Kantong plastik berisi pakaian tergenggam di tangan sopir taksi itu saat ia kembali ke mobilnya. Diketuknya kaca jendela pelan, berusaha menarik perhatian penumpang wanitanya yang tenggelam dalam lamunan. Tatapan kosong sang penumpang menerawang jauh, seolah pikirannya berada di tempat lain.
Begitu kunci mobil terbuka, Marilyn menurunkan kaca jendelanya dengan gerakan lambat. Tangannya yang gemetar menerima tas plastik yang disodorkan. "Ini pesanan Anda - baju dan celana," ujar sang sopir dengan nada ramah. "Saya juga sekalian belikan topi." "Terima kasih," bisik Marilyn, suaranya nyaris tak terdengar. Kaca depan mobil yang buram menjadi tameng sempurna, menghalangi pandangan orang-orang yang berlalu lalang. Meski demikian, sang sopir tetap berjaga-jaga. Ia memosisikan diri tepat di samping jendela, punggungnya menutupi sosok Marilyn yang tengah berganti pakaian dengan tergesa di dalam mobil. Seusai mengenakan pakaian barunya, Marilyn memasukkan jam tangan mewah pemberian Rama beserta dua cincin ke dalam saku celana jinsnya yang kedodoran. Jemarinya mengetuk kaca, memberi isyarat pada sopir untuk menyingkir agar ia bisa keluar. Di bawah temaram lampu depan mobil, wajah pucat Marilyn tampak bagai hantu ketika ia melangkah turun. Sang sopir yang berdiri di samping pintu hanya bisa menatap iba. Siapa yang tahu kemalangan apa yang telah menimpa gadis muda ini malam ini. "Terima kasih, Tuan," ucap Marilyn singkat. Ia tak ingin berlama-lama. Bayangan akan anak buah Rama yang mungkin menyadari kepergiannya membuat jantungnya berdegup kencang. Meski sebenarnya, dengan kondisi Rama yang kini tak bernyawa, mustahil bagi mereka untuk bergerak secepat itu. Tak ada yang bisa menggerakkan pasukan itu untuk sementara waktu. "Sama-sama," balas sang sopir tulus. Ia mengangguk pelan sebelum menambahkan, "Hati-hati di jalan." Marilyn hanya membalas dengan anggukan samar dan senyum tipis. Kakinya bergerak cepat, membawanya menuju keramaian pusat perbelanjaan yang menjanjikan tempat persembunyian sempurna. Bayangan-bayangan lampu neon menyapa di sepanjang Long Isle Street ketika Marilyn menyelinap di antara gang-gang sempit yang jarang terjamah. Jemarinya bergerak gelisah, menarik turun tepian topi untuk menutupi wajahnya—sebuah gestur paranoid yang ia sadari berlebihan, namun tetap tak bisa ia hindari. Matanya bergerak waspada, menangkap tatapan tajam beberapa pemuda yang bersandar di dinding-dinding kusam toko. Ia berbelok ke kiri, memilih jalur yang lebih gelap di mana beberapa lampu jalan telah menyerah pada kegelapan malam. Setiap langkahnya membawa kenangan akan Ian. Tempat ini adalah teritorinya—wilayah yang telah ia bagikan dengan Marilyn dalam beberapa kunjungan mereka. Ian, satu-satunya mercusuar kepercayaan yang tersisa setelah badai pengkhianatan Aileen menghantam hidupnya. Aileen. Nama itu masih terasa pahit di lidahnya. Saudari tiri yang ia anggap sedarah telah menancapkan belati pengkhianatan terlalu dalam, menorehkan luka yang bahkan dalam mimpi tergelapnya tak pernah ia bayangkan. Suara-suara mulai menguat seiring langkahnya menembus kegelapan gang. Gemuruh keramaian yang teredam dinding-dinding bata memberikan konfirmasi bahwa ia berada di jalur yang benar. Namun kali ini berbeda—tak ada Ian di sisinya, tak ada tangan familiar yang menuntunnya melewati labirin gelap ini. Di hadapannya berdiri benteng pertama yang harus ia taklukkan: para penjaga keamanan dengan tatapan buas mereka. Makhluk-makhluk intimidatif yang seolah siap melahap siapa saja yang berani melanggar protokol sacred ground mereka. "Mau ke mana?" Suara berat menggetarkan udara. Robert—pria