Mereka berlari mendorong bad pasien dengan tergesa-gesa. Seorang gadis cantik berkerudung putih lengkap dengan gaun pernikahan yang dikenakannya tak berhenti menangis. Beberapa orang dari keluarga juga tampak khawatir sekali, begitu pula istri dari pria yang sedang terbaring lemah tak berdaya itu. Qiana sangat menyesali perbuatannya itu yang telah membuat sang Abi kembali jatuh sakit.
Saat Qiana mengetahui calon suaminya kabur dari pernikahan, tak mampu membuat Qiana bisa mengendalikan dirinya. Ia yang memiliki jiwa lembut sekaligus temperamen itu kehilangan kendali. Qiana mengamuk dan tanpa sengaja mengatakan semuanya kepada sang umi. Alhasil, Qiana yang tahu abinya sedang berdiskusi dengan keluarga pun tanpa sengaja mendengar pembicaraan itu.Sang Abi tampak syok, mengetahui kebenaran tentang putri kesayangannya itu yang telah berbuat dosa.“Bangun, Abi. Maafkan Qiana,” isak gadis itu tanpa henti.“Sebaiknya kalian tunggu di sini, tidak ada satu pun pihak keluarga yang boleh masuk ke dalam ruangan,” ujar salah satu perawat ketika sudah berada di depan pintu IGD.Kemudian para perawat itu langsung membawa bad pasien Abi Qiana ke dalam bersamaan dengan pintu tertutup. Qiana menatap lemah, tubuhnya meluruh ke lantai rah sakit yang dingin. Ia sama sekali tidak beranjak di depan pintu, setia menunggu perawat itu keluar dengan memberikan kabar yang baik untuknya.“Sekarang kamu puas setelah apa yang kamu lakukan kepada kakakku?”Wanita berkerudung syar’i itu menghampiri Qiana karena sedari tadi beliau sudah sangat geram dengan apa yang terjadi di lokasi pernikahan.“Ini yang kamu inginkan, bukan? Hidup dengan penuh kebebasan tanpa mau mendengarkan perkataan kedua orang tuamu. Sebenarnya apa yang kamu pikirkan selama ini, Qiana? Apa kamu tidak bisa menganggap mereka sebagai orang tua yang telah membesarkan kamu? Bisa sekali saja hargai mereka yang sangat tulus menyayangi dirimu? Kenapa kamu membuat kakakku menderita seperti ini?”Qiana hanya diam saja mendengar uwaknya itu berbicara karena pada dasarnya memang dia lah yang bersalah atas semua masalah ini. Ia bahkan tidak bisa menatap wajah wanita itu begitu juga dengan uminya. Qiana menyembunyikan wajahnya sendiri di balik tembok agar tidak ada orang yang melihatnya dalam keadaan tidak suci itu.“Aku sudah berkali-kali mengatakan kepada kalian, bukan? Jangan mengambil anak yang nggak jelas asal-usulnya ini. Sekarang kalian sudah melihat apa yang dilakukan anak ini, hanya membuat kita malu saja.”Qiana terkejut mendengarnya. Ia dengan berani menatap uwaknya setelah mengatakan kalimat yang Qiana tidak tahu artinya itu.“Maksud Uwak apa? Siapa yang mengambil anak yang nggak jelas asal-usulnya?” tanya Qiana lirih, dia berharap bukan dia lah yang dimaksud oleh uwaknya itu.“Kamu masih berani bertanya? Sudah jelas anak yang saya maksud itu adalah kamu!” sang Uwak memberikan penekanan pada kalimatnya agar Qiana bisa mengerti tanpa bertanya lagi. “Kakakku dan istrinya mengadopsi anak yang ditelantarkan di depan pesantren, dan itu kamu orangnya.”Sekali lagi Qiana tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dia sudah sangat terpukul karena pernikahannya batal dan kini dia baru mengetahui satu fakta bahwa orang tua yang sangat menyayanginya itu bukan lah orang tua kandungnya. Lantas di mana orang tua Qiana? Itu yang terbesit di dalam benaknya saat ini.