Akibat tidak mendengarkan perkataan kedua orang tuanya, Qiana terjerumus ke dalam lubang yang sangat gelap. Masa depannya hancur karena pergaulan bebas dengan seorang pria yang bukan mahramnya. Padahal, Qiana tahu dosa apa yang akan dia tanggung jika berhubungan dengan lelaki yang bukan suaminya. Apa lagi Qiana terlahir dari keluarga yang taat agama, ayahnya seorang ustad dan pimpinan sebuah pondok pesantren ternama. Ibunya juga sering memberikan pengajian pada ibu-ibu sekitar kompleks rumahnya. Tapi Qiana, dia tidak suka dengan peraturan yang ketat, dia yang berjiwa bebas dan ingin menikmati dunia luar ketika sang ayah menyarankan untuk masuk pesantren, Qiana lebih memilih mendaftar pada sekolah negri dan tidak ingin menggunakan kekuasaan serta pengaruh ayahnya dalam hidupnya. Meski sudah mencoba untuk membujuk Qiana, kedua orang tuanya terpaksa mengalah agar sang anak tidak salah langkah dan membiarkan Qiana untuk masuk ke sekolah pilihannya. Akan tetapi, kebebasan yang kedua orang tuanya berikan sudah membuat Qiana salah langkah hingga kejadian itu pun terjadi. Mampukah Qiana mengatasi masalahnya sendiri? Apakah dia bisa menemukan kebahagiaan dengan menikahi seorang pria yang menyukainya dengan tulus dan menerima Qiana apa adanya?
Lihat lebih banyak“Jangan mencoba untuk menghentikanku, Umi! Biarkan aku melakukan apa pun yang membuat rasa sakit akibat pengkhianatan ini hilang. Penderitaan ini tidak akan pernah berakhir hanya dengan mengirimku ke pesantren. Aku tidak mau hidup seperti ini, aku mau dia Umi.”
Wanita itu berteriak dengan histeris sembari memegang sebilah pisau untuk mengancam keluarganya agar tidak menghalangi niatnya untuk melakukan aksi bunuh diri. Wanita dengan gaun putih bak pengantin itu tampak frustasi akibat calon suaminya tidak hadir pada resepsi pernikahannya.Dia yang sudah terlanjur berbuat dosa sebelum menikah tidak ingin jika kedua orang tuanya yang taat akan agama itu sampai kecewa jika mengetahui dirinya tengah hamil dua minggu. Tentu wanita itu putus asa, menghadapi kenyataan gagal nikah dan bingung harus bagaimana untuk mengatakan kepada keluarganya. Terlebih lagi calon ayah dari anak yang dia kandung lebih memilih untuk pergi dengan wanita lain dari pada menikahinya.“Istighfar, Nak. Saat ini setan sedang mencoba untuk mempengaruhi dirimu. Jangan sampai kamu termakan hasutan mereka, berikan benda itu pada Umi.” Sang umi mencoba untuk membujuk putrinya sekali lagi.Namanya Qiana, umur 18 tahun. Selama ini Qiana diberi kebebasan oleh kedua orang tuanya untuk memilih sekolah yang dia mau asalkan tidak terlalu bergaul layaknya anak muda zaman sekarang. Tapi, Qiana sepertinya kebablasan semenjak mengenal seorang pemuda yang baru saja pindah ke sekolahnya itu. Dia pria tampan dan juga kaya raya, pintar merayu setiap gadis di sekolah itu termasuk Qiana. Dia adalah Leo, putra tunggal dari ketua yayasan tempat Qiana sekolah.Awalnya Qiana bersikap biasa saja dan menganggap bahwa Leo hanya tebar pesona agar para wanita di sekolah itu bisa dia taklukkan. Namun, lama kelamaan Qiana merasa ada sesuatu yang membuatnya harus menerima cinta Leo ketika pria itu mengatakan di depan banyak orang. Qiana merasa menjadi gadis yang sangat beruntung karena Leo lebih memilih dirinya. Akan tetapi, sepertinya dia lupa dengan nasihat yang kedua orang tuanya berikan, bahwa Qiana tidak boleh pacaran atau dia harus masuk pesantren.