berleher banteng dengan otot-otot yang mengancam akan merobek fabrik pakaiannya yang ketat—menghadang langkahnya. Marilyn mengangkat topinya dengan gerakan tenang yang dipelajari. Robert bukanlah orang asing—Ian telah sering bercerita tentangnya, dan ia selalu menjadi gerbang pertama dalam setiap kunjungan Marilyn ke tempat ini. Namun setahun adalah waktu yang panjang, dan ia tak yakin apakah wajahnya masih tersimpan dalam memori sang penjaga. "Ke arena," jawabnya, bersyukur suaranya keluar tanpa getaran yang bisa mengkhianati kegugupannya. Robert mengangkat alis tebalnya, matanya menyapu sosok Marilyn dari atas ke bawah sebelum bertukar pandang dengan rekannya—seorang pria asing bermata gelap yang mengamati Marilyn dengan intensitas yang membuat tulang belakangnya meremang. Marilyn berdiri dengan gelisah, tenggelam dalam kemeja hitam kebesaran yang dipadu dengan celana jins yang digulung asal di pergelangan kakinya. Pakaian yang jelas-jelas satu atau dua ukuran terlalu besar untuk tubuh mungilnya itu hanya menambah kesan rapuh pada sosoknya. Di kepalanya bertengger topi bisbol biru yang sudah lusuh, sementara di tangannya tergenggam jaket kulit—saksi bisu pelariannya dari kejaran triad beberapa waktu lalu. Dalam hati, ia membuat catatan mental untuk menjual jaket itu nanti, berharap bisa mendapatkan tambahan uang yang sangat dibutuhkannya. "Mencari siapa?" tanya salah seorang pria penjaga. Posturnya lebih ramping dibanding Robert, rekannya, namun beberapa inci lebih tinggi. "Ian," jawab Marilyn tegas, "yang dikenal sebagai 'Sang Algojo'." Algojo—nama panggung Ian di Arena, tempat yang kini menjadi tujuan Marilyn. Kedua penjaga saling melempar pandang dengan dahi berkerut. "Dia tidak memberitahu kami akan ada tamu." "Memang tidak ada janji," Marilyn menggertakkan gigi, menahan kejengkelan yang mulai merayap. Waktu bukanlah sesuatu yang bisa ia sia-siakan saat ini. "Kalau begitu silakan pergi," tukas penjaga satunya dingin. Kesabaran Marilyn mencapai titik nadir. Dengan gerakan kasar ia merenggut topi dari kepalanya, mengacak rambutnya frustasi. Tatapan matanya yang cokelat berubah liar, mengancam—seolah siap menerkam kedua pria bertubuh besar di hadapannya, meski ia sadar betul tubuh mungilnya tak akan sanggup berbuat apa-apa. "Dengar, Robert." Marilyn mengarahkan tatapan tajamnya pada pria yang ia kenali, mendapati secercah keterkejutan di wajahnya. "Aku sudah berkali-kali kemari bersama Ian. Aku mengenalmu." Matanya menyipit mengancam. "Hubunganku dengan Ian cukup dekat. Jika ada masalah serius yang perlu segera ia ketahui tertahan karenamu..." Ia membiarkan kalimatnya menggantung, memberi tekanan pada implikasi ancamannya. "Kau tahu persis seperti apa wataknya, bukan?" Suaranya tidak meninggi, namun ada ketegasan yang membuat kedua pria itu menanggapinya dengan serius. Mereka kembali bertukar pandang, seakan berkomunikasi tanpa kata tentang langkah selanjutnya. Bagi pengunjung lain, mereka pasti sudah mengusir Marilyn sejak tadi. Namun, klaimnya tentang hubungan dengan Ian membuat mereka bimbang. "Sampaikan pada Ian bahwa Marilyn mencarinya. Aku akan menunggu di sini jika dia ingin bicara." Keputusan ini ia ambil setelah melihat beberapa pengunjung keluar-masuk rumah besar di ujung gang, beberapa di antaranya menatapnya dengan pandangan aneh, bahkan ada yang mengedipkan mata nakal—mengingatkannya pada tatapan liar Rama yang membuatnya tak nyaman. Ia harus segera bertemu Ian. Secepatnya! "Tunggu di sini," gumam si pria jangkung sebelum melangkah masuk ke dalam rumah.Langkah Ian bergema di koridor beton yang dingin saat ia melesat menuju pintu keluar