“Uwak berbohong kan? Aku anak kandung Abi dan Umi, bukan anak adopsi,” ujar Qiana mencoba untuk menghibur dirinya sendiri.“Hah, anak kandung dari mana? Sifat kamu sangat berbeda dengan mereka. Kakak dan iparku punya adab dan sopan santun, mereka bukan orang yang suka dengan kemaksiatan. Sedangkan kamu? Lihat lah apa yang terjadi dengan dirimu saat ini, Qiana? Kamu bahkan hamil dengan pria yang bukan suamimu. Saya jadi semakin yakin bahwa orang tuamu bukan orang baik-baik.”Sangat menusuk ke relung hatinya yang terdalam. Tatapan uwaknya itu juga membuat Qiana semakin merasa bersalah. Seandainya dia tahu dari awal, mungkin hal ini tidak akan terjadi. Qiana pasti akan menuruti perkataan kedua orang tuanya, masuk pesantren dan menjadi anak yang baik. Tidak seperti sekarang, hidupnya hancur dengan membawa beban yang akan dia tanggung sendiri.“Umi,” panggil Qiana. Matanya beralih pada sang umi yang hanya duduk lemah di ruang tunggu dengan ditemani oleh bibinya, adik dari sang umi.“Katakan itu tidak benar, Umi. Uwak pasti salah berbicara kan? Qiana tahu kesalahan ini tidak dapat dimaafkan, tapi jangan katakan hal itu benar. Qiana minta maaf karena telah menjadi anak pembangkang, Qiana akan bertanggung jawab atas kesalahan ini. Jangan bebani pikiran Umi hanya karena kesalahan Qian.” Qiana perlahan melangkah ke arah uminya, tatapan tajam dari uwaknya masih saja belum hilang. Tapi, Qiana tidak memikirkan hal itu, dia hanya ingin uminya tidak membenci dirinya.“Umi,” panggil Qiana sekali lagi.Sang umi hanya menangis tanpa mau menatap wajah Qiana. Bukan benci atau marah, hanya saja saat ini beliau belum bisa melihat sang putri yang sedang menderita.“Jangan dipaksakan dulu, Nak. Tunggu umi tenang dulu baru nanti kamu bicara lagi. Sebaiknya sekarang kamu pulang dan tenangkan diri dulu.” Bibinya mencoba untuk membujuk Qiana dengan lembut. Qiana menggeleng pelan, tak ingin beranjak dari tempat itu walau hanya satu langkah saja.“Ustad Risman sudah siuman, beliau ingin bertemu dengan Ustad Hanan,” ujar perawat.Umi dan juga Qiana tampak senang sekali. Orang-orang yang ikut mengantar Abi Qiana juga tak mampu menyembunyikan perasaan lega itu. Namun, Qiana tak bisa mengerti kenapa abinya ingin bertemu dengan Ustad Hanan. Memang mereka berteman sejak lama dan keduanya adalah orang yang mendirikan pesantren Al-Hakim.Qiana penasaran, terlebih lagi putra Ustad Hanan juga ada di sana membuat rasa ingin tahu semakin menjalar liar di tubuh Qiana.“Qiana, masuklah,” panggil Ustad Hanan setelah itu. “Kamu juga Ates,” ujar beliau.Tidak ada yang tahu apa yang dibicarakan oleh Ustad Risman dan juga Ustad Hanan, sehingga mereka memanggil Qiana beserta Ates ke dalam sana.“Abi.” Qiana langsung berhambur ke dalam pelukan abinya. Meski masih terbaring sangat lemah tak membuat Ustad Risman mengabaikan putrinya itu.“Qiana, dengarkan Abi baik-baik. Jika sesuatu terjadi pada Abi nanti, Abi ingin kamu bertobat dan menjadi anak serta ibu yang baik untuk calon anakmu. Jaga umi dan lupakan semua masalah yang telah terjadi itu. Masa depanmu masih panjang, Nak. Abi nggak mau hanya karena hal ini membutamu semakin terpuruk nantinya.” Ustad Risman berbicara terbata-bata, rasa sakit itu berusaha beliau tahan agar bisa mengutarakan niatnya kepada sang putri.