Karin membawa Amel kekamar Amiera. Wanita itu langsung meletakkan Amel yang sedang tidur di atas ranjang. Amiera hanya diam, wanita itu menatap sahabatnya lekat. “Kamu kenapa, Ra. Kenapa menatapku begitu?” “Tidak ada, aku hanya merasa sangat beruntung karena memiliki sahabat yang sangat baik dan pengertian sepertimu.” Amiera berjalan mendekati ranjang, menatap sendu ke arah putrinya dan mengusap kepalanya dengan lembut. “Lebih baik kamu istirahat. Hari sudah larut” ucap Karin lalu membalikkan badan dan hendak pergi. “Rin. Jika aku pernah memiliki salah, tolong maafkanlah.” Amiera menatap punggung sahabatnya, mata wanita itu terlihat berkaca-kaca. Karin tampak bingung. “Apa di antara kita ada masalah, Ra?” Karin kembali mendekati Amiera dan menatap sahabatnya lekat. Hati wanita itu mulai tidak tenang. “Aku tidak merasa ada masalah, aku hanya takut kamu yang memilikinya,” jawab Amiera. Karin semakin bingung. Dia terus menatap sahabatnya dengan segudang tanya dalam hat
Part 9. Rayuan sang pelakor bayaran“Ibu akan tahu nanti,” jawab Bagas lalu beranjak pergi dengan cepat. Tidak peduli dengan Ibunya yang terus memanggilnya. Luna yang dari tadi bersembunyi di kamar mandi pun muncul dan mendekati Ibu Bagas. “Sudahlah, Tante. Jangan paksa Mas Bagas. Aku mungkin tidak cukup baik untuknya.” Luna menundukkan wajahnya, berpura-pura sedih dengan apa yang terjadi.Ibu Bagas bangkit dan mendekati Luna. Dia menggenggam tangan wanita itu dan berusaha untuk menghiburnya.“Kamu tidak usah khawatir. Siapapun wanita itu, dia tidak akan berhasil menikah dengan Bagas.”“Tapi Tante sudah dengar sendiri kalau Mas Bagas tidak akan menikah denganku, tapi dengan wanita lain.” Luna kembali menunjukkan wajah menyedihkan di depan Ibu Bagas, bahkan kali ini dia mengeluarkan airmata buayanya.“Aku tidak akan setuju. Bahas pasti akan menurut,” ucap Ibu Bagas tegas. Meyakinkan Luna hingga wanita itu pun diam-diam tersenyum. “Semoga saja Mas Bagas mendengarkan Tante.” Luna pun
Amiera sedang menyuapi anaknya sarapan. Dari pagi Amel terus merengek ingin bertemu dengan ayahnya. Tapi sudah berkali-kali di telepon, Bagas tidak mengangkatnya. Selain merasa kesal, Amiera juga kecewa. “Makanlah yang banyak, Nak.” Amiera terus membujuk putrinya. Tapi gadis kecil itu justru menutup mulut dengan kedua tangan mungilnya. “Eh, kenapa gadis cantik Paman gak mau makan?” Tiba- tiba Satria datang dan langsung duduk di samping Amel. “Gak mau makan, maunya Ayah,” ucap Amel dengan suara serak menahan tangisnya. Satria melihat ke arah Ameira sekilas. Dia mengambil alib makanan yang ada di tangan Amiera. “Makan dulu, ya. Nanti Paman kasih kamu hadiah,” bujuknya. Wajah Amel berubah ceria. Dia langsung membuka mulutnya. Satria menyuapi Amel hingga nasi yang ada di piring hampir habis, itu membuat Amiera berkaca-kaca. Seandainya, jika lelaki yabg begitu perhatian pada Amel itu adalah suaminya, dia pasti akan sangat bahagia. “Apa yang kamu lihat, Ra?” Satri