“Kamu adalah wanita tercantik yang pernah aku temui, Qiana. Jika aku meminta sesuatu darimu, akankah kamu memberikan kepadaku secara suka rela?” suatu ketika Leo bertanya kepada Qiana tepat di bawah pohon yang berada di taman belakang sekolahnya.“Memangnya apa yang kamu inginkan dariku, Leo? Insyaallah aku akan memberikannya untukmu,” ujar Qiana tersipu malu.“Benarkah? Kamu mau memberikan kehormatanmu untukku?”Seketika Qiana terkejut, dia tidak menyangka jika Leo akan mengajaknya untuk berbuat zina. Qiana menatap pria itu lama, seharusnya dia tidak melakukan hal itu karena sang abi sering mengingatkan Qiana agar bisa menjaga pandangannya dari orang yang bukan mahram.“Apa yang barusan kamu katakan, Leo? Kamu mau mengajakku berbuat zina? Itu dosa besar,” ujar Qiana yang menyembunyikan wajahnya dari tatapan maut Leo.“Ayolah, Qian. Bukan saatnya untuk memikirkan dosa. Setelah kita melakukannya, aku janji akan bertanggung jawab jika sesuatu terjadi kepadamu nantinya. Yang penting sekarang kamu harus membuktikan kepadaku bahwa cintamu itu bukan omong kosong belaka.” Leo terus saja menggoda Qiana untuk berbuat dosa itu. Dia juga membelai wajah Qiana untuk pertama kalinya.Qiana mendelik, untuk kali pertama ada seorang pria selain abinya yang berani menyentuh wajahnya itu. Qiana ingin menolak, tapi dia sudah terlanjur mencintai Leo sehingga Qiana pun terpaksa diam saja ketika pria itu mencoba untuk menciumnya.“Bagaimana kalau Abi dan umi tahu perbuatan kita ini. Mereka pasti akan sangat kecewa nantinya,” ujar Qiana yang masih saja takut untuk menerima ajakan itu.“Jangan khawatir, setelah ini aku akan datang untuk melamarmu,” jawab Leo.“Tapi kita masih sekolah, Leo. Kedua orang tuaku tidak akan merestui pernikahan kita nantinya.”“Mereka tidak punya pilihan selain menikahkan kita, Qian. Keluargamu juga punya harga diri dan rasa hormat. Bagaimana bisa mereka membiarkan aib putrinya diketahui oleh orang banyak jika mereka menolak hubungan kita ini.”Qiana seolah-olah tersihir oleh rayuan Leo. Dia sampai tidak tahu harus bagaimana menanggapi ajakan dari kekasihnya itu. Entah sadar atau tidak, Qiana mengangguk memberikan jawaban pada Leo untuk setuju pada permintaan Leo barusan.Hingga hal itu terjadi dan Qiana hamil anaknya Leo. Tapi, dia tidak berani untuk mengatakan kepada Abi dan uminya. Qiana hanya meminta Leo untuk memenuhi janjinya yang akan menikahi Qiana jika wanita itu hamil. Leo awalnya menolak karena dia hanya ingin menjadikan Qiana sebagai alat untuk pelampiasan saja dan tanpa Qiana tahu ternyata dirinya dijadikan bahan taruhan oleh Leo beserta teman-temannya.“Sekarang aku harus bagaimana, Umi,” lirih Qiana. Tubuhnya mendadak lemah hingga terjatuh ke lantai.Uminya perlahan mendekati Qiana dengan mata berlinang. Melihat sang anak yang menangis seperti itu membuat beliau juga merasakan sakit di hatinya.