Suatu ketika kehidupan dan kematian bertemu satu sama lain, lantas mereka mengobrol. “Kenapa orang-orang itu menyukaimu, tapi membenci aku?” tanya kematian kepada kehidupan. Kehidupan menjawab sambil tersenyum, “Orang-orang menyukaiku karena aku adalah dusta yang indah, sedangkan mereka membencimu karena kamu adalah kebenaran yang menyakitkan.”
Qiana termenung di kamarnya saat mengingat percakapan antara kehidupan dan kematian karya penulis terkenal Tere Liye yang waktu itu pernah dia baca. Pemakaman Ustad Risman sudah dilangsungkan satu jam yang lalu dan Qiana serta umi dan yang lainnya kembali ke rumah mereka.“Manusia terlena akan kehidupan yang hanya sementara. Tanpa mereka sadar telah melupakan kenyataan bahwa kehidupan tengah dijalani tidaklah bersifat tetap, suatu saat kita akan kembali kepada-nya. Hanya menunggu waktu untuk mencabut roh dari raganya.” Ates membelai lembut pucuk kepala Qiana. Meski mereka baru kenal dan menikah karena terpaksa, tapi Ates merasa berkewajiban untuk menenangkan istrinya itu. “Tidak ada yang menginginkan kedatangannya, tapi kita tidak pernah bisa lari darinya. Karena setiap yang hidup pasti akan mati.”Ates memegang pipi Qiana dengan kedua telapak tangannya. “Aku tidak melarangmu untuk bersedih, karena memang sudah sewajarnya kamu merasa sedih atas kepergian Abi. Hanya saja aku tidak ingin kamu larut dalam kesedihanmu itu.”Perkataan Ates yang lembut membuat Qiana kembali terisak. Bagaimana bisa dia mengendalikan hatinya saat ini? Setelah semua kesalahan yang dia lakukan hingga membuat sang Abi pergi untuk selama-lamanya. Rasa sesal memenuhi hati Qiana.Ia baru sadar, tingkah dan perilakunya selama ini tidak pernah membuat Abi dan Umi bahagia. Qiana selalu membantah dan tidak ingin dikekang oleh aturan yang diterapkan oleh abinya. Ia ingin seperti anak-anak yang lain, memiliki kebebasan tanpa melihat agama di dalam setiap langkahnya.Betapa durhakanya ia. Kini, ia selalu berharap Allah mengembalikan abinya lagi. Sungguh ia akan berbakti dan mendengarkan setiap perkataan kedua orang tuanya bila hal itu benar terjadi. Namun, itu sangat mustahil.“Kamu harus tahu, Qiana. Apa yang Allah ambil dan berikan, semuanya adalah milik-Nya. Di balik itu ada hikmah yang bisa kita petik dari setiap kejadian dan masalah yang datang. Kamu harus ingat pesan Abi, menjadi anak dan ibu yang baik untuk calon anak kita. Aku akan membimbingmu ke jalan yang Allah ridhoi. Tak akan pernah aku tinggalkan dirimu sendiri meski dalam keadaan apa pun. Kamu harus percaya hal itu.”Abinya tidak pernah salah menilai orang. Ates benar-benar lelaki yang baik. Mereka memang sudah dijodohkan jauh sebelum Qiana dan Ates beranjak remaja. Perilaku dan sopan santun yang Ates tunjukkan sangat membuat Ustad Risman tersentuh dan meminta Ustad Hanan untuk menjodohkan anak mereka.“Apa yang bisa aku lakukan untuk Abi, Mas? Selama ini tidak ada satu pun kebaikan yang aku lakukan untuk Abi. Hanya melawan dan membangkang atas peraturan yang Abi terapkan.”“Senantiasalah berdoa untuk Abi dan jangan putus tali silaturahmi dengan umi serta Uwak dan bibi. Kamu juga harus bertobat, memohon ampun kepada-Nya atas kemaksiatan yang telah kamu lakukan ituQiana mengangguk. Demi abinya, ia akan berusaha untuk menjalani kehidupannya dengan Ates dan bertobat agar semua doa-doanya diterima oleh Allah SWT.