“Menikahlah dengan Ates, hanya dia satu-satunya pria yang Abi kenal dengan baik. Kamu akan bahagia jika menikah dengannya nanti.”Qiana kembali menangis. Dari perkataan abinya dia sudah tahu dan mengerti ke mana arah pembicaraan itu.“Jangan katakan hal itu, Abi. Qiana akan menikah dengan Ates ketika Abi telah sembuh nantinya,” ujar Qiana.“Nggak ada waktu untuk Abi sembuh lagi, Nak. Sudah saatnya Abi pergi menghadap Sang Pencipta. Maka dari itu Abi menitipkan dirimu pada Ates.”“Tidak, Bi. Abi pasti sembuh kok, Qiana tahu Abi pasti kuat melawan penyakit ini.”Air mata Qiana kali ini benar-benar jatuh dengan sangat deras. Satu sisi dia ingin abinya sembuh dan menyaksikan pernikahan impiannya itu terlaksana. Di sisi lain Qiana harus segera melaksanakan pernikahan itu agar orang-orang tidak memandang rendah kepada kedua orang tuanya.“Ustad Hanan,” panggil Abi Qiana.“Iya, Ustad,” jawab Ustad Hanan. Beliau mendekat dan Qiana agak sedikit memberikan ruang kepada beliau.“Lakukan sekarang.”Ustad Hanan mengangguk mengerti. “Baiklah.”Qiana mengerti abinya pasti meminta Ustad Hanan untuk memanggil penghulu dan pernikahan antara Qiana dan Ates akan dilakukan di depan beliau. Qiana menangis, dia kembali menghampiri abinya setelah Ustad Hanan beranjak dari tempat itu.“Kamu setuju kan?” tanya Ustad Hanan pada putranya.“Apa Ates punya pilihan untuk menolak, Abi? Tentu Ates akan melakukannya demi persahabatan Abi dan juga Ustad Risman,” ujar Ates.***Semua orang sudah berkumpul di ruang perawatan Ustad Risman. Keluarga serta penghulu sudah berada di sana, begitu juga dengan staff rumah sakit yang menjadi saksi dari pernikahan itu.“Bisa kita mulai, Ustad?” tanya penghulu pada Ustad Hanan.“Silakan, Pak,” jawab Ustad Hanan.“Saudara Alfihsan Ates Sanjaya saya mewakili Ustad Risman. Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau Alfihsan Ates Sanjaya bin Ustad Hanan Al-Hakim dengan putri Ustad Risman yang bernama Zaina Qiana Ruqaya dengan maskawinnya berupa uang sebesar dua ratus ribu rupiah dibayar tunai.”“Saya terima nikah dan kawinnya Zaina Qiana Ruqaya binti Risman Abdurrahman dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.” Dengan sekali tarikan nafas Ates berhasil mengucapkan kalimat tersebut.“Bagaimana saksi? Sah?”“Sah.” Saksi yang menyaksikan menjawab dengan serempak.“Alhamdulillah.” Penghulu memimpin untuk mengucapkan syukur dan doa.Semua yang hadir di sana turut bahagia, begitu juga dengan Ustad Risman yang terbaring di atas ranjang. Harapan yang ingin beliau lihat kini sudah terlaksana, Qiana sudah menikah dengan lelaki pilihannya. Sang Ustad pun perlahan menutup mata di saat orang-orang sibuk berdoa.Qiana yang sesekali melirik abinya, langsung menjerit histeris. “Abi,” teriaknya berhambur memeluk Ustad Risman.Suatu ketika kehidupan dan kematian bertemu satu sama lain, lantas mereka mengobrol. “Kenapa orang-orang itu menyukaimu, tapi membenci aku?” tanya kematian kepada kehidupan. Kehidupan menjawab sambil tersenyum, “Orang-orang menyukaiku karena aku adalah dusta yang indah, sedangkan mereka membencimu karena kamu adalah kebenaran yang menyakitkan.”Qiana termenung di kamarnya saat mengingat percakapan antara kehidupan dan kematian karya penulis terkenal Tere Liye yang waktu itu pernah dia baca. Pemakaman Ustad Risman sudah dilangsungkan satu jam yang lalu dan Qiana serta umi dan yang lainnya kembali ke rumah mereka.