“Jangan pikirkan lagi masalah ini, Nak. Lupakan pria itu, Umi tahu kamu pasti bisa bangkit dan kembali seperti dulu lagi,” ucap sang umi membawa Qiana ke dalam pelukan.Qiana terisak di sana. Pelukan uminya terasa sangat hangat. Rasanya Qiana bisa melupakan masalah yang tengah dia hadapi saat ini meski hanya sesaat saja. Selanjutnya, dia langsung tersentak dan melepaskan pelukan sang umi.“Aku tidak bisa melupakan masalah ini begitu saja, Umi. Bagaimana kalau tetangga tahu bahwa saat ini aku sedang...” Qiana menghentikan ucapannya sejenak. Uminya menunggu dengan penasaran lanjutan perkataan dari Qiana.“Apa yang terjadi sebenarnya, Nak? Nggak ada yang perlu kamu takutkan jika tidak ada kesalahan apa pun yang kamu perbuat. Masalah tetangga biar saja mereka berkata apa, seiring berjalannya waktu pasti semua orang akan lupa dengan kejadian ini.”“Tapi, Umi. Qiana sudah melakukan kesalahan yang sangat besar. Bukan hanya Umi dan Abi saja yang kecewa dan tidak bisa memaafkan kesalahan ini, tapi Allah juga marah pada dosa yang Qiana buat sehingga menghukum Qiana seperti ini.”Uminya terdiam. Tidak ada pikiran buruk sedikit pun yang terlintas dari benak beliau tentang Qiana. Umi Qiana hanya menduga jika permintaan Qiana untuk menikah muda yang membuatnya sampai sedih seperti ini dan merasa bersalah karena memutuskan untuk berhenti sekolah. Padahal, sang Abi sudah mencoba untuk membujuk Qiana sekali lagi sebelum keputusan akhir ia ambil.“Dosa besar apa yang sudah putri Umi lakukan sehingga frustasi seperti ini? Katakan pada Umi, Nak. Masalah tidak akan bisa selesai jika disimpan sendirian,” ujar umi.“Maafin Qiana, Umi.” Gadis itu tidak mampu untuk menceritakan semuanya kepada umi karena takut jika kesalahannya itu tidak bisa diterima oleh kedua orang tuanya. Qiana hanya menangis sembari memegang perutnya yang masih datar.Umi menatap tangan Qiana yang mengusap perutnya meski dalam keadaan menangis. Wanita paruh baya yang akrab di sapa sebagai Umi Salamah itu tampak terkejut, beliau menatap Qiana sembari menggeleng pelan.“Itu tidak benar kan? Putri Umi tidak mungkin melakukan dosa itu kan?” lirih Umi Salamah berharap jika Qiana hanya bercanda saja.“Maaf, Umi,” isak Qiana sekali lagi.Kali ini giliran Umi Salamah yang menangis sejadi-jadinya. Tubuh beliau terduduk di lantai dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Jelas sekali raut wajah kecewa nan terluka terpancar di wajah keriput wanita paruh baya itu. Qiana mendekat, mencoba untuk meraih tangan uminya.Meski hatinya sangat marah dan kecewa, Umi Salamah tetap mengusap lembut kepala Qiana yang bersujud memohon ampun dan maaf dari surganya itu. Tidak ada seorang ibu yang tega meninggalkan putrinya dalam keadaan susah seperti itu dan Umi Salamah berharap bisa menemukan solusi yang tepat untuk putrinya.“Qiana akan bertanggung jawab untuk membesarkan anak ini sendiri, Umi. Qiana akan menjauh dari kehidupan Umi dan Abi agar keluarga kita tidak jadi bahan gosip atau tetangga. Masalah ini Qiana yang menciptakan sendiri, dan Qiana akan menyelesaikannya sendiri,” ujar Qiana menatap Umi Salamah lembut.“Kamu tidak akan bisa melakukan hal itu sendiri, Nak. Bukan hal mudah menjadi seorang ibu apa lagi umurmu masih belum cukup untuk menjadi orang tua tunggal. Nanti biar Umi bicara sama Abi setelah para tamu pulang. Sebaiknya kamu istirahat saja dan jangan memikirkan apa pun.”