kali pertamanya Bagas bersikap begitu, dia sudah sering membuat Ameira kecewa.

Amiera termenung.  Entah sampai kapan dia harus menjalani kehidupan yang seperti sekarang. Dari pertama menikah hingga sekarang, dia terus berusaha untuk mengejar perhatian sang suami. Kadang, dia ingin menyerah, tapi dia tidak berani untuk menghadapi kenyataan kedepannya.

"Mbak, kondisi Ibu anda memburuk." Tiba-tiba seorang perawat datang menghampirinya dengan wajah panik.

Amiera pun terbangun dari lamunannya, bangkit dan mengikuti langkah perawat dengan tergesa. 

"Apa yang terjadi, Sus. Kenapa bisa Seperti ini?" tanya Amiera saat mereka sudah berada di depan ruang ICU. 

"Detak jantung Bu Ranti tiba-tiba melemah. Tapi dokter sudah menanganinya," jawab perawat itu lalu masuk kedalam ruangan. 

Amiera menatap pintu ruang ICU nanar. Pandangannya tiba-tiba menggelap.

"Ibu harus bertahan, jangan tinggalkan aku dan Amel." Amiera terduduk di lantai, pikiran wanita itu 

Dia mengambil ponsel, berusaha menghubungi suaminya, tapi ponselnya tidak aktif. Wanita itu beralih menghubungi Karina, tapi sahabatnya itu juga  tak mengangkat panggilannya.

Amiera menangis. Bingung harus melakukan apa. Akhirnya dia hanya diam dan menunggu dengan kepanikan.

Hampir setengah jam Amiera duduk di lantai dan menunggu dokter keluar. Dia terus berdoa agar semuanya baik-baik saja. Wanita itu langsung bangkit saat melihat pintu ruangan di depannya terbuka. 

"Bagaiaman keadaan Ibu saya, Dok?" tanya Amiera.

Dokter menghela nafas panjang. Dia mengusap pundak Amiera pelan. "Kami sudah berusaha, tapi Tuhan berkata lain. Kamu yang sabar ya!"

 

Tubuh Amiera lunglai seakan tak bertulang. Tiba-tiba badannya terasa berat dan dia tak sadarkan diri. 

Saat Amiera terbangun, dia berada di sebuah ruangan. Wanita itu membuka matanya, dia pun ingat dengan kejadian terakhir dan  langsung menangis tersedu. Dia bangun  dan segera berlari keluar.

"Dimana Ibuku?" teriak Amiera saat melihat dokter lewat di depannya.

"Tenanglah. ibumu ada di ruang jenazah, kamu harus segera mengurusnya," ucap Dokter.

Amiera berjalan gontai, mengikuti langkah perawat yang menunjukkan keberadaan jenazah sang Ibu. Wanita itu kembali histeris saat melihat tubuh kaku sang Ibu.

"Bangun, Bu. Jangan tinggalkan Amiera?"  Amiera mengguncang tubuh  bu Ranti dan hilang kendali.

"Tenanglah, Ra. Kamu tidak boleh seperti ini. Kasihan Tante Ranti jika kamu Seperi ini," ucap seorang lelaki yang tiba-tiba datang dan meraih pundak Amiera. 

"Siapa kamu?" tanya Amiera  terkejut.

"Namaku Satria," jawab lelaki itu sambil menatap Amiera sendu.  Wajah lelaki itu terlihat sedih saat menatap Amiera.

"Satria?" Amiera berusaha mengingat siapa lelaki yang ada di depannya.

"Iya, dulu saat SMA aku pernah ...

Satria tidak meneruskan kalimatnya. Wajah lelaki itu menunduk.

"Iya, aku ingat. Tapi kenapa kamu ada di sini?" 

"Itu tidak penting. Lebih baik sekarang kita urus jenazah Tante Ranti. Kasihan jika terlalu lama di sini," ucap Satria.

Amiera mengangguk setuju. Amiera terus menangis. Sementara Satria mengurus administrasi agar jenazah Bu Ranti bisa segera di bawa pulang. 

Satu jam kemudian, Jenazah Bu Ranti pun di bawa pulang ke rumah duka. 

Amiera sedikit terkejut karena semua persiapan pemakaman sudah di urus oleh Satria. Sedangkan dia daritadi terus berusaha untuk menelpon suaminya, tapi sama sekali tidak di angkat. 

Sampai jenazah di makamkan, Bagas tak juga bisa di hubungi.

"Apa suamimu sangat sibuk?" tanya Satria yang melihat Amiera terus berusaha menelpon suaminya.

"Iya, dia di luar kota," jawab Amiera sambil menundukkan kepalanya. Dia ingin menyembunyikan wajah penuh kecewanya dari Satria.

"Ya sudahlah, toh semuanya sudah berlalu. Yang penting sekarang kamu harus jaga kesehatan, ingat kamu masih punya Amel yang harus diurus," ucap Satria dengan senyum tipis di bibirnya.

Amiera menganggukkan kepalanya. 

“Jadi kamu tidak kunjung pulang karena ingin berduaan dengan lelaki itu?” Tiba-tiba Ibu mertua Amiera datang dan langsung menatap sinis ke arah Satria. 

“Ibu, mana Mas Bagas?” tanya Amiera sambil melihat keluar, berharap suaminya datang.

“Dia masih di luar kota. Aku datang bersama Luna,” jawab Ibu Bags ketus. 

Tak lam, Luna pun masuk. Dia langsung mendekati Amiera dan memeluknya.

“Aku turut berduka cita ya, Mbak,” ucap Luna.

“Terimakasih.” Amiera tersenyum walau dalam hati  sangat kecewa karena suaminya tidak datang.

“Apa Mbak Amiera sudah menelepon Mas Bagas?” tanya Luna dengan suara lembut.

“Sudah, tapi tidak diangkat.” Suara Amiera serak, menahan sedih dan kekecewaan.

“Coba aku bantu telepon,” ucap Luna lalu mengambil ponsel dalam tasnya. Dia pun mulai menelepon dan tak lama, Bagas lanĝsung mengangkatnya. 

Luna tersenyum smirk, dia langsung mengatakan pada Bagas jika Ibu Amiera meninggal. Tapi yang membuat semuanya terkejut adalah, ada suara seorang wanita yang memanggil Bagas dengan begitu mesra. 

Luna yang saat itu menyalakan loudspeaker ponselnya pun langsung melirik ke arah Amiera. Dia segera mematikan ponselnya. 

Amiera menangis tersedu. Meski dia tidak ingin berprasangka. Tapi dia juga tidak bisa menahan pikiran buruk tentang hal itu. Wanita itu segera berlari ke kamar dan

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status