Qiana tak bisa tidur, menatap secarik kertas yang berada di atas amplop biru. Di sebelahnya ada kotak warna biru tua, Qiana sempat membukanya tadi karena penasaran dengan apa isi di dalam kotak itu.
“Abi menemukanmu di depan pintu pesantren. Saat itu Abi bertugas untuk mengisi ceramah bulan ramadhan. Wajah polosmu itu tak bisa membuat kami untuk menitipkan bayi mungil itu di panti asuhan. Abi memilih untuk merawat kamu karena sudah lama kami menantikan kehadiran seorang bayi. Mungkin itu cara Allah memberikan kami keturunan, dengan merawatmu seperti anak kami sendiri.”Kalimat yang diucapkan umi tadi masih terngiang-ngiang di telinga Qiana. Betapa tidak bersyukurnya ia karena telah dibesarkan oleh keluarga yang taat pada agama. Memberikannya banyak cinta dan kasih sayang layaknya seorang anak kandung. Tapi, ia malah membuat mereka kecewa dengan segala tindakan dan tingkah lakunya yang tidak pantas mencerminkan seorang anak.“Apa yang telah aku lakukan selama ini? Kenapa tidak bisa menjadi anak yang baik dan berbakti kepada kedua orang tua? Aku benar-benar tidak pantas dibesarkan oleh keluarga ini. Anak yang tidak tahu akan terima kasih. Maafin Qiana, Abi. Qiana tidak pernah memikirkan perasaan Abi selama ini. Yang Qiana pikirkan hanyalah kesenangan semata tanpa mau mendengar perkataan Abi dan Umi.” Ia sangat menyesali perbuatannya. Jika ia bisa meminta, Qiana ingin terlahir kembali menjadi anak yang baik dan berbakti kepada kedua orang tua. Tidak memikirkan perasaan sendiri dan lebih mementingkan perasaan orang-orang yang menyayanginya.“Andai waktu bisa diputar, aku tidak ingin menjadi seperti sekarang ini, Abi. Qiana benar-benar menyesal.”Dulu Qiana tidak berkeinginan untuk menginjakkan kakinya di pesantren. Bukan karena dia benci atau pun tidak suka, hanya saja Qiana belum yakin dirinya pantas untuk menjadi salah satu murid di pesantren itu.“Umi sama sekali tidak marah atau pun membenci dirimu, Nak. Diamnya Umi bukan berarti Umi menyesal karena telah membesarkan dirimu. Hanya saja Umi bingung harus mengatakan apa tentang orang tua kandungmu. Kamu berhak tahu siapa mereka dan bertemu dengan kedua orang tuamu. Abi juga menginginkan hal itu, jangan sesekali kamu benci pada orang yang telah melahirkan kamu ke dunia ini. Kamu harus paham dan mengerti alasan mereka belum siap untuk membesarkan anak dalam keadaan seperti itu.”Awalnya Qiana benar-benar marah dan tidak ingin bertemu dengan orang tua kandungnya. Dia belum siap untuk melihat mereka. Tapi, Abi dan Umi ingin Qiana tahu bagaimana keadaan orang tua kandungnya saat ini.“Apa aku siap untuk bertemu dengan mereka? Sementara aku belum pernah bertemu dengan orang tua kandungku selama ini. Apa yang harus aku lakukan agar Umi tidak tersinggung? Aku tidak ingin membangkang lagi dan membuat Umi semakin sedih,” batin Qiana. Dia sangat frustasi memikirkan hari esok. Langkah apa yang harus dia ambil agar tidak menjadi anak yang durhaka.