“Mas, apa benar ketika kita menghafal Al-Qur’an, maka Allah akan memberikan mahkota dan jubah emas untuk kedua orang tua kita di akhirat kelak?” Qiana bertanya dengan suara lirih. Isak tangis masih sesekali lolos dari bibirnya yang tipis.Ates mengangguk. “Allah berjanji melalui lisan rasul-Nya. Siapa yang menghafal Al-Qur’an, mengkajinya dan mengamalkannya, maka Allah akan memberikan mahkota bagi kedua orang tuanya dari cahaya yang terangnya seperti matahari. Dan kedua orang tuanya akan diberi dua pakaian yang tidak bisa dinilai dengan dunia. Kemudian, kedua orang tuanya bertanya, “Mengapa saya sampai diberi pakaian yang indah ini? Lalu disampaikan kepadanya, “Itu karena anakmu telah mengamalkan Al-Qur’an,” terangnya, membuat hati Qiana diliput rasa bahagia. Dia merasa lega mendengar perkataan Ates barusan.“Mas..., maukah kamu membantuku untuk menghafal Al-Qur’an? Tuntun aku menuju surga-Nya Allah. Tidak ada yang bisa aku lakukan untuk Abi, selain menjadi anak yang Abi inginkan selama ini. Aku juga ingin menjadi istri yang berbakti kepada suaminya. Tapi, saat ini aku merasa diriku belum pantas untuk menjadi istrimu atas dosa yang aku lakukan di masa lalu. Aku tahu pernikahan kita juga memberatkan dirimu, Mas. Maka dari itu beri aku kesempatan agar bisa menjadi istri yang baik untukmu.”Ates senang mendengar apa yang barusan Qiana katakan. Memang pernikahan mereka mendadak dan Ates yang baru saja lulus kuliah itu tidak menyangka akan menikah muda. Ia juga tidak menyangka jika sang istri pada akhirnya mau bertobat dan menghafal Al-Qur’an.“Tentu, Qiana. Aku akan membantumu untuk menghafalnya. Semoga Allah mempermudah jalanmu untuk kembali ke jalan yang benar.”Qiana mengamini doa sang suami. Iya, ia berharap Allah memberikan kesempatan kepadanya untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi.***Perlahan Qiana mulai dapat menerima kepergian abinya. Tidak ada pertanyaan atau pun penyesalan yang selalu ia ajukan saat mengadukan segala keluh kesahnya kepada Sang Illahi.Kenapa Engkau secepat itu mengambil Abi dariku di saat aku belum melakukan sedikit kebaikan dan berbakti kepada Abi? Kenapa Engkau tidak memberikan kesempatan kepadaku agar bisa menjadi anak yang baik untuk Abi dan Umi? Aku ingin waktu kembali lagi agar bisa menuruti semua kemauan Abi. Tapi, aku tahu itu semua tidak mungkin terjadi lagi.Kini, Qiana sangat menyesali beberapa pertanyaan itu karena pada kenyataannya ia sudah tahu jawabannya. Allah melakukan itu agar ia tersadar atas kesalahan yang telah ia lakukan dulu.Selepas salat magrib, Qiana membantu uminya yang sedang sibuk di dapur untuk menyiapkan makan malam bagi keluarga lainnya. Meski sikap sang umi masih sama seperti saat sebelumnya, tak membuat Qiana menyerah dan pergi dari dapur. Ia tengah serius mengaduk sup yang baru setengah matang, tiba-tiba uwaknya datang bersama bibinya.“Masih ada muka untuk muncul di depan keluargaku?”Qiana mendengus kesal. Perkataan uwaknya benar-benar mengganggunya saat ini. “Jangan mengatakan hal itu, Uwak. Ini keluarga Qiana juga, dari kecil Qiana sudah tumbuh di tengah-tengah keluarga ini. Qiana juga bagian dari keluarga Uwak,” ujar Qiana tanpa menoleh dan menatap wajah uwaknya itu.“Jika kamu menyadari hal itu, kenapa kamu tidak pernah sekalipun menuruti perkataan mereka? Kamu selalu membantah dan melakukan sesuka hati tanpa memikirkan perasaan kakakku dan juga istrinya. Sekarang kamu nggak perlu menunjukkan kepadaku wajah pura-pura sedih itu. Karena memang ini yang kamu inginkan, bukan?”Qiana menarik napas panjang. Dia tidak mau membalas perkataan menyakitkan itu lagi. Ia sadar diri telah melakukan kesalahan besar, wajar saja jika uwaknya sangat marah. Sebagai seorang anak, sudah seharusnya ia mendengarkan dan menuruti perkataan orang tuanya, tidak melawan dan bertindak sesuka hati saja. Tapi, Qiana sama sekali tidak melakukan hal itu.“Qiana, mana Ates?” tanya bibi Qiana yang berdiri tepat di samping uwaknya.“Mas Ates tadi pergi ke masjid, Bi,” jawab Qiana.“Ya sudah, sebaiknya kamu menyiapkan makan malam untuk suamimu juga. Karena ini hari pertama kalian berstatus sebagai suami istri.”“Baik, Bi.”“Jangan digabung makanan kalian dengan makanan kami! Karena aku tidak mau satu meja makan dengan wanita pendosa seperti dirimu.”Lagi-lagi Qiana hanya bisa mengelus dadanya. Ia tak ingin berdebat dengan uwaknya. Qiana tak mau abinya sedih melihat pertengkaran itu nantinya. Biarlah ia yang mengalah, agar semua orang bisa hidup dengan damai.“Mas sudah pulang? Qiana sudah membuat makanan kesukaan Abi, siapa tahu Mas Ates juga suka.” Qiana langsung menyambut suaminya yang baru pulang dari mesjid.Ates tertegun sejenak, melihat senyum Qiana yang terlihat sangat manis. Dia baru menyadari bahwa gadis yang dijodohkan dengannya itu memiliki sisi lembut dan juga bisa menghargai sebuah hubungan.“Kenapa makanannya dibawa ke kamar? Keluarga yang lain sedang makan di bawah, sebaiknya kita turun dan bergabung dengan mereka,” ucap Ates.Qiana langsung menyanggah. “Kita makannya di sini saja, Mas. Qiana nggak mau keluarga yang lain menjadi terganggu karena kita.”“Apa terjadi sesuatu tadi?”Qiana langsung menggeleng. “Tidak, Mas. Tidak ada yang terjadi. Hanya saja Uwak tidak ingin melihat wajah Qiana saat makan malam. Qiana tahu dan mengerti perasaan beliau, makanya Qiana mengalah dan sebaiknya kita makan di kamar saja.”Ates mengangguk sembari tersenyum. “Baiklah, jika itu yang istriku mau. Mas juga ingin melihat yang lainnya hidup dengan damai dan bahagia. Kalau Uwak tidak menyukai kita, sebaiknya kita pindah ke pesantren. Agar nanti kamu bisa belajar ilmu agama di sana.”“Qiana setuju, Mas. Tapi, Qiana bicara dulu sama umi dan minta izin beliau untuk pindah.”“Besok pagi kita akan temui umi.”Ketika Qiana sedang bersedih setelah kepergian abinya, Ates selalu ada untuk dirinya. Bukan hanya parasnya yang tampan, tingkah laku dan perkataan Ates juga terdengar indah di telinga. Qiana bisa melupakan tentang Leo, ayah dari calon bayi yang akan lahir dari rahimnya. Bersama Ates, Qiana berani memimpikan indahnya rumah tangga dan menjadi istri serta ibu yang baik untuk calon anaknya nanti.“Qiana, apa kamu sudah tidur?”Suara umi terdengar mengetuk pintu di luar sana ketika Qiana dan Ates sedang menikmati makan malam. Keduanya lantas berdiri dan membukakan pintu untuk sang umi.“Umi, ada apa? Apa Umi merasakan sesuatu?” tanya Qiana senang karena uminya sudah mau berbicara lagi dengannya.“Umi mau bicara sama kalian berdua, ini menyangkut pesan Abi,” ujar beliau.“Abi? Memangnya apa yang Abi katakan pada Umi?”Qiana tak bisa tidur, menatap secarik kertas yang berada di atas amplop biru. Di sebelahnya ada kotak warna biru tua, Qiana sempat membukanya tadi karena penasaran dengan apa isi di dalam kotak itu.“Abi menemukanmu di depan pintu pesantren. Saat itu Abi bertugas untuk mengisi ceramah bulan ramadhan. Wajah polosmu itu tak bisa membuat kami untuk menitipkan bayi mungil itu di panti asuhan. Abi memilih untuk merawat kamu karena sudah lama kami menantikan kehadiran seorang bayi. Mungkin itu cara Allah memberikan kami keturunan, dengan merawatmu seperti anak kami sendiri.”Kalimat yang diucapkan umi tadi masih terngiang-ngiang di telinga Qiana. Betapa tidak bersyukurnya ia karena telah dibesarkan oleh keluarga yang taat pada agama. Memberikannya banyak cinta dan kasih sayang layaknya seorang anak kandung. Tapi, ia malah membuat mereka kecewa dengan segala tindakan dan tingkah lakunya yang tidak pantas mencerminkan seorang anak.“Apa yang telah aku lakukan selama ini? Kenapa tidak bisa men
Seperti yang telah Ates katakan tadi malam, bahwa hari ini dia beserta Qiana akan pindah ke rumah yang berada di samping pesantren. Rumah itu saat ini hanya ditempati oleh kedua orang tua Ates, mengingat rumah tersebut adalah salah satu dari sekian unit rumah yang diberikan kepada setiap pengajar yang rumahnya jauh dari pesantren.Sebenarnya Abi Qiana sudah dari dulu mengajak umi pindah ke rumah di sebelah rumah Ates, tapi umi tidak mau meninggalkan rumah yang menjadi warisan dari kedua orang tuanya. Alhasil, Abi lah yang terpaksa bolak balik dari rumah ke pesantren itu.Ates dan Qiana langsung pergi setelah pamit kepada bibinya, karena sang umi beserta Uwak sedang pergi ke pasar untuk membeli bahan makanan. Mereka akan kembali lagi nanti malam untuk mengambil barang-barang yang Qiana yang diperlukan.“Kita langsung ke alamat ini?” tanya Ates yang fokus mengemudikan mobilnya.“Bisakah kita nanti siang saja ke sana, Mas? Aku mau bertemu dengan umi Mas Ates dulu. Biar bagaimana pun jug
“Apa arti cinta untukmu? Bukankah kamu sangat memahami bahwa tidak ada cinta yang lebih besar selain cinta untuk Sang Pencipta?” tanya seorang gadis berkerudung merah pada seorang pemuda yang berdiri tak jauh darinya. Jarak ia dengan pemuda itu hanya lah lima langkah. Bila ia melangkahkan kaki sebanyak lima kali, tidak akan ada lagi jarak yang tercipta di antara keduanya.Benarkah tidak ada jarak lagi? Tidak, meskipun ia melangkah untuk menghapus jarak yang tercipta itu, ia tahu jarak yang sesungguhnya tidak akan pernah mungkin terhapus karena jarak itu tidak kasat mata. Setiap ia melangkah maka semakin jauhlah jarak yang tercipta antara dirinya dan si pemuda tersebut.“Aku mencintaimu karena Allah,” ucap pemuda itu dengan sangat lirih. “Aku ingin menjadi imammu.”“Bila kita memang berjodoh, insya Allah, Allah akan mempermudahnya.” Hanya jawaban itulah yang diberikan si wanita. “Aku tidak akan memintamu menunggu karena aku sama sekali tidak memiliki hak untuk itu. Jika kamu sudah mene
Qiana duduk termenung di pinggiran kasur. Ada yang aneh pada dirinya setelah berbicara dengan Ates tadi. Entah kenapa hari ini ia selalu mengingat Leo? Sudah beberapa hari ini semenjak menikah ia sama sekali tidak memikirkan pria itu, tapi hari ini segala kenangannya bersama Leo datang seperti air hujan.“Qiana, aku mau mengajar dulu di pesantren, ya. Jika kamu ingin menemui kedua orang tuamu, jangan lupa untuk meminta umi menemani ke sana. Aku nggak mau kamu sampai kenapa-kenapa, karena aku yakin kamu pasti belum pernah datang ke alamat itu kan?” ujar Ates yang sudah terlihat tampan dengan baju dinasnya seperti biasa.Qiana mengangguk saja tanpa menanggapi perkataan dari Ates.“Kamu masih marah? Setelah kejadian tadi aku belum mendengar sepatah kata pun yang keluar dari mulutmu.”Qiana menggeleng. Sungguh ia merasa bersalah pada Ates. Kenapa bisa-bisanya cemburu pada hal yang tidak seharusnya dia cemburui. Dan kenapa juga dia kembali mengingat Leo ketika dirinya sudah memiliki Ates
Pikiran Ustazah Naima tidak sinkron dengan tubuhnya. Dia melangkahkan kaki ke pesantren tanpa melihat langkahnya itu. Baru kali ini Ustazah Naima bertindak layaknya orang yang sedang patah hati. Biasanya dia tidak pernah seperti itu dan selalu tersenyum saat berpapasan dengan Ustazah lainnya.“Apa ada masalah dengan Ustazah Naima? Beliau sama sekali tidak menjawab salam dari Ustazah lainnya.” Salah satu pengajar di pesantren itu merasakan keanehan pada Naima. Dia gadis yang baik dan lemah lembut, selalu menyapa terlebih dahulu meski orang yang disapanya itu tidak menjawab sekali pun. Wajar saja jika mereka merasa Naima sedang berada dalam masalah.“Coba Ustazah tanya, siapa tahu sehabis pulang liburan ini membuat Ustazah Naima merasa tidak nyaman,” jawab rekannya di ruang guru.“Baiklah, tunggu sebentar.” Wanita itu melangkah perlahan, menghampiri Naima yang masih termenung di meja kerjanya.“Assalamualaikum.”“Walaikumsalam, Ustazah,” jawab Naima sedikit tersentak.“Ustazah kenapa? A
Ates menggelar dua sajadah untuk dirinya dan sang istri. Matanya memandang Qiana yang masih berdiri di ambang pintu kamar mandi. Qiana mengenakan gamis berwarna biru tanpa kerudung, rambutnya terlihat habis di keramas. Qiana memilih untuk menyegarkan tubuhnya di kamar mandi setelah apa yang dia lakukan saat makan siang tadi. Ia begitu lama berada di dalam sana hingga Ates setia menunggu istrinya untuk bicara. Ates juga tidak berani mengganggu Qiana yang sedang menenangkan diri di dalam kamar mandi. “Mau sampai kapan kamu berdiri di situ?” pertanyaan yang Ates ajukan sepele, tetapi berhasil membuat Qiana salah tingkah. Dengan langkah pelan, Qiana menghampiri Ates yang sudah berdiri tepat di atas sajadah. “Kamu sudah mengambil wudu?” “Sudah.” Qiana mulai mengenakan mukena yang sudah tersimpan rapi di atas tempat tidur. Sepertinya Ates yang sengaja menaruhnya di sana. Lihatlah, seberapa besar perhatian seorang Ates kepada istrinya. Tetapi, istrinya itu telah membuat kedua orang tuan
Qiana menyadari sedari tadi tingkah dan perilaku Fatimah sedikit berbeda. Qiana tanpa sengaja melihat Fatimah yang mengeluh saat sedang bermain di ruang tengah, gadis kecil itu menekan perutnya dengan sangat kuat. Dan saat Qiana muncul, Fatimah malah bersikap biasa saja. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa kepadanya.“Fatimah kenapa, Umi?” tanya Qiana panik dan menghampiri.Umi mertua menggeleng sembari menangis. “Umi tidak tahu, Qiana. Dia sudah seperti ini saat Umi keluar dari dapur.”“Sebaiknya kita bawa ke rumah sakit saja, nanti Qiana akan menghubungi Mas Ates dan juga Abi.”“Cepatlah! Umi takut Fatimah kenapa-kenapa.”Qiana mengangguk dan bergegas mencari ponselnya. Setelah memberitahu Ates dan juga abi mertua, Qiana beserta umi membawa Fatimah ke rumah sakit. Dengan perasaan cemas, mertua Qiana itu berusaha untuk tetap tenang. Tapi, tidak dengan Qiana. Dia merasa ada yang salah setelah pertemuan Fatimah dengan Ustazah Naima. Entahlah, dia mencurigai pujaan hati suaminya itu
Ates menghampiri istrinya yang berada di belakang rumah sakit setelah keluar dari ruangan Fatimah. Qiana tampak begitu sedih, sesekali ia mengusap pipinya yang masih dibanjiri air mata. Perlahan Ates duduk di samping Qiana dan menarik istrinya itu ke dalam pelukannya.“Jangan pikirkan apa yang Fatimah katakan tadi, dia hanya gadis kecil yang belum bisa menilai orang dengan baik. Aku janji akan memberikan pemahaman kepada Fatimah agar dia bisa menerimamu di dalam hidupnya.”Qiana yang mendengar suara lembut Ates itu langsung mendongak dan menatap sang suami. “Aku tidak pernah merasa tersinggung dengan perkataan Fatimah, Mas. Hanya saja aku cemburu akan kedekatannya dengan Ustazah Naima. Fatimah begitu menyayanginya, hingga dia tidak ingin Ustazah Naima pergi dari hidupnya.”Ates tentu sangat mengerti dengan perasaan Qiana. Makanya dia langsung mengejar Qiana saat melihat istrinya itu hampir menitikkan air mata di ruang perawatan Fatimah.“Seharusnya kamu nggak perlu cemburu dengan
Isakan tangis atas kepergian Fatimah tak begitu terdengar. Umi dan abi hanya menitikkan air mata saat melihat tubuh Fatimah yang sudah terbaring kaku di ranjang rumah sakit. Tak ada yang perlu ditangisi, meski mereka kehilangan cucu kesayangan dan merupakan satu-satunya di keluarga itu. Umi dan abi harus segera membawa Fatimah pulang, agar besok bisa segera dimakamkan.Ates hanya memiliki satu saudari perempuan, dan itu adalah bundanya Fatimah. Namun, kakak Ates pergi ke Turki mengikuti suami barunya yang merupakan ayah tiri Fatimah. Keluarga suaminya itu tidak ingin jika Fatimah ikut, makanya Ates melarang sang kakak untuk membawanya pergi.Hari ini adalah hari yang dijanjikan untuknya kembali, menemui putri tercinta yang sudah lama dia tinggalkan. Namun, ketika malam itu mendapatkan telepon dari Ates, Zahara langsung memesan tiket dan terbang ke Indonesia.“Mbak Qiana, bolehkah saya melihat jasadnya Fatimah?” Qiana yang sedang menyambut para pelayat itu pun tertegun melihat Ustaz
Dalam keheningan malam, Qiana duduk sendirian di ruang tamu. Merenungi apa yang telah terjadi tadi. Ia masih belum bisa berpikir dengan jernih bahwa masalah yang menimpanya saat ini merupakan teguran atas kesalahan yang telah ia lakukan di masa itu. Qiana juga tidak pernah menyalahkan takdir yang dia ubah sendiri karena egonya terlalu tinggi. Saat ini ia hanya bisa pasrah dan berdoa akan apa yang terjadi pada pernikahannya dengan Ates.“Kesalahan yang telah aku perbuat akan aku tanggung sendiri tanpa melibatkan Mas Ates beserta keluarganya. Tapi, aku tidak akan bisa menghadapi umi beserta Uwak nantinya jika tahu apa yang terjadi hari ini. Mereka pasti akan semakin kecewa dan marah padaku, apa lagi kedua orang tua Mas Ates pasti sangat sedih mendengar kejadian tadi.”Qiana terus saja merutuki dirinya yang tidak bisa memaafkan kesalahan Leo. Ia juga tidak menyangka bahwa ketika Leo memeluknya, Qiana merasa sangat bahagia. Rasa rindu yang ia pendam untuk pria itu telah terbayarkan, mes
Dia lari dengan tergopoh-gopoh, di belakangnya banyak warga yang mengejar sembari membawa kayu dan alat untuk menghakiminya. Keringat bercucuran serta darah yang mengalir deras di pelipisnya. Sesekali dia menoleh, memastikan bahwa orang-orang yang mengejarnya itu sudah menjauh.Namun, dugaannya itu salah. Mereka semakin mendekat dengan teriakan yang menggema di kala azan magrib mulai berkumandang. Para warga yang mengejarnya itu tampak marah, jelas sekali dari raut wajah mereka yang tidak bisa diajak untuk bicara baik-baik. Kesalahan besar mungkin telah dia lakukan sehingga menjadi target warga untuk dihakimi.“Jangan sampai pria bejat itu lolos! Kita harus segera menangkapnya dan menghukum pria itu agar tidak menjadi contoh bagi yang lain melakukan kejahatan,” teriak salah satu pria berbadan gembul. Dari suaranya saja sudah membuat orang lain yang mendengar sedikit ketakutan. Ada tekanan dan ancaman dari setiap perkataan yang keluar dari mulutnya itu.“Dia pasti bersembunyi di pes
Ates menghampiri istrinya yang berada di belakang rumah sakit setelah keluar dari ruangan Fatimah. Qiana tampak begitu sedih, sesekali ia mengusap pipinya yang masih dibanjiri air mata. Perlahan Ates duduk di samping Qiana dan menarik istrinya itu ke dalam pelukannya.“Jangan pikirkan apa yang Fatimah katakan tadi, dia hanya gadis kecil yang belum bisa menilai orang dengan baik. Aku janji akan memberikan pemahaman kepada Fatimah agar dia bisa menerimamu di dalam hidupnya.”Qiana yang mendengar suara lembut Ates itu langsung mendongak dan menatap sang suami. “Aku tidak pernah merasa tersinggung dengan perkataan Fatimah, Mas. Hanya saja aku cemburu akan kedekatannya dengan Ustazah Naima. Fatimah begitu menyayanginya, hingga dia tidak ingin Ustazah Naima pergi dari hidupnya.”Ates tentu sangat mengerti dengan perasaan Qiana. Makanya dia langsung mengejar Qiana saat melihat istrinya itu hampir menitikkan air mata di ruang perawatan Fatimah.“Seharusnya kamu nggak perlu cemburu dengan
Qiana menyadari sedari tadi tingkah dan perilaku Fatimah sedikit berbeda. Qiana tanpa sengaja melihat Fatimah yang mengeluh saat sedang bermain di ruang tengah, gadis kecil itu menekan perutnya dengan sangat kuat. Dan saat Qiana muncul, Fatimah malah bersikap biasa saja. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa kepadanya.“Fatimah kenapa, Umi?” tanya Qiana panik dan menghampiri.Umi mertua menggeleng sembari menangis. “Umi tidak tahu, Qiana. Dia sudah seperti ini saat Umi keluar dari dapur.”“Sebaiknya kita bawa ke rumah sakit saja, nanti Qiana akan menghubungi Mas Ates dan juga Abi.”“Cepatlah! Umi takut Fatimah kenapa-kenapa.”Qiana mengangguk dan bergegas mencari ponselnya. Setelah memberitahu Ates dan juga abi mertua, Qiana beserta umi membawa Fatimah ke rumah sakit. Dengan perasaan cemas, mertua Qiana itu berusaha untuk tetap tenang. Tapi, tidak dengan Qiana. Dia merasa ada yang salah setelah pertemuan Fatimah dengan Ustazah Naima. Entahlah, dia mencurigai pujaan hati suaminya itu
Ates menggelar dua sajadah untuk dirinya dan sang istri. Matanya memandang Qiana yang masih berdiri di ambang pintu kamar mandi. Qiana mengenakan gamis berwarna biru tanpa kerudung, rambutnya terlihat habis di keramas. Qiana memilih untuk menyegarkan tubuhnya di kamar mandi setelah apa yang dia lakukan saat makan siang tadi. Ia begitu lama berada di dalam sana hingga Ates setia menunggu istrinya untuk bicara. Ates juga tidak berani mengganggu Qiana yang sedang menenangkan diri di dalam kamar mandi. “Mau sampai kapan kamu berdiri di situ?” pertanyaan yang Ates ajukan sepele, tetapi berhasil membuat Qiana salah tingkah. Dengan langkah pelan, Qiana menghampiri Ates yang sudah berdiri tepat di atas sajadah. “Kamu sudah mengambil wudu?” “Sudah.” Qiana mulai mengenakan mukena yang sudah tersimpan rapi di atas tempat tidur. Sepertinya Ates yang sengaja menaruhnya di sana. Lihatlah, seberapa besar perhatian seorang Ates kepada istrinya. Tetapi, istrinya itu telah membuat kedua orang tuan
Pikiran Ustazah Naima tidak sinkron dengan tubuhnya. Dia melangkahkan kaki ke pesantren tanpa melihat langkahnya itu. Baru kali ini Ustazah Naima bertindak layaknya orang yang sedang patah hati. Biasanya dia tidak pernah seperti itu dan selalu tersenyum saat berpapasan dengan Ustazah lainnya.“Apa ada masalah dengan Ustazah Naima? Beliau sama sekali tidak menjawab salam dari Ustazah lainnya.” Salah satu pengajar di pesantren itu merasakan keanehan pada Naima. Dia gadis yang baik dan lemah lembut, selalu menyapa terlebih dahulu meski orang yang disapanya itu tidak menjawab sekali pun. Wajar saja jika mereka merasa Naima sedang berada dalam masalah.“Coba Ustazah tanya, siapa tahu sehabis pulang liburan ini membuat Ustazah Naima merasa tidak nyaman,” jawab rekannya di ruang guru.“Baiklah, tunggu sebentar.” Wanita itu melangkah perlahan, menghampiri Naima yang masih termenung di meja kerjanya.“Assalamualaikum.”“Walaikumsalam, Ustazah,” jawab Naima sedikit tersentak.“Ustazah kenapa? A
Qiana duduk termenung di pinggiran kasur. Ada yang aneh pada dirinya setelah berbicara dengan Ates tadi. Entah kenapa hari ini ia selalu mengingat Leo? Sudah beberapa hari ini semenjak menikah ia sama sekali tidak memikirkan pria itu, tapi hari ini segala kenangannya bersama Leo datang seperti air hujan.“Qiana, aku mau mengajar dulu di pesantren, ya. Jika kamu ingin menemui kedua orang tuamu, jangan lupa untuk meminta umi menemani ke sana. Aku nggak mau kamu sampai kenapa-kenapa, karena aku yakin kamu pasti belum pernah datang ke alamat itu kan?” ujar Ates yang sudah terlihat tampan dengan baju dinasnya seperti biasa.Qiana mengangguk saja tanpa menanggapi perkataan dari Ates.“Kamu masih marah? Setelah kejadian tadi aku belum mendengar sepatah kata pun yang keluar dari mulutmu.”Qiana menggeleng. Sungguh ia merasa bersalah pada Ates. Kenapa bisa-bisanya cemburu pada hal yang tidak seharusnya dia cemburui. Dan kenapa juga dia kembali mengingat Leo ketika dirinya sudah memiliki Ates
“Apa arti cinta untukmu? Bukankah kamu sangat memahami bahwa tidak ada cinta yang lebih besar selain cinta untuk Sang Pencipta?” tanya seorang gadis berkerudung merah pada seorang pemuda yang berdiri tak jauh darinya. Jarak ia dengan pemuda itu hanya lah lima langkah. Bila ia melangkahkan kaki sebanyak lima kali, tidak akan ada lagi jarak yang tercipta di antara keduanya.Benarkah tidak ada jarak lagi? Tidak, meskipun ia melangkah untuk menghapus jarak yang tercipta itu, ia tahu jarak yang sesungguhnya tidak akan pernah mungkin terhapus karena jarak itu tidak kasat mata. Setiap ia melangkah maka semakin jauhlah jarak yang tercipta antara dirinya dan si pemuda tersebut.“Aku mencintaimu karena Allah,” ucap pemuda itu dengan sangat lirih. “Aku ingin menjadi imammu.”“Bila kita memang berjodoh, insya Allah, Allah akan mempermudahnya.” Hanya jawaban itulah yang diberikan si wanita. “Aku tidak akan memintamu menunggu karena aku sama sekali tidak memiliki hak untuk itu. Jika kamu sudah mene