Bagas menghela nafas berkali-kali. Dia tidak habis pikir dengan perubahan sikap sang istri yang begitu besar. Dari yang biasanya penurut dan tak banyak bicara. Kini menjadi wanita yang susah untuk diajak bicara. Bahkan menurutnya, Amiera kini seolah sangat membenci dirinya. Lamunan Bagas buyar saat ponselnya berdering. Nama Luna terpampang di layar ponsel. Dia pun mengangkatnya, berbicara sebentar lalu memutuskan untuk pergi. Mobil yang dikemudikan Bagas belok ke sebuah rumah sang Ibu. Pria itu turun dengan tergesa. Dia langsung masuk ke rumah itu, di sana dia melihat Luna sedang memijat kaki Ibunya. “Bagaimana Ibu bisa jatuh?” tanya Bagas sambil duduk di dekat sang Ibu. “Ibu terpeleset, untungnya tidak apa-apa,” jawab Luna. Bags menatap sang Ibu, membuat wanita yang bernama Herawati itu kesal. “Aku benar-benar jatuh, aku tidak bohong kali ini,” ucapnya dengan serius. Bagas menghela nafas panjang. Selama dia menikah dengan Amiera, entah sudah berapa kali ibunya itu b
“Cerai ?” Bagas terkejut dengan perkataan Meira. Dia sama sekali tidak menyangka wanita yang selama ini sangat takut ditinggalkan olehnya justru mengucapkan kata cerai.“Ya. Lebih baik kita cerai. Bersama pun tidak ada gunanya. Hanya saling menyakiti,” jawab amiera dengan mata memerah menahan tangis.Bagas terpaku. Selama ini dia selalu menginginkan perceraian. Dia ingin bersama Karin, tapi entah mengapa saat Amiera meminta cerai, hatinya terasa begitu sakit. “Apa kamu ingin bercerai karena dia?” Bagas menunjuk ke arah Satria yang sepertinya juga terkejut dengan apa yang diucapkan Amiera.“Apa kamu pikir seperti itu?” tanya Amiera sinis.“Ya, selama ini kamu tidak pernah seperti ini. Tapi setelah bertemu dengannya kamu berani meminta cerai dariku.” Amiera terkekeh.“Aku memang selama ini diam, tapi aku tidak buta. Aku menerima semuanya, tapi aku tetap merasa sakit.” Air mata Amiera mengalir deras di pipi. Dia langsung mengusapnya dengan kasar. Mengingat hari-hari sulit yang sudja
‘Luna.. keluar kamu!” Karin berteriak sambil menggedor pintu rumah Bu Hera. Tak lama kemudian, Luna muncul di gandeng ibunya Bagas. “Ngapain kamu kemari, Ameira tidak ada disini.” Bu Hera menatap karin, dia mengira jika wanita itu sedang mencari menantunya. Karin tidak mempedulikan Bu Hera, dia terus menatap Luna. “Dasar wanita sialan, kenapa kamu mengkhianatiku?” “Jaga mulutmu, berani sekali kamu bicara kasar pada calon menantuku.” Bu Hera mendorong Karin hingga wanita itu mundur beberapa langkah. “Calon menantumu itu aku, Tante.” Karin menujuk ke arah dirinya sendiri, dia tidak menyangka jika Bu Hera justru ingin menjodohkan Bagas dengan Luna. “Kamu … Bu Hera tidak percaya, dia menyangka jika Karin hanya membohonginya. “Apa Tante tidak tahu jika putramu akan segera bercera dan menikah denganku.” Karin tampak sombonh, dia seolah inhin menunjukkan pada Luna jika Bagas hanya menyukainya. Tapi nyatajya, Luna sama sekali tidak peduli, bahkan wanita itu hanya tedseny
“Untuk apa kamu datang kemari?” tanya Amiera tanpa mempersilahkan luna duduk. Terlihat jelas kebencian di matanya. “Apakah kamu tidak ingin mempersilahkan aku duduk.” Luna melihat ke arah Amiera sinis. “Tidak, aku yakin kamu kemari tidak untuk duduk bukan. Jadi cepat katakan, apa yang kamu inginkan?” Luna tidak mempedulikan Amiera, dia duduk di sofa dan meletakkan tasnya di atas meja. “Aku sangat haus, bisakah aku minta minum,” ucapnya. “Tidak usah basa-basi. Cepat katakan apa maumu. Atau kalau tidak, cepatlah pergi.” Amiera sama sekali tidak peduli dengan permintaan Luna. Wanita cantik itu tetap berdiri dan menatap Luna tajam. “Baiklah, ternyata kamu sungguh sudah tidak sabar mendengar berita bagus dariku,” ucap Luna. “Cepat katakan!” bentak Amiera. “Tidak usah berteriak, aku tidak tuli.” luna berdiri dan menghampiri Amiera. “kamu tidak tuli, tapi kamu tidak tahu malu,” ucap Amiera dengan nada sinis. “Apa maksudmu?” “Apa perlu bertanya, apa kamu tidak merasa