“Kenapa kamu belum tidur? Apa yang sudah mengganggu pikiranmu saat ini?”Qiana terkejut, Ates tiba-tiba bangun dan menghampirinya di balkon. “Mas Ates kenapa bangun? Apa udaranya terasa dingin karena Qiana membuka sedikit jendela?” tanya Qiana ragu-ragu.Ates menggeleng pelan. “Bukan karena itu. Sedari tadi Mas perhatikan kamu sangat gelisah. Seolah-olah sedang memikirkan sesuatu. Apa yang kamu pikirkan saat ini? Apa perkataan Umi tentang orang tua kandungmu yang menyebabkan kamu tidak bisa tidur?” tebak Ates.Qiana diam, dia hanya mampu menganggukkan kepalanya sebentar. “Iya, Mas,” ujarnya pelan.“Kenapa? Kalau kamu belum siap untuk bertemu mereka, sebaiknya jangan dipaksakan dulu dari pada nanti tidak ada kenyamanan yang muncul di antara kalian.”“Tapi, Qiana sudah berjanji pada Umi akan menemui mereka besok. Qiana nggak mau melanggar janji itu lagi, Mas,” ujar Qiana.“Ya sudah, sebaiknya sekarang kamu ambil wudhu dan kita salat malam. Minta petunjuk kepada-Nya agar diberikan jalan untuk masalah ini.”Qiana menurut, ia langsung melangkah meninggalkan Ates dan menuju kamar mandi. Malam ini ia akan melaksanakan salat jamaah bersama sang suami untuk pertama kalinya. Qiana tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu karena hati Qiana mulai terbuka untuk menjalankan kewajiban sebagai seorang wanita muslim.***Dalam sujud panjang, Qiana menangisi apa yang telah terjadi kepadanya. Mungkinkah yang terjadi kepadanya saat ini juga dialami oleh ibu kandungnya dulu? Sehingga tidak memiliki pilihan lain selain menitipkannya di pesantren. Apakah ia akan kehilangan calon anaknya jika Ates menolak untuk menikah dengannya?Ia telah melabuhkan hati pada Ates karena percaya bahwa sang suami dapat menjaga hatinya dan perlahan bisa mencintai dirinya dengan tulus. Meski Qiana tidak tahu bagaimana perasaan Ates saat ini, tapi dia yakin sang suami mencintai dirinya ketika melihat cara Ates membimbingnya ke jalan yang benar.“Ya Allah, aku bukanlah manusia suci yang tidak tahu malu mengharapkan ampunan dari-Mu. Aku manusia biasa yang banyak salah dan juga dosa. Selama ini aku telah melangkah di jalan yang tidak Engkau ridhoi, aku tersesat untuk sementara waktu. Terlena akan kemaksiatan yang menghancurkan semua harapan dan juga impian. Aku sadar bahwa hal yang aku inginkan tidak akan Engkau berikan jika aku mendapatkan dengan cara yang salah. Untuk itu mohon ampuni semua kekhilafanku Ya Allah. Aku bersujud memohon pengampunan dari-Mu. Berikan aku petunjuk agar bisa mengambil keputusan yang tepat. Abi ingin aku menemui orang tua kandungku, tapi rasanya sangat mustahil bagiku. Tolong beri aku petunjuk Ya Allah.”“Ya Tuhanku Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar semua doa-doa dari umat-Mu. Aku mohon, tolong berikan petunjuk pada istriku, untuk memutuskan langkah apa yang akan dia pilih. Hanya Engkau yang bisa membolak-balikkan hati seseorang, untuk itu aku bersujud meminta petunjuk darimu. Kabulkanlah doa kami Ya Allah. Amiin.”Setelah selesai berdoa, Qiana meraih tangan Ates dan mencium punggung tangan suaminya itu. Untuk beberapa saat Ates merasa bahwa Qiana adalah wanita yang dikirim Allah untuk dia bimbing ke arah yang lebih baik. Hati pria itu bergetar, merasakan ada sesuatu yang sedang bergejolak di dalam sana.Ates segera memalingkan muka, tak ingin jika Qiana melihat wajahnya yang mulai memerah saat ini.