“Tapi, Umi. Bagaimana kalau Abi marah dan penyakitnya kambuh lagi? Qiana nggak akan pernah bisa memaafkan diri Qiana sendiri jika hal itu terjadi pada Abi.”“Biar Umi yang memikirkan caranya, kamu tenang saja. Abi pasti akan mengerti dan memaafkan kesalahan ini.”Meski uminya berkata seperti itu tak membuat hati Qiana merasa lega dan tenang. Pasalnya dia tidak sengaja melihat ke arah pintu dan seseorang tengah berdiri di sana dengan tatapan sedih.“Abi,” panggil Qiana.Isakan tangis atas kepergian Fatimah tak begitu terdengar. Umi dan abi hanya menitikkan air mata saat melihat tubuh Fatimah yang sudah terbaring kaku di ranjang rumah sakit. Tak ada yang perlu ditangisi, meski mereka kehilangan cucu kesayangan dan merupakan satu-satunya di keluarga itu. Umi dan abi harus segera membawa Fatimah pulang, agar besok bisa segera dimakamkan.Ates hanya memiliki satu saudari perempuan, dan itu adalah bundanya Fatimah. Namun, kakak Ates pergi ke Turki mengikuti suami barunya yang merupakan ayah tiri Fatimah. Keluarga suaminya itu tidak ingin jika Fatimah ikut, makanya Ates melarang sang kakak untuk membawanya pergi.Hari ini adalah hari yang dijanjikan untuknya kembali, menemui putri tercinta yang sudah lama dia tinggalkan. Namun, ketika malam itu mendapatkan telepon dari Ates, Zahara langsung memesan tiket dan terbang ke Indonesia.“Mbak Qiana, bolehkah saya melihat jasadnya Fatimah?” Qiana yang sedang menyambut para pelayat itu pun tertegun melihat Ustaz
Dalam keheningan malam, Qiana duduk sendirian di ruang tamu. Merenungi apa yang telah terjadi tadi. Ia masih belum bisa berpikir dengan jernih bahwa masalah yang menimpanya saat ini merupakan teguran atas kesalahan yang telah ia lakukan di masa itu. Qiana juga tidak pernah menyalahkan takdir yang dia ubah sendiri karena egonya terlalu tinggi. Saat ini ia hanya bisa pasrah dan berdoa akan apa yang terjadi pada pernikahannya dengan Ates.“Kesalahan yang telah aku perbuat akan aku tanggung sendiri tanpa melibatkan Mas Ates beserta keluarganya. Tapi, aku tidak akan bisa menghadapi umi beserta Uwak nantinya jika tahu apa yang terjadi hari ini. Mereka pasti akan semakin kecewa dan marah padaku, apa lagi kedua orang tua Mas Ates pasti sangat sedih mendengar kejadian tadi.”Qiana terus saja merutuki dirinya yang tidak bisa memaafkan kesalahan Leo. Ia juga tidak menyangka bahwa ketika Leo memeluknya, Qiana merasa sangat bahagia. Rasa rindu yang ia pendam untuk pria itu telah terbayarkan, mes
Dia lari dengan tergopoh-gopoh, di belakangnya banyak warga yang mengejar sembari membawa kayu dan alat untuk menghakiminya. Keringat bercucuran serta darah yang mengalir deras di pelipisnya. Sesekali dia menoleh, memastikan bahwa orang-orang yang mengejarnya itu sudah menjauh.Namun, dugaannya itu salah. Mereka semakin mendekat dengan teriakan yang menggema di kala azan magrib mulai berkumandang. Para warga yang mengejarnya itu tampak marah, jelas sekali dari raut wajah mereka yang tidak bisa diajak untuk bicara baik-baik. Kesalahan besar mungkin telah dia lakukan sehingga menjadi target warga untuk dihakimi.“Jangan sampai pria bejat itu lolos! Kita harus segera menangkapnya dan menghukum pria itu agar tidak menjadi contoh bagi yang lain melakukan kejahatan,” teriak salah satu pria berbadan gembul. Dari suaranya saja sudah membuat orang lain yang mendengar sedikit ketakutan. Ada tekanan dan ancaman dari setiap perkataan yang keluar dari mulutnya itu.“Dia pasti bersembunyi di pes