Mata Amiera membulat saat dia melihat ada sebuah truk melaju kencang ke arah Bagas. Dia ingin berlari, tapi matanya melihat sahabatnya sudah lebih dulu berlari. “Dasar pria gila!” teriak Karin. Wanita cantik itu menarik tangan Bagas dan akhirnya mereka berdua jatuh ke aspal bersamaan.“Lepaskan aku!” Bagas ingin berdiri tapi langsung di halangi oleh Karin. “Sebenarnya apa yang ada dalam otakmu saat ini. Kenapa kamu tiba-tiba ingin mati?” tanya Karin.Bagas diam, dia melirik ke arah Amiera yang tak jauh dari mereka. Begitu juga dengan Karin, wanita itu melihat ke arah Amiera yang hanya membisu ke arah mereka.Hati Karin sakit, dia benar-benar tidak menyangka jika Bagas akan melakukan itu demi Amiera.“Apa kamu bertengkar dengan Amiera?” tanya Karin.“Tidak.” Bagas berdiri, dia berjalan menjauh dari Karin dan mendekati Amiera. “Maafkan aku sekali ini. Aku janji akan memperlakukanmu dengan baik,” ucapnya. “Apa ada masalah dengan otakmu, Mas?” tanya Amiera. “Ra, tidakkah kamu melih
Bagas mondar mandir di depan ruang ICU. Karin yang duduk di bangku pun menatap pria itu tidak suka.“Apa kamu sangat menyayangi anak dalam kandungan pelacur itu?” tanya Karin dengan nada sinis.Bagas menatap Karin tidak suka. “Kamu seorang wanita, seandainya ini terjadi padamu, bagaimana rasanya?”“Oh, jadi sekarang kamu membandingkan dia dengan aku. Apa dia pantas? Dia hanya wanita yang aku bayar untuk membuat Amiera pisah denganmu,” ucap Karin dengan mata berkaca-kaca.Bagas terpaku saat melihat mata Karin berkaca-kaca. “Aku tak bermaksud begitu, Rin. Aku hanya ingin semuanya berjalan dengan baik.” “Jadi kamu tidak ingin meninggalkan wanita itu?” tanya Karin dengan tatapan nanar.Bagas kembali terdiam. Kebimbangan kembali menghampirinya.Melihat Bagas hanya diam, Karin mengusap air mata yang mulai mengalir di pipinya. “Baik, jika memang kamu tidak akan meninggalkan wanita itu, maka aku yang akan pergi.” Karin membalikkan badan dan beranjak pergi.Melihat Karin menjauh, hati Bagas
“Terima kasih sudah membelaku,” ucap Amiera saat mereka sudah berada dalam mobil. “Tidak usah berterima kasih, kamu adalah calon istriku, sudah sewajarnya aku bela.” Satria tersenyum manis, dia mencondongkan tubuhnya ke arah Amiera dan membuat wanita itu terkejut dan salah tingkah.“Apa yang ingin kamu lakukan?” tanya Amiera dengan jantung yang berdegup kencang.q“Memakaikan sabuk pengaman,” ucap Satria sambil tersenyum.Amiera terdiam, dia mengira jika pria itu akan menciumnya, pipinya pun memerah.Satria menyalakan mobil dan segera mengantar Amiera pulang. Sedangkan Amiera, dia hanya diam sepanjang perjalanan. “Ra, bisakah kita menikah secepatnya?” tanya Satria saat Amiera akan turun dari mobilnya.“Apakah harus terburu-buru?” tanya Amiera sambil menundukkan kepala.“Aku takut kamu akan berubah pikiran dan meninggalkan aku.”Satria menatap wajah Amiera lekat, terlihat banyak harapan di wajah pria itu.“Tenanglah, aku bukanlah orang yang gampang berubah pikiran.” Amiera melepaska
Bagas berjalan keluar dari rumah Karin, pria itu mengusap wajahnya kasar. Dia bingung harus melakukan apa. Saat ini dia tidak ingin kehilangan Karin, tapi dia juga tidak mau menggugurkan anak yang dikandung Luna. Dengan enggan dia masuk ke dalam mobil dan menyalakannya. Dia tak ingin pulang, belum sanggup untuk menghadapi Luna dan juga Ibunya. Ada sedikit rasa bersalah dalam diri pria itu pada Luna. Meski tak ada perasaan apapun pada wanita itu, tapi dia pernah tidur dengannya dua kali. Mungkin perasaan tidak ada, tapi bayi dalam kandungan itu adalah darah dagingnya.Titt …Hampir saja Bagas menabrak pejalan kaki yang sedang menyeberang. Membuat pria itu terkejut dan ngerem mendadak.“Apa kamu buta, gak lihat kalau lampu merah?” bentak wanita yang hampir saja dia tabrak.“Kamu yang jalan sembarangan.” Bagas turun dari mobil dan menyeret wanita itu ke tepi jalan dengan kasar.“Dasar pria bajingan.” Wanita itu mendorong Bagas dengan sekuat tenaga, membuat Bagas emosi. “Katakan siapa
Seminggu sudah berlalu, hari ini adalah hari di mana Bagas dan Luna menikah. Kediaman Bu Hera tampak ramai, karena mereka melaksanakan akad nikah di rumah.“Akhirnya kamu akan resmi menjadi bagian keluarga ini,” ucap Bu Hera sambil mengusap rambut Luna lembut. “Semua ini berkat kerja keras Ibu,” ucap Luna sambil bergelut manja di lengan Bu Hera.“Apapun keinginanmu, Ibu pasti akan berusaha untuk kabulkan.” Bu Hera tersenyum senang, dia pun membawa Luna untuk turun untuk melakukan ijab qabul.“Apa ijab qabul sudah bisa dimulai?” tanya penghulu pada Bagas.Bagas tidak menjawab, pria itu justru melamun. Entah apa yang saat ini dia pikirkan. “Pak, apakah sudah siap ijab?” penghulu kembali mengulangi pertanyaannya. “Sebentar, Pak.” Bagas berdiri dan meninggalkan ruangan itu, dia mengeluarkan ponsel dari sakunya dan menelepon seseorang. “Siapa yang kamu telepon?” tiba-tiba Bu Hera muncul di belakang Bagas.“Bu,kenapa kamu ada di sini?” Bagas terkejut dan langsung mematikan ponselnya.“
Bagas membuka matanya pelan, pria itu memegangi kepalanya. Matanya berbinar saat melihat ada Ameira di sana. ‘Ra, kamu disini?” Bagas langsung ingin memeluk Amiera, tapi wanita itu langsung menghindar. “Kalau kamu sudah sembuh, lebih baik kamu segera pulang. Ibu dan dua kekasihmu pasti kebingungan mencari,” ucap Amiera.Bagas terdiam “Kepalaku masih pusing,” ucapnya sambil memegang kepalanya. Bagas pun melihat ke arah lain, di sana dia melihat ada Satria. Wajah yang tadinya berbinar pun berubah kesal.“Kenapa kamu ada disini?” tanya Bagas sedikit ketus.“Seharusnya aku yang bertanya, kenapa kamu bisa ada di rumah orang tuaku?” Satria berdiri dan mendekat ke tempat tidur. “Orang tuamu?” Bagas terkejut, dia melihat ke arah Amiera, seolah ingin meminta wanita itu memberikan jawaban yang benar.Satria hanya mendengus kasar, kesal karena Bagas melihat ke arah wanita yang dia cintai. “Tidak usah bertanya pada Amiera, tanya saja pada ayah dan Ibuku, mereka siap memberi jawaban yang ben
Semakin hari, hubungan Amiera dan Satria semakin dekat. Keduanya sering pergi bersama, baik itu bersama Amel atau hanya berdua saja.Kedekatan mereka tentu saja membuat Bagas kesal. Pria itu semakin menyesal karena telah menyia-nyiakan Amiera. Menyesal karena baru menyadari betapa dia mencintai ibu dari anaknya setelah dia benar-benar kehilangan. Seperti halnya hari ini. Bagas pulang bekerja dan ingin menemui Amel. Tapi saat sampai di rumah Amiera, pria itu justru melihat Amiera sedang duduk di teras rumah bersama dengan Satria dan Amel. Mereka bercanda tawa layaknya keluarga kecil yang bahagia.Tangan Bagas mengepal, menahan nyeri dalam hatinya. Akhirnya dia memutuskan untuk pergi. Dia mengemudi dengan kecepatan tinggi.Brak …Tanpa sengaja Bagas menabrak gerobak mie ayam yang tiba-tiba menyeberang. Kepala pria itu berdarah karena membentur setir. “Ahh..Bagas memegang kepalanya, pria itu turun dari mobil dengan menahan kesakitan. “Apa Bapak baik-baik saja?” tanya Bagas pada Bap