“Manusia terlena akan kehidupan yang hanya sementara. Tanpa mereka sadar telah melupakan kenyataan bahwa kehidupan tengah dijalani tidaklah bersifat tetap, suatu saat kita akan kembali kepada-nya. Hanya menunggu waktu untuk mencabut roh dari raganya.” Ates membelai lembut pucuk kepala Qiana. Meski mereka baru kenal dan menikah karena terpaksa, tapi Ates merasa berkewajiban unt
Qiana tak bisa tidur, menatap secarik kertas yang berada di atas amplop biru. Di sebelahnya ada kotak warna biru tua, Qiana sempat membukanya tadi karena penasaran dengan apa isi di dalam kotak itu.“Abi menemukanmu di depan pintu pesantren. Saat itu Abi bertugas untuk mengisi ceramah bulan ramadhan. Wajah polosmu itu tak bisa membuat kami untuk menitipkan bayi mungil itu di panti asuhan. Abi memilih untuk merawat kamu karena sudah lama kami menantikan kehadiran seorang bayi. Mungkin itu cara Allah memberikan kami keturunan, dengan merawatmu seperti anak kami sendiri.”Kalimat yang diucapkan umi tadi masih terngiang-ngiang di telinga Qiana. Betapa tidak bersyukurnya ia karena telah dibesarkan oleh keluarga yang taat pada agama. Memberikannya banyak cinta dan kasih sayang layaknya seorang anak kandung. Tapi, ia malah membuat mereka kecewa dengan segala tindakan dan tingkah lakunya yang tidak pantas mencerminkan seorang anak.“Apa yang telah aku lakukan selama ini? Kenapa tidak bisa men
Seperti yang telah Ates katakan tadi malam, bahwa hari ini dia beserta Qiana akan pindah ke rumah yang berada di samping pesantren. Rumah itu saat ini hanya ditempati oleh kedua orang tua Ates, mengingat rumah tersebut adalah salah satu dari sekian unit rumah yang diberikan kepada setiap pengajar yang rumahnya jauh dari pesantren.Sebenarnya Abi Qiana sudah dari dulu mengajak umi pindah ke rumah di sebelah rumah Ates, tapi umi tidak mau meninggalkan rumah yang menjadi warisan dari kedua orang tuanya. Alhasil, Abi lah yang terpaksa bolak balik dari rumah ke pesantren itu.Ates dan Qiana langsung pergi setelah pamit kepada bibinya, karena sang umi beserta Uwak sedang pergi ke pasar untuk membeli bahan makanan. Mereka akan kembali lagi nanti malam untuk mengambil barang-barang yang Qiana yang diperlukan.“Kita langsung ke alamat ini?” tanya Ates yang fokus mengemudikan mobilnya.“Bisakah kita nanti siang saja ke sana, Mas? Aku mau bertemu dengan umi Mas Ates dulu. Biar bagaimana pun jug
“Apa arti cinta untukmu? Bukankah kamu sangat memahami bahwa tidak ada cinta yang lebih besar selain cinta untuk Sang Pencipta?” tanya seorang gadis berkerudung merah pada seorang pemuda yang berdiri tak jauh darinya. Jarak ia dengan pemuda itu hanya lah lima langkah. Bila ia melangkahkan kaki sebanyak lima kali, tidak akan ada lagi jarak yang tercipta di antara keduanya.Benarkah tidak ada jarak lagi? Tidak, meskipun ia melangkah untuk menghapus jarak yang tercipta itu, ia tahu jarak yang sesungguhnya tidak akan pernah mungkin terhapus karena jarak itu tidak kasat mata. Setiap ia melangkah maka semakin jauhlah jarak yang tercipta antara dirinya dan si pemuda tersebut.“Aku mencintaimu karena Allah,” ucap pemuda itu dengan sangat lirih. “Aku ingin menjadi imammu.”“Bila kita memang berjodoh, insya Allah, Allah akan mempermudahnya.” Hanya jawaban itulah yang diberikan si wanita. “Aku tidak akan memintamu menunggu karena aku sama sekali tidak memiliki hak untuk itu. Jika kamu sudah mene