Ates menghampiri istrinya yang berada di belakang rumah sakit setelah keluar dari ruangan Fatimah. Qiana tampak begitu sedih, sesekali ia mengusap pipinya yang masih dibanjiri air mata. Perlahan Ates duduk di samping Qiana dan menarik istrinya itu ke dalam pelukannya.“Jangan pikirkan apa yang Fatimah katakan tadi, dia hanya gadis kecil yang belum bisa menilai orang dengan baik. Aku janji akan memberikan pemahaman kepada Fatimah agar dia bisa menerimamu di dalam hidupnya.”Qiana yang mendengar suara lembut Ates itu langsung mendongak dan menatap sang suami. “Aku tidak pernah merasa tersinggung dengan perkataan Fatimah, Mas. Hanya saja aku cemburu akan kedekatannya dengan Ustazah Naima. Fatimah begitu menyayanginya, hingga dia tidak ingin Ustazah Naima pergi dari hidupnya.”Ates tentu sangat mengerti dengan perasaan Qiana. Makanya dia langsung mengejar Qiana saat melihat istrinya itu hampir menitikkan air mata di ruang perawatan Fatimah.“Seharusnya kamu nggak perlu cemburu dengan
Qiana menyadari sedari tadi tingkah dan perilaku Fatimah sedikit berbeda. Qiana tanpa sengaja melihat Fatimah yang mengeluh saat sedang bermain di ruang tengah, gadis kecil itu menekan perutnya dengan sangat kuat. Dan saat Qiana muncul, Fatimah malah bersikap biasa saja. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa kepadanya.“Fatimah kenapa, Umi?” tanya Qiana panik dan menghampiri.Umi mertua menggeleng sembari menangis. “Umi tidak tahu, Qiana. Dia sudah seperti ini saat Umi keluar dari dapur.”“Sebaiknya kita bawa ke rumah sakit saja, nanti Qiana akan menghubungi Mas Ates dan juga Abi.”“Cepatlah! Umi takut Fatimah kenapa-kenapa.”Qiana mengangguk dan bergegas mencari ponselnya. Setelah memberitahu Ates dan juga abi mertua, Qiana beserta umi membawa Fatimah ke rumah sakit. Dengan perasaan cemas, mertua Qiana itu berusaha untuk tetap tenang. Tapi, tidak dengan Qiana. Dia merasa ada yang salah setelah pertemuan Fatimah dengan Ustazah Naima. Entahlah, dia mencurigai pujaan hati suaminya itu
Ates menggelar dua sajadah untuk dirinya dan sang istri. Matanya memandang Qiana yang masih berdiri di ambang pintu kamar mandi. Qiana mengenakan gamis berwarna biru tanpa kerudung, rambutnya terlihat habis di keramas. Qiana memilih untuk menyegarkan tubuhnya di kamar mandi setelah apa yang dia lakukan saat makan siang tadi. Ia begitu lama berada di dalam sana hingga Ates setia menunggu istrinya untuk bicara. Ates juga tidak berani mengganggu Qiana yang sedang menenangkan diri di dalam kamar mandi. “Mau sampai kapan kamu berdiri di situ?” pertanyaan yang Ates ajukan sepele, tetapi berhasil membuat Qiana salah tingkah. Dengan langkah pelan, Qiana menghampiri Ates yang sudah berdiri tepat di atas sajadah. “Kamu sudah mengambil wudu?” “Sudah.” Qiana mulai mengenakan mukena yang sudah tersimpan rapi di atas tempat tidur. Sepertinya Ates yang sengaja menaruhnya di sana. Lihatlah, seberapa besar perhatian seorang Ates kepada istrinya. Tetapi, istrinya itu telah membuat kedua orang tuan