“Terima kasih, Mas,” ujar Qiana.Ates kembali melihat istrinya itu. “Untuk apa?” tanyanya penasaran.“Berkat saran Mas untuk melakukan salat malam, Qiana merasa lega dan sudah tahu apa yang harus Qiana lakukan besok,” ujarnya.“Benarkah? Syukurlah kalau begitu, Mas juga ikut senang mendengarnya.”“Mas,” panggil Qiana lembut.“Iya, ada apa? Apa masih ada yang kamu pikirkan?”Qiana menatap wajah suaminya lama. Entah kenapa Qiana merasa pernah bertemu dengan Ates sebelumnya. Padahal baru bertemu dan Ates resmi menjadi suaminya belum cukup satu hari. Namun, Qiana merasakan sesuatu di dalam dirinya, entah itu perasaan cinta atau ada hal yang ingin Qiana tahu tentang sang suami.“Boleh Qiana tanya sesuatu?”“Boleh, memangnya kamu mau tanya apa?”“Jawab yang jujur ya.”Ates mengangguk. “Iya, Mas akan menjawab dengan jujur. Karena Allah sangat membenci umat-Nya yang suka berbohong.”Qiana menarik napas panjang sebelum mengatakan sesuatu. “Apa Mas bahagia menikah denganku?”Pertanyaan itu membuat senyum di wajah Ates memudar. “Tentu Mas bahagia, meski belum ada rasa cinta di antara kita. Mas juga tahu kamu masih sangat mencintai pria itu, makanya Mas tidak ingin memaksakan hatimu hanya untuk Mas.”“Apa Mas menyukaiku?”“Maksudnya?” Ates jadi gugup, dia bingung kenapa Qiana tiba-tiba bertanya hal itu padanya.“Qiana hanya penasaran karena Mas mau menikah dengan Qiana padahal tahu bagaimana keadaan Qiana saat ini.”“Apa Mas harus menjawabnya?”Qiana mengangguk cepat. “Tentu. Qiana ingin tahu bagaimana perasaan Mas saat ini,” ujarnya.“Sebaiknya kita tidur saja, karena jawaban Mas akan membuatmu tidak nyaman nantinya,” ucap Ates.“Kenapa?”“Besok akan Mas katakan sesuatu yang belum kamu ketahui saat ini. Sebaiknya sekarang kamu tidur dan besok kita akan bicara lagi.”Ates lalu berlalu meninggalkan Qiana dan menuju tempat tidur. Sementara Qiana hanya terdiam, penasaran dengan masa lalu Ates.Seperti yang telah Ates katakan tadi malam, bahwa hari ini dia beserta Qiana akan pindah ke rumah yang berada di samping pesantren. Rumah itu saat ini hanya ditempati oleh kedua orang tua Ates, mengingat rumah tersebut adalah salah satu dari sekian unit rumah yang diberikan kepada setiap pengajar yang rumahnya jauh dari pesantren.Sebenarnya Abi Qiana sudah dari dulu mengajak umi pindah ke rumah di sebelah rumah Ates, tapi umi tidak mau meninggalkan rumah yang menjadi warisan dari kedua orang tuanya. Alhasil, Abi lah yang terpaksa bolak balik dari rumah ke pesantren itu.Ates dan Qiana langsung pergi setelah pamit kepada bibinya, karena sang umi beserta Uwak sedang pergi ke pasar untuk membeli bahan makanan. Mereka akan kembali lagi nanti malam untuk mengambil barang-barang yang Qiana yang diperlukan.“Kita langsung ke alamat ini?” tanya Ates yang fokus mengemudikan mobilnya.“Bisakah kita nanti siang saja ke sana, Mas? Aku mau bertemu dengan umi Mas Ates dulu. Biar bagaimana pun jug