Qiana duduk termenung di pinggiran kasur. Ada yang aneh pada dirinya setelah berbicara dengan Ates tadi. Entah kenapa hari ini ia selalu mengingat Leo? Sudah beberapa hari ini semenjak menikah ia sama sekali tidak memikirkan pria itu, tapi hari ini segala kenangannya bersama Leo datang seperti air hujan.“Qiana, aku mau mengajar dulu di pesantren, ya. Jika kamu ingin menemui kedua orang tuamu, jangan lupa untuk meminta umi menemani ke sana. Aku nggak mau kamu sampai kenapa-kenapa, karena aku yakin kamu pasti belum pernah datang ke alamat itu kan?” ujar Ates yang sudah terlihat tampan dengan baju dinasnya seperti biasa.Qiana mengangguk saja tanpa menanggapi perkataan dari Ates.“Kamu masih marah? Setelah kejadian tadi aku belum mendengar sepatah kata pun yang keluar dari mulutmu.”Qiana menggeleng. Sungguh ia merasa bersalah pada Ates. Kenapa bisa-bisanya cemburu pada hal yang tidak seharusnya dia cemburui. Dan kenapa juga dia kembali mengingat Leo ketika dirinya sudah memiliki Ates
Pikiran Ustazah Naima tidak sinkron dengan tubuhnya. Dia melangkahkan kaki ke pesantren tanpa melihat langkahnya itu. Baru kali ini Ustazah Naima bertindak layaknya orang yang sedang patah hati. Biasanya dia tidak pernah seperti itu dan selalu tersenyum saat berpapasan dengan Ustazah lainnya.“Apa ada masalah dengan Ustazah Naima? Beliau sama sekali tidak menjawab salam dari Ustazah lainnya.” Salah satu pengajar di pesantren itu merasakan keanehan pada Naima. Dia gadis yang baik dan lemah lembut, selalu menyapa terlebih dahulu meski orang yang disapanya itu tidak menjawab sekali pun. Wajar saja jika mereka merasa Naima sedang berada dalam masalah.“Coba Ustazah tanya, siapa tahu sehabis pulang liburan ini membuat Ustazah Naima merasa tidak nyaman,” jawab rekannya di ruang guru.“Baiklah, tunggu sebentar.” Wanita itu melangkah perlahan, menghampiri Naima yang masih termenung di meja kerjanya.“Assalamualaikum.”“Walaikumsalam, Ustazah,” jawab Naima sedikit tersentak.“Ustazah kenapa? A
Ates menggelar dua sajadah untuk dirinya dan sang istri. Matanya memandang Qiana yang masih berdiri di ambang pintu kamar mandi. Qiana mengenakan gamis berwarna biru tanpa kerudung, rambutnya terlihat habis di keramas. Qiana memilih untuk menyegarkan tubuhnya di kamar mandi setelah apa yang dia lakukan saat makan siang tadi. Ia begitu lama berada di dalam sana hingga Ates setia menunggu istrinya untuk bicara. Ates juga tidak berani mengganggu Qiana yang sedang menenangkan diri di dalam kamar mandi. “Mau sampai kapan kamu berdiri di situ?” pertanyaan yang Ates ajukan sepele, tetapi berhasil membuat Qiana salah tingkah. Dengan langkah pelan, Qiana menghampiri Ates yang sudah berdiri tepat di atas sajadah. “Kamu sudah mengambil wudu?” “Sudah.” Qiana mulai mengenakan mukena yang sudah tersimpan rapi di atas tempat tidur. Sepertinya Ates yang sengaja menaruhnya di sana. Lihatlah, seberapa besar perhatian seorang Ates kepada istrinya. Tetapi, istrinya itu telah membuat kedua orang tuan