arena. Kutukan-kutukan tertahan di antara desah napasnya yang memburu. Marilyn—gadis itu berani-beraninya menginjakkan kaki di sarang iblis ini sendirian. Berapa kali ia harus memperingatkannya? Tempat ini bukan untuk makhluk selembut dia.Demian, penjaga keamanan bertubuh kekar dengan bekas luka di wajah, mengekor di belakangnya. "Si algojo tampaknya tergesa-gesa," bisiknya pada rekannya dengan seringai tipis.Udara luar terasa menggigit kulit. Di sana, di bawah lampu jalan yang berkedip lemah, berdiri sosok mungil Marilyn. Rambutnya yang panjang terurai liar dipermainkan angin malam, sementara ujung sepatunya menendang-nendang kerikil dengan gelisah."Marilyn," suara Ian menggelegar, mengoyak keheningan malam. "Sudah kubilang berkali-kali bahwa..."Kalimatnya terputus oleh hantaman tubuh Marilyn yang menghambur ke arahnya. Aroma manis parfumnya bercampur dengan bau asin air mata yang kini membasahi
Malam itu, kabut keraguan menyelimuti pikiran Marilyn. Arena menunggu kedatangan Ian, dan Marilyn enggan menyendiri di kediaman pria itu. Pilihan terakhirnya hanyalah menanti sang petarung menyelesaikan pertarungannya—sebuah rutinitas yang selalu berakhir dengan kemenangan mutlak.Tak pernah sekalipun Marilyn meragukan kemahiran Ian di atas ring. Namun, satu pertanyaan terus menggelayut dalam benaknya: mengapa masih ada yang nekat menantang Ian di Arena? Tidakkah mereka melihat jejak tubuh-tubuh yang tumbang sebelumnya? Tidakkah mereka paham betapa sia-sia perlawanan mereka?"Tunggulah di sini. Satu jam lagi aku kembali," ujar Ian sambil menanggalkan pakaiannya. Tanpa sungkan, ia menampakkan tubuh atletisnya di hadapan Marilyn. Namun pikiran gadis itu terlalu kusut untuk mengagumi pahatan sempurna otot perut Ian yang terekspos sejenak, sebelum akhirnya tertutup kemeja putih yang akan menemaninya dalam pertarungan nanti. Toh, pemandangan Ian bertelanjang dada bukanlah hal baru baginya
Ketukan di pintu bergema seperti tembakan pistol di keheningan malam, menyentak Marilyn dari lamunan yang ternyata hanyalah mimpi—mimpi tentang serentetan kejadian mengerikan beberapa jam lalu.Marilyn mengusap wajahnya yang kusut, mengerjapkan mata yang terasa berpasir. Ia tak sadar telah terlelap di sofa tua yang keras ini."Marilyn? Buka pintunya."Suara Ian menembus kayu pintu—berat dan menuntut."Ya... sebentar," jawabnya dengan suara serak. Pandangannya melayang ke arah jam dinding yang jarumnya telah melewati tengah malam. Rupanya ia jatuh tertidur menunggu kepulangan Ian.Dengan tubuh yang terasa ditarik gravitasi dan kepala berdenyut akibat kurang tidur serta tekanan yang mencekik sepanjang hari, Marilyn menyeret langkahnya ke arah pintu dan membukanya.Ian berdiri menjulang di ambang pintu. Bayang-bayang lampu lorong menciptakan dimensi gelap pada seringai khasnya. Marilyn menatap luka-luka perang di wajahnya—memar keunguan di pipi, sayatan tipis di dahi, dan sudut bibir yan
Genggaman tangan Marilyn mengerat, nyaris terangkat untuk melayangkan pukulan pada Ian akibat lelucon menyebalkannya. Namun, amarahnya luruh begitu saja, berganti dengan helaan napas panjang yang sarat frustrasi."Oke, oke... Aku tidak dalam posisi untuk memilih," ucapnya mengalah.Tawa Ian membahana, matanya berkilat geli menyaksikan kekesalan Marilyn. "Setidaknya, kau akan mengingatku." Dengan lembut, jemarinya mengusap puncak kepala Marilyn sebelum kembali ke posisinya dan melanjutkan santapan."Besok kau harus berangkat pagi-pagi untuk mengejar bus pukul tujuh," Ian menjelaskan dengan nada serius. "Kau harus tiba di Kota A sebelum penerbanganmu meninggalkan negeri ini."Tak ada kepastian kapan Marilyn bisa kembali. Terlebih lagi, ia bahkan tak akan bisa mengunjungi makam kedua orangtuanya selama masa pelariannya ini.Setetes air mata jatuh tanpa suara ke atas piringnya. Pandangan Ian langsung menangkap isyarat kesedihan itu. Tanpa ragu, ia meletakkan sendok dan garpu, beranjak men