“Apa arti cinta untukmu? Bukankah kamu sangat memahami bahwa tidak ada cinta yang lebih besar selain cinta untuk Sang Pencipta?” tanya seorang gadis berkerudung merah pada seorang pemuda yang berdiri tak jauh darinya. Jarak ia dengan pemuda itu hanya lah lima langkah. Bila ia melangkahkan kaki sebanyak lima kali, tidak akan ada lagi jarak yang tercipta di antara keduanya.Benarkah tidak ada jarak lagi? Tidak, meskipun ia melangkah untuk menghapus jarak yang tercipta itu, ia tahu jarak yang sesungguhnya tidak akan pernah mungkin terhapus karena jarak itu tidak kasat mata. Setiap ia melangkah maka semakin jauhlah jarak yang tercipta antara dirinya dan si pemuda tersebut.“Aku mencintaimu karena Allah,” ucap pemuda itu dengan sangat lirih. “Aku ingin menjadi imammu.”“Bila kita memang berjodoh, insya Allah, Allah akan mempermudahnya.” Hanya jawaban itulah yang diberikan si wanita. “Aku tidak akan memintamu menunggu karena aku sama sekali tidak memiliki hak untuk itu. Jika kamu sudah mene
Qiana duduk termenung di pinggiran kasur. Ada yang aneh pada dirinya setelah berbicara dengan Ates tadi. Entah kenapa hari ini ia selalu mengingat Leo? Sudah beberapa hari ini semenjak menikah ia sama sekali tidak memikirkan pria itu, tapi hari ini segala kenangannya bersama Leo datang seperti air hujan.“Qiana, aku mau mengajar dulu di pesantren, ya. Jika kamu ingin menemui kedua orang tuamu, jangan lupa untuk meminta umi menemani ke sana. Aku nggak mau kamu sampai kenapa-kenapa, karena aku yakin kamu pasti belum pernah datang ke alamat itu kan?” ujar Ates yang sudah terlihat tampan dengan baju dinasnya seperti biasa.Qiana mengangguk saja tanpa menanggapi perkataan dari Ates.“Kamu masih marah? Setelah kejadian tadi aku belum mendengar sepatah kata pun yang keluar dari mulutmu.”Qiana menggeleng. Sungguh ia merasa bersalah pada Ates. Kenapa bisa-bisanya cemburu pada hal yang tidak seharusnya dia cemburui. Dan kenapa juga dia kembali mengingat Leo ketika dirinya sudah memiliki Ates
Pikiran Ustazah Naima tidak sinkron dengan tubuhnya. Dia melangkahkan kaki ke pesantren tanpa melihat langkahnya itu. Baru kali ini Ustazah Naima bertindak layaknya orang yang sedang patah hati. Biasanya dia tidak pernah seperti itu dan selalu tersenyum saat berpapasan dengan Ustazah lainnya.“Apa ada masalah dengan Ustazah Naima? Beliau sama sekali tidak menjawab salam dari Ustazah lainnya.” Salah satu pengajar di pesantren itu merasakan keanehan pada Naima. Dia gadis yang baik dan lemah lembut, selalu menyapa terlebih dahulu meski orang yang disapanya itu tidak menjawab sekali pun. Wajar saja jika mereka merasa Naima sedang berada dalam masalah.“Coba Ustazah tanya, siapa tahu sehabis pulang liburan ini membuat Ustazah Naima merasa tidak nyaman,” jawab rekannya di ruang guru.“Baiklah, tunggu sebentar.” Wanita itu melangkah perlahan, menghampiri Naima yang masih termenung di meja kerjanya.“Assalamualaikum.”“Walaikumsalam, Ustazah,” jawab Naima sedikit tersentak.“Ustazah kenapa? A