Qiana menyadari sedari tadi tingkah dan perilaku Fatimah sedikit berbeda. Qiana tanpa sengaja melihat Fatimah yang mengeluh saat sedang bermain di ruang tengah, gadis kecil itu menekan perutnya dengan sangat kuat. Dan saat Qiana muncul, Fatimah malah bersikap biasa saja. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa kepadanya.“Fatimah kenapa, Umi?” tanya Qiana panik dan menghampiri.Umi mertua menggeleng sembari menangis. “Umi tidak tahu, Qiana. Dia sudah seperti ini saat Umi keluar dari dapur.”“Sebaiknya kita bawa ke rumah sakit saja, nanti Qiana akan menghubungi Mas Ates dan juga Abi.”“Cepatlah! Umi takut Fatimah kenapa-kenapa.”Qiana mengangguk dan bergegas mencari ponselnya. Setelah memberitahu Ates dan juga abi mertua, Qiana beserta umi membawa Fatimah ke rumah sakit. Dengan perasaan cemas, mertua Qiana itu berusaha untuk tetap tenang. Tapi, tidak dengan Qiana. Dia merasa ada yang salah setelah pertemuan Fatimah dengan Ustazah Naima. Entahlah, dia mencurigai pujaan hati suaminya itu
Isakan tangis atas kepergian Fatimah tak begitu terdengar. Umi dan abi hanya menitikkan air mata saat melihat tubuh Fatimah yang sudah terbaring kaku di ranjang rumah sakit. Tak ada yang perlu ditangisi, meski mereka kehilangan cucu kesayangan dan merupakan satu-satunya di keluarga itu. Umi dan abi harus segera membawa Fatimah pulang, agar besok bisa segera dimakamkan.Ates hanya memiliki satu saudari perempuan, dan itu adalah bundanya Fatimah. Namun, kakak Ates pergi ke Turki mengikuti suami barunya yang merupakan ayah tiri Fatimah. Keluarga suaminya itu tidak ingin jika Fatimah ikut, makanya Ates melarang sang kakak untuk membawanya pergi.Hari ini adalah hari yang dijanjikan untuknya kembali, menemui putri tercinta yang sudah lama dia tinggalkan. Namun, ketika malam itu mendapatkan telepon dari Ates, Zahara langsung memesan tiket dan terbang ke Indonesia.“Mbak Qiana, bolehkah saya melihat jasadnya Fatimah?” Qiana yang sedang menyambut para pelayat itu pun tertegun melihat Ustaz
Dalam keheningan malam, Qiana duduk sendirian di ruang tamu. Merenungi apa yang telah terjadi tadi. Ia masih belum bisa berpikir dengan jernih bahwa masalah yang menimpanya saat ini merupakan teguran atas kesalahan yang telah ia lakukan di masa itu. Qiana juga tidak pernah menyalahkan takdir yang dia ubah sendiri karena egonya terlalu tinggi. Saat ini ia hanya bisa pasrah dan berdoa akan apa yang terjadi pada pernikahannya dengan Ates.“Kesalahan yang telah aku perbuat akan aku tanggung sendiri tanpa melibatkan Mas Ates beserta keluarganya. Tapi, aku tidak akan bisa menghadapi umi beserta Uwak nantinya jika tahu apa yang terjadi hari ini. Mereka pasti akan semakin kecewa dan marah padaku, apa lagi kedua orang tua Mas Ates pasti sangat sedih mendengar kejadian tadi.”Qiana terus saja merutuki dirinya yang tidak bisa memaafkan kesalahan Leo. Ia juga tidak menyangka bahwa ketika Leo memeluknya, Qiana merasa sangat bahagia. Rasa rindu yang ia pendam untuk pria itu telah terbayarkan, mes