PrangBagas melempar vas bunga ke arah tembok. Pria itu benar-benar mengamuk setelah dia tahu jika Luna sengaja memberikan udang pada Amel dan itu adalah ide ibunya. Luna dan Bu Hera saling berpelukan. Selama ini, Bu Hera tidak pernah melihat anaknya semarah ini padanya. Dulu, semua yang dikatakan pria itu hanya menurut saja. Tapi sekarang semua kata-kata yang dia ucapkan sama sekali tidak di dengar oleh Bagas. “Kenapa Ibu tega melakukan ini, dia juga cucumu bukan?”“Dia bukan cucuku. Hanya anak yabg lahir dari rahim Luna lah yang aku akui sebagai cucu,” jawab Bu Hera.“Tapi Amel juga putrimu, Bu. Dalam dirinya mengalir darahku.” Bagas menatap sendu ibunya, seolah dia memohon pada wanita tua itu untuk memperlakukan Amel dengan baik.“Terserah, aku tidak peduli. Yang jelas cucuku hanya satu, yaitu anak dalam kandungan Luna. Jadi kaku harus segwra menikahinya.” Bu Hera menggandeng tangan Luna dan membawa wanita itu naik ke kamarnya. Sedangkan Bagas, pria itu hanya memijat kepalany
Bagas duduk di bangku yang ada di halaman rumah sakit. Pria itu merenungi apa yang dikatakan oleh mantan istrinya. Dia sadar jika selama ini dia tidak melaksanakan kewajiban sebagai Ayah ataupun suami. Rasa sesal yang mendalam dalam hati Bagas hanya bisa dia simpan. Karena semua itu kini tak ada gunanya lagi. Lelaki yang diinginkan Amiera untuk tetap disisinya bukan lagi dia. Ayah yang diinginkan oleh putrinya pun kini bukan lagi dirinya. Dalam kegundahan, dia dikejutkan dengan kedatangan Luna dan Ibunya. “Ngapain kamu di sini, Mas. Bagaimana keadaan amel?” tanya Luna.Bags menatap tidak suka pada dua wanita yang baru saja datang itu. “Untuk apa kalian kemari?” tanyanya. “Tentu saja kami ingin menjenguk Amel. Apakah dia baik-baika saja?” Luna langsung duduk di samping Bagas, wanita itu menggandeng lengan Bags manja. “Pulanglah, Amel sudah membaik,” ucap Bagas cuek. Bu Hera langsung melotot pada anaknya. Dia tidak terima calon menantu kesayangannya diperlakukan dingin seperti i
Amiera terus merapalkan do’a. Airmata wanita itu terus mengalir. Bagaimana tidak, sudah hampir 15 menit tapi dokter belum juga keluar. “Tenanglah, Amel anak yang kuat. Aku yakin dia akan baik-baik saja.” Satria mengusap punggung Amiera, menenangkan wanita itu agar tidak terlalu cemas. Padahal, dia sendiri sebenarnya juga sangat cemas.Meski bukan anak kandungnya, tapi Satria benar-benar sangat menyayangi gadis kecil itu. Amiera hanya bisa mengaggukkan kepala, menghela nafas dalam untuk menenangkan diri. “Dokter, bagaimana keadaan anakku?” tanya Amiera saat melihat dokter keluar.“Pasien sesak nafas karena alergi, tapi keadaannya sekarang sudah tidak apa-apa. Jangan khawatir.” Dokter itu langsung pergi setelah menjelaskan keadaan Amel.Amiera meneteskan airmata. Wanita itu merasa lega karena anaknya baik-baik saja. “Bukanlah Amel hanya alergi udang, kenapa dia bisa memakannya?” tahya Satria heran. Karena dia ataupun Ameira tentu tidak akan pernah memberikan udang pada anak itu. Am