Ates menggelar dua sajadah untuk dirinya dan sang istri. Matanya memandang Qiana yang masih berdiri di ambang pintu kamar mandi. Qiana mengenakan gamis berwarna biru tanpa kerudung, rambutnya terlihat habis di keramas. Qiana memilih untuk menyegarkan tubuhnya di kamar mandi setelah apa yang dia lakukan saat makan siang tadi. Ia begitu lama berada di dalam sana hingga Ates setia menunggu istrinya untuk bicara. Ates juga tidak berani mengganggu Qiana yang sedang menenangkan diri di dalam kamar mandi. “Mau sampai kapan kamu berdiri di situ?” pertanyaan yang Ates ajukan sepele, tetapi berhasil membuat Qiana salah tingkah. Dengan langkah pelan, Qiana menghampiri Ates yang sudah berdiri tepat di atas sajadah. “Kamu sudah mengambil wudu?” “Sudah.” Qiana mulai mengenakan mukena yang sudah tersimpan rapi di atas tempat tidur. Sepertinya Ates yang sengaja menaruhnya di sana. Lihatlah, seberapa besar perhatian seorang Ates kepada istrinya. Tetapi, istrinya itu telah membuat kedua orang tuan
Qiana menyadari sedari tadi tingkah dan perilaku Fatimah sedikit berbeda. Qiana tanpa sengaja melihat Fatimah yang mengeluh saat sedang bermain di ruang tengah, gadis kecil itu menekan perutnya dengan sangat kuat. Dan saat Qiana muncul, Fatimah malah bersikap biasa saja. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa kepadanya.“Fatimah kenapa, Umi?” tanya Qiana panik dan menghampiri.Umi mertua menggeleng sembari menangis. “Umi tidak tahu, Qiana. Dia sudah seperti ini saat Umi keluar dari dapur.”“Sebaiknya kita bawa ke rumah sakit saja, nanti Qiana akan menghubungi Mas Ates dan juga Abi.”“Cepatlah! Umi takut Fatimah kenapa-kenapa.”Qiana mengangguk dan bergegas mencari ponselnya. Setelah memberitahu Ates dan juga abi mertua, Qiana beserta umi membawa Fatimah ke rumah sakit. Dengan perasaan cemas, mertua Qiana itu berusaha untuk tetap tenang. Tapi, tidak dengan Qiana. Dia merasa ada yang salah setelah pertemuan Fatimah dengan Ustazah Naima. Entahlah, dia mencurigai pujaan hati suaminya itu
Ates menghampiri istrinya yang berada di belakang rumah sakit setelah keluar dari ruangan Fatimah. Qiana tampak begitu sedih, sesekali ia mengusap pipinya yang masih dibanjiri air mata. Perlahan Ates duduk di samping Qiana dan menarik istrinya itu ke dalam pelukannya.“Jangan pikirkan apa yang Fatimah katakan tadi, dia hanya gadis kecil yang belum bisa menilai orang dengan baik. Aku janji akan memberikan pemahaman kepada Fatimah agar dia bisa menerimamu di dalam hidupnya.”Qiana yang mendengar suara lembut Ates itu langsung mendongak dan menatap sang suami. “Aku tidak pernah merasa tersinggung dengan perkataan Fatimah, Mas. Hanya saja aku cemburu akan kedekatannya dengan Ustazah Naima. Fatimah begitu menyayanginya, hingga dia tidak ingin Ustazah Naima pergi dari hidupnya.”Ates tentu sangat mengerti dengan perasaan Qiana. Makanya dia langsung mengejar Qiana saat melihat istrinya itu hampir menitikkan air mata di ruang perawatan Fatimah.“Seharusnya kamu nggak perlu cemburu dengan
Dia lari dengan tergopoh-gopoh, di belakangnya banyak warga yang mengejar sembari membawa kayu dan alat untuk menghakiminya. Keringat bercucuran serta darah yang mengalir deras di pelipisnya. Sesekali dia menoleh, memastikan bahwa orang-orang yang mengejarnya itu sudah menjauh.Namun, dugaannya itu salah. Mereka semakin mendekat dengan teriakan yang menggema di kala azan magrib mulai berkumandang. Para warga yang mengejarnya itu tampak marah, jelas sekali dari raut wajah mereka yang tidak bisa diajak untuk bicara baik-baik. Kesalahan besar mungkin telah dia lakukan sehingga menjadi target warga untuk dihakimi.“Jangan sampai pria bejat itu lolos! Kita harus segera menangkapnya dan menghukum pria itu agar tidak menjadi contoh bagi yang lain melakukan kejahatan,” teriak salah satu pria berbadan gembul. Dari suaranya saja sudah membuat orang lain yang mendengar sedikit ketakutan. Ada tekanan dan ancaman dari setiap perkataan yang keluar dari mulutnya itu.“Dia pasti bersembunyi di pes