Dia lari dengan tergopoh-gopoh, di belakangnya banyak warga yang mengejar sembari membawa kayu dan alat untuk menghakiminya. Keringat bercucuran serta darah yang mengalir deras di pelipisnya. Sesekali dia menoleh, memastikan bahwa orang-orang yang mengejarnya itu sudah menjauh.Namun, dugaannya itu salah. Mereka semakin mendekat dengan teriakan yang menggema di kala azan magrib mulai berkumandang. Para warga yang mengejarnya itu tampak marah, jelas sekali dari raut wajah mereka yang tidak bisa diajak untuk bicara baik-baik. Kesalahan besar mungkin telah dia lakukan sehingga menjadi target warga untuk dihakimi.“Jangan sampai pria bejat itu lolos! Kita harus segera menangkapnya dan menghukum pria itu agar tidak menjadi contoh bagi yang lain melakukan kejahatan,” teriak salah satu pria berbadan gembul. Dari suaranya saja sudah membuat orang lain yang mendengar sedikit ketakutan. Ada tekanan dan ancaman dari setiap perkataan yang keluar dari mulutnya itu.“Dia pasti bersembunyi di pes
Ates menghampiri istrinya yang berada di belakang rumah sakit setelah keluar dari ruangan Fatimah. Qiana tampak begitu sedih, sesekali ia mengusap pipinya yang masih dibanjiri air mata. Perlahan Ates duduk di samping Qiana dan menarik istrinya itu ke dalam pelukannya.“Jangan pikirkan apa yang Fatimah katakan tadi, dia hanya gadis kecil yang belum bisa menilai orang dengan baik. Aku janji akan memberikan pemahaman kepada Fatimah agar dia bisa menerimamu di dalam hidupnya.”Qiana yang mendengar suara lembut Ates itu langsung mendongak dan menatap sang suami. “Aku tidak pernah merasa tersinggung dengan perkataan Fatimah, Mas. Hanya saja aku cemburu akan kedekatannya dengan Ustazah Naima. Fatimah begitu menyayanginya, hingga dia tidak ingin Ustazah Naima pergi dari hidupnya.”Ates tentu sangat mengerti dengan perasaan Qiana. Makanya dia langsung mengejar Qiana saat melihat istrinya itu hampir menitikkan air mata di ruang perawatan Fatimah.“Seharusnya kamu nggak perlu cemburu dengan
Qiana menyadari sedari tadi tingkah dan perilaku Fatimah sedikit berbeda. Qiana tanpa sengaja melihat Fatimah yang mengeluh saat sedang bermain di ruang tengah, gadis kecil itu menekan perutnya dengan sangat kuat. Dan saat Qiana muncul, Fatimah malah bersikap biasa saja. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa kepadanya.“Fatimah kenapa, Umi?” tanya Qiana panik dan menghampiri.Umi mertua menggeleng sembari menangis. “Umi tidak tahu, Qiana. Dia sudah seperti ini saat Umi keluar dari dapur.”“Sebaiknya kita bawa ke rumah sakit saja, nanti Qiana akan menghubungi Mas Ates dan juga Abi.”“Cepatlah! Umi takut Fatimah kenapa-kenapa.”Qiana mengangguk dan bergegas mencari ponselnya. Setelah memberitahu Ates dan juga abi mertua, Qiana beserta umi membawa Fatimah ke rumah sakit. Dengan perasaan cemas, mertua Qiana itu berusaha untuk tetap tenang. Tapi, tidak dengan Qiana. Dia merasa ada yang salah setelah pertemuan Fatimah dengan Ustazah Naima. Entahlah, dia mencurigai pujaan hati suaminya itu
Ates menggelar dua sajadah untuk dirinya dan sang istri. Matanya memandang Qiana yang masih berdiri di ambang pintu kamar mandi. Qiana mengenakan gamis berwarna biru tanpa kerudung, rambutnya terlihat habis di keramas. Qiana memilih untuk menyegarkan tubuhnya di kamar mandi setelah apa yang dia lakukan saat makan siang tadi. Ia begitu lama berada di dalam sana hingga Ates setia menunggu istrinya untuk bicara. Ates juga tidak berani mengganggu Qiana yang sedang menenangkan diri di dalam kamar mandi. “Mau sampai kapan kamu berdiri di situ?” pertanyaan yang Ates ajukan sepele, tetapi berhasil membuat Qiana salah tingkah. Dengan langkah pelan, Qiana menghampiri Ates yang sudah berdiri tepat di atas sajadah. “Kamu sudah mengambil wudu?” “Sudah.” Qiana mulai mengenakan mukena yang sudah tersimpan rapi di atas tempat tidur. Sepertinya Ates yang sengaja menaruhnya di sana. Lihatlah, seberapa besar perhatian seorang Ates kepada istrinya. Tetapi, istrinya itu telah membuat kedua orang tuan
Pikiran Ustazah Naima tidak sinkron dengan tubuhnya. Dia melangkahkan kaki ke pesantren tanpa melihat langkahnya itu. Baru kali ini Ustazah Naima bertindak layaknya orang yang sedang patah hati. Biasanya dia tidak pernah seperti itu dan selalu tersenyum saat berpapasan dengan Ustazah lainnya.“Apa ada masalah dengan Ustazah Naima? Beliau sama sekali tidak menjawab salam dari Ustazah lainnya.” Salah satu pengajar di pesantren itu merasakan keanehan pada Naima. Dia gadis yang baik dan lemah lembut, selalu menyapa terlebih dahulu meski orang yang disapanya itu tidak menjawab sekali pun. Wajar saja jika mereka merasa Naima sedang berada dalam masalah.“Coba Ustazah tanya, siapa tahu sehabis pulang liburan ini membuat Ustazah Naima merasa tidak nyaman,” jawab rekannya di ruang guru.“Baiklah, tunggu sebentar.” Wanita itu melangkah perlahan, menghampiri Naima yang masih termenung di meja kerjanya.“Assalamualaikum.”“Walaikumsalam, Ustazah,” jawab Naima sedikit tersentak.“Ustazah kenapa? A
Qiana duduk termenung di pinggiran kasur. Ada yang aneh pada dirinya setelah berbicara dengan Ates tadi. Entah kenapa hari ini ia selalu mengingat Leo? Sudah beberapa hari ini semenjak menikah ia sama sekali tidak memikirkan pria itu, tapi hari ini segala kenangannya bersama Leo datang seperti air hujan.“Qiana, aku mau mengajar dulu di pesantren, ya. Jika kamu ingin menemui kedua orang tuamu, jangan lupa untuk meminta umi menemani ke sana. Aku nggak mau kamu sampai kenapa-kenapa, karena aku yakin kamu pasti belum pernah datang ke alamat itu kan?” ujar Ates yang sudah terlihat tampan dengan baju dinasnya seperti biasa.Qiana mengangguk saja tanpa menanggapi perkataan dari Ates.“Kamu masih marah? Setelah kejadian tadi aku belum mendengar sepatah kata pun yang keluar dari mulutmu.”Qiana menggeleng. Sungguh ia merasa bersalah pada Ates. Kenapa bisa-bisanya cemburu pada hal yang tidak seharusnya dia cemburui. Dan kenapa juga dia kembali mengingat Leo ketika dirinya sudah memiliki Ates
“Apa arti cinta untukmu? Bukankah kamu sangat memahami bahwa tidak ada cinta yang lebih besar selain cinta untuk Sang Pencipta?” tanya seorang gadis berkerudung merah pada seorang pemuda yang berdiri tak jauh darinya. Jarak ia dengan pemuda itu hanya lah lima langkah. Bila ia melangkahkan kaki sebanyak lima kali, tidak akan ada lagi jarak yang tercipta di antara keduanya.Benarkah tidak ada jarak lagi? Tidak, meskipun ia melangkah untuk menghapus jarak yang tercipta itu, ia tahu jarak yang sesungguhnya tidak akan pernah mungkin terhapus karena jarak itu tidak kasat mata. Setiap ia melangkah maka semakin jauhlah jarak yang tercipta antara dirinya dan si pemuda tersebut.“Aku mencintaimu karena Allah,” ucap pemuda itu dengan sangat lirih. “Aku ingin menjadi imammu.”“Bila kita memang berjodoh, insya Allah, Allah akan mempermudahnya.” Hanya jawaban itulah yang diberikan si wanita. “Aku tidak akan memintamu menunggu karena aku sama sekali tidak memiliki hak untuk itu. Jika kamu sudah mene