"Bagaimana mereka bisa menemukanku di sini?" Napas Marilyn tercekat. Jantungnya seolah berhenti berdetak saat tatapannya bertemu dengan mata Alex—kilatan pengenalan langsung menyala di wajah pria itu.Dua kota memisahkan mereka. Seharusnya, dengan kematian Rama Dimatrio, pencarian terhadap dirinya terhenti. Bukankah begitu?Tapi logika dingin menyeruak dalam benaknya. Tentu saja. Tentu saja dia menjadi target pertama yang dicari para Pengawal setelah kematian tidak wajar bos mereka. Marilyn—tersangka utama dalam drama berdarah ini.Pupil matanya melebar. Adrenalin membanjiri pembuluh darahnya saat ia mundur perlahan, kemudian berputar dan mencoba menerobos kerumunan di belakangnya. Dari ekor matanya, ia melihat Alex dan dua anjing pemburu setianya mulai bergerak—berlari dengan tatapan yang tak perlu diterjemahkan lagi: jika tertangkap, Marilyn tak akan pernah melihat dunia luar lagi.Visualisasi tentang sel penjara yang pengap, empat dinding beton yang akan menjadi saksi bisu sisa hi
Marilyn sungguh tak mengenal pria yang baru saja ia akui sebagai tunangannya. Namun, berkat ketelitian salah seorang petugas medis yang menemukan identitas dalam saku jaket korban, setidaknya kini ia mengetahui nama pria itu.Di bangku tunggu, tak jauh dari ruang operasi, Marilyn duduk dengan tatapan kosong, jemarinya menggenggam erat jaket bernoda darah milik Elon Tudor—pria yang kini tengah berjuang antara hidup dan mati di meja operasi.Diliriknya arloji yang melingkar di pergelangan tangan. Kenyataan pahit harus ia telan bulat-bulat; ia takkan pernah tiba di bandara tepat waktu, apalagi menaiki pesawat sesuai jadwal. Yang lebih mengkhawatirkan, Marilyn tak yakin apakah ketiga pria yang memburu jejaknya akan berhenti mencari.‘Mereka pasti dengan mudah memperoleh informasi tentang rumah sakit ini,’ batinnya resah. ‘Aku harus segera pergi dari sini.’Setelah memastikan tak ada lagi perawat yang akan mendekati dan menanyakan hal-hal yang sama sekali tak ia ketahui tentang pria bernam
‘Keluarga Tudor adalah salah satu elit teratas di kota A!’Kenyataan itu menghantam Marilyn bagai sambaran petir. Bagaimana mungkin ia bisa begitu ceroboh sampai melupakan fakta sepenting ini?Seketika, adrenalin berpacu dalam nadinya, begitu cepat hingga membuat kepalanya berputar. Jantungnya berdegup kencang, nyaris terdengar di telinganya sendiri."Apa kau baik-baik saja?" Suara Lis Tudor terdengar lembut, namun sepasang matanya yang tajam mengamati setiap gerak-gerik Marilyn dengan penuh perhitungan. "Kau tampak pucat.""Aku baik-baik saja..." gumam Marilyn, menggelengkan kepalanya perlahan. Tatapannya jatuh pada jari-jarinya yang bertautan erat di pangkuan, seolah mencari kekuatan di sana. Pikirannya kosong, tak tahu harus berkata apa."Mengenai hubunganmu dan Elon..." Lis memulai, namun kata-katanya langsung terpotong.Desahan pelan Lis Tudor memecah keheningan. Mendengarnya, bulu kuduk Marilyn meremang. Berbagai pikiran buruk mulai berkecamuk dalam benaknya. Wanita elegan di ha