Pikiran Ustazah Naima tidak sinkron dengan tubuhnya. Dia melangkahkan kaki ke pesantren tanpa melihat langkahnya itu. Baru kali ini Ustazah Naima bertindak layaknya orang yang sedang patah hati. Biasanya dia tidak pernah seperti itu dan selalu tersenyum saat berpapasan dengan Ustazah lainnya.“Apa ada masalah dengan Ustazah Naima? Beliau sama sekali tidak menjawab salam dari Ustazah lainnya.” Salah satu pengajar di pesantren itu merasakan keanehan pada Naima. Dia gadis yang baik dan lemah lembut, selalu menyapa terlebih dahulu meski orang yang disapanya itu tidak menjawab sekali pun. Wajar saja jika mereka merasa Naima sedang berada dalam masalah.“Coba Ustazah tanya, siapa tahu sehabis pulang liburan ini membuat Ustazah Naima merasa tidak nyaman,” jawab rekannya di ruang guru.“Baiklah, tunggu sebentar.” Wanita itu melangkah perlahan, menghampiri Naima yang masih termenung di meja kerjanya.“Assalamualaikum.”“Walaikumsalam, Ustazah,” jawab Naima sedikit tersentak.“Ustazah kenapa? A
Qiana duduk termenung di pinggiran kasur. Ada yang aneh pada dirinya setelah berbicara dengan Ates tadi. Entah kenapa hari ini ia selalu mengingat Leo? Sudah beberapa hari ini semenjak menikah ia sama sekali tidak memikirkan pria itu, tapi hari ini segala kenangannya bersama Leo datang seperti air hujan.“Qiana, aku mau mengajar dulu di pesantren, ya. Jika kamu ingin menemui kedua orang tuamu, jangan lupa untuk meminta umi menemani ke sana. Aku nggak mau kamu sampai kenapa-kenapa, karena aku yakin kamu pasti belum pernah datang ke alamat itu kan?” ujar Ates yang sudah terlihat tampan dengan baju dinasnya seperti biasa.Qiana mengangguk saja tanpa menanggapi perkataan dari Ates.“Kamu masih marah? Setelah kejadian tadi aku belum mendengar sepatah kata pun yang keluar dari mulutmu.”Qiana menggeleng. Sungguh ia merasa bersalah pada Ates. Kenapa bisa-bisanya cemburu pada hal yang tidak seharusnya dia cemburui. Dan kenapa juga dia kembali mengingat Leo ketika dirinya sudah memiliki Ates
“Apa arti cinta untukmu? Bukankah kamu sangat memahami bahwa tidak ada cinta yang lebih besar selain cinta untuk Sang Pencipta?” tanya seorang gadis berkerudung merah pada seorang pemuda yang berdiri tak jauh darinya. Jarak ia dengan pemuda itu hanya lah lima langkah. Bila ia melangkahkan kaki sebanyak lima kali, tidak akan ada lagi jarak yang tercipta di antara keduanya.Benarkah tidak ada jarak lagi? Tidak, meskipun ia melangkah untuk menghapus jarak yang tercipta itu, ia tahu jarak yang sesungguhnya tidak akan pernah mungkin terhapus karena jarak itu tidak kasat mata. Setiap ia melangkah maka semakin jauhlah jarak yang tercipta antara dirinya dan si pemuda tersebut.“Aku mencintaimu karena Allah,” ucap pemuda itu dengan sangat lirih. “Aku ingin menjadi imammu.”“Bila kita memang berjodoh, insya Allah, Allah akan mempermudahnya.” Hanya jawaban itulah yang diberikan si wanita. “Aku tidak akan memintamu menunggu karena aku sama sekali tidak memiliki hak untuk itu. Jika kamu sudah mene
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen