Seperti yang telah Ates katakan tadi malam, bahwa hari ini dia beserta Qiana akan pindah ke rumah yang berada di samping pesantren. Rumah itu saat ini hanya ditempati oleh kedua orang tua Ates, mengingat rumah tersebut adalah salah satu dari sekian unit rumah yang diberikan kepada setiap pengajar yang rumahnya jauh dari pesantren.
Sebenarnya Abi Qiana sudah dari dulu mengajak umi pindah ke rumah di sebelah rumah Ates, tapi umi tidak mau meninggalkan rumah yang menjadi warisan dari kedua orang tuanya. Alhasil, Abi lah yang terpaksa bolak balik dari rumah ke pesantren itu.Ates dan Qiana langsung pergi setelah pamit kepada bibinya, karena sang umi beserta Uwak sedang pergi ke pasar untuk membeli bahan makanan. Mereka akan kembali lagi nanti malam untuk mengambil barang-barang yang Qiana yang diperlukan.“Kita langsung ke alamat ini?” tanya Ates yang fokus mengemudikan mobilnya.“Bisakah kita nanti siang saja ke sana, Mas? Aku mau bertemu dengan umi Mas Ates dulu. Biar bagaimana pun juga, pernikahan kita harus mendapat restu dari beliau,” jawab Qiana.Ates mengangguk setuju. Sebenarnya Qiana belum siap untuk bertemu dengan kedua orang tuanya. Jelas terlihat dari cara Qiana yang berusaha untuk mengatur hatinya yang sedang tidak baik-baik saja.“Mas menuruti saja keinginanmu. Tapi, sepertinya nanti siang Mas nggak bisa menemanimu ke sana, karena Mas harus mengajar untuk menggantikan Ustad Risman.”“Aku mengerti, Mas. Biar aku pergi sendiri.”“Nggak apa-apa kamu bertemu mereka sendiri saja? Sebaiknya besok kita ke sana, jadwal mengajar Mas besok kosong.”“Nggak apa-apa, aku bisa sendiri kok.”Qiana Bersikukuh, dia tidak mau Ates melihatnya bersikap dingin nanti kepada orang tua kandungnya. Ia bukannya marah atau apa pun, hanya saja Qiana masih belum siap mental untuk bertemu dengan mereka. Demi Abi, ia mau mengesampingkan ego dan mengalah agar keinginan Abi bisa terwujud.“Kita sudah sampai, turunlah. Umi dan Abi mungkin sudah menunggu kita di dalam.” Ates membuka seat belt nya setelah memarkirkan mobil di halaman rumah.Sebelum turun, Qiana menarik napas panjang. Ia khawatir jika umi Ates akan menolaknya nanti. Ketakutan itu bisa dirasakan oleh Ates yang masih berada di dalam mobil itu.“Jangan khawatir, umi orang yang baik kok. Beliau sangat senang ketika mendengar pernikahan kita. Mas yakin kamu akan diterima dengan baik di keluarga kami,” ujar Ates menggenggam erat tangan Qiana.“Tapi, ceritaku berbeda, Mas. Apa Umi akan tetap menerimaku sebagai menantu jika tahu apa yang terjadi kepadaku saat ini? Aku takut umi kecewa nantinya.”“Nggak perlu khawatir, Abi pasti sudah cerita yang sebenarnya. Jadi, sebaiknya sekarang kita turun dan temui umi di dalam.” Ates lantas keluar dari mobil terlebih dahulu. Dia lalu berjalan ke samping untuk membukakan pintu mobil.Qiana tertegun sejenak, menatap rumah kedua orang tua Ates yang tampak biasa saja, namun terlihat sangat sejuk dan tenang. Qiana sangat menyukai rumah itu. Selain dekat pesantren tempat Ates mengajar, dekat juga dengan masjid yang masih berada satu kompleks dengan pesantren itu. Qiana tidak bisa melihat santriwan dan santriwati di sana karena antara pesantren dan rumah itu terhalang oleh pagar yang tinggi. Tujuannya agar para santriwan dan santriwati tidak bisa keluar tanpa izin dari ustad atau ustazahnya.“Bagaimana? Kamu suka dengan rumah ini?” tanya Ates saat melihat ekspresi senang Qiana.Qiana mengangguk cepat. “Sangat suka, Mas. Terlihat asri dan juga tenang, Qiana pasti akan betah tinggal di sini.”Ates tersenyum. “Syukurlah kamu senang, Mas bisa tenang meninggalkanmu ketika sedang mengajar. Nanti setelah kita pindah rumah, kamu juga bisa melanjutkan ujian untuk mendapatkan ijazah paket. Nanti aku akan membantumu melanjutkan pelajaran yang tertinggal itu.”“Beneran, Mas? Qiana bisa melanjutkan pendidikan dengan ijazah itu?”Ates mengangguk cepat. “Bisa dong.”Qiana berkali-kali mengucapkan rasa syukur di dalam hatinya. Di balik musibah yang ia alami, Allah memberinya seribu kebahagiaan yang selama ini tidak pernah Qiana pikirkan. Ternyata benar apa yang abinya katakan dulu, bahwa sikap dan perilaku akan menentukan bagaimana masa depan kita nantinya. Dan Qiana baru menyadari hal itu.Seandainya dari dulu ia sadar dan menuruti semua perkataan Abi, pasti saat ini kehidupan Qiana jauh lebih baik. Tidak menikah muda dan mengorbankan pendidikannya karena dosa. Kini, semua penyesalan itu masih tersisa di dalam diri Qiana. Ia pun belum bisa sepenuhnya menghapus kejadian itu meski sudah berstatus sebagai istrinya Ates.“Kalian sudah datang, kenapa tidak masuk ke dalam?”Qiana terperanjat ketika umi Ates keluar dan menghampiri mereka yang masih saja terpeku di sana. Umi segera memeluk Qiana dengan sangat erat dan penuh kasih sayang. “Selamat datang, Nak. Umi sudah menanti kedatangan kalian dari tadi,” ujar beliau melepaskan pelukan dan menatap Qiana yang tatapannya masih belum berhenti menatap umi mertuanya itu.“Ada apa, Nak? Kenapa kamu melihat Umi seperti itu?”Qiana segera sadar dan meraih tangan umi mertua dan mencium punggung tangan yang mulai keriput itu. “Assalamualaikum, Umi. Maaf Qiana tertegun karena baru pertama kali bertemu dengan Umi,” ujarnya.“Nggak apa-apa, Umi senang karena akhirnya kamu menjadi menantu Umi.”Ternyata apa yang Qiana takutkan itu tidak benar. Malah sepertinya umi Ates sangat menyukai dirinya dan menginginkan Qiana untuk menjadi menantu mereka.“Menantu datang kok nggak diajak masuk, Umi.” Ustad Hanan baru keluar dari pesantren, beliau langsung bergabung dengan mereka di sana.“Ini mau Umi ajak masuk, Bi,” jawab umi.“Assalamualaikum, Ustad.” Qiana mencium punggung tangan ustad Hanan dan disambut dengan senyum bahagia dari beliau.“Sebaiknya kita masuk sekarang, Umi mungkin sudah membuatkan sarapan yang enak untuk kita semua.”“Baik, Ustad.”“Paman Ates sudah pulang!” seru Fatimah yang tiba-tiba muncul ketika mereka baru saja masuk ke dalam rumah.Fatimah berlari dengan sangat kencang hingga menubruk Qiana yang berjalan di depan Ates. Hal itu membuat tubuh Qiana limbung ke samping. Ates sudah hendak meraih tangan Qiana agar tidak terjatuh ke lantai, tetapi dia tidak sempat meraihnya. Qiana sudah terlebih dahulu jatuh di lantai yang dingin bersama Fatimah yang ikut jatuh di atas tubuh Qiana.“Aaghh.” Qiana mengerang kesakitan. Tangan kecil Fatimah tak sengaja menekan perut Qiana ketika gadis kecil itu hendak berdiri.“Qiana, kamu nggak apa-apa?” tanya Ates panik. Dia takut jika terjadi sesuatu kepada calon anaknya itu.“Bukan ditanya baik atau nggak nya, Nak. Sebaiknya sekarang kamu angkat Qiana dan bawa ke rumah sakit. Umi khawatir terjadi sesuatu kepada calon bayinya,” ujar Umi memukul pelan punggung Ates.“Iya, Ates. Segera bawa istrimu ke rumah sakit.” Ustad Hanan menimpali.Ates setuju dengan pendapat kedua orang tuanya, dia segera mengangkat tubuh Qiana. Namun, Qiana menolak untuk dibawa ke sana.“Nggak usah, Mas. Aku baik-baik saja,” tolak Qiana.“Kita harus ke rumah sakit dulu, memeriksakan kondisi calon anak kita. Aku nggak mau sesuatu terjadi kepadanya,” ujar Ates.“Tapi, aku beneran nggak apa-apa. Hanya sedikit nyeri saja ketika tangan kecilnya menekan perutku.”“Tapi...”“Mas, aku baik-baik saja kok”“Kamu beneran nggak apa-apa, Nak? Umi khawatir sama kalian berdua.” Umi masih terlihat panik, takut jika Qiana dan calon anaknya dalam keadaan tidak baik-baik saja.Qiana mengangguk cepat. “Iya, Umi. Qiana baik-baik saja kok.”Ustad Hanan, Umi dan Ates tampak lega. Setidaknya Qiana bisa meyakinkan mereka bahwa saat ini dia dalam keadaan baik dan tidak perlu dikhawatirkan. Namun, Fatimah menatap jengkel kepadanya, seperti tidak suka melihat Qiana berada di sana.“Paman Ates, dia siapa?” tanya Fatimah yang masih berusia delapan tahun itu.“Ini istri Paman, Fatimah. Panggil dia Bibi Qiana. Mulai saat ini Paman dan Bibi akan tinggal di sini bersama Fatimah serta kakek dan nenek. Fatimah senang?”Fatimah menggeleng cepat. “Tidak, Fatimah tidak menyukainya, Paman,” jawab Fatimah.“Sayang nggak boleh begitu, nggak baik berkata kasar kepada orang yang lebih tua dari kita.” Umi segera menghampiri Fatimah dan membuatnya mengerti agar tidak membenci Qiana nantinya.“Tapi, Nek. Dia sepertinya seumuran dengan Bibi Zulaikha. Fatimah ingin Ustazah Naima yang menjadi bibi Fatimah. Bukankah Paman pernah mengatakan hal itu dulu pada Fatimah?”Qiana terkejut mendengar perkataan Fatimah. Bagaimana mungkin gadis sekecil itu mengatakan apa yang seharusnya orang dewasa katakan. Mungkinkah ini jawaban dari pertanyaan yang tadi malam Qiana ajukan pada Ates?“Mas apa ini jawabannya?” tanya Qiana, Ates hanya diam saja tanpa bisa menjawabnya.“Apa arti cinta untukmu? Bukankah kamu sangat memahami bahwa tidak ada cinta yang lebih besar selain cinta untuk Sang Pencipta?” tanya seorang gadis berkerudung merah pada seorang pemuda yang berdiri tak jauh darinya. Jarak ia dengan pemuda itu hanya lah lima langkah. Bila ia melangkahkan kaki sebanyak lima kali, tidak akan ada lagi jarak yang tercipta di antara keduanya.Benarkah tidak ada jarak lagi? Tidak, meskipun ia melangkah untuk menghapus jarak yang tercipta itu, ia tahu jarak yang sesungguhnya tidak akan pernah mungkin terhapus karena jarak itu tidak kasat mata. Setiap ia melangkah maka semakin jauhlah jarak yang tercipta antara dirinya dan si pemuda tersebut.“Aku mencintaimu karena Allah,” ucap pemuda itu dengan sangat lirih. “Aku ingin menjadi imammu.”“Bila kita memang berjodoh, insya Allah, Allah akan mempermudahnya.” Hanya jawaban itulah yang diberikan si wanita. “Aku tidak akan memintamu menunggu karena aku sama sekali tidak memiliki hak untuk itu. Jika kamu sudah mene
Qiana duduk termenung di pinggiran kasur. Ada yang aneh pada dirinya setelah berbicara dengan Ates tadi. Entah kenapa hari ini ia selalu mengingat Leo? Sudah beberapa hari ini semenjak menikah ia sama sekali tidak memikirkan pria itu, tapi hari ini segala kenangannya bersama Leo datang seperti air hujan.“Qiana, aku mau mengajar dulu di pesantren, ya. Jika kamu ingin menemui kedua orang tuamu, jangan lupa untuk meminta umi menemani ke sana. Aku nggak mau kamu sampai kenapa-kenapa, karena aku yakin kamu pasti belum pernah datang ke alamat itu kan?” ujar Ates yang sudah terlihat tampan dengan baju dinasnya seperti biasa.Qiana mengangguk saja tanpa menanggapi perkataan dari Ates.“Kamu masih marah? Setelah kejadian tadi aku belum mendengar sepatah kata pun yang keluar dari mulutmu.”Qiana menggeleng. Sungguh ia merasa bersalah pada Ates. Kenapa bisa-bisanya cemburu pada hal yang tidak seharusnya dia cemburui. Dan kenapa juga dia kembali mengingat Leo ketika dirinya sudah memiliki Ates
Pikiran Ustazah Naima tidak sinkron dengan tubuhnya. Dia melangkahkan kaki ke pesantren tanpa melihat langkahnya itu. Baru kali ini Ustazah Naima bertindak layaknya orang yang sedang patah hati. Biasanya dia tidak pernah seperti itu dan selalu tersenyum saat berpapasan dengan Ustazah lainnya.“Apa ada masalah dengan Ustazah Naima? Beliau sama sekali tidak menjawab salam dari Ustazah lainnya.” Salah satu pengajar di pesantren itu merasakan keanehan pada Naima. Dia gadis yang baik dan lemah lembut, selalu menyapa terlebih dahulu meski orang yang disapanya itu tidak menjawab sekali pun. Wajar saja jika mereka merasa Naima sedang berada dalam masalah.“Coba Ustazah tanya, siapa tahu sehabis pulang liburan ini membuat Ustazah Naima merasa tidak nyaman,” jawab rekannya di ruang guru.“Baiklah, tunggu sebentar.” Wanita itu melangkah perlahan, menghampiri Naima yang masih termenung di meja kerjanya.“Assalamualaikum.”“Walaikumsalam, Ustazah,” jawab Naima sedikit tersentak.“Ustazah kenapa? A
Ates menggelar dua sajadah untuk dirinya dan sang istri. Matanya memandang Qiana yang masih berdiri di ambang pintu kamar mandi. Qiana mengenakan gamis berwarna biru tanpa kerudung, rambutnya terlihat habis di keramas. Qiana memilih untuk menyegarkan tubuhnya di kamar mandi setelah apa yang dia lakukan saat makan siang tadi. Ia begitu lama berada di dalam sana hingga Ates setia menunggu istrinya untuk bicara. Ates juga tidak berani mengganggu Qiana yang sedang menenangkan diri di dalam kamar mandi. “Mau sampai kapan kamu berdiri di situ?” pertanyaan yang Ates ajukan sepele, tetapi berhasil membuat Qiana salah tingkah. Dengan langkah pelan, Qiana menghampiri Ates yang sudah berdiri tepat di atas sajadah. “Kamu sudah mengambil wudu?” “Sudah.” Qiana mulai mengenakan mukena yang sudah tersimpan rapi di atas tempat tidur. Sepertinya Ates yang sengaja menaruhnya di sana. Lihatlah, seberapa besar perhatian seorang Ates kepada istrinya. Tetapi, istrinya itu telah membuat kedua orang tuan
Qiana menyadari sedari tadi tingkah dan perilaku Fatimah sedikit berbeda. Qiana tanpa sengaja melihat Fatimah yang mengeluh saat sedang bermain di ruang tengah, gadis kecil itu menekan perutnya dengan sangat kuat. Dan saat Qiana muncul, Fatimah malah bersikap biasa saja. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa kepadanya.“Fatimah kenapa, Umi?” tanya Qiana panik dan menghampiri.Umi mertua menggeleng sembari menangis. “Umi tidak tahu, Qiana. Dia sudah seperti ini saat Umi keluar dari dapur.”“Sebaiknya kita bawa ke rumah sakit saja, nanti Qiana akan menghubungi Mas Ates dan juga Abi.”“Cepatlah! Umi takut Fatimah kenapa-kenapa.”Qiana mengangguk dan bergegas mencari ponselnya. Setelah memberitahu Ates dan juga abi mertua, Qiana beserta umi membawa Fatimah ke rumah sakit. Dengan perasaan cemas, mertua Qiana itu berusaha untuk tetap tenang. Tapi, tidak dengan Qiana. Dia merasa ada yang salah setelah pertemuan Fatimah dengan Ustazah Naima. Entahlah, dia mencurigai pujaan hati suaminya itu
Ates menghampiri istrinya yang berada di belakang rumah sakit setelah keluar dari ruangan Fatimah. Qiana tampak begitu sedih, sesekali ia mengusap pipinya yang masih dibanjiri air mata. Perlahan Ates duduk di samping Qiana dan menarik istrinya itu ke dalam pelukannya.“Jangan pikirkan apa yang Fatimah katakan tadi, dia hanya gadis kecil yang belum bisa menilai orang dengan baik. Aku janji akan memberikan pemahaman kepada Fatimah agar dia bisa menerimamu di dalam hidupnya.”Qiana yang mendengar suara lembut Ates itu langsung mendongak dan menatap sang suami. “Aku tidak pernah merasa tersinggung dengan perkataan Fatimah, Mas. Hanya saja aku cemburu akan kedekatannya dengan Ustazah Naima. Fatimah begitu menyayanginya, hingga dia tidak ingin Ustazah Naima pergi dari hidupnya.”Ates tentu sangat mengerti dengan perasaan Qiana. Makanya dia langsung mengejar Qiana saat melihat istrinya itu hampir menitikkan air mata di ruang perawatan Fatimah.“Seharusnya kamu nggak perlu cemburu dengan
Dia lari dengan tergopoh-gopoh, di belakangnya banyak warga yang mengejar sembari membawa kayu dan alat untuk menghakiminya. Keringat bercucuran serta darah yang mengalir deras di pelipisnya. Sesekali dia menoleh, memastikan bahwa orang-orang yang mengejarnya itu sudah menjauh.Namun, dugaannya itu salah. Mereka semakin mendekat dengan teriakan yang menggema di kala azan magrib mulai berkumandang. Para warga yang mengejarnya itu tampak marah, jelas sekali dari raut wajah mereka yang tidak bisa diajak untuk bicara baik-baik. Kesalahan besar mungkin telah dia lakukan sehingga menjadi target warga untuk dihakimi.“Jangan sampai pria bejat itu lolos! Kita harus segera menangkapnya dan menghukum pria itu agar tidak menjadi contoh bagi yang lain melakukan kejahatan,” teriak salah satu pria berbadan gembul. Dari suaranya saja sudah membuat orang lain yang mendengar sedikit ketakutan. Ada tekanan dan ancaman dari setiap perkataan yang keluar dari mulutnya itu.“Dia pasti bersembunyi di pes
Dalam keheningan malam, Qiana duduk sendirian di ruang tamu. Merenungi apa yang telah terjadi tadi. Ia masih belum bisa berpikir dengan jernih bahwa masalah yang menimpanya saat ini merupakan teguran atas kesalahan yang telah ia lakukan di masa itu. Qiana juga tidak pernah menyalahkan takdir yang dia ubah sendiri karena egonya terlalu tinggi. Saat ini ia hanya bisa pasrah dan berdoa akan apa yang terjadi pada pernikahannya dengan Ates.“Kesalahan yang telah aku perbuat akan aku tanggung sendiri tanpa melibatkan Mas Ates beserta keluarganya. Tapi, aku tidak akan bisa menghadapi umi beserta Uwak nantinya jika tahu apa yang terjadi hari ini. Mereka pasti akan semakin kecewa dan marah padaku, apa lagi kedua orang tua Mas Ates pasti sangat sedih mendengar kejadian tadi.”Qiana terus saja merutuki dirinya yang tidak bisa memaafkan kesalahan Leo. Ia juga tidak menyangka bahwa ketika Leo memeluknya, Qiana merasa sangat bahagia. Rasa rindu yang ia pendam untuk pria itu telah terbayarkan, mes
Isakan tangis atas kepergian Fatimah tak begitu terdengar. Umi dan abi hanya menitikkan air mata saat melihat tubuh Fatimah yang sudah terbaring kaku di ranjang rumah sakit. Tak ada yang perlu ditangisi, meski mereka kehilangan cucu kesayangan dan merupakan satu-satunya di keluarga itu. Umi dan abi harus segera membawa Fatimah pulang, agar besok bisa segera dimakamkan.Ates hanya memiliki satu saudari perempuan, dan itu adalah bundanya Fatimah. Namun, kakak Ates pergi ke Turki mengikuti suami barunya yang merupakan ayah tiri Fatimah. Keluarga suaminya itu tidak ingin jika Fatimah ikut, makanya Ates melarang sang kakak untuk membawanya pergi.Hari ini adalah hari yang dijanjikan untuknya kembali, menemui putri tercinta yang sudah lama dia tinggalkan. Namun, ketika malam itu mendapatkan telepon dari Ates, Zahara langsung memesan tiket dan terbang ke Indonesia.“Mbak Qiana, bolehkah saya melihat jasadnya Fatimah?” Qiana yang sedang menyambut para pelayat itu pun tertegun melihat Ustaz
Dalam keheningan malam, Qiana duduk sendirian di ruang tamu. Merenungi apa yang telah terjadi tadi. Ia masih belum bisa berpikir dengan jernih bahwa masalah yang menimpanya saat ini merupakan teguran atas kesalahan yang telah ia lakukan di masa itu. Qiana juga tidak pernah menyalahkan takdir yang dia ubah sendiri karena egonya terlalu tinggi. Saat ini ia hanya bisa pasrah dan berdoa akan apa yang terjadi pada pernikahannya dengan Ates.“Kesalahan yang telah aku perbuat akan aku tanggung sendiri tanpa melibatkan Mas Ates beserta keluarganya. Tapi, aku tidak akan bisa menghadapi umi beserta Uwak nantinya jika tahu apa yang terjadi hari ini. Mereka pasti akan semakin kecewa dan marah padaku, apa lagi kedua orang tua Mas Ates pasti sangat sedih mendengar kejadian tadi.”Qiana terus saja merutuki dirinya yang tidak bisa memaafkan kesalahan Leo. Ia juga tidak menyangka bahwa ketika Leo memeluknya, Qiana merasa sangat bahagia. Rasa rindu yang ia pendam untuk pria itu telah terbayarkan, mes
Dia lari dengan tergopoh-gopoh, di belakangnya banyak warga yang mengejar sembari membawa kayu dan alat untuk menghakiminya. Keringat bercucuran serta darah yang mengalir deras di pelipisnya. Sesekali dia menoleh, memastikan bahwa orang-orang yang mengejarnya itu sudah menjauh.Namun, dugaannya itu salah. Mereka semakin mendekat dengan teriakan yang menggema di kala azan magrib mulai berkumandang. Para warga yang mengejarnya itu tampak marah, jelas sekali dari raut wajah mereka yang tidak bisa diajak untuk bicara baik-baik. Kesalahan besar mungkin telah dia lakukan sehingga menjadi target warga untuk dihakimi.“Jangan sampai pria bejat itu lolos! Kita harus segera menangkapnya dan menghukum pria itu agar tidak menjadi contoh bagi yang lain melakukan kejahatan,” teriak salah satu pria berbadan gembul. Dari suaranya saja sudah membuat orang lain yang mendengar sedikit ketakutan. Ada tekanan dan ancaman dari setiap perkataan yang keluar dari mulutnya itu.“Dia pasti bersembunyi di pes
Ates menghampiri istrinya yang berada di belakang rumah sakit setelah keluar dari ruangan Fatimah. Qiana tampak begitu sedih, sesekali ia mengusap pipinya yang masih dibanjiri air mata. Perlahan Ates duduk di samping Qiana dan menarik istrinya itu ke dalam pelukannya.“Jangan pikirkan apa yang Fatimah katakan tadi, dia hanya gadis kecil yang belum bisa menilai orang dengan baik. Aku janji akan memberikan pemahaman kepada Fatimah agar dia bisa menerimamu di dalam hidupnya.”Qiana yang mendengar suara lembut Ates itu langsung mendongak dan menatap sang suami. “Aku tidak pernah merasa tersinggung dengan perkataan Fatimah, Mas. Hanya saja aku cemburu akan kedekatannya dengan Ustazah Naima. Fatimah begitu menyayanginya, hingga dia tidak ingin Ustazah Naima pergi dari hidupnya.”Ates tentu sangat mengerti dengan perasaan Qiana. Makanya dia langsung mengejar Qiana saat melihat istrinya itu hampir menitikkan air mata di ruang perawatan Fatimah.“Seharusnya kamu nggak perlu cemburu dengan
Qiana menyadari sedari tadi tingkah dan perilaku Fatimah sedikit berbeda. Qiana tanpa sengaja melihat Fatimah yang mengeluh saat sedang bermain di ruang tengah, gadis kecil itu menekan perutnya dengan sangat kuat. Dan saat Qiana muncul, Fatimah malah bersikap biasa saja. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa kepadanya.“Fatimah kenapa, Umi?” tanya Qiana panik dan menghampiri.Umi mertua menggeleng sembari menangis. “Umi tidak tahu, Qiana. Dia sudah seperti ini saat Umi keluar dari dapur.”“Sebaiknya kita bawa ke rumah sakit saja, nanti Qiana akan menghubungi Mas Ates dan juga Abi.”“Cepatlah! Umi takut Fatimah kenapa-kenapa.”Qiana mengangguk dan bergegas mencari ponselnya. Setelah memberitahu Ates dan juga abi mertua, Qiana beserta umi membawa Fatimah ke rumah sakit. Dengan perasaan cemas, mertua Qiana itu berusaha untuk tetap tenang. Tapi, tidak dengan Qiana. Dia merasa ada yang salah setelah pertemuan Fatimah dengan Ustazah Naima. Entahlah, dia mencurigai pujaan hati suaminya itu
Ates menggelar dua sajadah untuk dirinya dan sang istri. Matanya memandang Qiana yang masih berdiri di ambang pintu kamar mandi. Qiana mengenakan gamis berwarna biru tanpa kerudung, rambutnya terlihat habis di keramas. Qiana memilih untuk menyegarkan tubuhnya di kamar mandi setelah apa yang dia lakukan saat makan siang tadi. Ia begitu lama berada di dalam sana hingga Ates setia menunggu istrinya untuk bicara. Ates juga tidak berani mengganggu Qiana yang sedang menenangkan diri di dalam kamar mandi. “Mau sampai kapan kamu berdiri di situ?” pertanyaan yang Ates ajukan sepele, tetapi berhasil membuat Qiana salah tingkah. Dengan langkah pelan, Qiana menghampiri Ates yang sudah berdiri tepat di atas sajadah. “Kamu sudah mengambil wudu?” “Sudah.” Qiana mulai mengenakan mukena yang sudah tersimpan rapi di atas tempat tidur. Sepertinya Ates yang sengaja menaruhnya di sana. Lihatlah, seberapa besar perhatian seorang Ates kepada istrinya. Tetapi, istrinya itu telah membuat kedua orang tuan
Pikiran Ustazah Naima tidak sinkron dengan tubuhnya. Dia melangkahkan kaki ke pesantren tanpa melihat langkahnya itu. Baru kali ini Ustazah Naima bertindak layaknya orang yang sedang patah hati. Biasanya dia tidak pernah seperti itu dan selalu tersenyum saat berpapasan dengan Ustazah lainnya.“Apa ada masalah dengan Ustazah Naima? Beliau sama sekali tidak menjawab salam dari Ustazah lainnya.” Salah satu pengajar di pesantren itu merasakan keanehan pada Naima. Dia gadis yang baik dan lemah lembut, selalu menyapa terlebih dahulu meski orang yang disapanya itu tidak menjawab sekali pun. Wajar saja jika mereka merasa Naima sedang berada dalam masalah.“Coba Ustazah tanya, siapa tahu sehabis pulang liburan ini membuat Ustazah Naima merasa tidak nyaman,” jawab rekannya di ruang guru.“Baiklah, tunggu sebentar.” Wanita itu melangkah perlahan, menghampiri Naima yang masih termenung di meja kerjanya.“Assalamualaikum.”“Walaikumsalam, Ustazah,” jawab Naima sedikit tersentak.“Ustazah kenapa? A
Qiana duduk termenung di pinggiran kasur. Ada yang aneh pada dirinya setelah berbicara dengan Ates tadi. Entah kenapa hari ini ia selalu mengingat Leo? Sudah beberapa hari ini semenjak menikah ia sama sekali tidak memikirkan pria itu, tapi hari ini segala kenangannya bersama Leo datang seperti air hujan.“Qiana, aku mau mengajar dulu di pesantren, ya. Jika kamu ingin menemui kedua orang tuamu, jangan lupa untuk meminta umi menemani ke sana. Aku nggak mau kamu sampai kenapa-kenapa, karena aku yakin kamu pasti belum pernah datang ke alamat itu kan?” ujar Ates yang sudah terlihat tampan dengan baju dinasnya seperti biasa.Qiana mengangguk saja tanpa menanggapi perkataan dari Ates.“Kamu masih marah? Setelah kejadian tadi aku belum mendengar sepatah kata pun yang keluar dari mulutmu.”Qiana menggeleng. Sungguh ia merasa bersalah pada Ates. Kenapa bisa-bisanya cemburu pada hal yang tidak seharusnya dia cemburui. Dan kenapa juga dia kembali mengingat Leo ketika dirinya sudah memiliki Ates
“Apa arti cinta untukmu? Bukankah kamu sangat memahami bahwa tidak ada cinta yang lebih besar selain cinta untuk Sang Pencipta?” tanya seorang gadis berkerudung merah pada seorang pemuda yang berdiri tak jauh darinya. Jarak ia dengan pemuda itu hanya lah lima langkah. Bila ia melangkahkan kaki sebanyak lima kali, tidak akan ada lagi jarak yang tercipta di antara keduanya.Benarkah tidak ada jarak lagi? Tidak, meskipun ia melangkah untuk menghapus jarak yang tercipta itu, ia tahu jarak yang sesungguhnya tidak akan pernah mungkin terhapus karena jarak itu tidak kasat mata. Setiap ia melangkah maka semakin jauhlah jarak yang tercipta antara dirinya dan si pemuda tersebut.“Aku mencintaimu karena Allah,” ucap pemuda itu dengan sangat lirih. “Aku ingin menjadi imammu.”“Bila kita memang berjodoh, insya Allah, Allah akan mempermudahnya.” Hanya jawaban itulah yang diberikan si wanita. “Aku tidak akan memintamu menunggu karena aku sama sekali tidak memiliki hak untuk itu. Jika kamu sudah mene