Marilyn menatap pengawal bertubuh kekar yang menjaga pintu keluar dengan perasaan campur aduk. Apakah ia harus bersyukur atas kehadiran pria itu, atau justru merasa terpenjara? Satu hal yang pasti—melarikan diri akan menjadi nyaris mustahil."Ada beberapa urusan yang tidak bisa kutunda," ujar Lis sambil membelai lembut kepala putranya. Matanya yang teduh beralih pada Marilyn. "Aku harap kau tidak keberatan menjaga Elon malam ini.""Ah, itu..." Marilyn menelan ludah, ragu-ragu. Namun akhirnya ia mengangguk. "Tentu saja," bisiknya, hampir tak terdengar.Lis meraih ponselnya dan berbalik. "Kalau begitu, aku pergi sekarang.""Nyonya Tudor." Suara Marilyn melengking, lebih tinggi dari yang ia inginkan. Kecemasan merayapi tulang belakangnya—bagaimana ia bisa terjebak semalaman bersama orang asing yang bahkan tak sadarkan diri?"Hm?" Lis menoleh, alisnya terangkat penuh tanya. "Ya?" tanyanya, menunggu gadis itu melanjutkan.Marilyn menggigit bibir bawahnya, jemarinya bergerak gelisah. "Hmm..
Marilyn mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan dengan gelisah. Matanya menjelajahi langit-langit ruang perawatan yang putih bersih, beralih pada setiap detail perabotan yang tertata rapi, lalu pada jendela besar dengan tirai putih yang melambai lembut tertiup angin pendingin. Tatapannya kemudian jatuh pada lukisan abstrak mewah yang menghiasi dinding, sebelum akhirnya terpaku pada tabung infus yang cairan di dalamnya nyaris habis—pengingat bahwa ia sedang berada di rumah sakit, bukan di kamar hotel berbintang lima.Ke mana pun matanya berkelana, Marilyn menolak untuk menatap sosok pria yang duduk di hadapannya—pria yang baru saja ia suapi potongan apel segar."Kenapa kau menghindari tatapanku?" Suara berat Elon memecah keheningan, mengejutkan Marilyn yang pikirannya sedang melayang jauh, memikirkan ribuan kemungkinan dalam waktu yang bersamaan."Hah?" Marilyn tersentak, menoleh dan langsung berhadapan dengan mata tajam Elon yang menatapnya penuh selidik. "Tidak," jawabn
Marilyn merasakan seluruh tubuhnya menegang, jemarinya perlahan mati rasa seakan dialiri es. Napasnya menjadi pendek dan cepat, terperangkap dalam dada yang kini terasa sesak. ‘Lupakan Rama Dimatrio.’ Keluarga Tudor—nama yang membawa gema kekuasaan di setiap suku katanya—jauh lebih berpengaruh daripada keluarga jaksa wilayah manapun. Jika Marilyn sampai berselisih dengan keluarga sebesar Tudor, siapa yang bisa memprediksi takdir kelam apa yang akan menanti hidupnya?"Apa maksudnya ini?" Suara Lis memecah keheningan, tatapannya yang tajam berpindah dari Elon ke Marilyn seperti pendulum yang mencari kebenaran. Keheranan terpancar jelas dari bola matanya yang mengilat di bawah cahaya ruangan. "Elon, bagaimana mungkin kau tidak mengingat kekasihmu sendiri? Wanita pilihanmu yang telah kau sembunyikan dari dunia selama dua tahun penuh?"Lis mengulurkan tangan, jemarinya yang lentik dengan lembut membelai wajah putranya, mencari koneksi. Namun Elon, dengan gerakan dingin yang menyiratkan pe
Marilyn menatap pengawal bertubuh kekar yang menjaga pintu keluar dengan perasaan campur aduk. Apakah ia harus bersyukur atas kehadiran pria itu, atau justru merasa terpenjara? Satu hal yang pasti—melarikan diri akan menjadi nyaris mustahil."Ada beberapa urusan yang tidak bisa kutunda," ujar Lis sambil membelai lembut kepala putranya. Matanya yang teduh beralih pada Marilyn. "Aku harap kau tidak keberatan menjaga Elon malam ini.""Ah, itu..." Marilyn menelan ludah, ragu-ragu. Namun akhirnya ia mengangguk. "Tentu saja," bisiknya, hampir tak terdengar.Lis meraih ponselnya dan berbalik. "Kalau begitu, aku pergi sekarang.""Nyonya Tudor." Suara Marilyn melengking, lebih tinggi dari yang ia inginkan. Kecemasan merayapi tulang belakangnya—bagaimana ia bisa terjebak semalaman bersama orang asing yang bahkan tak sadarkan diri?"Hm?" Lis menoleh, alisnya terangkat penuh tanya. "Ya?" tanyanya, menunggu gadis itu melanjutkan.Marilyn menggigit bibir bawahnya, jemarinya bergerak gelisah. "Hmm..
‘Keluarga Tudor adalah salah satu elit teratas di kota A!’Kenyataan itu menghantam Marilyn bagai sambaran petir. Bagaimana mungkin ia bisa begitu ceroboh sampai melupakan fakta sepenting ini?Seketika, adrenalin berpacu dalam nadinya, begitu cepat hingga membuat kepalanya berputar. Jantungnya berdegup kencang, nyaris terdengar di telinganya sendiri."Apa kau baik-baik saja?" Suara Lis Tudor terdengar lembut, namun sepasang matanya yang tajam mengamati setiap gerak-gerik Marilyn dengan penuh perhitungan. "Kau tampak pucat.""Aku baik-baik saja..." gumam Marilyn, menggelengkan kepalanya perlahan. Tatapannya jatuh pada jari-jarinya yang bertautan erat di pangkuan, seolah mencari kekuatan di sana. Pikirannya kosong, tak tahu harus berkata apa."Mengenai hubunganmu dan Elon..." Lis memulai, namun kata-katanya langsung terpotong.Desahan pelan Lis Tudor memecah keheningan. Mendengarnya, bulu kuduk Marilyn meremang. Berbagai pikiran buruk mulai berkecamuk dalam benaknya. Wanita elegan di ha
Marilyn sungguh tak mengenal pria yang baru saja ia akui sebagai tunangannya. Namun, berkat ketelitian salah seorang petugas medis yang menemukan identitas dalam saku jaket korban, setidaknya kini ia mengetahui nama pria itu.Di bangku tunggu, tak jauh dari ruang operasi, Marilyn duduk dengan tatapan kosong, jemarinya menggenggam erat jaket bernoda darah milik Elon Tudor—pria yang kini tengah berjuang antara hidup dan mati di meja operasi.Diliriknya arloji yang melingkar di pergelangan tangan. Kenyataan pahit harus ia telan bulat-bulat; ia takkan pernah tiba di bandara tepat waktu, apalagi menaiki pesawat sesuai jadwal. Yang lebih mengkhawatirkan, Marilyn tak yakin apakah ketiga pria yang memburu jejaknya akan berhenti mencari.‘Mereka pasti dengan mudah memperoleh informasi tentang rumah sakit ini,’ batinnya resah. ‘Aku harus segera pergi dari sini.’Setelah memastikan tak ada lagi perawat yang akan mendekati dan menanyakan hal-hal yang sama sekali tak ia ketahui tentang pria bernam
"Bagaimana mereka bisa menemukanku di sini?" Napas Marilyn tercekat. Jantungnya seolah berhenti berdetak saat tatapannya bertemu dengan mata Alex—kilatan pengenalan langsung menyala di wajah pria itu.Dua kota memisahkan mereka. Seharusnya, dengan kematian Rama Dimatrio, pencarian terhadap dirinya terhenti. Bukankah begitu?Tapi logika dingin menyeruak dalam benaknya. Tentu saja. Tentu saja dia menjadi target pertama yang dicari para Pengawal setelah kematian tidak wajar bos mereka. Marilyn—tersangka utama dalam drama berdarah ini.Pupil matanya melebar. Adrenalin membanjiri pembuluh darahnya saat ia mundur perlahan, kemudian berputar dan mencoba menerobos kerumunan di belakangnya. Dari ekor matanya, ia melihat Alex dan dua anjing pemburu setianya mulai bergerak—berlari dengan tatapan yang tak perlu diterjemahkan lagi: jika tertangkap, Marilyn tak akan pernah melihat dunia luar lagi.Visualisasi tentang sel penjara yang pengap, empat dinding beton yang akan menjadi saksi bisu sisa hi
Genggaman tangan Marilyn mengerat, nyaris terangkat untuk melayangkan pukulan pada Ian akibat lelucon menyebalkannya. Namun, amarahnya luruh begitu saja, berganti dengan helaan napas panjang yang sarat frustrasi."Oke, oke... Aku tidak dalam posisi untuk memilih," ucapnya mengalah.Tawa Ian membahana, matanya berkilat geli menyaksikan kekesalan Marilyn. "Setidaknya, kau akan mengingatku." Dengan lembut, jemarinya mengusap puncak kepala Marilyn sebelum kembali ke posisinya dan melanjutkan santapan."Besok kau harus berangkat pagi-pagi untuk mengejar bus pukul tujuh," Ian menjelaskan dengan nada serius. "Kau harus tiba di Kota A sebelum penerbanganmu meninggalkan negeri ini."Tak ada kepastian kapan Marilyn bisa kembali. Terlebih lagi, ia bahkan tak akan bisa mengunjungi makam kedua orangtuanya selama masa pelariannya ini.Setetes air mata jatuh tanpa suara ke atas piringnya. Pandangan Ian langsung menangkap isyarat kesedihan itu. Tanpa ragu, ia meletakkan sendok dan garpu, beranjak men
Ketukan di pintu bergema seperti tembakan pistol di keheningan malam, menyentak Marilyn dari lamunan yang ternyata hanyalah mimpi—mimpi tentang serentetan kejadian mengerikan beberapa jam lalu.Marilyn mengusap wajahnya yang kusut, mengerjapkan mata yang terasa berpasir. Ia tak sadar telah terlelap di sofa tua yang keras ini."Marilyn? Buka pintunya."Suara Ian menembus kayu pintu—berat dan menuntut."Ya... sebentar," jawabnya dengan suara serak. Pandangannya melayang ke arah jam dinding yang jarumnya telah melewati tengah malam. Rupanya ia jatuh tertidur menunggu kepulangan Ian.Dengan tubuh yang terasa ditarik gravitasi dan kepala berdenyut akibat kurang tidur serta tekanan yang mencekik sepanjang hari, Marilyn menyeret langkahnya ke arah pintu dan membukanya.Ian berdiri menjulang di ambang pintu. Bayang-bayang lampu lorong menciptakan dimensi gelap pada seringai khasnya. Marilyn menatap luka-luka perang di wajahnya—memar keunguan di pipi, sayatan tipis di dahi, dan sudut bibir yan
Malam itu, kabut keraguan menyelimuti pikiran Marilyn. Arena menunggu kedatangan Ian, dan Marilyn enggan menyendiri di kediaman pria itu. Pilihan terakhirnya hanyalah menanti sang petarung menyelesaikan pertarungannya—sebuah rutinitas yang selalu berakhir dengan kemenangan mutlak.Tak pernah sekalipun Marilyn meragukan kemahiran Ian di atas ring. Namun, satu pertanyaan terus menggelayut dalam benaknya: mengapa masih ada yang nekat menantang Ian di Arena? Tidakkah mereka melihat jejak tubuh-tubuh yang tumbang sebelumnya? Tidakkah mereka paham betapa sia-sia perlawanan mereka?"Tunggulah di sini. Satu jam lagi aku kembali," ujar Ian sambil menanggalkan pakaiannya. Tanpa sungkan, ia menampakkan tubuh atletisnya di hadapan Marilyn. Namun pikiran gadis itu terlalu kusut untuk mengagumi pahatan sempurna otot perut Ian yang terekspos sejenak, sebelum akhirnya tertutup kemeja putih yang akan menemaninya dalam pertarungan nanti. Toh, pemandangan Ian bertelanjang dada bukanlah hal baru baginya