Isakan tangis atas kepergian Fatimah tak begitu terdengar. Umi dan abi hanya menitikkan air mata saat melihat tubuh Fatimah yang sudah terbaring kaku di ranjang rumah sakit. Tak ada yang perlu ditangisi, meski mereka kehilangan cucu kesayangan dan merupakan satu-satunya di keluarga itu. Umi dan abi harus segera membawa Fatimah pulang, agar besok bisa segera dimakamkan.Ates hanya memiliki satu saudari perempuan, dan itu adalah bundanya Fatimah. Namun, kakak Ates pergi ke Turki mengikuti suami barunya yang merupakan ayah tiri Fatimah. Keluarga suaminya itu tidak ingin jika Fatimah ikut, makanya Ates melarang sang kakak untuk membawanya pergi.Hari ini adalah hari yang dijanjikan untuknya kembali, menemui putri tercinta yang sudah lama dia tinggalkan. Namun, ketika malam itu mendapatkan telepon dari Ates, Zahara langsung memesan tiket dan terbang ke Indonesia.“Mbak Qiana, bolehkah saya melihat jasadnya Fatimah?” Qiana yang sedang menyambut para pelayat itu pun tertegun melihat Ustaz
Dalam keheningan malam, Qiana duduk sendirian di ruang tamu. Merenungi apa yang telah terjadi tadi. Ia masih belum bisa berpikir dengan jernih bahwa masalah yang menimpanya saat ini merupakan teguran atas kesalahan yang telah ia lakukan di masa itu. Qiana juga tidak pernah menyalahkan takdir yang dia ubah sendiri karena egonya terlalu tinggi. Saat ini ia hanya bisa pasrah dan berdoa akan apa yang terjadi pada pernikahannya dengan Ates.“Kesalahan yang telah aku perbuat akan aku tanggung sendiri tanpa melibatkan Mas Ates beserta keluarganya. Tapi, aku tidak akan bisa menghadapi umi beserta Uwak nantinya jika tahu apa yang terjadi hari ini. Mereka pasti akan semakin kecewa dan marah padaku, apa lagi kedua orang tua Mas Ates pasti sangat sedih mendengar kejadian tadi.”Qiana terus saja merutuki dirinya yang tidak bisa memaafkan kesalahan Leo. Ia juga tidak menyangka bahwa ketika Leo memeluknya, Qiana merasa sangat bahagia. Rasa rindu yang ia pendam untuk pria itu telah terbayarkan, mes
Dia lari dengan tergopoh-gopoh, di belakangnya banyak warga yang mengejar sembari membawa kayu dan alat untuk menghakiminya. Keringat bercucuran serta darah yang mengalir deras di pelipisnya. Sesekali dia menoleh, memastikan bahwa orang-orang yang mengejarnya itu sudah menjauh.Namun, dugaannya itu salah. Mereka semakin mendekat dengan teriakan yang menggema di kala azan magrib mulai berkumandang. Para warga yang mengejarnya itu tampak marah, jelas sekali dari raut wajah mereka yang tidak bisa diajak untuk bicara baik-baik. Kesalahan besar mungkin telah dia lakukan sehingga menjadi target warga untuk dihakimi.“Jangan sampai pria bejat itu lolos! Kita harus segera menangkapnya dan menghukum pria itu agar tidak menjadi contoh bagi yang lain melakukan kejahatan,” teriak salah satu pria berbadan gembul. Dari suaranya saja sudah membuat orang lain yang mendengar sedikit ketakutan. Ada tekanan dan ancaman dari setiap perkataan yang keluar dari mulutnya itu.“Dia pasti bersembunyi di pes
Ates menghampiri istrinya yang berada di belakang rumah sakit setelah keluar dari ruangan Fatimah. Qiana tampak begitu sedih, sesekali ia mengusap pipinya yang masih dibanjiri air mata. Perlahan Ates duduk di samping Qiana dan menarik istrinya itu ke dalam pelukannya.“Jangan pikirkan apa yang Fatimah katakan tadi, dia hanya gadis kecil yang belum bisa menilai orang dengan baik. Aku janji akan memberikan pemahaman kepada Fatimah agar dia bisa menerimamu di dalam hidupnya.”Qiana yang mendengar suara lembut Ates itu langsung mendongak dan menatap sang suami. “Aku tidak pernah merasa tersinggung dengan perkataan Fatimah, Mas. Hanya saja aku cemburu akan kedekatannya dengan Ustazah Naima. Fatimah begitu menyayanginya, hingga dia tidak ingin Ustazah Naima pergi dari hidupnya.”Ates tentu sangat mengerti dengan perasaan Qiana. Makanya dia langsung mengejar Qiana saat melihat istrinya itu hampir menitikkan air mata di ruang perawatan Fatimah.“Seharusnya kamu nggak perlu cemburu dengan
Qiana menyadari sedari tadi tingkah dan perilaku Fatimah sedikit berbeda. Qiana tanpa sengaja melihat Fatimah yang mengeluh saat sedang bermain di ruang tengah, gadis kecil itu menekan perutnya dengan sangat kuat. Dan saat Qiana muncul, Fatimah malah bersikap biasa saja. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa kepadanya.“Fatimah kenapa, Umi?” tanya Qiana panik dan menghampiri.Umi mertua menggeleng sembari menangis. “Umi tidak tahu, Qiana. Dia sudah seperti ini saat Umi keluar dari dapur.”“Sebaiknya kita bawa ke rumah sakit saja, nanti Qiana akan menghubungi Mas Ates dan juga Abi.”“Cepatlah! Umi takut Fatimah kenapa-kenapa.”Qiana mengangguk dan bergegas mencari ponselnya. Setelah memberitahu Ates dan juga abi mertua, Qiana beserta umi membawa Fatimah ke rumah sakit. Dengan perasaan cemas, mertua Qiana itu berusaha untuk tetap tenang. Tapi, tidak dengan Qiana. Dia merasa ada yang salah setelah pertemuan Fatimah dengan Ustazah Naima. Entahlah, dia mencurigai pujaan hati suaminya itu
Ates menggelar dua sajadah untuk dirinya dan sang istri. Matanya memandang Qiana yang masih berdiri di ambang pintu kamar mandi. Qiana mengenakan gamis berwarna biru tanpa kerudung, rambutnya terlihat habis di keramas. Qiana memilih untuk menyegarkan tubuhnya di kamar mandi setelah apa yang dia lakukan saat makan siang tadi. Ia begitu lama berada di dalam sana hingga Ates setia menunggu istrinya untuk bicara. Ates juga tidak berani mengganggu Qiana yang sedang menenangkan diri di dalam kamar mandi. “Mau sampai kapan kamu berdiri di situ?” pertanyaan yang Ates ajukan sepele, tetapi berhasil membuat Qiana salah tingkah. Dengan langkah pelan, Qiana menghampiri Ates yang sudah berdiri tepat di atas sajadah. “Kamu sudah mengambil wudu?” “Sudah.” Qiana mulai mengenakan mukena yang sudah tersimpan rapi di atas tempat tidur. Sepertinya Ates yang sengaja menaruhnya di sana. Lihatlah, seberapa besar perhatian seorang Ates kepada istrinya. Tetapi, istrinya itu telah membuat kedua orang tuan
Pikiran Ustazah Naima tidak sinkron dengan tubuhnya. Dia melangkahkan kaki ke pesantren tanpa melihat langkahnya itu. Baru kali ini Ustazah Naima bertindak layaknya orang yang sedang patah hati. Biasanya dia tidak pernah seperti itu dan selalu tersenyum saat berpapasan dengan Ustazah lainnya.“Apa ada masalah dengan Ustazah Naima? Beliau sama sekali tidak menjawab salam dari Ustazah lainnya.” Salah satu pengajar di pesantren itu merasakan keanehan pada Naima. Dia gadis yang baik dan lemah lembut, selalu menyapa terlebih dahulu meski orang yang disapanya itu tidak menjawab sekali pun. Wajar saja jika mereka merasa Naima sedang berada dalam masalah.“Coba Ustazah tanya, siapa tahu sehabis pulang liburan ini membuat Ustazah Naima merasa tidak nyaman,” jawab rekannya di ruang guru.“Baiklah, tunggu sebentar.” Wanita itu melangkah perlahan, menghampiri Naima yang masih termenung di meja kerjanya.“Assalamualaikum.”“Walaikumsalam, Ustazah,” jawab Naima sedikit tersentak.“Ustazah kenapa? A
Qiana duduk termenung di pinggiran kasur. Ada yang aneh pada dirinya setelah berbicara dengan Ates tadi. Entah kenapa hari ini ia selalu mengingat Leo? Sudah beberapa hari ini semenjak menikah ia sama sekali tidak memikirkan pria itu, tapi hari ini segala kenangannya bersama Leo datang seperti air hujan.“Qiana, aku mau mengajar dulu di pesantren, ya. Jika kamu ingin menemui kedua orang tuamu, jangan lupa untuk meminta umi menemani ke sana. Aku nggak mau kamu sampai kenapa-kenapa, karena aku yakin kamu pasti belum pernah datang ke alamat itu kan?” ujar Ates yang sudah terlihat tampan dengan baju dinasnya seperti biasa.Qiana mengangguk saja tanpa menanggapi perkataan dari Ates.“Kamu masih marah? Setelah kejadian tadi aku belum mendengar sepatah kata pun yang keluar dari mulutmu.”Qiana menggeleng. Sungguh ia merasa bersalah pada Ates. Kenapa bisa-bisanya cemburu pada hal yang tidak seharusnya dia cemburui. Dan kenapa juga dia kembali mengingat Leo ketika dirinya sudah memiliki Ates
“Apa arti cinta untukmu? Bukankah kamu sangat memahami bahwa tidak ada cinta yang lebih besar selain cinta untuk Sang Pencipta?” tanya seorang gadis berkerudung merah pada seorang pemuda yang berdiri tak jauh darinya. Jarak ia dengan pemuda itu hanya lah lima langkah. Bila ia melangkahkan kaki sebanyak lima kali, tidak akan ada lagi jarak yang tercipta di antara keduanya.Benarkah tidak ada jarak lagi? Tidak, meskipun ia melangkah untuk menghapus jarak yang tercipta itu, ia tahu jarak yang sesungguhnya tidak akan pernah mungkin terhapus karena jarak itu tidak kasat mata. Setiap ia melangkah maka semakin jauhlah jarak yang tercipta antara dirinya dan si pemuda tersebut.“Aku mencintaimu karena Allah,” ucap pemuda itu dengan sangat lirih. “Aku ingin menjadi imammu.”“Bila kita memang berjodoh, insya Allah, Allah akan mempermudahnya.” Hanya jawaban itulah yang diberikan si wanita. “Aku tidak akan memintamu menunggu karena aku sama sekali tidak memiliki hak untuk itu. Jika kamu sudah mene